Diam Jadi Penjara

“Kadang diam bukan pilihan bijak. Ia hanya cara lain untuk memenjara diri sendiri.”
— nJawani

“Ketika suaramu tersangkut di kerongkongan, napas pun terasa seperti utang yang tak pernah lunas.”

.

Kalimat itu berputar di kepala Gadhing saat bus transjakarta mengaduk senja Jakarta menjadi bubur lampu—terang yang letih. Ia menempelkan kening ke kaca, mengukur jarak antara gedung-gedung dan dirinya. Dari luar, ia seperti pegawai hotel kebanyakan: kemeja biru keabu, celana hitam rapi, sepatu disemir secukupnya. Tapi di dalam, ia membawa museum kecil berisi benda-benda yang tidak dibilang: rasa marah, harga diri yang diparkir sementara, dan sejenis peluit yang tak pernah ia tiup.

Gadhing bekerja sebagai manajer operasional sebuah penginapan butik di Kuningan, namanya Madukara Inn: tiga belas lantai, lobi seperti galeri, kursi-kursi rotan yang disesuaikan dengan punggung tamu korporat. Ia tahu aroma parfum tamu tetap seharian di lift, jam berapa AC lantai sepuluh akan batuk, meja mana di restoran yang paling disukai mereka yang ingin terlihat sibuk. Di papan tulis ruang brifing, tulisan tangannya rapi: “Standar linen: 300 thread count. Wedang jahe selalu hangat, bukan panas. Ingat, mata adalah senyum kedua.”

Namun yang tak tertulis adalah bagaimana ia dibilang “setengah”. Bukan setengah kompeten—lebih ke setengah darah, setengah diakui. Ayah kandungnya, Bima, pernah bekerja di properti bintang lima sebagai chef yang kondang. Ibunya, yang bekerja sebagai penatu, tidak pernah masuk undangan rapat keluarga. “Bapakku bintang, ibuku lampu neon kamar kos,” ia pernah berseloroh pada diri sendiri, pahit. Dari Bima, ia warisi bahu tegap; dari ibunya, kebiasaan bekerja senyap dan tuntas. Tetapi senyap itulah yang suatu hari berubah menjadi cangkir retak yang tidak mau lagi disembunyikan di lemari.

Di lantai dasar Madukara Inn ada perempuan tua yang semua orang panggil Cangik. Namanya Candra Kinanti, staf housekeeping yang entah bagaimana selalu tahu sekecil-kecilnya getaran di dinding. Ia cerewet, tapi kata-katanya seperti jarum penjahit—merapatkan luka supaya tidak menganga. Ada juga Semar, petugas keamanan malam yang perutnya sedikit maju tapi jarinya cepat mematikan alarm palsu. Semar ini bukan sekadar satpam; ia seperti plester di siku, menenangkan tanpa banyak tanya.

“Gadhing,” kata Cangik suatu sore, sambil menyusun botol kecil sampo di atas trolley. “Ngono yo ngono, ning ojo ngono. Kowe ora patung. Suara iku ora mung kanggo telpon tamu.”

“Kalau aku ngomong, Mbok, mereka pakai kata ‘kamu terlalu sensitif’. Tahu-tahu aku dibilang drama,” jawab Gadhing.

“Wong pinter kok malah wedi ngomong nek disakiti,” potong Cangik. “Sing ora paham bakal terus ngajakmu main di lapangan orang dewasa dengan aturan anak-anak.”

Semar menyelip masuk dengan senter di tangan. “Diam itu emas hanya bila hati orang-orang mau mendengarkan. Kalau mereka tuli karena jabatan, emasmu tenggelam di lumpur.”

Gadhing tersenyum seperti orang yang baru ingat menutup kulkas. “Aku ngerti.”

Tapi mengerti tak selalu berarti berani.

.

Pekan itu, Jakarta dipenuhi spanduk: Jakarta Service Week. Madukara Inn menjadi salah satu lokasi hospitality tour—orang-orang penting berkeliling untuk memuji hal-hal yang tidak mereka pahami. Brochure dicetak lebih tebal dari sabar, kopi diseduh lebih hitam dari hujan. Di lobi, Arjun—GM yang suka menepuk bahu orang terlalu keras—mengatur jarak senyum staf seperti penata cahaya di panggung teater. Di belakang Arjun ada Yudhis, pemilik properti yang selalu menggunakan kata “keluarga” di rapat sambil mencoret angka di Excel seperti mengiris bawang tanpa menangis.

“Gadhing,” Arjun memanggil. “Jangan salahkan dirimu kalau ada slip. Tapi juga jangan salah kalau aku menyalahkanmu.”

Kalimat yang terdengar seperti pelukan sampai diseret.

Gadhing membungkuk. “Siap, Pak.”

“Dan jangan lupa,” Yudhis menambahkan sambil menyentuh layar ponsel, “tamu dari Astina Holdings itu… istimewa. Tolong jaga seistimewa itu.”

Astina Holdings—konglomerasi yang suka memindah-mindah kursi orang seperti main ular tangga. Konon pangeran kecilnya, Arya, pandai tersenyum untuk pewarta foto dan pandai berteriak saat kamera tidur.

Pukul delapan malam, restoran Madukara Inn penuh. Lampu-lampu menggantung memantulkan mata orang yang ingin terlihat. Gadhing melangkah mengukur kekurangan: gelas lima sentimeter miring, sendok kurang cemerlang, jarak napkin ke pinggir meja dua jari, bukan tiga. Ia melongok ke bar, mengangguk ke bartender, memberi instruksi pelan ke server. Dari speaker, gamelan kontemporer menetes pelan, seperti janji yang belum ditepati.

Di pojok VIP, Arya dikelilingi orang-orang yang tertawa lebih keras dari lucu. Ia mengetuk meja dengan sendok garpu, memanggil tanpa panggil. “Wedang jahe saya mana? Dinginnya AC kalian bisa bikin saya masuk angin. Masa hotel begini, minumannya telat?”

Server baru, namanya Sulas, bergegas. Ia anak rantau dari Lamongan, baru tiga hari kerja. Sulas salah mengantar—wedang sereh, bukan jahe. Arya mengangkat cangkir, mengamati seperti hakim, lalu menumpahkannya ke nampan. “Kamu kerja pakai apa? Pikiranku? Tolong manajermu ke sini.”

Riuh lalu menjadi cekikikan yang disembunyikan. Semua kepala memutar seperti jam yang disuruh mundur. Arjun menghilang ke toilet. Yudhis menatap ke ponsel, mengetik tidak penting. Gadhing melangkah.

“Selamat malam. Saya Gadhing. Atas kesalahan kami, saya minta maaf. Izinkan saya—”

“Maaf-mu tidak bisa diminum,” potong Arya. “Kamu terlalu lama diam. Di tempat saya, orang begitu saya keluarkan.”

Ungkapan lama: sesuatu di dada pecah tanpa suara. Gadhing mengenal retak itu. Ia melihat Sulas menunduk, bibirnya bergetar. Ia melihat Cangik di belakang dinding kaca, mengangkat jempol kecil yang seperti lampu redup. Ia mendengar suara Semar dari walkie-talkie—napas satu detik yang setia.

“Mas Arya,” suara Gadhing jernih tiba-tiba, “selama ini saya diam karena saya tahu bicara sering jadi permainan politik. Tapi kalau diam membuat orang seperti Sulas merasa seolah ia bukan manusia, maka saya tidak mau jadi penjara lagi.”

Restoran menarik napas. Lampu gantung berhenti berayun—atau seolah berhenti.

“Beraninya kamu mengajari saya etika,” Arya nyaris berdiri. “Di mana atasanmu?”

“Mereka ada. Di sekitar,” kata Gadhing, menoleh sejenak ke arah bayang-bayang Arjun yang kembali dari toilet dengan tangan masih basah. “Tapi malam ini izinkan saya jadi atasan bagi kewajaran.”

“Kalimat bagus untuk orang yang sebentar lagi pulang tanpa seragam,” Arya menukik.

“Kalau pulang karena menjaga manusia,” jawab Gadhing, “maka saya sedang pulang ke tempat yang benar.”

Sunyi. Lalu suara garpu jatuh di meja lain, memecah segala yang dibuat-buat. Di kursi tengah, seorang lelaki tua—Bhisma, senior consultant yang namanya seperti batu sungai—mengangguk. Ia menaruh cangkirnya, menatap tak diundang. Di sisi lain, seorang tamu bernama Kresna—penyiar radio yang datang meliput Jakarta Service Week—mengangkat alis tipis dan mencatat cepat. Kamera ponselnya menyala, menangkap bukan sensasi, tapi kejujuran yang jarang.

“Ketika semua berpura-pura tuli, kebenaran tetap punya cara berjalan.”
— catatan Cangik di kertas bekas rooming list

.

Pagi berikutnya, ruang HR dingin seperti kulkas kosong. Di jendela, angin mempegang tirai dengan ragu. Arjun duduk seperti orang yang tak pernah salah, Yudhis melemaskan jarinya di depan laptop. Ada surat di atas meja, kata-kata baku seperti ubin yang disusun berderet.

“Gadhing,” Arjun mendahului, “kami menghargai dedikasi… bla-bla… however… demi menjaga hubungan baik… release and discharge… you know the drill.”

Gadhing membaca, garis matanya tenang. Ia tidak ingin menangis di ruang yang pernah tahu semua orang tertawa palsu. Tangannya gemetar kecil, seperti kapal kertas di kolam mandi.

“Boleh saya bilang sesuatu?” tanya Gadhing.

“Silakan,” jawab Yudhis menggeser kursor.

“Terima kasih sudah diam semalam. Diam kalian menyelesaikan banyak hal—untuk diri kalian. Dan membukakan pintu untuk saya—ke luar.”

Arjun menghela napas orang sibuk. “Kamu orang baik, Gadhing. Tapi kita harus… you know.”

“Ya, saya tahu.” Gadhing menandatangani surat itu seperti orang menutup pintu kamar yang pernah ditiduri mimpi buruk. Ia berdiri, menyapa resepsionis yang menahan detik di bibir mereka, menyalami bellman, menyentuh bahu Sulas. “Kamu tidak salah,” bisiknya. “Jangan ambil kesalahan orang, itu berat.”

Di luar, Jakarta melanjutkan hidup sebagaimana biasa: klakson, tabrak mata di zebra cross, pedagang bubur mengaduk dunia. Gadhing berjalan tanpa tujuan, tapi kakinya tahu: ke halte bus, ke arah Blok M, ke taman kecil di sisi jalan yang namanya Puspa Kencana—tempat orang menunggu, menghisap sisa tumbuh.

Semar duduk di bangku taman dengan tas plastik berisi nasi uduk. Di sampingnya, Cangik memegang kipas dari brosur Jakarta Service Week yang dilipat rapi.

“Kowe kok meneng?” tanya Semar pelan, setelah lama bungkam bersama angin.

“Aku lagi belajar membiarkan sunyi lewat,” jawab Gadhing. “Supaya tidak tinggal.”

“Kowe wis ngoceh sing dibutuhake wengi wingi,” kata Cangik. “Saiki mangan sek.”

Mereka makan dengan diam yang lain—diam yang menemani, bukan mengunci. Usai suapan ketiga, ponsel Gadhing bergetar. Pesan singkat dari nomor tak dikenal: “Saya Dini, manajer pelatihan di Nusantara Hospitality Forum. Boleh ngobrol? Kami lihat video Anda. Kami butuh orang yang bicara tentang kekerasan verbal di pelayanan.”

Gadhing menatap dua sahabatnya—yang satu suka mengutip pepatah, yang lain suka mengubahnya. Ia tersenyum tanpa rencana.

“Berarti zamannya edan durung rampung,” kata Semar, “tapi yen ora gelem edanan bareng-bareng, paling ora ojo dadi edan sing nengen-nengen awake dewe.”

“Terjemahan bebasnya,” Cangik menepuk tangan Gadhing, “yen kabeh milih aman, kebenaran tetep bakal golek dalan.”

“Bicaralah meski suaramu kecil. Dalam gelap kota, senter sekecil apa pun tetap membantu orang menemukan pintu.”
— Semar

.

Nama Gadhing kemudian muncul di pamflet-pamflet pelatihan: “Suara yang Menyembuhkan: Etika dan Empati dalam Layanan.” Ia keliling ke hotel, kafe, rumah sakit, bank, co-working space, bahkan kantor kelurahan. Ia tidak bicara dengan amarah, melainkan dengan detail: cara mata bertemu mata tanpa menusuk, cara meminta maaf yang tidak menghinakan, cara menolak halus tanpa memalukan. Ia selalu memulai dengan kisah orang-orang yang pernah tersandung kata.

“Layanan bukan soal tunduk,” ucapnya di sebuah auditorium di Semanggi, “Layanan adalah tentang menjaga martabat—dua arah. Antara yang datang dan yang menyambut. Diam terkadang perlu, untuk mendengar. Tapi diam yang membuat luka membatu… itu bukan bakti; itu bentuk lain dari penelantaran.”

Di ujung ruangan, Sulas duduk di baris ketiga, seragamnya kini pas di badan. Ia mengangkat jempol saat mata mereka bersentuhan. Gadhing menyelesaikan sesinya dengan mengajak peserta menulis satu kalimat yang—jika diucapkan—membebaskan.

Kalimat-kalimat itu menempel di papan:
“Aku capek berbaik-baik pada orang yang menginjak.”
“Aku maafkan diriku atas hal-hal yang tak bisa kubela kemarin.”
“Kuakui, aku takut. Tapi aku lebih takut jadi batu.”
“Mulai besok, aku akan bilang ‘tidak’ dengan senyum.”

“Suara tidak selalu harus keras,” kata Gadhing menutup sesi. “Cukup jelas.”

Setelah itu, ia duduk di tangga panggung. Orang-orang menghampiri: seorang resepsionis yang pipinya sering disorot lampu amarah; seorang supervisor yang matanya terbiasa tertawa tapi malamnya habis menangis; seorang satpam yang mengaku dulu pernah berbicara pada dirinyalah sebelum menyapa orang lain. Mereka memberi pelukan yang tidak diperpanjang, ucapan terima kasih yang tidak ditumpuk, mata yang tidak menguasai. Di kepala Gadhing, museum benda-benda yang tidak dibilang mulai kosong—bukan karena musnah, melainkan karena diceritakan.

.

Suatu malam, selepas sebuah pelatihan di Senen, ia menerima pesan: “Bolehkah saya bertemu? Arjun.” Tepat di bawah nama, ikon hati yang salah ruangan.

Mereka bertemu di kedai kopi kecil, dekat rel kereta. Arjun datang tanpa jas, hanya kemeja polos. Matanya seperti orang habis menjemur kasur: ada bekas matahari yang tidak dibagi.

“Aku menonton videomu,” kata Arjun, suaranya tak lagi menepuk bahu. “Aku—aku minta maaf.”

“Untuk apa?” Gadhing mengaduk kopi seperti mengaduk hujan.

“Untuk malam itu. Untuk diamku. Aku… takut kehilangan proyek, takut dimarahi Yudhis, takut semua. Aku kira diamku menyelamatkan. Ternyata itu hanya memindah luka ke orang lain.”

Gadhing menatap Arjun lama. Di kereta yang melintas, ia melihat bayangan yang pernah ia hindari: kepalanya sendiri menunduk. Ia meletakkan sendok.

“Kau tidak sendirian, Arjun. Kita semua pernah memilih aman. Tapi aman yang menelan orang lain… bukan aman.”

“Aku resign,” ucap Arjun, separuh lega separuh cemas. “Aku akan mulai dari dapur—mengajar frontliners—jika kamu mau. Tolong izinkan aku meminjam suaramu untuk belajar.”

Gadhing tersenyum, bukan karena menang, tapi karena ada lembar kerja yang akhirnya diisi jawaban jujur. “Mari,” katanya. “Suara bukan untuk menunjuk salah saja, tapi menunjuk jalan.”

Di luar, kereta berikutnya melintas. Kota mengembuskan napas berlambat.

“Berhenti menunggu orang lain menepuk punggungmu untuk berkata kau berharga. Kadang, tanganmu sendiri sudah cukup.”
— Cangik

.

Kabar tentang Madukara Inn beredar: Yudhis mengubah kebijakan keluhan, bukan lagi mengubur laporan bawahannya dalam folder “Nanti Saja”. Ada hotline yang langsung menyambung ke tim independen. Arya menghilang dari linimasa untuk sementara; foto-fotonya diambil tanpa komentar. Sebagian orang bilang “badai lewat”, sebagian lain tahu “badai berpindah”—tapi di ruang-ruang kecil, ada perubahan: briefing pagi tidak lagi menjadi ajang memalukan satu orang, group chat shift malam tak lagi menjadi tempat mencandai air mata.

Di rumah kecilnya di Tebet, Gadhing menggantung kemeja biru itunya di paku. Ibunya duduk di tikar, menjahit lengan baju yang terkelupas.

“Kowe saiki kerep ngomong, Le,” katanya sambil tersenyum. “Apa ora kesel?”

“Capek,” jawab Gadhing, merebahkan punggung. “Tapi capek yang tidak bikin aku benci diriku sendiri.”

“Bapakmu,” ibunya berhenti sejenak, memanggil masa lalu yang tak lagi tajam, “seneng yen krungu iki. Dheweke mung ora paham carane pamitan sing bener. Kowe wis nemokake caramu.”

“Kapan-kapan kita kirim wedang jahe ke kuburnya,” kata Gadhing, tertawa kecil. “Biar dia tahu, panasnya pas.”

Mereka tertawa dalam jarak yang aman. Di dinding, jam kakek berdetak seperti jantung yang kembali mengingat tempo.

“Tidak semua diam adalah doa. Kadang ia hanyalah alasan untuk tidak bertanggung jawab pada diri sendiri.”
— Gadhing

.

Suatu Sabtu, Nusantara Hospitality Forum mengadakan kelas terbuka di Balai Kota. Aula berisi orang-orang dari profesi yang jarang dipuji: satpam, housekeeping, barista, tenaga kasir SPBU, kurir, perawat. Semar duduk di baris paling depan, seragamnya menyerap cahaya lampu.

Gadhing naik ke panggung membawa cermin besar. Ia meletakkannya tegak.

“Hari ini,” katanya, “kita latihan bertemu orang paling penting di ruang pelayanan: diri sendiri. Lihat mata kalian. Katakan pada orang di cermin: maaf, dan terima kasih.”

Orang-orang mengamati. Ada yang kaku, ada yang tertawa menahan, ada yang menyeka cepat. Semar menatap matanya sendiri lama sekali, lalu mengangguk seperti orang yang akhirnya memahami aturan permainan.

“Sekarang,” lanjut Gadhing, “ingat satu kejadian saat kalian memilih diam, dan itu melukai. Kalau bisa, minta maaf—pada diri sendiri dulu. Lalu bicaralah. Pilih kata-kata yang tidak kasar, tapi tidak juga kabur.”

Di sudut ruangan, Cangik berdiri, mengangkat tangan. “Aku pengin ngomong,” suaranya lantang. “Karo bojo sing tau ngremehno kerjoku. Saiki aku wis paham nilaine nyapu jiwaku dhewe.”

Tawa mengalir, bukan untuk mengejek, tapi untuk menyambut. Sesi itu berakhir dengan tepuk tangan yang bukan untuk panggung, melainkan untuk keberanian yang tumbuh pelan, seperti dahan di taman kota yang tidak pernah ditanyakan izinnya untuk hijau.

“Keberanian bukanlah bentak yang menakut-nakuti. Ia adalah kalimat sederhana yang diucapkan pada waktu yang tepat, dengan niat menyelamatkan.”
— Kresna, dari catatan radionya

.

Malam turun di Jakarta seperti selimut yang akhirnya pas. Gadhing berdiri di jembatan penyebrangan, memandang sungai yang menelan lampu-lampu. Di saku, ada surat pemutusan kerja yang sudah kusut; di ponsel, ada jadwal pelatihan di tiga kota; di dada, ada ruang yang terasa lebih luas dari halte.

Ia menutup mata dan mendengar kembali kalimat yang dulu ia rekam di bus: “napas yang terasa seperti utang.” Kini, utang itu seperti lunas. Ia menghela pelan, membiarkan angin menyeberanginya tanpa dihalangi.

“Kadang yang kau butuhkan bukan keberanian untuk berperang, tapi keberanian untuk mengucap: Aku tersakiti, dan aku tidak akan diam lagi.”
— nJawani

Dan malam itu, di atas kota yang terus menua, suaranya—yang pernah menjadi tawanan—menemukan rumah.

.

.

Jember 29 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #SastraUrban #DiamBukanEmas #EtikaPelayanan #HospitalityID #BeraniBersuara #Empati #KotaJakarta

.

Quotes Terkait (dari naskah)

  • “Ketika suaramu tersangkut di kerongkongan, napas pun terasa seperti utang yang tak pernah lunas.”

  • “Diam itu emas hanya bila hati orang-orang mau mendengarkan. Jika mereka tuli karena jabatan, emasmu tenggelam di lumpur.”

  • “Bicaralah meski suaramu kecil. Dalam gelap kota, senter sekecil apa pun tetap membantu orang menemukan pintu.”

  • “Tidak semua diam adalah doa. Kadang ia hanyalah alasan untuk tidak bertanggung jawab pada diri sendiri.”

  • “Keberanian bukanlah bentak yang menakut-nakuti. Ia adalah kalimat sederhana yang diucapkan pada waktu yang tepat, dengan niat menyelamatkan.”

  • “Kadang yang kau butuhkan bukan keberanian untuk berperang, tapi keberanian untuk mengucap: Aku tersakiti, dan aku tidak akan diam lagi.”

Leave a Reply