Bayang di Antara Percakapan

“Sering kali yang membuat kita hancur bukanlah bentakan, melainkan bisik-bisik yang membuat kita meragukan diri sendiri.”
“Jika cinta adalah ruang, maka kuasa tanpa kasih adalah kunci yang mengunci semua pintu dari dalam.”

.

Hujan tiba di Jakarta seperti biasa: mendadak, deras, dan membawa bau besi dari rel KRL yang memanjang seperti garis denyut kota. Mansur berdiri di peron Stasiun Sudirman, memeluk ransel yang sudah mulai butek warnanya. Di ujung jam kerja, orang-orang menyerbu gerbong, menjejalkan letihnya ke dalam ruang sempit—keringat, parfum, dan ambisi bercampur menjadi udara yang berat. Di ponselnya, muncul pesan dari Sultan: “Aku maafkan kamu.”

Tidak ada konteks. Tidak ada salam. Tidak ada apa pun yang bisa menjelaskan dari salah apa ia dimaafkan. Tapi pesan itu membuat perut Mansur mengerut seperti plastik terbakar. Kata-kata seperti itu selalu berhasil membalik posisinya—dari teman menjadi tertuduh, dari setara menjadi tersangka. Ia mengetik balasan, menghapusnya, mengetik lagi, lalu membiarkan kolom pesan tetap kosong. Di luar hujan membentuk tirai, di dalam kepalanya tumbuh kabut.

.

Sultan pertama kali ditemuinya di kafe rapuh di belakang kantor: bata ekspos, set meja kecil, barista yang meminjamkan telinga pada cerita-cerita orang kota. Sultan datang seperti tokoh utama dalam film hitam-putih; rapi, tenang, penuh titik koma pada setiap kalimatnya. Ia punya mulut yang fasih mengambil kepercayaan orang—bukan untuk dirawat, tetapi untuk disimpan sebagai kunci.

Di awal, Mansur kagum. Lelaki itu tampak seperti versi lebih dewasa dari dirinya: berani, rapi, dan selalu tahu cara duduk yang membuat orang lain berubah menjadi pendengar. Dalam lingkaran pertemanan mereka—Umar yang supir ojek online merangkap mahasiswa malam, Wara yang fotografer pernikahan, dan Ganis yang mengelola kedai kopi—Sultan jadi pusat orbit. Setiap minggu, mereka berkumpul di kafe Ganis di Rawamangun; obrolan tentang kerja, harga sewa kos yang naik seperti ombak, dan rencana-rencana kecil yang selalu menunggu gaji berikutnya.

Pada mulanya semua normal. Lalu, tak terasa, beberapa hal bergeser. Mansur sering pulang dengan rasa bersalah tanpa mengerti salahnya di mana. Seperti malam ketika ia bercerita tentang ibunya yang harus cuci darah dua kali seminggu di RSCM. Ia baru separuh cerita ketika suara Sultan memotong, pelan tapi tegas, “Aku maafkan kamu.”

“Maafkan apa?”

Sultan merapikan gelasnya. “Kamu terlalu sibuk dengan sedihmu sampai lupa proyek kita.”

Mansur menggulung napas. “Aku—aku nggak lupa. Aku cuma—”

“Lupa. Tapi tenang, aku maafkan.”
Kata itu mendarat seperti stempel besar di kertas rapuh. Percakapan selesai tanpa perlawanan, dan Mansur pulang membawa dosa yang tak punya nama.

.

Di kantor—sebuah agensi komunikasi yang menempati ruko tiga lantai di Kebon Sirih—Mansur menekuni pekerjaannya sebagai penulis naskah kampanye sosial. Ia suka merangkai kalimat yang menenangkan, menyalakan harapan kecil pada orang-orang yang terantuk realitas. Tapi belakangan ia merasa kehilangan cengkeramannya pada kata. Setiap kali ingin bercerita kepada Sultan tentang naskah barunya, lelaki itu mengulang kata-kata akhir Mansur sebagai pertanyaan.

“Aku mau bikin kampanye ‘Jangan Tutup Kuping pada Tetangga’,” ucap Mansur suatu malam.

Tutup kuping?

“Ya. Soal empati di rumah susun. Tentang ibu-ibu yang—”

Ibu-ibu?

Mansur, seperti disorot lampu wawancara, dipaksa mengulangi, memperjelas, membuka lipatan-lipatan batinnya. Setiap kata menjadi semacam pengakuan. Dan setiap pengakuan terasa seperti pemberian: data yang kelak bisa dipakai untuk menundukkannya. Ia tahu ini bukan kebetulan; Sultan pandai memancing keterusterangan seperti nelayan yang hafal arus.

Di lain hari, sebelum menyampaikan pendapat, Sultan selalu memulai dengan, “Kamu mungkin nggak setuju, tapi…” Kalimat itu lembut seperti kapas namun punya ujung jarum. Orang yang mendengar merasa sungkan menyanggah, merasa jahat bila membantah. Di rapat komunitas literasi yang mereka kelola, Mansur berusaha menawarkan konsep membaca jalanan—membuka lapak buku murah di trotoar pas malam minggu. Baru munculkan slide pertama, Sultan melirik jam tangannya. Sekilas. Lalu menghela napas tipis. Sekeliling mereka, waktu ikut meringkuk. Mansur tiba-tiba ingin menyelesaikan paparan lebih cepat, menyensor antusiasmenya sendiri.

“Kayaknya ini pernah kamu ngomong, ya?” sela Sultan saat sesi tanya jawab, “Kamu pernah bilang ke aku minggu lalu.”
Padahal tidak. Mansur tahu tidak. Tapi kalimat itu seperti serutan pada kayu, membuat gagasannya terasa tua, lusuh, dan tidak mendesak.

Malam-malam Mansur menulis tapi hatinya basah. Ia mengeja satu per satu trik yang menahan sayapnya.

“Ada cara berkuasa yang tidak memakai tangan; ia memakai kalimat.”

.

Ganis adalah satu-satunya yang berani menatap mata Mansur lebih lama dari ketakutannya. Perempuan itu mengikat rambutnya dengan karet gelang yang diambil dari gulungan selotip, memakai apron yang belel oleh kopi, dan tertawa ketika hujan menetes dari atap kedainya. Di dinding, foto-foto karya Wara menempel: pendar lampu pesta, tangan yang saling menggenggam, mata anak kecil yang bersinar seperti gelas kaca.

“Kamu lebih pendiam,” kata Ganis suatu malam. “Kalau ngomong, suaramu seperti orang yang mau ijin minta dimarahi.”

Mansur tertawa pendek. “Aku capek.”

“Capek apa? Capek jadi dirimu, atau capek jadi orang di mata dia?”

Pertanyaan itu patah di tengah tenggorokan Mansur. Ia tahu “dia” adalah Sultan. Ganis menyodorkan secangkir kopi tubruk yang aromanya tebal seperti selimut. “Orang yang bikin kamu sering minta maaf, padahal nggak ada yang perlu dimaafkan.”

Mansur menatap gelap cairan di cangkir. Di situ, wajahnya kecil dan kabur. “Kamu pikir aku… dikendalikan?”

“Pengaruh tidak selalu terlihat. Bisa jadi seperti angin yang menutup pintu pelan-pelan. Kamu masih bisa bernapas, tapi ruangan makin sempit.”

Mansur tak menjawab. Hujan menggaris di luar jendela. Di keningnya, ia merasakan denyut kecil yang lama-lama menjadi guntur.

.

Sultan bukan tanpa alasan. Di balik tutur kata yang licin, ia membawa luka sendiri yang disembunyikan di balik pria dewasa yang mengerti semua situasi. Ayahnya dulu meninggalkan rumah ketika ia masih SMA, ibunya berdagang nasi bebek di pinggir jalan di Bangkalan sebelum pindah ke Jakarta. Sultan muda belajar cepat bahwa bertahan hidup berarti memegang kendali atas percakapan. Ia mengamati, membalik, menutup lobang luka dengan cara mengendalikan luka orang lain.
Narasi tentang kuat ia hafal sampai di luar kepala. Setiap kali seseorang menolaknya, ia membalik keadaan. Ia pernah berkata pada Mansur di kafe, “Dalam hidup, kalau kamu nggak pegang setir, kamu cuma jadi penumpang yang pusing.”

Dan Mansur, yang tumbuh di keluarga yang menilai keheningan sebagai sopan santun, sering memilih duduk di kursi penumpang dengan pasrah—tanpa sadar bahwa lama-lama ia mabuk.

Di stasiun, di kantor, di luar ruang tunggu rumah sakit, Mansur menemukan dirinya sering mengulang-ulang kata-kata Sultan dalam hati. Aku maafkan kamu… Kamu mungkin nggak setuju, tapi… Ini pernah kamu bilang, kan? Kata-kata itu seperti musik latar yang mengiringi langkahnya, membuat setiap langkah terdengar salah.

.

Suatu sore, kabar buruk datang. Ibu Mansur pingsan di ruang hemodialisis. Umar menjemput Mansur dengan motor, menyibak kemacetan di Kramat Raya, pelan-pelan menyodok di antara angkot dan bus Transjakarta. Di RS, dokter berkata pelan: tekanan darah drop, perlu dirawat intensif. Mansur duduk di kursi biru yang dinginnya seperti menembus tulang. Di layar ponsel, pesan dari Sultan: “Aku maafkan kamu kalau kamu nggak bisa ikut rapat malam ini.”

Mansur menutup layar, menatap ibu yang tertidur dengan selang oksigen. Ganis datang membawa tas kecil berisi roti; Wara memotret dari jauh, menyimpan foto tanpa upload. Umar berdiri di lorong, seperti penjaga pintu yang tidak terlihat. Di sana Mansur mengerti: ia punya keluarga yang tidak memanipulasi; mereka menanyakan kabar tanpa memelintir, memeluk tanpa mengikat.

“Besok kamu cuti,” kata Ganis, “Aku jagain kedai. Wara sama Umar turuti apa pun yang kamu minta.”

“Terima kasih.”

“Jangan bilang ‘maaf’. Ini hidup, bukan presentasi.”

Malam itu, di ruang tunggu yang lampunya tak pernah padam, Mansur menulis di catatan ponsel:

“Di kota yang merayakan suara, kita perlu ruang untuk bertahan dari kalimat yang menyamar sebagai perhatian.”

.

Ketika ibu membaik beberapa hari kemudian, Mansur kembali ke kantor. Proyek besar menunggunya: kampanye anti-perundungan di tempat kerja. Bagian yang harus ia tulis sangat dekat dengan napasnya sendiri: “Kekerasan bisa berwajah halus: memaafkan tanpa salah, mengulang kata terakhir sebagai jerat, memulai pendapat dengan ancang-ancang agar orang sungkan, melirik jam untuk meremehkan, dan mencuri otoritas atas kisah orang.” Ia menyisipkan kalimat itu di draft, mencantumkan contoh visual dan adegan filmis yang ia tulis seperti memutar kembali hidupnya sendiri.

Sore itu, draft dipresentasikan ke klien. Sultan hadir sebagai konsultan komunitas. Di tengah Mansur menjelaskan storyboard, ia melihat gerak yang ia kenal: Sultan melirik jam. Sekilas. Lalu merapikan duduk.

“Ini menarik,” kata Sultan, “tapi kayaknya pernah diomongin Mansur juga beberapa waktu lalu ya? Jadi bukan hal baru.”

Suara Mansur seperti keluar dari sumur. “Tidak. Ini konsep baru.”

Sultan tersenyum tipis, ramah, tak bercelah. “Kamu mungkin nggak setuju, tapi publik jenuh kalau diulang-ulang.”

Kepala Mansur berdegup. Ada rasa ingin berteriak, tapi ia memilih menatap layar, menunjukkan satu per satu adegan yang belum pernah ada di paparan mana pun. Ia berkata pelan namun bulat: “Dan kalau ada yang mengulang itu biasanya karena yang pertama tidak didengar.”

Ruangan senyap. Klien yang tadinya condong ke arah Sultan menoleh pada Mansur. Lalu terjadilah sesuatu yang jarang. “Saya tertarik dengan angle ‘halus tapi menyakiti’,” kata perwakilan klien, “Kita sering menganggap perundungan itu bentakan, padahal bisa kalimat-kalimat tadi. Lanjutkan.”

Sultan merapikan kertasnya. Untuk pertama kali, gilirannya terlihat gelisah.

.

Malamnya, Sultan mengajak Mansur ke kafe yang dulu jadi markas. Hujan baru saja selesai, udara lembap memantulkan aroma tanah dan kopi. Sultan duduk, menyalakan rokok, menatap Mansur lama. “Aku maafkan kamu,” katanya.

Mansur tidak jatuh kali ini. “Untuk apa?”

“Untuk memalukan aku di depan klien.”

“Aku tidak memalukan siapa pun. Aku membela konsep.”

Sultan tertawa kecil. “Kamu sensitif.”

“Kamu suka mengendalikan,” balas Mansur. Ia menatap mata lelaki itu. “Kamu mengulang kata akhirku agar aku bicara lebih banyak, lalu kamu pegang semuanya. Kamu memulai pendapatmu dengan kamu mungkin nggak setuju supaya aku terlihat kasar kalau membantah. Kamu melirik jam supaya aku merasa remeh. Kamu bilang ‘ini pernah kamu cerita’ supaya aku ragu pada ingatanku sendiri. Dan paling sering, kamu memaafkan kesalahan yang tidak pernah aku lakukan.”

Sultan menurunkan rokok. Asapnya mengalun seperti benang. Untuk pertama kali ia menatap keluar jendela, seperti mencari bantuan dari lampu jalan. “Kamu tidak mengerti, Sur. Dunia ini keras. Orang yang tidak pegang kendali akan digilas.”

“Kalau kendali artinya membuat orang lain mengecil, itu bukan kendali. Itu ketakutan. Kamu takut jadi orang yang ditinggalkan.”

Kali ini Sultan menatap Mansur seperti melihat cermin yang memantulkan masa lalu. Ada retak kecil di matanya. Tapi retak tidak segera menjadi pecah; ia menahan. “Kamu berhutang banyak padaku. Aku memperkenalkanmu ke jaringan, ke pekerjaan, ke komunitas.”

“Terima kasih. Tapi itu bukan tiket untuk mengubahku jadi bayang-bayangmu.”

Mereka berdiam. Musik akustik yang tipis jadi terasa nyaring. Di luar, mobil berseliweran seperti sepatu roda di aspal basah. Ganis berdiri di belakang bar, memperhatikan dari jauh seperti ibu yang waspada pada anak yang baru belajar berkata tidak.

Sultan akhirnya bangkit. “Baiklah. Anggap selesai. Aku maafkan kamu.”
Kali ini Mansur hanya tersenyum. “Aku tidak memerlukan maafmu.”

.

Proyek kampanye itu meletik di media sosial. Video satu menit yang menampilkan adegan kantor: seseorang memaafkan kolega yang “mengganggu waktu” padahal sedang berbagi duka; seseorang mengulang kata akhir kolega sebagai pertanyaan jebakan; seseorang yang setiap kali orang lain bicara, melirik jam. Narasi penutup berbunyi: “Kekuasaan yang menghaluskan cengkeramannya tetaplah cengkeraman. Mari memilih kata yang memerdekakan.”

Video itu ditonton jutaan kali. Banyak orang menandai rekannya, pasang caption, berbagi kisah yang selama ini disimpan. Mansur membaca komentar-komentar sampai larut—betapa banyak manusia yang pernah merasa ditundukkan oleh kalimat yang tampak sopan. Ia sadar: lukanya bukan miliknya seorang. Dan karena itu, sembuhnya pun tak harus sendirian.

Di tengah badai unggahan, Sultan menghilang beberapa hari. Di grup, ia sepi. Ganis bilang ia melihat Sultan duduk sendiri di bangku taman Menteng suatu malam, menatap anak-anak yang bermain sepeda. Mansur tidak mencarinya. Ia memilih mengantar ibu kontrol, membantu Umar mengantarkan paket, menjadi kru Wara saat memotret keluarga di Tebet. Ia memastikan tubuhnya sibuk oleh hal-hal yang membuatnya hidup.

.

Suatu pagi, telepon datang dari penyiar radio—program diskusi malam yang biasa didengarkan sopir taksi dan mahasiswa yang mengebut menyelesaikan tugas. Mereka mengundang Mansur membahas kampanye anti-perundungan halus. Tamu satunya: Sultan, sebagai aktivis komunitas. Mansur menatap jadwal, hatinya berdegup. Ia bertanya pada dirinya sendiri: siapkah ia duduk di ruangan kecil, berbagi mikrofon, menghadapi kalimat-kalimat yang selama ini jadi jerat?

Ganis menepuk bahunya. “Kalau kamu mau berhenti gemetar, berdirilah di tempat yang dulu membuatmu gemetar. Lalu bicara dengan suaramu sendiri.”

Malam itu, di studio radio yang dingin AC-nya, Mansur duduk berhadapan dengan Sultan. Lampu merah menyala, tanda siaran. Penyiar membuka obrolan dengan riang. Sultan bicara lebih dulu: runtut, poin demi poin, penuh istilah. Mansur mendengarkan, jari-jarinya basah oleh keringat. Lalu gilirannya tiba.

“Menurut saya,” kata Mansur, menjaga napas, “Kekerasan tidak selalu berwajah keras. Ada yang datang sebagai permen, tapi di dalamnya ada jarum. Kita tidak menyadarinya karena dibungkus perhatian.”

“Contoh?” tanya penyiar.

“Memaafkan orang tanpa ada kesalahan membuatnya memikul dosa yang sebenarnya tak ada. Mengulang kata terakhir orang sebagai pertanyaan membuatnya membuka diri tanpa sadar. Memulai opini dengan kamu mungkin nggak setuju memaksa orang mengalah sebelum debat dimulai. Melirik jam menurunkan harga diri lawan bicara. Dan mengatakan ini pernah kamu cerita ketika belum—itu mengaburkan ingatan, membuat orang ragu pada dirinya sendiri.”

Studio hening. Sultan menghela napas, lalu tersenyum miring. “Kamu mungkin nggak setuju, tapi itu hanya sensitivitas berlebihan.”

Mansur menatap lampu merah mic. Ia mengangkat dagu sedikit. “Saya setuju bahwa kadang kita terlalu sensitif. Tapi kalau ribuan orang merasakannya, mungkin itu bukan sensitif—mungkin itu realitas yang lama kita toleransi.”

Penyiar memotong dengan antusias, membuka telepon pendengar. Satu demi satu suara masuk: karyawan pabrik yang sering “dimaafkan” oleh atasannya; guru honorer yang idenya terasa remeh karena lawan bicara berkali-kali melihat jam; mahasiswa yang kehilangan percaya diri karena dibilang “pernah cerita” tentang sesuatu yang baru pertama kali ia berani suarakan. Suara-suara itu menumpuk menjadi koral.

Sultan diam lama. Ketika ia bicara lagi, nadanya berubah. “Aku dulu… belajar bertahan dengan cara begitu,” ucapnya, kali ini tanpa retorika. “Ayahku pergi. Ibuku bilang, jangan biarkan orang menginjak. Aku kira cara yang benar adalah lebih cepat, lebih dulu, lebih pandai memutar. Aku kira itu menyelamatkan. Mungkin… aku lupa bertanya siapa yang tersakiti sepanjang jalan.”

Mansur menelan ludah. “Kita semua sedang belajar.”

Siaran ditutup dengan musik lawas yang hangat. Setelah lampu merah padam, Sultan menatap Mansur tanpa tersenyum. “Terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Untuk tidak memalukan aku. Untuk tidak membalas dengan senjata yang sama.”

Mansur mengangguk. “Kebaikan bukan berarti lemah.”

Sultan mengulurkan tangan. Mansur menyambut—bukan sebagai penyerahan, melainkan sebagai persetujuan bahwa perang mereka boleh berhenti di sini.

.

Beberapa bulan berlalu. Kampanye berkembang menjadi lokakarya di kantor-kantor, komunitas, bahkan sekolah. Ganis menambah kursi di kedainya karena para peserta sering nongkrong setelah kelas. Wara membuka pameran foto “Tatap Tanpa Jarum”, menampilkan wajah-wajah yang berani berkata tidak pada kalimat yang membatasi. Umar menjadi koordinator logistik acara, ketawa lebar setiap berhasil menjejalkan tiga speaker dan satu banner ke bagasi mobil kecilnya.

Sultan? Ia datang pada beberapa sesi—kadang duduk di belakang, kadang mengisi sebagai pembicara yang memaparkan cara-cara berkomunikasi tanpa memperkecil orang lain. Ia menulis di papan:

  1. Bicara atas nama diri sendiri, bukan atas nama kebenaran absolut.

  2. Ajukan pertanyaan untuk memahami, bukan menjebak.

  3. Periksa waktu—bukan untuk meremehkan, melainkan untuk memastikan ruang cukup bagi semua yang ingin bicara.

  4. Jangan mencuri otoritas pengalaman orang dengan mengatakan pernah jika belum.

  5. Jika ingin memaafkan, pastikan ada pengakuan salah; kalau tidak, yang dibutuhkan adalah mendengar, bukan mengadili.

Ia menutup dengan kalimat yang, dulu, mungkin tak pernah sanggup ia ucapkan: “Kalimat yang baik bukan yang menang, tetapi yang menyembuhkan.”

Di sebuah sore yang keemasan, sehabis lokakarya di aula kelurahan, Mansur, Sultan, Ganis, Wara, dan Umar duduk di tepi kali yang airnya memantulkan matahari seperti pecahan kaca. Mereka makan tahu gejrot dan tertawa pada hal-hal sepele: suara toa masjid yang kadang sumbang, abang bakso yang selalu muncul ketika dompet menipis, dan kebahagiaan kecil saat hujan turun tepat ketika kerjaan selesai.

Mansur mengamati wajah teman-temannya. Mereka tak sempurna, tapi tulus. Ia menyadari sesuatu: selama ini ia takut kehilangan teman, sampai lupa kehilangan dirinya sendiri jauh lebih berbahaya. Kini ia tak lagi takut. Ia punya suara yang cukup untuk dirinyanya sendiri, dan—anehnya—ketika ia tak lagi takut, persahabatan itu justru menjadi lebih kuat.

Malam turun. Lampu-lampu kota menyala seperti titik-titik doa. Hawa sungai membawa dingin yang tajam tapi menyenangkan. Mansur menulis di catatan ponsel, kalimat penutup untuk dirinya:

“Kita tidak bisa memilih semua kata yang datang pada kita, tapi kita bisa memilih pintu mana yang tetap terbuka. Ada kata yang masuk sebagai tamu, ada yang perlu kita antarkan pulang.”

.

Di rumah kontrakan kecilnya di Matraman, ia merapikan meja. Foto ibu setelah keluar dari RS terpasang di dinding, senyumnya setipis garis horizon. Ada dua cangkir: satu untuk dirinya, satu untuk siapa pun yang datang membawa cerita tanpa paksaan. Di halaman, bunga kertas yang dulu kering kembali tumbuh—entah karena hujan, entah karena pemilik rumah mulai telaten menyirami.

Sebuah pesan masuk di ponsel. Dari Sultan. Hanya tiga kata: “Aku dengarkan kamu.”
Tidak ada titik. Tidak ada kunci. Tak ada jerat. Mansur tersenyum. Ada kata yang, bila diucapkan dengan benar, bisa menjadi pintu ke ruang yang lebih lega.

Ia membalas: “Terima kasih. Mari jaga ruang ini.”

Dan kota, yang tak pernah sepenuhnya tidur, malam itu terasa sedikit lebih lembut.

.

.

.

Jember, 23 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompas #SastraIndonesia #ManipulasiHalus #PsikologiPercakapan #CeritaKota #KomunikasiSehat #Emosional #JeffreyWibisonoStyle

.

Kutipan-Kutipan:

  • “Ada cara berkuasa yang tidak memakai tangan; ia memakai kalimat.”

  • “Kebaikan bukan berarti kalah; kebaikan hanya tidak butuh penonton.”

  • “Kita tidak selalu bisa memilih siapa yang berbicara pada kita, tapi kita selalu bisa memilih kalimat mana yang kita izinkan menetap.”

  • “Kalimat yang baik bukan yang menang, tetapi yang menyembuhkan.”

Leave a Reply