Pulang Tanpa Kehilangan Diri
“Lingkungan kerja yang sehat bukan sekadar soal gaji;
ia adalah ruang bernapas di mana manusia boleh tumbuh tanpa kehilangan dirinya sendiri.”“Di kota yang tak pernah tidur, kerja sering merampas ruang bernapas. Tapi di balik angka, target, dan rapat yang tak henti, selalu ada manusia yang ingin pulang tanpa kehilangan dirinya sendiri.”
.
Senja merunduk di antara kaca-kaca tinggi Sudirman, menumpahkan warna jingga pada mobil-mobil yang berbaris seperti sisik ikan. Dari lantai dua puluh tiga, Kertolo memandang arus itu sambil menutup laptopnya yang sudah hangat oleh rapat daring seharian. Di mejanya ada tumbler kopi yang tinggal ampas, selembar kertas yang penuh coretan skema konsolidasi, dan sticky note kecil dengan tulisan tangan Nila, anaknya: “Ayah, pulang sebelum bintang keluar.”
Ia mengantongi sticky note itu seperti jimat. Di luar, Lembu—teman segenerasinya yang sama-sama pernah menempuh jalur cepat karier—menggulung lengan kemeja, menegakkan tubuh, dan memasang senyum “corporate” yang sudah terlatih bertahun-tahun.
“Dinner sama partner di Senopati, ikut?” tanya Lembu.
Kertolo melirik arloji. Pukul enam lewat sepuluh. “Lewat, Lem. Aku janji baca buku bareng Nila. Besok pagi aku yang antar dia ke sekolah.”
Lembu tertawa pendek, seolah-olah itu candaan. “Lo tuh anomali di lantai ini, Kert. Orang lain mau pulang pun takut, khawatir ninggalin ‘kesempatan’. Lo santai aja.”
“Aku takut juga,” jawab Kertolo pelan. “Takut lupa jadi manusia.”
Lift menurunkan Kertolo melewati lobi yang marmernya mengilat. Di luar, sopir-sopir ojek daring berderet sambil menatap layar ponsel. Spanduk diskon restoran bergoyang tertiup angin. Jakarta, di jam yang rawan ragu antara pulang dan lanjut bekerja, terasa seperti mesin tak pernah padam.
.
Di rumahnya di Bintaro, Raras menunggu dengan meja makan sederhana: sup buntut khas ibunya, tumis buncis, sambal matah yang pedasnya menyiram lelah. Raras, pengusaha butik daring yang mempekerjakan lima belas karyawan—sebagian ibu-ibu tetangga yang butuh jam kerja fleksibel—mempunyai gaya memimpin yang Kertolo pahami tepat: tegas, tapi tidak mengucik.
“Gimana harimu?” tanya Raras.
“Seperti biasa. Banyak angka, banyak diplomasi. Tapi aku menolak dua panggilan setelah jam tujuh. Tadi dibilang ‘kurang responsif’.”
“Responsif itu bukan berarti 24/7 available,” Raras menyodorkan mangkuk. “Itu namanya lack of boundary.”
Kertolo tersenyum. Mereka selalu kembali ke percakapan yang sama: batasan. Sejak berjanji pada diri sendiri untuk tidak menjawab surel sesudah pukul delapan, Kertolo kerap digunjing. Tetapi batinnya tenang, terutama ketika ia melihat Nila memeluk buku dongeng di sofa, menunggunya menepati janji.
Malam itu, setelah Nila tertidur, Kertolo membuka tab yang sudah lama ia tinggalkan: folder berisi esai-esai finansial untuk keluarga muda, yang dahulu menjadi pelabuhan passion-nya. Ia menulis pelan, menganyam cerita tentang dana darurat, tentang compound interest yang bisa menjadi kawan, bukan momok, ketika kita berhenti dikejar-kejar gengsi. Ia menulis bukan untuk viral, melainkan untuk mengingatkan dirinya sendiri bahwa angka-angka seharusnya menguatkan manusia, bukan memerasnya.
Di dinding, selembar papan tulis hitam menempel dengan kapur warna: rencana akhir pekan ke pameran seni, jadwal les musik Nila, jadwal harian Raras dan tim butiknya—training pattern making, review marketplace ads, mentoring hari Kamis. Raras baru saja menandatangani kerja sama dengan sebuah sekolah vokasi di Tangerang untuk program magang. “Pertumbuhan itu harus ditopang, bukan diperas,” kata Raras suatu kali. “Orang yang senang akan belajar, tak perlu dipaksa.”
Kertolo iri pada cara Raras membangun sistem. Di kantornya, yang disebut pertumbuhan adalah target beranak-pinak. Ada pelatihan, tetapi sering menjadi ritual menandai billable hours. Sementara Raras mengubah pelatihan menjadi perayaan kecil: nasi kuning tumpeng setiap kali ada satu penjahit yang lulus naik tingkat; dana sertifikasi pattern maker yang menyasar pekerja perempuan berusia di atas tiga puluh lima.
“Ras,” tanya Kertolo kemudian, “bagaimana caramu bikin orang betah?”
Raras mengambil nafas. “Aku percaya aman psikologis. Di tim, orang boleh protes selama ia juga menawarkan solusi. Boleh punya hari ‘gelap’ dan bilang ‘aku butuh jeda’ tanpa takut digeser. Kita ada zero tolerance buat drama, gaslighting, micromanaging. Kalau ada yang nge-bully, maaf, keluar. Yang tinggal adalah manusia yang mau saling mengangkat.”
Kertolo mencatat seperti mahasiswa. Zero tolerance for toxic—ia mengulang dalam hati. Kata-kata itu memantul di kepalanya seperti manik-manik.
.
Perkara toxic itulah yang menamparnya dua bulan kemudian. Ada proyek besar dari klien rintisan teknologi yang siap go public. Di rapat, kepala divisi mengisyaratkan agar tim “merapikan narasi” agar kinerja kuartal tampak lebih shiny. Kata yang digunakan bukan “manipulasi”—tentu tidak akan ada yang seblak-blakan itu—melainkan “creative accounting dalam batas wajar”.
Kertolo menatap layar, tetapi kamus moral dalam dirinya sudah tebal: “Batas wajar” adalah palung yang membuat orang pikun pada kompasnya. Ia mengangkat tangan, mengusulkan agar mereka menyajikan dua skenario jujur, dengan risiko dan catatan asumsi yang jelas. Ruangan hening. Seorang manajer senior tertawa pendek, “Kamu idealis, Kert. Dunia nyata jarang semulus itu.”
Malamnya ia pulang telat, hujan memandikan aspal, wiper mobil bergerak seperti metronom. Raras tak banyak bertanya. Ia hanya menyeduhkan teh. Di kamar, Nila sudah tidur, pipinya merah karena sisa demam dua hari lalu. Di wajah kecil itu, Kertolo melihat alasan paling telanjang mengapa ia tidak boleh menunda kejujuran.
Satu pekan setelah rapat itu, ia menandatangani pengunduran diri. Bukan keputusan yang mudah. Gaji yang baik, asuransi kesehatan yang luas, kartu keanggotaan gym premium, jaringan pertemanan yang bisa menjadi jalan pintas ke mana-mana. Tetapi ada sesuatu yang lebih mahal dari semua itu: tidur nyenyak.
Lembu memandangnya dengan campur aduk. “Lo serius?”
“Serius.”
“Terus mau ke mana?”
“Ngajak lo,” jawab Kertolo, separuh bercanda.
Lembu mendengus. “Kau gila.” Hening sejenak. “Kalau gila itu bentuk waras, mungkin aku gila juga.”
.
Mereka menyewa ruko dua lantai di Kemang Atas, tiga kilometer dari tempat kopi yang dulu sering mereka datangi untuk melepas suntuk. Ruko itu bau cat baru, lampunya kuning ramah, dan jendelanya menghadap pohon angsana yang rajin menjatuhkan daun. Kertolo dan Lembu menamakan firma mereka Sabrang & Kertalo Advisory—meminjam nama Sabrang dari cerita lama yang mereka suka di rumah Kertolo: kisah Menak Madura yang di mata mereka bukan sekadar pertempuran, melainkan pelayaran batin untuk menemukan arah.
Mereka merekrut empat orang: Arum, analis yang cermat; Waseng, data engineer yang suka menulis puisi; Sekar, relationship manager dengan empati yang menular; dan Jatmika, akuntan muda yang menyukai kejujuran lebih dari rumus excel. Mereka sepakat pada lima prinsip yang tertulis besar di dinding, persis seperti poster putih yang Nila gambar dengan spidol:
-
Batas adalah hak, bukan kemewahan.
-
Pertumbuhan yang didukung, bukan dituntut.
-
Hidup di luar kerja penting; libur adalah hak, bukan rasa bersalah.
-
Aman psikologis: boleh salah, asal belajar; boleh bersuara, asal menghargai.
-
Zero tolerance untuk toxic. Hormat adalah standar.
Jam kerja dibuat fleksibel. Rapat tak boleh lebih dari satu jam. Konten internal berupa learning notes wajib diunggah setiap Jumat, bukan untuk menagih, tetapi agar semua orang merasa punya kebun bersama yang ditanami. Mereka membayar konsultan psikologi organisasi untuk coaching bulanan—langkah yang terasa ganjil bagi firma kecil, tetapi justru itulah yang membuat napas mereka panjang.
Klien pertama datang dari BSD: sebuah perusahaan e-commerce furnitur lokal yang sedang pacak klumit. Di ruang rapat sederhana, pemiliknya—Anggraeni—bercerita tentang burnout, churn rate, dan angka inventori yang menggila. Ketika presentasi selesai, Anggraeni berkata, “Kantor kalian… beda. Rasanya kayak ngobrol di ruang tamu.”
“Kami memang pengin begitu,” jawab Sekar. “Karena angka paling jujur keluar ketika manusia merasa aman.”
Sembari menyusun dashboard dan memetakan risiko operasional, Kertolo menyelipkan satu program yang selama ini cuma jadi catatan pribadi: kelas literasi finansial keluarga untuk para karyawan klien. “Kita bantu bisnisnya, tetapi kita juga bantu manusianya,” ujarnya. Anggraeni menyetujui. Program itu jadi percobaan pertama mereka untuk menganyam kerja profesional dengan pelayanan kemanusiaan.
Hasilnya aneh tapi hangat: turnover menurun, loyalitas meningkat, dan yang tak diduga, para karyawan mulai berani meminta hari cuti untuk hal-hal kecil tapi penting: mengantar anak imunisasi, menemani orang tua ke dokter gigi. “Ternyata yang bikin orang betah itu bukan mood booster setiap Jumat,” kata Anggraeni, “tetapi perasaan dipahami.”
.
Tiga tahun berlalu seperti kompilasi potongan video: kursi-kursi kantor dipindahkan untuk kelas fotografi in-house di malam hari; lantai ruko jadi studio yoga setiap Rabu; teras dipakai bazar buku bekas untuk beasiswa sekolah vokasi. Kertolo menyaksikan hidupnya berenang ke arah yang dulu hanya ia bisikkan kepada diri sendiri.
Tetap saja, kesulitan datang. Pandemi kecil yang memanjat kota. PHK massal dari beberapa klien karena investor ketakutan. Sewa ruko tiba-tiba naik. Di satu titik, Lembu—yang biasanya tegar—mendadak lebih sering menatap meja.
“Gue takut, Kert,” katanya. “Kita ini idealis. Dunia nggak selalu ramah sama idealis.”
Kertolo tersenyum letih. “Mungkin bukan idealis. Mungkin kita cuma nggak mau jadi orang yang memaksa orang lain kehilangan dirinya. Kalau nanti harus kecil, ya kita kecil. Asal kita utuh.”
Sore itu, mereka berjalan kaki menyusuri Kemang. Hujan rintik. Bau tanah basah bercampur aroma kopi dari kios-kios kecil. Mereka berhenti di jembatan kecil yang menganga ke kali keruh, menatap kendi langit yang pecah. Ada rasa damai yang jarang mau mampir pada orang-orang perkotaan: rasa bahwa dunia boleh terlalu besar, tetapi hati mereka cukup luas untuk menampung takut sekaligus percaya.
Malamnya, Kertolo menulis satu paragraf di company page LinkedIn mereka:
“Kami berdiri karena percaya angka dan manusia bukan musuh. Kami ingin bekerja dengan Anda, bukan di atas Anda. Jika Anda mencari konsultan yang bisa memoles laporan, kami bukan tempatnya. Tapi jika Anda mencari kawan seperjalanan untuk membangun bisnis yang sehat dan manusia yang utuh, mari duduk bersama.”
Postingan itu tidak viral. Tetapi seminggu kemudian, seorang founder rintisan pendidikan menghubungi. Mereka sedang merancang edtech yang menyasar pekerja yang ingin beralih karier. Mereka butuh konsultan untuk menyusun impact measurement dan skema kelayakan finansial.
“Di perusahaan ini, kami ingin orang bisa belajar tanpa malu karena usia,” katanya dalam rapat awal. “Bisa tolong pastikan model kami tidak mengorbankan pengajar dan murid?”
Kertolo mengangguk. Di matanya, itu proyek yang membuat napas punya ritme.
.
Sementara kembarannya di rumah—Raras—bergerak dengan orbitnya sendiri. Butiknya melebar menjadi atelier kecil. Ia mengajak perajin batik yang hampir menutup usaha karena tak ada penerus. Mereka membangun lini ready-to-wear yang bersahabat di tubuh dan ramah di hati. Raras menulis di dinding atelier: “Baju yang baik tidak membuatmu menjadi orang lain; ia memeluk dirimu yang sejati.”
Suatu siang, Raras menggelar open studio untuk anak muda yang ingin masuk jagat butik. Ia mengundang Anggraeni menjadi pembicara tentang supply chain. Sekar mengisi sesi tentang layanan pelanggan yang berempati. Ada tawa, ada catatan kecil, ada mata-mata yang kembali menyala. Di akhir acara, Raras memeluk Kertolo dan berbisik, “Aku suka lihat orang bertumbuh tanpa takut.”
Kertolo ingat ayahnya di Madura—almarhum, pedagang kelontong yang membaca puisi di malam hari. Sang ayah pernah berkata, “Orang besar bukan yang suaranya paling keras, tetapi yang hatinya paling lapang.” Ia mengulang kalimat itu seperti mantra, terutama ketika harus memutuskan sesuatu yang bisa menyinggung orang. Di firma kecilnya, dua kali ia menolak klien yang datang dengan permintaan “mempercantik realitas”. Sakit, sebab uangnya besar. Tetapi justru dari menolak itulah kepercayaan lain lahir: referral berdatangan dari para pemilik usaha yang lelah dengan permainan.
.
Pada ulang tahun pernikahan mereka yang kesepuluh, Kertolo dan Raras mengajak Nila ke Museum Tekstil. Mereka menyusuri galeri kain, jari-jari Nila menyentuh motif parang yang seperti ombak kecil. “Batik itu bukan cuma gambar,” kata Raras, “dia cerita yang dicelup berkali-kali, sampai warnanya menyatu di serat. Begitu juga kerja manusia.”
Malamnya, di beranda, Nila bercerita tentang sekolah. “Bu guru bilang, kita harus punya passion project.” Nila ingin mengajar membaca di panti asuhan dekat rumah. Ia meminta izin untuk menggunakan kantor Kertolo sebagai tempat latihan baca setiap Sabtu. Kertolo tidak bisa menolak. Ia menatap Raras, menemukan kilau persetujuan yang ia cintai sejak awal mengenal perempuan itu.
Sabtu pagi, kantor kecil itu berubah menjadi kelas. Anak-anak duduk melingkar, Nila memimpin permainan kata. Waseng membantu membuat kartu-kartu suku kata. Arum membacakan cerita tentang kapal yang menolak berlayar jika awaknya saling membentak. Di ruang kerja tempat angka biasanya berbaris, tawa anak-anak bergema. Mungkin inilah definisi lain dari “return on investment” yang tak pernah akan ditemukan di neraca mana pun.
.
Musim demi musim berlalu. Sabrang & Kertalo Advisory tumbuh secukupnya—tidak meledak, tidak juga mengerut. Mereka pindah ke tempat yang lebih terang, masih di Kemang, dengan pohon ketapang kencana yang memayungi. Di dinding, lima prinsip itu tidak berubah. Nampan kopi masih beredar setiap jam sepuluh. Playlist musik masih berganti antara keroncong dan lo-fi. Dan di jendela, senja masih berkunjung pada pukul yang sama: lima lewat tiga puluh.
Suatu sore, Lembu masuk ke ruangan Kertolo dengan langkah ringan. “Ada email.”
“Dari siapa?”
“Dari perusahaan multinasional. Mereka mau kerja sama jangka panjang. Budgetnya… lumayan.”
“Lumayan yang merusak iman?” tanya Kertolo sambil tertawa.
“Lumayan yang bisa bikin kita naik satu lantai dan menggaji dua konselor penuh waktu untuk program well-being,” jawab Lembu serius. “Dan mereka bilang tertarik karena pendekatan kita soal aman psikologis. Mereka mau mengubah budaya kerja.”
Kertolo membaca surat itu. Di akhir, ada kalimat yang menantang: “Kami ingin meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kemanusiaan.” Ia memejamkan mata sedetik, seakan menimbang masa depan di telapak tangan. Ini bukan godaan yang menguji integritas—ini panggilan.
“Kalau kita terima, kita harus jaga agar tim tidak jadi mesin,” katanya pada Lembu. “Jam kerja harus tetap sehat. Dan kita setujui hanya kalau mereka mau membiayai program literasi finansial dan counseling untuk karyawannya sendiri.”
Lembu mengangguk. “Kirim syarat itu. Kalau mereka bilang ya, itu pertanda kita ada di jalur yang benar.”
Dua hari kemudian, jawaban tiba. “Kami setuju. Kami juga ingin belajar dari modul Anda.” Kantor kecil bergemuruh oleh sorak yang merembes dari dapur sampai teras. Kertolo memandang poster di dinding: “Hormat adalah standar.” Ia merasakan sesuatu menetes hangat di belakang mata: kelegaan.
.
Malam perayaan itu sederhana. Mereka makan nasi liwet di teras, lampu bohlam digantung melintang. Anak-anak—Nila dan beberapa keponakan karyawan—berlari-lari sampai napasnya singkat. Raras duduk di kursi rotan, memutar gelas, memandangi kawan-kawan yang kini seperti keluarga.
Kertolo berdiri dan bicara pelan, tanpa pengeras suara, agar yang terdengar bukan keindahan kata, melainkan ketulusannya.
“Kita memulai tempat ini dengan ketakutan, tapi juga dengan harapan. Kita tidak tahu apakah orang akan percaya bahwa kerja bisa sehat. Terima kasih untuk semua yang bertahan, yang saling setia. Aku belajar bahwa perusahaan bukan tongkat sihir. Ia hanya rumah. Dan rumah hanya berarti kalau yang tinggal di dalamnya saling menjaga.”
Arum mengangkat tangan, setengah bercanda setengah serius. “Pak—eh, Kert—boleh nambah satu prinsip ke dinding?”
“Prinsip ke enam?” tanya Kertolo.
“Humor adalah vitamin. Kita nggak bisa sehat tanpa tertawa.” Semua orang tertawa. Dan tawa itu menyatukan mereka lebih dari jabat tangan mana pun.
Raras kemudian berdiri, menyampaikan pesan yang sejak lama ia simpan. “Aku ingin menitip satu kalimat. Ini dari pengalaman kita semua: Kerja yang tepat bukan membuatmu besar di mata orang lain, melainkan membuatmu pulang tanpa rasa kehilangan diri.”
Malam itu, di bawah lampu temaram, kalimat itu menggantung lama. Seperti payung yang tiba-tiba mau terbuka hanya dengan sentuhan pelan.
.
Beberapa bulan kemudian, sebuah kiriman datang ke kantor: poster besar berbingkai, dengan kalimat yang mereka kenal dari foto yang pernah beredar di lini masa—lima tanda lingkungan kerja yang sehat. Poster itu dibuat oleh klien edtech mereka, dicetak rapi, dan di bawahnya tertulis: “Terima kasih telah mengajarkan kami menjadi perusahaan yang lebih manusiawi.”
Kertolo memegang bingkai itu seperti memegang buku rapor anaknya. Di pojok bawah, ada catatan tangan: “Kami tidak lagi takut bilang ‘capek’. Kami belajar membedakan disiplin dan kekerasan. Kami masih mengejar target, tetapi kini target itu tidak mengejar kami sampai ke rumah.”
Ia menggantung poster itu di samping jendela. Senja memantul padanya, dan tulisan-tulisan itu bersinar tipis.
Nila, yang kebetulan baru pulang les piano, berdiri di sampingnya. “Ayah, yang paling penting dari lima itu apa?”
Kertolo berpikir sejenak. “Semua penting. Tapi yang paling penting… mungkin yang kelima. Zero tolerance buat toxic. Dari situ yang lain bisa tumbuh.”
“Berarti kalau ada yang rese, kita bilang nggak?” tanya Nila polos.
“Kita bilang ‘tidak’ sambil tetap hormat,” kata Kertolo. “Karena menghormati dirimu sendiri juga bagian dari menghormati orang lain.”
Nila mengangguk, lalu berlari ke piano dan memainkan lagu pendek. Di sela nada-nada yang belum rapi, Kertolo mendengar masa depan: tidak mulus, tapi jujur.
Ia berdiri di jendela, menatap kota yang tetap padat, tetap bising, tetap penuh arah. Tetapi kini ada ruang kosong di dalam diri yang tak lagi ingin diisi oleh pengakuan. Ruang itu adalah halaman kecil tempat kata-kata tumbuh tanpa takut, tempat hari-hari penuh kerja tidak merampas malam-malam untuk keluarga, tempat rekan sekerja menjadi manusia yang boleh salah, boleh lelah, boleh meminta jeda.
Jakarta menyalakan lampu-lampu. Di kaca, bayangan Kertolo bertumpuk pada bayangan kota. Ia tersenyum—jenis senyum yang lama tak ia temukan ketika hidupnya hanya berputar pada grafik. Ia memejamkan mata, mendengar kembali suara ayahnya dari jauh: “Orang besar bukan yang suaranya paling keras, tetapi yang hatinya paling lapang.”
Dan di hatinya, lapang itu bukan lagi cita-cita. Ia sudah menjadi alamat.
.
“Kerja yang tepat bukan membuatmu lebih bernilai dari orang lain,
melainkan mengingatkanmu bahwa nilai dirimu tak pernah ditentukan oleh jam lembur.”
.
.
.
Malang, 7 Okktober 2025
.
.
#LingkunganKerjaSehat #WorkLifeBalance #AmanPsikologis #ZeroToxic #CerpenIndonesia #KehidupanPerkotaan #BudayaKerja #KompasMingguStyle #HumanCenteredWork