Bom Waktu di Dalam Diri

“Jangan biarkan iri menjadi kompor yang terus menyala di dapur batinmu. Api kecil yang dibiarkan, esok bisa jadi kebakaran.”
“Kalau lidahmu ingin berkelahi, tenangkan dulu dadamu. Kata yang salah arah bisa jadi peluru pantulan.”
“Iri hati, perilaku buruk, dan mulut sembarangan adalah bom waktu. Ia tak berbunyi keras saat dipasang, tapi bisa menghancurkan kehidupan tanpa sisa ketika meledak.”

.

Langit Hujan, Hati Mendung

Hujan turun seperti tirai, rapat dan berat, menutup langit Jakarta hingga gelap-pek. Di bawah kanopi kaca gedung perkantoran di kawasan Kuningan, Wiryasena berdiri sendirian. Sepatu fantofel hitamnya sudah basah di bagian ujung; air merayap masuk seperti kabar buruk yang selalu menemukan celah. Di tangan kanan, gelas kopi kertas yang dingin sejak dua jam lalu. Di tangan kiri, ponsel yang memantulkan cahaya biru pucat.

Di layar, linimasa meledak oleh satu nama: Jayengrana. Video seremonial penghargaan “Tokoh Inovatif Tahun Ini” memutar ulang berkali-kali. Jayengrana berdiri di panggung, jasnya sederhana tapi berkelas, senyumnya tenang seperti yang selalu Wiryasena ingat: senyum anak kos yang dulu suka meminjam buku dan mengembalikannya dengan catatan pinggir rapi. Kini, lampu-lampu sorot memeluk namanya; tepuk tangan menjalar panjang seperti ombak.

Jantung Wiryasena berdebar tak nyaman. Bukan karena kaya atau glamor—bukan. Tapi karena cahaya yang seolah tumbuh dari dalam nama itu, cahaya yang tidak bisa ia pinjam, tidak bisa ia beli, dan tak mungkin ia cela tanpa melukai dirinya sendiri. Hujan makin deras. Bunyi air memukul aspal seperti ribuan jam dinding berdetak bersamaan.

“Hebat ya, Jayeng,” gumamnya—antara kagum, getir, dan rasa pahit yang pekat seperti ampas kopi.

.

Kita

Wiryasena, tiga puluh lima, staf menengah pada sebuah konsultan properti. Ia pernah menjadi juara pidato di SMA, penulis andalan majalah kampus, optimis yang rajin menyusun rencana hidup di kalender dinding. Tapi rencana-rencana itu perlahan patah oleh musim: promosi yang tertunda, proyek yang direbut tim lain, atasan yang gonta-ganti kebijakan. Gaji cukup, makan cukup, cicilan cukup; hanya ruang di dalam dadanya yang tidak pernah cukup.

Jayengrana—Jayeng—sahabat kecil dari kota pelabuhan di timur pulau. Mereka pernah satu meja belajar di kamar kos sempit di Rawamangun; lampu redup, kipas angin berderit, mie instan sebagai jam pasir malam-malam panjang. Setelah lulus, arah mereka berpisah. Jayeng merintis startup sosial-teknologi, memadukan aplikasi dan pendampingan lapangan untuk UMKM kecil. Pelan tapi pasti, namanya menyeberang dari ruang pertemuan ke layar televisi, dari tulisan blog ke panggilan panggung.

Dewi Rengganis—Rengganis, istrinya—seorang guru SD di Palmerah. Sederhana, sabar, punya cara tersendiri menata keheningan di rumah kontrakan kecil mereka. Ia mencintai Wiryasena sebagaimana seorang guru mencintai murid yang terus berproses: tidak banyak omong, tidak menuntut gempita, tapi tegas dalam diam.

.

Bayang-Bayang Jayengrana

Malam itu, Rengganis menyajikan lodeh kluwih, uapnya melambai pelan. Televisi menyalakan berita tentang banjir di Kemang; di bawahnya, ticker berita bergulir: “Jayengrana luncurkan 1.000 beasiswa talenta digital.”

“Mas, tadi di TV… Jayeng bagi beasiswa,” kata Rengganis, nada suaranya netral, setenang piring putih.

“Media itu suka melebih-lebihkan,” sahut Wiryasena, sendoknya berhenti di udara. “Semua bisa tampak mulia kalau ada tim pencitraan.”

Rengganis menatap hidangan, bukan suaminya. Dalam hatinya, doa kecil menetes: semoga hujan di luar tak pindah menetap di dalam dada orang yang ia sayangi. Ia tidak menambah kata, tahu betapa sering kata-kata justru menjadi pancing yang tak sengaja menarik ikan marah dari dasar hati.

.

Mulut yang Semakin Terbuka, Hati yang Semakin Tertutup

Kantor di Kuningan itu dingin—AC yang terlalu bertenaga, lampu neon yang terlalu terang, spreadsheet yang terlalu panjang. Di pantry, Wiryasena mulai bercerita, awalnya ringan, lalu mengental jadi sinis.

“Dulu itu Jayeng nggak bisa debat. Skrip final provinsi aku yang buatin. Kalau bukan aku, ya nggak ada namanya hari ini.”
“Programnya? Biasa saja. Semua juga bisa bikin app. Yang penting kan mic-nya gede, panggungnya tinggi.”

Rekan-rekan tertawa pendek, sebagian setengah hati. Dari awalnya “iya-iya” basa-basi, satu dua orang mulai menjauh tak kentara. Di grup kantor, chat-nya jarang ditanggapi. Di meja rapat, pendapatnya menabrak dinding diam. Wiryasena tak menyadari: lidahnya sedang menggali sumur yang akhirnya menenggelamkan dirinya sendiri.

Di rumah, Rengganis mengajaknya salat berjemaah. Kadang dituruti, sering diabaikan. Wiryasena berkata ia lelah. Ia memang lelah—oleh ambisi yang tak punya arah, oleh perbandingan yang tiap hari diseduh dengan air panas bernama media sosial.

.

Ledakan yang Tak Terlihat

Suatu siang yang tampak biasa, alarm bahaya tubuh berbunyi. Napas Wiryasena pendek, keringat dingin mengalir seperti hujan dari balik kulit. Huruf-huruf di layar komputer berubah menjadi semut hitam berbaris. Reza, rekan satu tim, panik melihatnya membungkuk sambil memegang dada.

“Bro, lo pucet! Ke rumah sakit, sekarang!”

Di IGD, monitor menari dengan garis-garis berwarna. Dokter memberi kata-kata yang jarang didengar orang yang merasa “baik-baik saja”: serangan panik, tekanan emosional, stres kronis. Ia diminta istirahat, diminta bicara, diminta tak lagi menabung beban di laci yang sama.

Di ruang rawat yang remang, Rengganis menggenggam tangan suaminya. “Mas, hidup ini bukan lomba cepat-cepat. Tidak ada finish yang mesti dikejar semua orang. Ada yang finishnya tenang, ada yang finishnya syukur.”

Tangis Wiryasena pecah, tidak dramatis, tidak berisik—air yang akhirnya menemukan sungai. Kali itu, untuk pertama kalinya, ia mengatakan dengan jujur: “Aku kalah, Dik. Kalah oleh pikiranku sendiri.”

.

Kilas Balik di Jendela Rumah Sakit

Di jendela, hujan sisa sore menempel sebagai titik-titik ingatan. Wiryasena teringat kamar kos: suara Jayeng mengulang presentasi dengan nada patah-patah, dirinya menertawakan, lalu tetap membantu. Ia teringat perjalanan tengah malam ke fotokopi 24 jam, teringat nasi kucing di bawah jembatan layang, teringat impian dua anak muda yang sama-sama percaya esok punya pintu.

“Kenapa aku tak bisa ikut bahagia saat pintu itu terbuka untukmu dulu, Jayeng?” batinnya bertanya. Jendela tak menjawab. Tapi seonggok diam yang jujur selalu lebih baik daripada sejuta dalih yang fasih.

.

Kunjungan yang Tak Diduga

Hari ketiga, seseorang mengetuk pelan. Pintu terbuka, dan ruangan yang sempit itu terasa lebih luas—bukan oleh ukuran, tapi oleh kehadiran yang membawa angin. Jayengrana berdiri, melepas masker, matanya yang sama seperti dulu: menatap tanpa mencabut, hangat tanpa membakar.

“Aku dengar dari Reza,” katanya. “Boleh aku masuk?”

Mereka berbincang tanpa lentera basa-basi. Ada jeda, ada kejujuran yang telanjang.

“Aku iri, Jayeng,” kata Wiryasena, suaranya rendah. “Lama. Sejak kau mulai masuk TV. Sejak namamu jadi berita. Aku marah setiap orang mengucap namamu.”

Jayengrana menghela napas, bukan untuk menggurui. “Sena, kalau kau simpan iri, yang terbakar bukan panggungku. Api itu menyala di kamarmu sendiri. Dan kamarmu, kita sama-sama pernah tinggal di sana: sempit.”

Ia meletakkan sebuah buku catatan di atas meja. “Dulu kau yang mengajariku menyusun argumen. Kau menasehatiku soal diksi, soal jeda. Kau lupa? Aku ingat. Kau baik pada masaku yang tumpul. Kenapa hari ini kau tak mau baik pada masamu sendiri?”

Rengganis di sudut ruangan menyeka air mata diam-diam. Ada yang utuh dari pertemuan dua sahabat yang membiarkan waktu mengaku apa adanya.

.

Menulis untuk Mengganti Racun dengan Cahaya

Keluar dari rumah sakit, Wiryasena mengajukan cuti. Ia berjalan kaki pagi-pagi menyusuri trotoar Sudirman yang baru dibersihkan, melihat gedung-gedung memantulkan matahari pertama. Ia membeli buku tulis bergaris, pena hitam biasa. Di halaman pertama, ia menulis: “Catatan orang yang ingin sembuh dari iri.”

Ia mulai menulis di blog—bukan yang mengejar viral, tapi yang mengejar lega. Postingan pertamanya berjudul: “Aku, Sahabatku, dan Cermin Retak”. Ia bercerita tentang bayangan—bagaimana bayangan sahabatnya menutupi matahari miliknya, padahal matahari tidak kehabisan sinar. Ia bercerita tentang lidah—bagaimana lidahnya berlari duluan sebelum hatinya sempat berpikir.

Tidak viral. Tidak ada media yang mengutip. Tapi satu demi satu komentar datang seperti lampu-lampu kecil menyala di balkon apartemen:
“Mas, saya seperti dibicarakan di sini.”
“Terima kasih sudah jujur. Saya juga sedang proses mengikhlaskan teman yang melaju lebih cepat.”
“Bolehkah saya bahas tulisan ini di kelompok belajar kami?”

Setiap kalimat itu seperti air yang disiram ke sekam. Sumbu-sumbu yang tadinya siap menyala perlahan basah. Wiryasena menulis lagi, tentang gaji yang pas-pasan, tentang malu saat bertemu teman lama, tentang dorongan untuk pamer hanya agar dianggap ada. Ia menulis tentang ibunya di kampung yang selalu menanyakan kabar dengan kalimat yang sama: “Mangan, Le?”—kalimat paling sederhana yang menaklukkan kalimat-kalimat rumit di kota.

Kematangan bukan soal seberapa cepat kau sampai, tapi seberapa jujur kau mengakui di mana kau berdiri.” tulisnya pada suatu pagi.

.

Jakarta yang Menguji, Jakarta yang Mengobati

Kota ini keras, itu benar. Tapi dalam kerasnya selalu terselip ruang-ruang kecil yang tak terlihat di peta: musala di belakang minimarket yang dinginnya pas; abang bubur yang selalu menyapa “Bang Sena!” meski nama itu tidak pernah diberitahukan; ojek online yang mau menunggu dengan sabar saat kau terlambat turun karena rebutan lift. Jakarta bisa menjadi kilang minyak bagi iri—mendidihkan, menguapkan—tapi juga bisa menjadi klinik untuk luka-luka kecil yang kita pikir tak berbahaya.

Wiryasena mulai membatasi linimasa. Ia berhenti membandingkan hari pertamanya dengan hari ke-1000 orang lain. Ia menata ulang ruangan, merakit rak buku—dan pelan-pelan, ia merakit kembali kesadarannya. Rengganis menyelipkan catatan kecil di dompetnya: “Yang pelan bukan berarti tertinggal. Ia hanya memilih melihat kiri dan kanan.

.

Ruang Rapat yang Tidak Lagi Menggema

Kembali ke kantor, Wiryasena mengajukan ide yang berbeda. Bukan yang menonjolkan diri, tapi yang menyusun ruang untuk yang lain. Ia mengusulkan program mentoring internal: karyawan baru dipasangkan dengan karyawan lama untuk proyek-proyek kecil. Ia mengajukan sesi “Belajar Bicara”—tempat semua orang berlatih mengungkapkan pendapat tanpa saling menyalak. Manajer awalnya ragu, tapi angka retensi karyawan yang turun menjadi argumen yang sulit dibantah.

Di sesi pertama, suaranya sempat gemetar. Lalu ia ingat panggung-panggung pidato masa SMA; ia ingat Jayeng yang dulu belajar jeda darinya. Ia tersenyum kecil pada kenangan itu, dan justru dari senyum itulah suaranya jadi stabil. Bukan karena ingin diakui, melainkan karena ingin tidak menyakiti.

.

Telepon Tengah Malam

Suatu malam, ponselnya bergetar. Nama Jayengrana muncul.

“Sena,” suara di seberang. “Aku butuh fasilitator sukarelawan untuk kelas soft-skill anak-anak penerima beasiswa. Bukan untuk panggung. Untuk ruang-ruang kecil. Kau mau?”

Wiryasena menatap Rengganis. Mereka bertukar pandang yang tidak butuh banyak kata. “Aku mau,” jawabnya.

Di ruangan kecil di Tanah Abang, ia bertemu anak-anak dengan mata yang menyala. Ia mengajarkan hal-hal yang dulu ia kira sepele: mendengar sampai selesai, menyusun kalimat tanpa menyudutkan, menahan diri sebelum nimbrung. Di akhir sesi, seorang anak mendekat, berkata, “Bang, aku dulu dibully karena gagap. Tadi aku bisa bicara dua menit.” Wiryasena menepuk bahu anak itu, dan sesuatu di dalam dirinya pulih—bukan karena ia menyelamatkan orang lain, melainkan karena ia tidak lagi merasa perlu menyelamatkan egonya.

.

Dua Tahun Sesudah Hujan Itu

Pagi di sebuah aula perpustakaan kota. Komunitas literasi mengundangnya berbagi pengalaman. Di belakangnya, layar menampilkan judul presentasi: “Bom Waktu di Dalam Diri: Catatan Orang yang Sempat Tersulut”. Wajah-wajah di hadapan—mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga—menatap tak berkedip.

“Dulu saya iri pada sahabat sendiri,” katanya. “Saya benci setiap pujian untuknya. Saya kira dunia seperti kue ulang tahun—kalau dia dapat potongan besar, potongan saya pasti mengecil. Ternyata, kue itu tidak tunggal. Banyak oven di luar sana. Masalahnya, saya memilih berdiri di depan oven yang sama tanpa menyalakan api.”

Tawa kecil, lalu hening yang khidmat.

Iri hati dan kata-kata buruk yang kita lontarkan adalah bom waktu. Kita tidak tahu kapan meledak. Saat meledak, bukan orang lain yang hancur. Kita sendiri.

Ia menceritakan ruang IGD, meja-meja rapat, kamar kos yang berbau buku, catatan di dompet, anak yang berhasil bicara dua menit. Ia mengutip catatan Rengganis: “Yang pelan bukan berarti tertinggal.” Ia menutup dengan kalimat yang akhirnya benar-benar ia mengerti: “Aku tidak perlu menjadi cahaya orang lain. Aku cukup menyalakan lampu kecilku, dan memastikan tidak memadamkan lampu siapa pun.

Tepuk tangan pecah—bukan riuh panggung, melainkan tepuk tangan yang mengalir seperti ucapan terima kasih. Di baris kedua, Jayengrana berdiri, menatapnya sambil mengangguk. Di samping Jayeng, Rengganis mengusap sudut mata.

.

Lonceng Kedewasaan

Sejak hari itu, tiap kali nama “Jayengrana” muncul di linimasa, Wiryasena tersenyum. “Dia luar biasa,” katanya pada Rengganis. “Aku bangga pernah tumbuh bersamanya.” Dan untuk pertama kalinya, kalimat itu tidak disertai getar racun. Yang ada hanya bunyi lonceng kecil yang jernih di dalam dada: tanda kedewasaan pulang ke rumah.

Malam-malam tertentu, mereka duduk di balkon kontrakan, memandang jalan kecil yang sepi. Jaket-jaket masih basah di gantungan, bunyi kereta jarak jauh sayup. Rengganis meletakkan kepala di bahu suaminya.

“Mas,” katanya, “kalau nanti ada hujan besar lagi, jangan lupa: kita punya payung. Bukan payung untuk menang di luar, tapi payung untuk damai di dalam.”

Wiryasena mencium puncak kepala Rengganis. “Terima kasih sudah menjadi rumah,” bisiknya.

Di ponsel, draf tulisan baru menunggu dituntaskan. Judulnya: “Cara Memadamkan Bom Waktu: Latih Lidah, Rawat Dada, Terima Diri.” Ia mengetik satu kalimat pembuka yang ingin ia tinggalkan untuk siapa pun yang pernah berdiri di bawah hujan seperti dirinya:

“Orang yang menyimpan iri hati adalah orang yang membakar dirinya sendiri, berharap orang lain merasa hangus. Padahal, yang tersisa cuma abu di telapak tangannya.”

.

Kota, Kita, dan Cahaya Kecil

Jakarta tetap keras, macet tetap macet. Musim banjir tak serta-merta berpindah alamat. Tapi di sela-sela kebisingan, selalu ada ruang kecil untuk berteduh: bangku kayu mushala yang hangat, tawa anak-anak penerima beasiswa, meja makan dengan lodeh kluwih yang aromanya mengarak pulang.

Dan di dada seorang lelaki yang dulu hampir meledakkan dirinya dengan bom waktu, kini ada nyala yang tenang. Bukan kembang api, bukan sorot panggung, tetapi cahaya lampu meja belajar—cukup untuk menulis, cukup untuk membaca, cukup untuk melihat wajah orang yang dicintai tanpa topeng.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang berdiri paling tinggi di panggung seremonial. Hidup adalah tentang siapa yang berani turun, mengambil sapu, dan membersihkan pecahan kaca yang diakibatkan mulutnya sendiri—lalu menata ulang ruangan, menata ulang hati, menata ulang cara menyebut nama orang lain tanpa mengebiri nama sendiri.

Dan malam itu, sebelum tidur, Wiryasena menulis satu kutipan terakhir untuk hari yang panjang:

Jangan menabur duri di jalan orang lain; bisa jadi besok kau meminjam kakinya untuk berjalan.

.

.

.

Jember, 30 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMotivasi #CerpenMenakJawa #CeritaReflektif #HealingBatin #BomWaktuDalamDiri  #JayengranaWirya

.

Quotes Tambahan (Relate dengan Pesan Cerpen)

  • “Iri tidak membuatmu lebih tinggi; ia hanya memendekkan pandanganmu.”

  • “Jika kalimatmu tidak menyembuhkan, setidaknya jangan menambah luka.”

  • “Kemenangan paling sunyi: berdamai dengan teman yang lebih cepat melaju.”

  • “Yang pelan bukan tertinggal; ia sedang belajar melihat kiri dan kanan.”

Leave a Reply