Antara Ketakutan dan Takdir

“Ketakutan itu seperti asap yang tak terlihat—ia masuk dari celah terkecil dan membuat kita lupa di mana jendela untuk bernapas.”
“Takdir tak mengetuk; ia menunggu di ujung langkah pertama.”
“Jika takut dan takdir sama-sama tak terlihat, pilihlah yang membuatmu bertumbuh.”

“Ketakutan dan takdir, sama-sama tak terlihat. Tapi di antara keduanya, hanya satu yang bisa kita pilih untuk dipercaya.” — Serasa

.

Serasa duduk di balkon kamar hotel lantai 21. Jakarta tampak kecil dari atas sini, seperti puzzle lampu-lampu yang merapat di bawah kabut polusi. Namun tidak dengan kegundahan di dadanya. Sebagai Public Relations Manager di hotel bintang lima yang sering masuk daftar “Best City Business Hotel,” wajahnya dikenal di banyak media. Ia bisa mengatur nada bicara untuk radio, sudut kamera untuk televisi, dan diksi yang aman bagi pers. Tapi malam ini, tidak ada senyum PR yang bisa menyelamatkannya dari ketakutan paling sunyi—ketakutan yang bahkan tak pantas disebutkan dalam press release mana pun.

Di meja kecil, ada dua amplop. Satunya putih, berpita tipis, berisi surat pengunduran diri yang sudah ia tulis, diganti, dihapus, ditulis lagi, lalu ditandatangani tiga malam lalu. Satunya cokelat dari HRD pusat—berisi surat promosi. Direktur Komunikasi Regional Asia Tenggara. Jabatan yang, jika dilihat dari jarak aman, seperti bintang: sangat terang dan sangat jauh. Hatinya serasa diikat pita yang terlalu kencang.

Angin membawa dengung kota. Sirene, klakson, dan sisa hujan di parapet balkon. Ia menutup mata, mengatur napas. Wajahnya yang biasa terlihat tegar di layar kaca—lipstik coral, eyeliner tipis, blus krem—kini pucat oleh malam. Ia mengangkat ponsel. Jam menunjukkan 01.17. Pada jam-jam begini, ia biasa menyusun FAQ untuk media, memeriksa angle, menanyakan konfirmasi ke kitchen soal food traceability. Tapi malam ini, dunia PR berhenti tepat di garis bibirnya. Yang tersisa hanya seorang perempuan bernama Serasa Anggun Prameswari, usia tiga puluh tiga, anak tunggal ibu penjahit kebaya di Bantul yang merantau ke Jakarta demi mimpi yang ia jahit sendiri.

.

Pagi itu, ia turun ke lobi. Marmer memantulkan langkahnya. Aroma kopi arabika mengambang, dicampur bau karpet baru dan sedikit wangi diffuser citrus. Ia berhenti sejenak di depan kaca—sekadar memastikan riasan memantulkan ketenangan. Di belakangnya, tampak siluet seorang laki-laki: Umar Maya, Direktur Operasional, kolega yang dulu teman seperjuangan saat mereka sama-sama staff; kini sering jadi oposisi sunyi. Orang menyebutnya tajam, rapi, piawai. Serasa menyebutnya: pedang tanpa sarung.

“Ser,” sapa Umar, menahan pintu lift. “Sudah terima kabar dari pusat?”

Serasa mengangguk dengan senyum secukupnya. “Sudah.”

“Selamat duluan, kalau begitu.” Umar menatap matanya sejenak—tatapan yang sulit disimpulkan antara tulus dan ingin tahu. “Atau… belum tentu kabar itu kamu anggap kabar baik?”

Lift menutup, memantulkan wajah mereka seperti poster film. Sementara angka-angka lantai menyala naik, terasa jantungnya ikut tercatat dalam panel: 7—9—14—18—21. Saat pintu terbuka, Umar menahan sejenak.

“Kamu selalu terlihat siap, Ser,” katanya. “Tetapi siap untuk pergi dan siap untuk tinggal adalah dua hal yang berbeda.”

Serasa mengangkat alis. “Aku akan siap untuk yang benar.”

Umar tersenyum samar. “Yang benar bagi siapa?”

Lift menutup. Diam. Satu kalimat Umar itu menempel seperti stiker pada kaca bening—tak kasat mata, tapi lengket.

.

Pukul sebelas siang, rapat krisis. Ada video viral: seorang influencer mengeluh di platform X tentang sarapan dingin dan antrean panjang di restoran. Videonya dibumbui potongan-potongan ekspresif, disorot dramatis, diiringi musik muram. Tagar #SarapanSedih mencuat. Akun berita cepat menyambar, menempelkan label: “Hotel Bintang Lima, Rasa Kaki Lima?”

Dalam ruang rapat, layar menampilkan data: sentimen, impresi, akun-akun yang menyebarkan. Jayeng—Manager Digital yang lincah dan lugas—membentangkan grafik. “Naik dua ratus persen dalam dua jam, Mbak. Komentar paling banyak: ‘Harga tak sebanding layanan’.”

Komala—Food & Beverage Director—menghela napas. “Kita penuh sejak kemarin. Ada dua group corporate, occupancy 96 persen. Kita tambah station egg, tapi plating jadi lambat.”

Serasa menandai poin di notulen. “Kita minta CCTV restoran jam 06.30–08.00. Pastikan timeline dan verifikasi apakah plating benar lambat. Jayeng, minta izin DM ke influencer itu. Tawarkan wawancara personal. Komala, tolong siapkan penjelasan tentang SOP suhu makanan dan antrian. Umar, kita butuh staf tambahan saat peak. Mungkin pooling dari banquet?”

Umar mengangguk, alisnya datar. “Siap.”

“Dan satu lagi,” tambah Serasa, suara tenang. “Jangan reaktif di publik. Kita pernah belajar: memperbaiki bukan berarti membantah. Kita atur nada, waktu, dan ruangnya.”

Rapat ditutup. Ketika semua bubar, Umar masih duduk, memandang layar mati.

“Kamu seperti prajurit,” ujar Umar datar. “Masuk, bersih-bersih, keluar. Tapi medan perangmu bukan selalu yang terlihat.”

“Medan perangku jelas,” balas Serasa. “Reputasi.”

Umar berdiri. “Dan reputasimu sendiri?”

Pertanyaan itu, lagi-lagi, menempel.

.

Malamnya, Serasa membiarkan lampu kamar redup. Ia menulis di jurnal. Tulisan tangannya rapi, huruf-huruf ramping.

“Ketakutan membuatku bertahan di tempat yang tidak lagi aku cintai, tapi takdir mengajakku pergi ke tempat yang belum aku kenal.”

Tangannya bergetar. Ia menyentuh amplop putih. Di dalamnya, kata-kata yang ia susun seperti barisan pasukan siap tempur: alasan pribadi, apresiasi, permintaan maaf. Ia membacanya lagi, seperti membaca naskah drama yang tak ingin ia pentaskan.

Di ponsel, muncul notifikasi dari ibunya.

Ibu: Nduk, kapan pulang? Batikku sudah jadi. Kain pilihanmu motif parang kecil, cantik.

Serasa menelan ludah. Ia jarang pulang. Selalu ada konferensi pers, gala dinner, kolaborasi brand, travel fair. Ada jam-jam sinis kota yang menelan pertemuan dengan orang terpenting, cuma karena jarak dan alasan dewasa.

Ia mengetik: Ibu, minggu depan aku cari waktu, ya.

Lalu berhenti. Menghapus. Mengetik lagi.

Ia: Ibu, aku bingung.

Ibu: Bingung itu penanda pintu. Kalau kamu lihat pintu, berarti ada ruang baru. Jangan takut.

Dia tersenyum getir. Ibunya selalu begitu: memberi kalimat yang tak menasihati tapi menuntun.

.

Di hari ketiga setelah video viral, Serasa memutuskan cuti tiga hari—menyerahkan kendali krisis kepada Jayeng dan Komala, dengan panduan yang ia susun seperti puzzle: nada, waktu, ruang, siapa bicara, siapa diam. Ia pergi ke Puncak seorang diri. Tanpa makeup, tanpa blazer, tanpa sepatu hak. Hanya sweater abu-abu, jins, dan sepatu kets. Hanya dirinya dan jalan berkelok yang hijau.

Pagi pertama, kabut jatuh rendah seperti selimut yang ragu. Ia menulis satu kalimat saja:

“Boleh tidak menjadi kuat hari ini.”

Siangnya, ia menyeduh teh panas. Menghirup pelan-pelan. Di kejauhan, terlihat vila-vila kecil, dinding putih, atap merah, sebagian kosong, sebagian berpenghuni. Ia bertanya kepada dirinya sendiri: mengapa selama ini ia berkompetisi dengan bayangan? Bayangan akan gagal, akan ditinggalkan, akan dilupakan.

Sore kedua, ia menangis. Bukan karena sedih, melainkan lega—karena akhirnya ia tak lagi menjadi aktor tunggal untuk naskah yang dibuat orang lain. Ia menangis untuk semua kata “maaf” yang ia simpan, untuk semua “terima kasih” yang tertunda, untuk semua “aku takut” yang ia sumbat dengan presentasi, press conference, potret di majalah.

Malam ketiga, ia berdiri di depan cermin vila, memegang wajahnya. “Serasa,” bisiknya, “kamu bukan hanya PR. Kamu perempuan yang berhak memilih jalan.”

Ia foto dirinya—tanpa riasan, tanpa pose. Hanya wajah dan waktu. Lalu ia kirim ke ibunya, diam-diam ingin memperlihatkan seseorang yang mungkin belum pernah dilihat sang ibu: putri yang kembali menjadi dirinya sendiri.

Ibu: Cantik. Mata itu jujur.

Ia tertawa kecil sambil menyeka pipi. Untuk pertama kalinya, kata “cantik” bukan tentang hasil kerja seorang MUA, melainkan tentang keberanian.

.

Kembali ke Jakarta, ia tidak lantas menjawab surat promosi. Ia memilih membuat janji konseling dengan seorang psikolog yang direkomendasikan tim HR. Ruangannya putih hangat. Ada bonsai, rak buku kecil, dan tik-tok jam dinding yang lembut.

“Apa yang paling kamu takuti?” tanya psikolog itu.

“Bahwa jika aku memilih promosi, aku kehabisan diriku,” jawabnya. “Bahwa aku menjadi mesin yang lebih besar, lebih bising, lebih jauh dari ibu, lebih jauh dari rumah. Dan jika aku menolak, aku menyesal.”

“Kamu ingin apa?”

Ia diam lama. Kemudian, “Aku ingin hidup yang tidak dikejar-kejar jam, tapi aku juga ingin bekerja di tempat yang menantang. Aku ingin dekat dengan ibu, tapi aku juga ingin tahu apakah aku mampu.”

Psikolog itu mengangguk. “Kamu tak perlu memilih putih atau hitam. Kadang kita membuat abu-abu yang kita bisa tinggali dengan damai. Kamu bisa set batas, bisa minta perjanjian remote beberapa hari, bisa membangun tim yang bekerja sehat.”

Ia mencatat. Seperti menulis press release untuk hatinya sendiri.

Siang itu juga, ia menghubungi ibunya via video call. Wajah ibunya muncul—kulit sawo matang yang bersih, rambut disanggul sederhana, jarum pentul menyilang. Di belakangnya, mesin jahit tua berdengung.

“Ibu,” kata Serasa, “kalau aku pindah kerja, boleh tidak ibu kuminta pindah sementara ke Jakarta? Aku bisa sewa apartemen yang dekat taman untuk ibu.”

Ibunya tertawa kecil. “Jakarta panas.”

“Apartemen ada AC,” katanya, tertawa juga. “Aku ingin dekat ibu.”

Ibu menatapnya lama, mata redup yang hangat. “Nak, tak semua orang diberi pilihan. Kamu diberi pilihan karena Tuhan percaya kamu bisa memilih yang benar.”

Tangisnya pecah. Ia biarkan. Ibunya menunggu, tidak mengisi layar dengan petuah berapi, tidak memberi daftar “pro-kontra.” Hanya menjadi pelabuhan yang diam dan nyata.

.

Di kantor, rumor beredar seperti angin yang tahu jalannya sendiri: Serasa resign; Serasa pindah ke perusahaan tetangga; Serasa akan membuat agensi PR-nya sendiri; Serasa mau menikah; Serasa mau sekolah lagi. Ia membiarkannya. Ia belajar bahwa hidup tak perlu membuktikan setiap gosip. Pada momentum tertentu, diam adalah pernyataan paling berdaulat.

Umar menyelipkan pesan singkat: Kamu punya waktu makan siang?
Ia menimbang sejenak. Jam satu. Restoran rooftop.

Langit Jakarta, jam satu siang, biru pudar. Atap gedung tetangga bertuliskan nama bank besar. Di bawah, jalanan seperti sungai besi.

“Kalau aku bilang aku iri, kamu marah?” tanya Umar, memulai tanpa basa-basi.

“Iri apa?”

“Pada keberanianmu terlihat rapuh.”

Ia menatap Umar lebih lama dari biasanya. “Rapuhku bukan pertunjukan.”

“Aku tahu.” Umar memalingkan wajah, memandang horizon. “Aku pernah di posisi memilih. Kupikir jadi Direktur Operasional akan membuatku lebih berdaya. Ternyata sebagian hari-hari hanya kutukar dari rapat ke rapat. Kemenangan kecil berlalu tanpa sempat kucicipi.”

“Kamu menyesal?”

Umar terkekeh pendek. “Penyesalan itu seperti iklan pop-up. Selalu muncul saat layar lengah.”

“Maka pasang adblock,” timpal Serasa, setengah bercanda.

“Kamu tahu,” Umar bersandar, “di kisah Menak Madura, Umar Maya sering digambarkan gagah tapi sering salah langkah karena ngebet merasa paling benar.”

Serasa menatapnya geli. “Maksudmu…?”

“Aku Umar Maya,” katanya pelan. “Dan kamu… kamu Jayengrana—yang berangkat bukan karena tak takut, tapi karena memilih takdirnya. Mungkin aku iri pada caramu memaknai takut.”

Serasa merasakan sesuatu melunak di dadanya. Ternyata Umar punya ruang yang selama ini tidak ia lihat—ruang yang berisik di dalam, tapi tenang di luar.

“Doakan aku, Mar,” kata Serasa, lebih jujur dari biasanya.

Umar mengangguk. “Apa pun yang kamu pilih, pastikan kamu masih bisa tidur nyenyak.”

.

Malam terakhirnya sebagai PR Manager, hotel mengadakan perpisahan kecil. Bunga-bunga di meja, kue tiramisu, dan kartu-kartu dengan ucapan: You’ll be missed; Break a leg; Proud of you. Banyak yang mengira ia resign. Ia hanya tersenyum. Ia tak perlu menjelaskan. Yang ia perlukan hanya berdiri sebentar di ballroom—ruangan yang telah ia tata berkali-kali: konferensi pers, gala dinner, peluncuran produk, pesta akhir tahun. Lampu-lampu kristal berkilau seperti hujan beku. Ia berjalan ke tengah ruangan, menutup mata.

“Terima kasih, ketakutan,” bisiknya, “kau bukan musuh. Kau gerbang.”

Ia menyalakan ponsel. Menulis email. Subjek: Acceptance & Terms. Ia berterima kasih atas kepercayaan, menyatakan penerimaan, dan mencantumkan syarat-syarat kerja sehat: jam rapat yang manusiawi, hak remote dua hari per pekan jika tidak ada event, program well-being untuk tim, dan dukungan untuk relokasi sementara ibu. Ia mengecek lagi nada dan diksi, memastikan tetap hangat sekaligus tegas. Lalu menekan Send.

Hening yang turun sesudahnya bukan kekosongan, melainkan ruang. Ruang untuk detik berikutnya.

.

Dua bulan kemudian, Serasa berada di Singapura. Kantor regionalnya menempati setengah lantai di gedung kaca yang menghadap Marina. Pagi hari, matahari memantul di permukaan teluk, menebar kilap ke meja-meja kerja. Timnya lintas negara: ada Nadiah dari Kuala Lumpur yang mahir stakeholder mapping, Arya dari Jakarta yang jago issue management, Madi dari Surabaya—driver freelance yang ia rekrut jadi community liaison karena kepiawaiannya mengelola manusia, dan Komala yang ia tarik ke peran regional F&B storyteller.

Agenda pagi: town hall. Ia berdiri di depan tim—tak lagi dengan kalimat-kalimat defensif, melainkan narasi tentang arah dan nilai. Satu slide menampilkan tiga kalimat:

  1. “Berkabar sebelum diminta.”

  2. “Memperbaiki tidak sama dengan menyalahkan.”

  3. “Pilih takdir yang membuat kita pulang lebih utuh.”

Orang-orang tersenyum. Nadiah mengangkat tangan. “Kalimat ketiga itu bisa jadi tagline divisi, bos.”

“Kita bukan agensi iklan,” kata Serasa, tertawa. “Tapi kalau jadi pegangan, boleh.”

Di sela rapat, ponsel bergetar: video call dari ibu. Ia berjalan ke sudut ruangan yang lebih sepi. Di layar, wajah ibunya cerah.

“Di sana apa yang paling kamu suka?” tanya ibunya.

“Paginya, Bu,” jawab Serasa. “Pagi di sini seperti permulaan yang jujur.”

Ibu mengangguk. “Kalau permulaan jujur, biasanya ujungnya baik.”

Ada setitik air di pelupuk mata Serasa. “Ibu kapan datang ke Singapura?”

“Kalau kamu sudah benar-benar butuh aku. Sekarang kamu butuh ruang untuk menumbuhkan dirimu.”

“Selalu butuh ibu,” balasnya, setengah berbisik.

Ibu terkekeh. “Tapi tak semua butuh harus dihadirkan. Ada yang cukup disadari.”

Sebelum panggilan ditutup, ibu mengangkat selembar kain batik dari meja. “Lihat, motif parang kecil pesananmu—kubuatkan kebaya kardigan. Biar kamu bisa pakai saat rapat.”

“Cantik sekali,” kata Serasa, matanya basah. “Aku akan pakai di town hall bulan depan.”

.

Namun takdir tidak pernah datang sebagai karpet merah tanpa kerikil. Minggu ketiga, ada kebakaran kecil di salah satu properti di Ho Chi Minh—tak ada korban, tapi ada asap, ada gambar-gambar yang cepat menyebar. Local team panik. Telepon beruntun. Media menunggu pernyataan. Serasa menyusun holding line dalam sepuluh menit pertama: singkat, faktual, empatik. Ia memimpin briefing lintas kota, membagi peran, memetakan stakeholder. Di layar call, wajah-wajah tegang tampak lebih damai. Setelah 48 jam, narasi berbalik: bukan lagi kebakaran, melainkan safety protocol yang berhasil.

“Terima kasih, Ser,” kata Arya, setelah debrief. “Kamu seperti air yang tahu celah.”

“Bukan aku,” jawabnya. “Kita.”

Malam itu, ia pulang ke apartemen kecil di Tanjong Pagar. Ia membuka jendela dan membiarkan udara laut masuk. Ia duduk di kursi, membuka jurnal. Menulis:

“Takdir datang seperti jalan setapak, bukan peta. Kita jalani dengan iman, bukan kepastian.”

Lalu ia memandang punggung tangannya. Ada bekas kecil, sisa jahitan masa kecil karena jatuh dari sepeda. Jejak itu membuatnya tersenyum. Betapa sering ia lupa bahwa tubuhnya menyimpan peta perjuangan yang tak pernah ia posting.

.

Suatu sore, Umar mengirim pesan. Bagaimana rasanya jadi “regional”?

Berisik di kepala, tapi beres di hati, tulis Serasa.

Untung kepala dan hati berbeda ruangan, balas Umar. Kalau satu, rapatnya rebutan jam.

Mereka tertawa lewat layar, humor yang hanya bisa ditangkap orang-orang yang membagi hari dengan rapat, timeline, dan issue log. Di pesan lain, Jayeng mengirim tautan: artikel di sebuah majalah bisnis tentang transformasi komunikasi krisis di jaringan hotel. Nama Serasa disebut. Bukan sebagai pahlawan tunggal, melainkan sebagai penggerak budaya.

Di komentar, seseorang menulis: “Seharusnya perempuan seperti ini jadi role model.”
Ia menutup layar, menempelkan ponsel ke dada. “Aku juga manusia,” bisiknya pada langit-langit. “Yang masih takut. Tapi kali ini, aku tahu ke mana takutku harus diajak pergi.”

.

Jakarta suatu malam di bulan Desember—hujan deras, kilat menyambar, kota berubah jadi cermin panjang. Serasa kembali untuk annual gathering. Ballroom penuh, lampu-lampu temaram, musik jazz lembut, pelayan lalu lalang membawa canapés. Di sudut, Umar berdiri, jas biru gelap, dasi abu. Ia mengangkat gelas.

“Untuk direk… ah, untuk Serasa,” katanya.

“Tanpa gelar,” potong Serasa.

“Untuk Serasa,” ulangnya. “Yang mengajarkan kita mengelola ketakutan tanpa mendewakannya.”

Mereka menepukkan gelas pelan. Jayeng datang, Madi menyusul dengan piring satay lilit, Komala mendorong piring klepon ke tangan Serasa. Tawa kecil, obrolan ringan, gesekan piring dan gelas—semua membentuk duet kota yang, untuk sesaat, terasa seperti rumah yang tidak perlu difoto.

Tepat tengah malam, listrik berkedip—hujan memukul kabel. Ballroom gelap satu detik, dua detik, tiga detik, lalu generator menyala. Orang-orang bersorak kecil. Serasa memandang ke langit-langit. Dalam tiga detik gelap itu, ia sempat berdoa. Bukan untuk kariernya, melainkan untuk keberanian merawat makna.

“Ser,” bisik Umar. “Kau bahagia?”

Ia menatap sekeliling. Timnya, ibu yang datang malam itu—duduk dengan kebaya kardigan batik motif parang kecil—teleponnya yang diam, amplop promosi yang kini menjadi foto di memori, bukan lagi pilihan yang menggantung.

“Aku hidup,” jawabnya. “Dan itu lebih dari cukup.”

.

Beberapa minggu kemudian, ia berjalan sendirian di trotoar Orchard yang bersih. Lampu-lampu Natal masih menyala. Angin sore membawa wangi basah pohon. Ia berhenti di depan etalase yang memantulkan dirinya. Ia memikirkan frasa yang dulu ia tulis di jurnal, malam ketika ia hampir berhenti:

“Kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi, tapi kita bisa memilih siapa yang kita izinkan mengarahkan hidup kita—ketakutan atau takdir.”

Ia melangkah lagi. Di belakangnya, cermin etalase merapikan siluet seorang perempuan yang berjalan. Di depannya, lampu-lampu menyirami jalan seperti doa yang tidak bersuara. Ia menyalakan ponsel, menulis pesan untuk ibu:

Ibu, aku pulang akhir bulan. Kita jahit kue putri salju?

Ibu: Kue tidak dijahit. Itu dibentuk. Tapi kalau kamu yang minta, kita jahit juga boleh.

Ia tertawa kecil. Takdir rupanya punya selera humor.

Saat itu juga, ia menutup mata sesaat. Mengucap satu kalimat yang pernah ia baca, pernah ia tulis, dan kini ia hidupi:

“Ketakutan dan takdir, sama-sama tak terlihat. Tapi di antara keduanya, aku memilih percaya pada yang membuatku tumbuh.”

Dan seperti itu, Serasa—perempuan dengan nama selembut angin sore—melangkah pulang, jauh dari lampu-lampu yang pernah membuatnya silau, dekat kepada cahaya yang ia bawa sendiri.

.

.

.

Jember, 18 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguStyle #UrbanStory #Hospitality #PRLife #Jakarta #Singapura #PilihanHidup #KetakutanVsTakdir #Storytelling

.

Quotes Terkait Cerita

  • “Ketakutan adalah gerbang; keberanian adalah langkah melewatinya.”

  • “Takdir bukan karpet merah tanpa kerikil; ia jalan setapak yang ditapaki dengan iman.”

  • “Memperbaiki tidak sama dengan menyalahkan; merawat tidak sama dengan menahan.”

  • “Jika harus memilih, pilih yang membuatmu pulang lebih utuh.”

  • “Rapuh bukan pertunjukan; rapuh adalah ruang untuk jujur.”

Leave a Reply