Di Antara Gelombang Kota

“Hidup selalu datang dalam gelombang; kita tidak selalu siap, tapi kita selalu punya pilihan: tenggelam dalam ketakutan, atau belajar menari di punggung ombak.”

.

Malam itu Jakarta tampak seperti layar gelap yang dipenuhi titik-titik cahaya acak. Dari jendela mobil yang merayap di atas tol layang, Retna menatap lampu-lampu apartemen menjulang seperti akuarium raksasa. Di setiap kotak cahaya, ia membayangkan ada hidup yang sibuk berjuang: rapat Zoom yang tak selesai-selesai, PR anak sekolah internasional, cicilan KPR, atau sekadar seseorang yang diam menghadap dinding, lelah tanpa kata.

Di tangan kirinya, ponsel menyala. Di layar, tersimpan gambar yang beberapa hari lalu dikirim Umar di grup WhatsApp mereka: latar ombak hijau kebiruan, dengan tulisan bahasa Inggris tentang hidup dan gelombang—tentang ombak yang kadang menenggelamkan, kadang mengangkat, dan rahasia bukan pada melawan gelombang, melainkan belajar menungganginya.

Retna menatap tulisan itu lama. Jalan di depannya kembali macet total. Sirene ambulans meraung dari kejauhan, seakan mengingatkannya bahwa ia juga sedang menuju rumah sakit—ruang IGD tempat ayahnya terbaring setelah serangan stroke mendadak siang tadi.

Di jok sebelah, ada map biru berisi draft perjanjian akuisisi start-up edukasi yang ia dirikan lima tahun lalu. Di sudut kanan atas, logo perusahaan kecil yang ia bangun dari obrolan warung kopi bersama Umar dulu: Gelombang Belajar.

“Bu, kita keluar di mana?” tanya sopir taksi online pelan.

“Keluar di depan rumah sakit itu saja, Mas. Saya jalan kaki.”

Ia tersenyum sekilas, lalu kembali menatap layar ponsel. Pesan belum terbaca dari Jayeng memenuhi layar—lima panggilan tak terjawab, tujuh pesan singkat, semuanya dengan nada makin resah.

Retna, kamu di mana?
Retna, aku baru mendarat. Aku langsung ke rumah sakit.
Re, ini bukan saatnya kamu keras kepala soal kerjaan. Pertemuan dengan investor Singapura bisa kita atur ulang, tapi Papa…

Ia menghela napas panjang, menekan tombol kunci layar. Mendadak, bunyi klakson beruntun memecah lamunannya. Jakarta malam itu seperti gelombang lalu lintas yang tak pernah benar-benar berhenti.

.

Dulu, gelombang berarti sesuatu yang lain bagi mereka berempat.

Di sebuah kafe kecil di sudut Kota Malang, bertahun-tahun lalu, suara hujan deras di luar jendela terdengar seperti tepuk tangan yang tak henti. Asap kopi hitam mengepul dari cangkir-cangkir mereka. Di meja kayu penuh coretan spidol, Umar menggambar garis lengkung besar: sebuah ombak yang menggulung.

“Ini hidup setelah lulus,” katanya sambil terkekeh. “Kita pikir akan lurus saja, ternyata penuh gelombang.”

Madi, yang duduk dengan jaket jeans dan topi beanie, menambahkan gambar papan selancar kecil di atas ombak itu.

“Ya sudah, tugas kita cuma satu,” timpal Madi. “Jadi peselancar paling kece di ombak masing-masing.”

Jayeng, yang kala itu masih sibuk menyelesaikan skripsi hukum bisnis internasional, menatap mereka sambil mengangkat alis. “Kalian ini, kalau hidup seserius hukum pajak, kalian tak akan sanggup tertawa selega ini.”

Retna, yang duduk di seberang Jayeng, hanya tersenyum. Dalam buku catatannya, di antara draft proposal program literasi untuk anak kampung, ia menuliskan satu kalimat: “Kalau hidup memang gelombang, mungkin tugas kita bukan hanya pandai berselancar, tetapi mengajak orang lain ikut masuk ke air.”

Nama-nama mereka bukan nama biasa. Di teater kampus, mereka tergabung dalam komunitas yang mengadaptasi kisah Menak Malangan dan Menak Jawa. Sutradara mereka, seorang dosen sastra, memberi nama panggilan sesuai tokoh: Jayeng, Umar, Madi, dan Retna.

Konon, di atas panggung, Jayeng pernah begitu menjiwai peran satria yang diombang-ambingkan perang dan cinta hingga penonton menitikkan air mata. Umar, yang di luar panggung dikenal sebagai anak teknik yang hobi coding, menjadi sahabat setia yang selalu mengingatkan tokoh utama agar tidak lupa pulang. Madi, anak pengusaha properti, memerankan saudagar flamboyan yang licin namun berhati lembut. Sedangkan Retna—Retna-lah yang selalu menjadi tokoh perempuan yang menolak sekadar menunggu diselamatkan.

Malam itu, usai latihan teater, mereka duduk di kafe itu, berbicara tentang masa depan seolah dunia tunggu sebentar lagi ada di genggaman.

“Aku mau punya sekolah gratis di kampung,” kata Retna, menatap hujan di luar. “Bukan sekadar sekolah formal, tapi tempat orang-orang belajar hal-hal yang tidak diajarkan kurikulum: mendengar, jujur pada diri sendiri, menghargai yang berbeda.”

“Sekolah gratis kan butuh dana,” sahut Jayeng. “Berarti ada yang harus jadi uang. Biar aku saja. Aku ke Jakarta, kerja di firma hukum besar, nanti kalau sudah jadi partner, aku danamu.”

Umar tertawa. “Sampai saat itu tiba, kita sudah jadi orang tua murid.”

“Tidak apa,” jawab Retna. “Asal kita tetap ingat janji ini.”

“Kalimat ‘ingat janji’ itu berbahaya, Re,” kata Madi sambil mengaduk kopi. “Hidup bisa berbelok-belok. Kadang kita mendadak harus memegang gelombang yang berbeda.”

Justru karena hidup bisa berbelok, janji perlu diucap,” balas Retna pelan. “Supaya kalau nanti tersesat, kita punya sesuatu yang bisa menjadi arah pulang.”

Hujan mereda. Dari jendela kaca, lampu kota Malang berpendar seperti bintang yang turun ke bumi. Di dada masing-masing, ada harapan besar yang belum tahu akan mengarah ke mana.

.

Belasan tahun berlalu, dan kota yang dulu mereka pandangi dari kamar kos kini berganti dengan Jakarta yang menuntut ritme lain. Retna menutup rapat pintu ruang rapat kaca di lantai tiga puluh dua sebuah gedung perkantoran di kawasan Sudirman. Di belakangnya, pemandangan kota tampak seperti ilustrasi brosur properti: ratusan gedung, jalan layang, dan garis kereta yang berkelindan.

Investor Singapura itu baru saja keluar. Senyum diplomatis, jabat tangan hangat, dan kalimat penutup yang terdengar manis sekaligus menakutkan: “We love your vision. But we want efficiency. If we come in, we restructure. You stay on board only if you can be fully committed to scaling regionally.”

Retna paham maknanya. Komitmen penuh berarti melepaskan banyak hal: waktu untuk ayah yang baru memasuki usia senja, untuk ibunya yang diam-diam mulai lupa menaruh kunci, untuk adik-adik yang masih belajar merapikan hidup. Dan yang paling ia takutkan, komitmen penuh berarti masuk ke arus besar yang mungkin menyeret sekolah-sekolah kecil yang selama ini menjadi alasan Gelombang Belajar didirikan.

Di layar ponselnya, notifikasi dari keluarga berulang kali masuk. Ayahnya pingsan di toko material, kata adiknya. Tensi tinggi, wajah kaku sebelah.

Retna berdiri mematung di depan jendela. Dari ketinggian, Jakarta tampak seperti laut beton. Mobil-mobil kecil mengalir di bawah sana seperti arus yang tak pernah berhenti.

“Kamu tak perlu merasa bersalah kalau akhirnya memilih perusahaanmu, Re,” suara Jayeng terdengar di belakang, entah sejak kapan ia berdiri di ambang pintu.

Retna menoleh. Jayeng baru saja mendarat dari Singapura pagi itu, jas masih rapi, dasi sedikit miring. Wajahnya memancarkan kelelahan orang yang sudah bertahun-tahun hidup dari satu penerbangan ke penerbangan lain.

“Aku sudah bilang pada mereka, kamu bukan tipe yang bisa setengah-setengah,” lanjut Jayeng. “Kalau kamu mau jadi CEO regional, kamu akan total.”

“Masalahnya bukan itu,” jawab Retna pelan. “Masalahnya aku tidak yakin gelombang yang mereka tawarkan adalah gelombang yang kucari.”

Jayeng menghela napas, mendekat. “Re, kita sudah di usia ini. Ada hal-hal yang harus kita terima: kalau kita tak naik kelas sekarang, kita akan terlambat. Lihat teman-teman kita; semua sudah punya jabatan, punya portofolio besar. Umar pun—”

“Umar baru saja menutup start-up-nya, Mas,” potong Retna, menatap suaminya tajam. “Kamu tidak baca pesan di grup? Dia bilang kehabisan napas. Funding tak cair, investor mundur satu per satu.”

Jayeng terdiam. Baru beberapa jam lalu ia mematikan ponsel selama pertemuan dengan klien.

“Kadang hidup menghantam orang yang paling kita kira akan selamat,” kata Retna lirih. “Itu yang membuatku takut terburu-buru naik ke gelombang baru tanpa sempat belajar mengendalikan napas.”

Jayeng menatap istrinya lama, seolah ingin menyusun kalimat tapi urung. “Aku ke rumah sakit dulu,” katanya akhirnya. “Kalau kamu menyusul, kabari sopir. Aku takut kamu nyetir sendiri sambil memikirkan terlalu banyak hal.”

Retna ingin menjawab sinis bahwa memikirkan terlalu banyak hal adalah satu-satunya cara ia merasa masih hidup. Namun ia menahan diri. Di tengah gelombang, memilih kata pun bisa menjadi keputusan hidup dan mati, pikirnya.

.

Di rumah sakit, waktu seolah menetes lebih lambat. Bau antiseptik bercampur suara monitor yang berdeging pelan. Ayah Retna terbaring dengan selang infus menancap di punggung tangan. Wajahnya terlihat lebih kecil dari terakhir kali Retna berkunjung ke rumah.

“Dokter bilang kanan masih lemah, tapi insya Allah bisa pulih kalau rutin fisioterapi,” ujar ibunya, yang duduk di kursi plastik, memegang tas kecil berisi obat-obatan. Mata perempuan itu merah, tapi suaranya berusaha stabil.

Retna memegang tangan ayahnya, merasakan kulit yang kini lebih tipis dan dingin. Di benaknya, muncul gambar ayahnya dulu: berdiri gagah di depan toko material di pinggir jalan kota kecil mereka, tertawa lebar saat truk pasir datang.

“Ayah dulu sering bilang,” suara ibunya lirih, “kalau hidup itu seperti menaruh bata satu per satu. Kita tak bisa memaksa tembok jadi tinggi dalam sehari. Tapi kalau berhenti, tembok itu akan runtuh dimakan hujan.”

Retna menelan ludah. Ayah menata bata, aku menata kelas-kelas belajar, pikirnya. Sama-sama membangun, sama-sama rentan runtuh.

Setelah bergantian menunggu bersama adiknya, Retna turun ke lobi rumah sakit. Malam kembali menebal. Di kafe kecil dekat pintu masuk, Umar sudah menunggunya dengan hoodie dan masker yang ditarik ke dagu. Matanya cekung, rambutnya lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu offline.

“Kamu kurusan,” ujar Retna tanpa basa-basi.

“Start-up bubar, beban pikiran ikut turun beratnya,” sahut Umar dengan senyum pahit. “Maaf, humor founder gagal.”

Mereka duduk. Di luar kaca, hujan mulai turun tipis. Di meja, dua gelas kopi berhasil memecah keheningan.

“Aku pikir kalian semua marah,” kata Umar. “Soalnya dulu kalian ikut taruh uang di putaran pertama. Walau jumlahnya kecil dibanding investor lain, tapi kan itu uang yang kalian sisihkan dari gaji.”

Retna menggeleng. “Kami sedih, iya. Tapi mungkin bukan pada uangnya.”

“Lalu pada apa?”

“Pada cara hidup menguji kita,” jawab Retna pelan. “Kadang yang bikin kita sakit bukan karena kalah, tetapi karena sadar bahwa kita sedang diuji pada titik yang paling kita banggakan. Kamu bangga bisa membuktikan bahwa anak teknik kampung bisa bikin aplikasi skala nasional. Lalu tiba-tiba aplikasimu justru yang paling dulu dihantam gelombang. Itu menyakitkan, Umar, tapi bukan akhir.”

Umar menatap meja. Jemarinya menggenggam cangkir begitu erat seakan jika ia melepaskannya, sesuatu dalam dirinya akan pecah.

“Aku takut bertemu orang-orang kampus,” katanya. “Takut mereka bertanya, ‘Gimana start-up-mu? Sudah unicorn?’ Padahal aku bahkan tak sanggup bayar semua pesangon karyawan.”

“Kamu ingat janji kita di kafe Malang dulu?” tanya Retna. “Tentang mengajak orang lain ikut masuk ke dalam air, bukan hanya pandai berselancar sendiri?”

Umar mengangguk samar.

“Mungkin sekarang saatnya kita membuktikan janji itu,” lanjut Retna. “Bukan dengan pamer keberhasilan, tapi dengan berani mengakui kalau kita pun bisa jatuh. Kadang yang paling butuh ditolong adalah orang yang selama ini merasa harus selalu kuat.

Umar menarik napas panjang. “Aku lelah, Re.”

“Lelah boleh,” jawab Retna lembut. “Menyerah nanti dulu.”

.

Beberapa minggu kemudian, setelah ayahnya dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Retna menerima pesan panjang dari Madi.

Madi kini hidup di Surabaya sebagai pemilik jaringan coffee shop yang tersebar di beberapa kota. Foto-fotonya di Instagram penuh dengan interior minimalis, latte art, dan caption motivasional tentang kerja keras. Namun pesan yang muncul di layar Retna malam itu jauh dari tampilan rapi yang biasa Madi perlihatkan.

Re, gue mau jual salah satu outlet di Jakarta. Penjualan turun sejak tahun lalu, biaya sewa naik, dan ternyata influencer tak bisa selamanya jadi dewa penolong. Banyak yang lihat kita sukses, tapi mereka tak lihat berapa banyak malam gue nggak tidur mikirin gaji barista.

Reuni yuk. Bukan reuni nostalgia, tapi reuni buat mikir ulang hidup. Umar juga katanya lagi kosong. Jayeng bisa kita paksa cuti sebentar. Gimana kalau di pantai? Gue punya kenalan di Bali yang bisa sewa vila kecil murah. Kita bawa semua rasa takut kita ke sana. Kita lihat, mana yang bisa dilepas seperti pasir, mana yang harus tetap kita genggam.

Retna membaca pesan itu berulang kali. Ada sesuatu yang bergerak pelan dalam dadanya. Semacam ajakan untuk berhenti sebentar dari gelombang kota yang tak henti menghempas.

Malam itu, setelah menunggui ayahnya tertidur, ia duduk di kursi pengunjung dan menulis pesan di grup mereka:

“Kalau hidup memang bergerak dalam gelombang, mungkin kita perlu belajar membaca pasang surutnya bersama. Kalau kalian siap, mari kita bertemu di tepi laut. Biar ombak yang bicara.”

Jayeng menjawab dengan emotikon kelelahan, lalu menulis: “Aku akan atur jadwal. Untuk sekali ini, biar giliran aku yang menyesuaikan. Hidupku sudah terlalu lama berputar di sekitar jadwal klien.”

Umar mengirim foto papan selancar tua yang disandarkan di dinding kamar kos teman di Bali, dengan caption: “Gelombang, kami datang.” Madi hanya mengirim lokasi pin: sebuah pantai di dekat Canggu yang namanya jarang muncul di brosur wisata, tetapi menjadi favorit para peselancar lokal.

.

Pagi itu, langit Bali memulas dirinya dengan warna-warna yang sulit didefinisikan. Ada biru yang belum sepenuhnya sadar, ada jingga yang malu-malu, dan ada putih tipis awan yang seakan menggantung ragu. Di kejauhan, garis ombak berkilau seperti barisan kuda yang berlari menuju pantai.

Retna berdiri di pasir, kaki telanjang, masih mengenakan kaus longgar bertuliskan “Teach, Learn, Repeat”. Di sampingnya, seorang instruktur selancar lokal memegang papan, memberi penjelasan dalam bahasa campuran Indonesia–Inggris yang ceria.

“Pertama, jangan panik,” katanya sambil menatap Retna. “Kalau jatuh, biarkan saja badan ikut air dulu. Jangan langsung melawan. Ombak besar kuat, tapi cuma lewat. Tugas kita menunggu saat yang tepat buat naik ke papan lagi.”

Jayeng, yang berdiri beberapa meter di belakang mereka, tertawa kecil. “Kedengarannya seperti nasihat pernikahan.”

Retna meliriknya sekilas. Hubungan mereka belakangan ini memang seperti pantai yang terkikis perlahan. Tak ada badai besar, tetapi ada percikan-percikan kecil yang menumpuk: jadwal kerja yang tak pernah bertemu, percakapan yang tinggal laporan logistik, dan keputusan-keputusan penting yang diambil sendiri-sendiri dengan alasan “kamu pasti sibuk”.

Umar berdiri di sisi lain, mengenakan rashguard lusuh. Di wajahnya masih tampak lelah, tapi matanya lebih hidup dari malam di kafe rumah sakit dulu. Madi sibuk memotret mereka dengan kamera mirrorless.

“Gue mau bikin konten,” kata Madi. “Judulnya: Ketika para pejuang KPR dan cicilan startup memutuskan menantang gelombang beneran.

Mereka tertawa. Tawa yang rasanya sudah lama tak muncul selepas itu.

Begitu kaki mereka menyentuh air, dingin laut merayap cepat ke tulang. Ombak pertama menyambut dengan ramah, hanya sebatas betis. Instruktur memberi aba-aba, mengajarkan mereka cara naik ke papan, cara mendayung, dan cara berdiri.

“Rahasia berdiri di atas papan itu sama dengan rahasia bertahan di hidup,” katanya sambil memperagakan. “Lutut lentur, pandang ke depan, bukan ke kaki. Kalau mata fokus ke bawah, kamu pasti jatuh.”

Retna mencoba mengingat semua instruksi itu. Namun begitu ombak pertama datang, semua teori buyar. Papan meluncur lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia sempat setengah berdiri, lalu kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke air. Air asin masuk ke hidung, telinganya berdenging.

Sesaat, dunia menjadi hijau kebiruan. Ia merasakan tarikan arus yang kuat, menyeret tubuhnya ke arah yang tak jelas. Panik memeluk tenggorokannya. Dalam kekacauan itu, tiba-tiba ia teringat ayahnya yang berbaring di rumah sakit, perusahaan yang menunggu keputusan, suaminya yang menahan kalimat-kalimat yang tak pernah jadi diucapkan, dan semua ombak tak terlihat yang selama ini ia lawan sendirian.

Apakah selama ini aku berenang tanpa pernah belajar mengapung?

Persis ketika paru-parunya mulai menjerit meminta udara, seseorang menarik tangannya. Jayeng. Mereka muncul ke permukaan bersamaan. Udara terasa lebih manis dari aroma kopi mana pun.

“Kamu oke?” tanya Jayeng, napasnya terengah.

Retna mengangguk, batuk beberapa kali. Instruktur melambaikan tangan dari kejauhan, memberi tanda bahwa itu normal.

Mereka berdua berpegangan pada papan yang sama, terombang-ambing bersama. Di antara debur ombak dan terik matahari yang mulai naik, ada keheningan yang berbeda—keheningan yang bukan lagi tentang menjauh, melainkan tentang dua orang yang akhirnya menyadari bahwa mereka sama-sama takut.

“Mas,” kata Retna pelan, “aku capek merasa harus selalu kuat. Di kantor, di rumah, di depan Papa dan Mama, di depan tim. Aku lupa kapan terakhir kali aku boleh bilang, ‘Aku takut’ tanpa merasa gagal.”

Jayeng menatap wajah istrinya yang basah air laut. “Aku juga,” jawabnya jujur. “Selama ini aku kira tugas suami adalah jadi ombak terbesar yang mendorong kapal keluarga maju. Ternyata aku malah jadi badai yang bikin semua orang mabuk laut.”

Kita terlalu sibuk jadi ombak sehingga lupa belajar jadi pantai,” gumam Retna. “Tempat semua yang lelah bisa pulang.”

Angin laut berhembus, membawa suara anak-anak lokal yang tertawa mengejar ombak di tepi pantai. Di kejauhan, Umar mencoba berdiri di atas papan dan jatuh untuk kesekian kali. Madi merekam dengan cekikikan keras, lalu ikut jatuh ketika tersapu ombak kecil.

Retna menatap mereka, lalu menatap Jayeng. “Bagaimana kalau setelah ini, kita belajar membaca gelombang hidup kita sendiri lagi?” tanyanya. “Bukan hanya mengikuti arah arus kantor dan dunia.”

“Kamu mau resign?” tanya Jayeng hati-hati.

“Aku ingin memilih,” jawab Retna. “Mungkin bukan resign total, mungkin mengubah bentuk. Menolak akuisisi penuh, menawarkan model kemitraan yang lebih lambat, tapi memegang prinsip. Mungkin juga membuka satu sekolah kecil di dekat sini, mengajak guru-guru lokal, memadukan online dan offline. Aku tidak tahu persisnya. Tapi aku tahu satu hal: aku tak mau lagi hidup hanya sebagai penumpang di kapal yang ditentukan orang lain.

Jayeng terdiam lama, menatap garis cakrawala. “Kalau aku bilang aku ingin ikut, apakah itu membuatmu lega atau justru tambah berat?” tanyanya pelan.

Retna tersenyum kecil. “Itu akan membuatku berhenti merasa sendirian,” jawabnya. “Dan mungkin untuk pertama kalinya dalam hidup pernikahan kita, kita benar-benar naik ke papan yang sama.”

Jayeng tertawa pendek, lalu mengangguk. “Baiklah. Kita belajar berselancar untuk hidup kita sendiri.”

Di saat itu, ombak berikutnya datang. Tidak besar, tapi cukup kuat untuk mendorong mereka. Instruktur berteriak dari kejauhan, memberi aba-aba agar mereka bersiap. Tanpa banyak berpikir, Retna dan Jayeng mencoba berdiri bersamaan di atas papan—labil, tertawa gugup, hampir jatuh, tapi kali ini, entah bagaimana, mereka berhasil menjaga keseimbangan selama beberapa detik.

Angin menampar wajah mereka, air memercik ke segala arah, dan dunia terasa melambat. Di bibir pantai, Umar dan Madi bersorak sambil mengangkat tangan. Sesaat, semua beban kota—rapat, target, cicilan, resume LinkedIn—menghilang. Yang tersisa hanyalah dua orang dewasa yang kembali belajar tertawa seperti mahasiswa berumur dua puluhan.

Kadang, untuk sembuh, kita hanya perlu diingatkan bahwa kita masih bisa bermain, pikir Retna.

.

Malam terakhir di Bali, mereka duduk berempat di teras vila. Suara debur ombak menjadi latar bagi obrolan yang lebih jujur daripada grup WhatsApp mana pun.

Umar bercerita tentang malam saat ia hampir menyerah total, menatap layar laptop yang berisi email dari investor terakhir yang menarik diri. Madi mengakui bahwa banyak ekspansi coffee shop-nya lebih didorong ego untuk tampak besar di mata orang tua dan teman-teman sekolah bisnis, bukan karena perhitungan matang.

Jayeng mengungkapkan ketakutannya jika suatu hari ia pulang terlalu terlambat, menemukan rumah hanya sebagai bangunan tanpa jiwa. Retna mengakui bahwa di balik program-program literasi dan branding media sosial “perempuan tangguh pembawa perubahan”, ada sisi dirinya yang masih merasa seperti anak kecil yang takut mengecewakan orang tua.

Mereka tertawa, menangis, saling menyimak tanpa menghakimi.

“Gue sadar satu hal,” kata Umar akhirnya. “Selama ini kita sibuk banget mengejar gelombang yang kelihatan di feed orang lain. Jabatan, penghasilan, jumlah cabang, jumlah follower. Padahal gelombang paling penting justru yang datang diam-diam di hati kita sendiri.”

“Gelombang yang bikin kita bertanya: ‘Apa yang sebenarnya ingin kita jaga ketika semua ini selesai?’” sambung Madi.

Retna menatap langit. Bintang-bintang kecil berkerlip malu-malu di antara awan tipis. “Mungkin keberhasilan sejati bukan saat kita berdiri paling tinggi di atas ombak,” katanya lirih. “Tapi saat kita bisa menolong orang lain yang hampir tenggelam, karena kita pernah ada di posisi itu.

Malam kian larut. Di kepala Retna, potongan rencana mulai menyatu: menata ulang struktur perusahaannya, menawarkan skema baru kepada investor yang lebih menghargai dampak sosial, mengajak Umar mengembangkan platform teknologi yang lebih realistis, mengundang Madi mengelola kafe kecil di area sekolah pantai sebagai ruang pertemuan komunitas, dan meminta Jayeng membantu merancang kerangka hukum yang melindungi semua itu.

Hidup tidak akan tiba-tiba mudah, ia tahu. Tapi setidaknya kini ia tak lagi berdiri sendirian di tengah gelombang.

.

Beberapa bulan setelah perjalanan itu, Jakarta masih macet seperti biasa. Lampu-lampu apartemen masih menyala sampai larut. Grup WhatsApp kantor masih penuh dengan pesan tentang target dan laporan. Namun ada sesuatu yang berubah pelan, seperti garis pantai yang beringsut setelah pasang surut.

Gelombang Belajar tidak jadi diakuisisi penuh. Retna dan timnya menegosiasikan ulang proposal. Pertumbuhan akan lebih pelan, tapi fokus pada sekolah-sekolah komunitas yang benar-benar membutuhkan. Umar bergabung sebagai CTO, dengan kontrak yang membiarkannya mengajar coding gratis untuk anak-anak pesisir tiga hari tiap bulan. Madi menjual beberapa outlet di mal besar, lalu membuka satu coffee shop kecil di dekat sekolah pantai, tempat orang tua murid dan guru bisa bertemu, berbagi cerita.

Ayah Retna perlahan belajar berjalan lagi dengan tongkat. Setiap kali ia melihat video cucu-cucu murid Gelombang Belajar berlarian di pasir sambil membawa buku, matanya berbinar.

“Kamu benar,” katanya pada suatu sore ketika Retna menemaninya latihan jalan di taman kota kecil mereka. “Kadang kita harus rela berhenti menumpuk bata yang tinggi, untuk membangun jembatan yang menghubungkan banyak orang.”

Retna hanya tersenyum. Di ponselnya, gambar ombak hijau kebiruan masih tersimpan sebagai wallpaper. Setiap kali hidup kembali terasa berat—rapat yang melelahkan, laporan keuangan yang belum seimbang, atau perbedaan pendapat dengan Jayeng—ia akan menatap gambar itu dan mengulang pelan kalimat yang kini menjadi mantranya sendiri:

“Aku tidak bisa mengendalikan ombak yang datang. Tapi aku selalu punya pilihan: tenggelam, mengambang pasif, atau berdiri dan mencoba berselancar lagi.”

Pada suatu pagi yang cerah, di sela-sela hiruk pikuk kota, Retna menerima pesan foto dari Madi. Foto itu memuat sebuah papan tulis di kafe pantai kecil mereka, dengan tulisan kapur putih:

“Hari ini, kalau hidup menghantammu seperti ombak besar, ingatlah: kamu tidak sendirian di laut ini.”

Retna menatap foto itu lama, lalu mengetik balasan:

“Terima kasih sudah mengingatkanku bahwa gelombang bukan musuh. Mereka hanya cara hidup mengajari kita untuk terus bergerak.”

Di dalam mobil yang terjebak macet, ia menutup mata sejenak. Suara klakson, pengumuman stasiun MRT, dan dering notifikasi bercampur menjadi desah kota yang tak pernah usai. Namun di balik semua riuh itu, Retna merasa ada ruang kecil dalam dirinya yang tenang seperti teluk.

Ruang tempat ia tahu, apa pun gelombang yang datang, ia tak lagi harus menghadapinya sendiri.

.

.

.

Malang, 22 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenSastra #KompasMingguVibes #GelombangHidup #KelasMenengahKota #UrbanStory #RefleksiDiri #SelfHealingJourney #NamakuBrandkuStyle

.

Quotes yang Terkandung dalam Cerpen

  1. “Kadang yang bikin kita sakit bukan karena kalah, tetapi karena sadar bahwa kita sedang diuji pada titik yang paling kita banggakan.”

  2. “Kita terlalu sibuk jadi ombak sehingga lupa belajar jadi pantai—tempat semua yang lelah bisa pulang.”

  3. “Mungkin keberhasilan sejati bukan saat kita berdiri paling tinggi di atas ombak, tapi saat kita bisa menolong orang lain yang hampir tenggelam, karena kita pernah ada di posisi itu.”

  4. “Aku tidak bisa mengendalikan ombak yang datang. Tapi aku selalu punya pilihan: tenggelam, mengambang pasif, atau berdiri dan mencoba berselancar lagi.”

Leave a Reply