Di Atas Meja Boardroom

“Keputusan yang hebat tidak lahir dari siapa yang paling keras suara dan tajam argumen, tapi dari siapa yang paling bijak menjaga rasa dan kerendahan hati.”

“Kepercayaan itu seperti kaca: bila retak, bisa direkatkan, tetapi retaknya tetap memantul di setiap cahaya.”

“Ambisi menyalakan obor; rendah hati menjaga agar apinya tidak membakar rumah.”

.

Pukul 07.59 — Lantai 19, SCBD

Langit Jakarta belum sempurna biru. Kabut tipis menggantung di sela-sela gedung kaca yang memantulkan pagi seperti serpihan cermin. Lift berhenti dengan denting pelan. Dari lorong berkarpet abu, pintu ruang rapat terbuka ke dunia yang mengilap: panel kayu coklat tua, lampu downlight yang tenang, dan sebuah meja mahoni panjang yang seolah memanjang melewati waktu. Di sinilah strategi bernilai ratusan miliar dipertaruhkan dalam jam-jam yang ringkas; di sinilah bukan hanya memo, melainkan nasib manusia ditulis ulang.

Agung—Presiden Direktur PT Sinergi Karya Nusantara—sudah duduk di sisi utara meja. Bahunya lebar, punggungnya tegak, wajahnya menyimpan pengetahuan badai. Agung seperti gunung; tak lekas bicara, tetapi semua orang tahu anginnya mengitari puncak pikirannya.

Kursi-kursi lain terisi. Retna—Direktur Keuangan—mengambil tempat dengan keanggunan dingin; bola matanya menghitung bahkan sebelum angka dibuka. Madi—Direktur Operasional—meletakkan map yang terisi laporan gudang, vendor, rute distribusi; aroma kopi tubruk menempel di napasnya. Ninggar—Corporate Secretary—menyiapkan risalah, kabel perekam, dan pena yang selalu dua: satu untuk mencatat kalimat, satu lagi untuk mencatat jeda.

Dan Jaya datang. Selalu tepat waktu. Jasnya paling pas, tetapi bukan itu yang membuat ruangan beringsut memperhatikannya—melainkan cara langkahnya menolak ragu. Ada nyaris-kesombongan di sorot matanya; ada lengan yang tak pernah belajar meminta tolong.

Hari ini Jaya akan mempresentasikan akuisisi sebuah platform digital—target terbesar yang pernah dijajaki perusahaan. Keputusan yang bisa membuat perseroan melesat melampaui kurva, atau terjerembap di jurang yang dilapisi data-data yang terlihat manis.

.

08.05 — Presentasi Dimulai

“Selamat pagi,” suara Jaya formal, datar—seperti pisau baru dari pabrik. Slide pertama: logo startup e-commerce yang kini jadi incaran.
“Enam minggu. Tim kami membedah tren pasar, valuasi, risiko, potensi sinergi. Bapak-Ibu, momentum ini tak datang dua kali.”

Slide mengalir seperti arus Ciliwung selepas hujan: deras, membawa angka-angka yang berkilap. Grafik menanjak, proyeksi pengguna, burn rate menurun, simulasi kas masuk. Kata-kata Jaya runcing; di ujungnya, ruang bantah seperti disapu bersih.

Retna mengangkat alis saat bagan EBITDA disorot. Madi merapatkan tangan ketika skema integrasi logistik muncul: pergantian middleware, standarisasi SLA, cutover dua tahap.

“Jaya,” Madi akhirnya bersuara, suaranya seperti jalan aspal tua yang menyimpan retakan. “Waktu onboarding tim operasional dan dampaknya ke distribusi sudah dihitung? Driver kita, gudang, SLA dengan retailer tier dua—”

Jaya tersenyum tipis. “Semua selama SOP konsisten, transisi bukan isu besar.”
Senyum itu mengiris. Ada ejekan yang disembunyikan rapih dari etika ruang direksi.

Retna menyusul, suaranya dingin bagai kaca meja. “Proyeksi kas ini terlalu optimistis. Startup ini masih negatif di EBITDA. Cadangan impairment-nya?”

“Biasa untuk tech. Kita bicara masa depan, bukan masa lalu,” Jaya menatap lurus. “Terlalu lama menahan langkah adalah cara paling anggun untuk ketinggalan.”

Agung mengetuk meja pelan—sekali, dua kali. Metronom tak terlihat dari pemimpin orkestra yang menahan simfoni agar tidak pecah menjadi perang solo.

.

08.50 — Gesekan yang Mengakar

Rapat tidak lagi hangat. Presentasi berjalan, tapi kalimat-kalimat Jaya kehilangan tempat untuk mendarat. Bahkan Ninggar—yang tugasnya hanyalah mencatat—bisa merasakan oksigen menipis. Ada kata-kata yang terdengar benar tetapi terasa menyakitkan.

Beberapa hari terakhir, grup-grup kecil di luar rapat memantulkan satu nama yang sama. Bukan karena prestasi, tetapi karena cara memandang orang lain dari ketinggian. Di lorong pantry, di lift, di chat yang diberi nama bercanda:

“Orang licik akan dendam.”
“Orang kuat akan melawan.”
“Orang pintar akan melumpuhkan.”
“Orang lemah akan mengadu domba.”

Di ruang direksi, kekuatan-kekuatan itu berumah di dada yang berbeda.

Rapat ditutup tanpa keputusan. Agung menyimpan palu yang tak berbunyi. “Kita lanjut besok, dengan skenario integrasi yang diperdalam,” katanya singkat.

.

09.20 — Panggilan Pribadi

Agung memanggil Jaya ke ruangannya. Tidak megah, tetapi menenangkan: lukisan pegunungan, rak pendek berisi buku strategi dan biografi, dan selembar kertas berbingkai—kalimat yang ditulis tangan: “Menang itu bukan ketika lawan kalah, tetapi ketika semua pulang membawa harga diri.”

Agung menyilangkan tangan. “Aku menghargai ketajamanmu,” suaranya rendah. “Tapi ketajaman tanpa empati adalah silet di keramaian.”

Jaya menahan napas.

“Kau benar di banyak titik. Namun caramu memegang kebenaran seperti orang memegang pisau di pawai. Semua orang waspada, tak ada yang mendekat. Di ruang BOD, kita tidak lomba cerdas. Kita mengelola rasa percaya.”

Kalimat itu memantul ke dinding, jatuh ke lantai, lalu berdiri lagi.

Jaya tak menjawab. Ada sesuatu dari masa kecilnya yang tiba-tiba hadir: sapaan ibu di bangku kayu, bau asin angin sepulang sekolah dari pesisir; Madura dalam kenangan yang menubruk jendela kaca SCBD. Ayahnya pernah berkata, “Benar itu penting, Nak. Tapi kebenaran yang melukai akan kehilangan masa depan.”

.

Malam Itu — Kota, Lampu, dan Bayangan

Jakarta malam menyalakan neon. Di dalam mobil yang diam di parkiran, Jaya memutar rekaman rapat. Ia mendengar suaranya sendiri—nada tinggi seperti pedal gas yang macet. Ia mendengar tarikan napas Retna, batuk kecil Madi, denting pena Ninggar. Ia mendengar jeda-jeda yang tak diberi kesempatan tumbuh.

Ia pulang ke apartemen yang menghadap Bundaran HI. Teleponnya berdering—Maya, Head of People dari startup yang hendak diakuisisi, perempuan yang pernah Jaya kenal lama, dulu sama-sama magang. “Bagaimana rapat?” tanya Maya.

“Panjang,” jawab Jaya.

“Rendah hati, Jaya,” kata Maya, suaranya mengingatkan pada sore-sore menunggu TransJakarta ketika hujan turun serong. “Di perusahaan kami, anak-anak itu jago, tapi rapuh. Kalau kau datang sebagai badai, mereka tiarap. Kalau kau datang sebagai angin, mereka membuka jendela.”

Panggilan berakhir, tetapi kata-katanya tinggal.

.

Esok Pagi — Lift yang Sama, Langkah yang Berubah

Pukul 07.12, Jaya datang lebih awal. Ia berdiri di depan kaca lift, memandangi pantulan dirinya. Ia melihat bukan jas termahal atau dasi paling rapi, melainkan seseorang yang sedang siap belajar meminta maaf.

Ruang rapat terisi lagi. Agung duduk di tempat yang sama. Retna dengan folder yang sama. Madi dengan kopi yang sama. Ninggar dengan senyum yang sama—sebelah saja.

Jaya berdiri tanpa slide. “Sebelum bicara angka,” katanya, “izinkan saya bicara sebagai rekan. Saya minta maaf. Saya terlalu keras. Saya lupa bahwa ide tidak akan hidup kalau orang-orangnya mati rasa.”

Hening. Hening yang bukan penolakan, melainkan ruang dibuka dari dalam.

“Proposal ini masih saya yakini,” lanjutnya. “Tapi saya tidak minta Anda percaya pada saya. Saya minta kita merakitnya bersama.”

Retna menurunkan bahu. “Kalau begitu, mulai dari kas. Tunjukkan skenario konservatif.”
Madi mengangguk. “Dan rencana onboarding—dengan waktu realistis, bukan harapan.”
Agung tidak menambahkan apa-apa—tetapi metronom di ujung meja berhenti mengetuk.

.

Diskusi yang Lahir dari Rasa

Papan tulis berdiri. Angka-angka dihapus, ditulis ulang. Timeline integrasi dibelah: fase stabilize, fase standardize, fase scale. Runbook darurat dibuat: jika payment gateway macet, siapa bertanggung jawab; jika kurir gagal memenuhi SLA, buffer-nya bagaimana; jika customer service dibanjiri tiket, shift tambahan dari unit mana.

“Jangan lupakan manusia,” Madi berkata, suaranya lembut. “Kita sering menyusun peta tanpa mengukur napas orang yang berjalan.”

“Setuju,” Jaya menanggapi. “Town hall dulu, sebelum cutover. Biar rumor kalah oleh informasi.”

“Dan kas,” Retna mengetuk kalkulator. “Kita siapkan cash buffer tiga bulan. Jika GMV tidak menyentuh target, trigger efisiensi sudah jelas.”

Ninggar menulis cepat. Jemarinya gemetar sebentar—ingatannya berenang ke ibunya yang tadi subuh menelpon dari rumah: ‘Nduk, ibu ke dokter ya, tekanan darah ibu naik lagi’. Ia menepis cemas itu dan menuliskan: “Keputusan adalah alat. Kepercayaan adalah bahan bakarnya.”

.

11.40 — Kebocoran

Seorang staf mengetuk pintu. “Maaf, isu mengalir di media. Ada akun anonim menulis tentang rencana akuisisi kita. Saham bergerak.”

Seketika ruangan serasa memendek. Agung menutup mata sepersekian detik. “War room sekarang.”

Di layar, mentions berloncatan. Cuitan, story Instagram, portal berita kecil menyambar; narasi liar selalu lebih cepat dari siaran pers. Di sana-sini, komentar seperti batu kecil yang dilempar dari gelap.

“Siapa sumbernya?” tanya Retna, wajahnya kini bukan dingin, tetapi waspada.

“Bisa dari vendor, bisa dari tim kita,” Jaya menjawab. Ia menoleh pada Ninggar. “Siapkan holding statement: perusahaan terus mengeksplorasi berbagai opsi strategis, belum ada keputusan final, fokus pada keberlanjutan bisnis, bla-bla, tapi manusiawi.”

“Naikkan social listening tiga kali lipat,” ujar Madi. “Siapkan respons tiket pelanggan.”

Agung menatap Jaya. “Ini jam ujianmu. Jangan biarkan ambisi mengunyah kesabaran.”

Jaya mengangguk. Ada debar yang sama seperti waktu kecil menunggu nama dipanggil dalam lomba pidato Kecamatan. Tetapi kini ia tidak sendirian; ia merasa punggungnya disentuh punggung-punggung lain.

.

Sore — Siaran Pers yang Tidak Gagap

Siaran pers tayang pada pukul 15.05. Kalimatnya ditulis dengan hati-hati, tidak mengajari, tidak juga memelas. “Perusahaan berkomitmen pada kesejahteraan karyawan dan pengalaman pelanggan. Transformasi digital kami adalah perjalanan bersama.”

Komentar publik tidak serta-merta berubah ramah, tetapi arah diskusi bergeser. Saat malam jatuh, volatilitas mereda.

Jaya menutup laptopnya. Di bawah sana, jalan semrawut menyala. Ia mengetik pesan untuk Maya: “Kami akan datang sebagai angin.”
Balasan muncul: “Dan kami akan membuka jendela.”

.

Tiga Hari kemudian — Rapat Keputusan

Ruang yang sama, meja yang sama, tetapi udara berbeda. Ada rasa seolah ruangan ini baru disapu doa.

Jaya mempresentasikan ulang—kini bukan seorang dirigen yang memaksa tempo, melainkan pemandu pendakian yang menunjukkan jalur-jalur, rest area, dan jurang yang tak perlu didekati.

“EBITDA negatif kami normalize dalam horizon delapan belas bulan,” papar Jaya. “Kas: skenario pesimistis, moderat, optimistis. Covenant bank dijaga di indikator X, working capital dijamin dengan fasilitas Y.”

Madi menambahkan, “Onboarding: shadow run dua minggu, blue-green deployment untuk modul pembayaran, rollback jelas. Pelatihan driver dan warehouse picker dimulai H-30. KPI tidak hanya throughput, juga indeks kelelahan.”

Retna mengangguk. “Buffer kas aman. Trigger efisiensi pun jelas. Saya sign di skenario moderat.”

Agung menatap satu demi satu. “Kita putuskan,” katanya. “Akuisisi disetujui, dengan pengawalan struktur yang sudah kita sepakati. Kita merangkul, bukan menelan.”

Ketukan metronom itu kembali—sekali, sebagai tanda: bukan berakhir, melainkan dimulai.

.

Epilog Sementara — Yang Retak dan Yang Disatukan

Minggu-minggu berikutnya, perubahan terasa bukan dari poster di koridor, melainkan dari cara orang memanggil nama. Jaya tetap tajam, tetapi kini tajamnya untuk membelah masalah, bukan membelah orang. Retna tetap hemat bicara, tetapi satu kali ia tertangkap kamera tersenyum di town hall. Madi masih berangkat subuh, tetapi kini pulang lebih pelan. Ninggar menulis risalah dengan baris tambahan di akhir: “Diskusi hari ini tidak menghilangkan perbedaan, tetapi memberi mereka kursi.”

Di kantor startup, Maya mempertemukan tribe produk dengan squad operasional grup. Mereka berdebat tentang latency, bertengkar soal UI copy. Di tengah kelelahan, mereka menutup laptop, duduk di lantai, memesan mi ayam depan kantor. Tertawa karena kata “rollback” bisa juga berarti “mundur pelan, jangan mundur nyelonong.”

Pada suatu sore, di rooftop gedung yang menatap Senayan, Jaya berdiri di samping Agung. Angin membawa bunyi jauh: sirene, klakson, azan yang tertelan gemuruh.

“Dulu aku kira aku harus memenangkan semua perdebatan,” kata Jaya pelan.

“Pohon yang terlalu sibuk mengejar langit lupa menyapa akar,” sahut Agung.

Jaya mengangguk. “Aku selalu suka nama panggilan yang kauberi padaku, Gun.”

Agung melirik. “Nama apa?”

“Jaya,” jawabnya tersenyum, “yang semestinya berarti menang, tapi aku baru tahu arti lain—jalan yang ya: jalan yang benar, bukan jalan yang paling cepat.”

Agung tertawa kecil. “Nama juga doa yang memanjat lewat lidah.”

Jaya diam sebentar. “Aku lahir dari kampung nelayan di ujung Madura. Angin di sana tak bisa diperintah. Kau hanya bisa belajar membaca arah.”

“Kau membacanya hari ini.”

Di bawah sana, lampu-lampu menutup buku hari. Mereka berdiri lama, tidak sebagai atasan dan bawahannya, melainkan dua manusia yang sedang belajar mengukur jarak antara ambisi dan rendah hati.

.

Retakan yang Tersisa—Dan Cara Ia Menyala

Tidak ada cerita transformasi tanpa kebalikan yang mengintai. Beberapa bulan kemudian, penyelidikan internal menemukan kebocoran informasi memang terjadi dari tim kecil yang takut tersingkir. Seseorang—Sora, seorang analis pemasaran—mengaku mengirimkan bocoran ke akun anonim.

“Aku takut kalah masa depan,” suaranya pecah.

Jaya menatapnya lama. Ia mengenali tatap mata yang dulu pernah ia miliki: menolak ragu, menolak rapuh.

“Kau salah,” kata Jaya datar. “Tapi salah bukan vonis seumur hidup.”
Tim HR menyusun sanksi: skors, konseling. Sora menunduk—terisak.
Jaya menambahkan, “Datang ke town hall berikut. Duduk paling depan. Dengarkan. Dan kalau masih merasa takut, bilang di panggung. Kita tidak sedang membutakan takut—kita sedang menyalakan lampu.”

Sore itu, di papan kantor, Maya menempelkan selembar kertas bertitel: Panduan Berdebat Tanpa Saling Menyakiti. Poin pertama: Hadir dengan niat ingin memahami, bukan ingin menang.

Di Atas Meja yang Sama

Sebuah meja tidak pernah salah. Ia hanya menampung yang kita bawa. Pada suatu rapat yang lain, di ruangan yang sama, Jaya menatap kilau mahoni yang memantulkan wajah-wajah mereka. Ia teringat empat kalimat yang dulu berkeliaran seperti rumor:

“Orang licik akan dendam.
Orang kuat akan melawan.
Orang pintar akan melumpuhkan.
Orang lemah akan mengadu domba.”

Ia menambahkan dalam hati: “Orang yang rendah hati akan menyatukan.”

Ninggar menutup risalah hari itu dengan satu kalimat, tanpa sadar bibirnya bergetar:
“Ruang board bukan tentang siapa paling tinggi, melainkan siapa paling sanggup merendah tanpa kehilangan harga diri.”

Di luar, Jakarta kembali padat. Orang-orang mengejar sesuatu yang mungkin tidak punya nama. Tetapi di lantai 19, mereka menamai ulang ambisi agar tidak jadi bencana.

Dan pada malam itu, sebelum lift menutup, Agung menepuk pundak Jaya. “Jangan lupa: semakin tinggi, semakin pelan menunduk,” katanya.

Jaya mengangguk.
Sebelum pintu benar-benar rapat, ia berbisik pada dirinya sendiri:

“Makin tinggi pohon tumbuh, makin lembut angin harus dipahami—bukan badai yang merobohkan, melainkan kesombongan yang membusukkan dari dalam.”

.

.

.

Jember, 15 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #Kepemimpinan #RendahHati #Kepercayaan #BudayaKorporat #Jakarta #Boardroom #CeritaKantor #EmotionalWriting

 

Leave a Reply