Empat Arah Angin di Kota
“Urip iku urup: hidup berarti ketika kita menyalakan cahaya pada hidup orang lain—meski koreknya berasal dari saku yang sama-sama pas-pasan.”
.
Di langit kota yang tak pernah benar-benar gelap, Tole duduk di tepi trotoar Jalan Pamekasan, menatap pantulan lampu-lampu gedung pada genangan hujan semalam. Di belakangnya, mural pudar bergambar perahu layar—seperti pulau masa kecilnya di seberang, seperti ingatan yang tak lagi lengkap. Ia merokok tanpa menyalakan api, ujung batangnya hanya disentuhkan ke udara—kebiasaan menahan keinginan, kata seseorang.
“Kalau kau tidak menyalakan, buat apa menggenggamnya?” tanya Wira, datang dengan payung lipat masih menetes, ransel hitam di punggung.
Tole tersenyum miring. “Biar ada yang ditahan. Menahan itu latihan.”
Mereka menunggu Kemuning dan Sambu. Di grup chat, Kemuning baru saja menuliskan, “Tunggu lima menit. Aku pegang anak-anak RPTRA, mau kuantar pulang dulu.” Sementara Sambu menjawab dengan stiker wajah kucing yang mengantuk, lalu menambahkan, “Aku bawa paflet dan kunci gudang, tapi jangan minta senyum ya, stoknya tipis.”
Malam itu, mereka berempat bertemu di ruang komunitas kecil lantai dasar sebuah ruko tua di sudut gang—ruang yang mereka namai “Jendela”. Bukan sekadar tempat, tapi semacam pelindung bersama. Di temboknya tergantung foto memudar: warga kampung berdiri berbaris dengan sapu lidi di tangan, tertawa, di bawah spanduk “Bersih adalah Sehat.” Mereka dulu jadi relawan kebersihan. Lalu satu per satu pindah kerja, pindah rumah, atau pindah harapan.
“Jadwal besok padat,” kata Wira membuka pertemuan begitu semua berkumpul. Ia mengeluarkan peta cetak yang disusun dari beberapa lembar A3, disambung selotip. Peta itu menampilkan blok-blok kelurahan yang akan terdampak proyek “koridor hijau”—sebuah rencana mempercantik kota dengan menata bantaran kali. Cantik, tapi sering berarti pindah.
Kemuning melepaskan jaket, menata rambut yang basah. Mata beningnya menyapu wajah teman-temannya. “Ibu-ibu menunggu jawaban. Katanya surat sosialisasi tak menyebutkan tempat relokasi yang jelas. Anak-anak sekolah mereka… ya, kau tahu.”
Tole mengangkat alis, menepuk celana yang mulai robek di lutut. “Kita perlu menyusun cerita yang bisa didengar orang kantor,” ujarnya. “Cerita yang bukan hanya sedih, tapi masuk akal. Orang-orang di atas itu suka angka.”
“Angka dan peta,” timpal Wira tanpa senyum. “Dan daftar aksi. Tiga puluh hari. Kalau dalam tiga puluh hari kita tidak punya data, kita habis suara.”
Sambu meletakkan bundel kunci di meja, menimbulkan bunyi berderak. Dari empat orang itu, Sambu paling tidak suka bicara. Ia akan datang paling pagi, pulang paling terakhir, memastikan ruangan terkunci, menyusun kursi, memperbaiki kabel-kabel, menambal bocor. Dalam banyak rapat, ia terdengar hanya ketika semua orang selesai.
“Besok aku ke kelurahan,” katanya pendek. “Minta dokumen. Kalau ditolak, ya minta lagi.”
.
Kota bergerak seperti mesin besar yang menghela-hela napasnya sendiri. Pagi itu, Wira dengan kemeja biru polos menatap layar komputer di coworking space kecil yang disewa “Jendela” per jam. Di keningnya garis-garis tipis berdiri; ia menatap lembar kerja—kolom-kolom angka hasil survei awal: 137 rumah di blok A, 82 di blok B, 49 di blok C; 62% mata pencaharian tidak tetap; 38% tetap tapi rawan; 73% orang tua mengandalkan sekolah dan posyandu dalam radius 1 kilometer dari rumah. Ia menambahkan catatan: jika relokasi lebih dari 5 km, risiko putus sekolah naik 28% (cut-off hasil studi kasus wilayah timur).
“Jangan buat mereka jadi statistik,” suara Kemuning dari belakang. Ia membawa dua gelas kopi panas. “Tapi ya, kita perlu statistik.”
Wira menerima kopi, mengangguk. “Statistik cuma pijakan.”
“Kau tahu,” lanjut Kemuning, duduk, “ibu-ibu di RT 3 bilang, ‘Asal kami tidak pecah. Jangan bikin kami asing di tempat sendiri.’ Kata-kata itu seperti … aku tak tahu.”
“Seperti paku di hati,” sahut Wira. “Kita bicarakan di presentasi nanti. Bukan hanya angka yang pindah, jaringan manusia ikut gugur.”
Siang menjelang ketika Tole datang, menebarkan bau angin luar dan wangi rokok yang tidak ia nyalakan. Ia membawa kamera saku tua dan seikat kertas: sketsa poster, draf narasi video, rencana rilis media. Tole adalah lidah tim. Jika Wira adalah otak yang menyusun strategi, dan Kemuning hati yang menjahit relasi, Tole adalah suara—kadang lantang, kadang bergetar, selalu mencoba menyentuh.
“Aku ketemu wartawan kampus,” katanya. “Mereka mau bantu liputan komunitas minggu depan. Kita butuh gambar yang layak ditonton. Aku ingin merekam bukan hanya sedih—juga cara mereka bertahan. Tukang tambal ban di ujung gang itu, misalnya. Kau tahu, dia mengajarkan anak-anaknya menghitung melalui ukuran ban. Praktik matematika, katanya. Itu harus masuk.”
“Masuk,” kata Kemuning, tersenyum. “Jangan lupa Pak Basri, guru ngaji yang meminjamkan halaman rumah untuk kelas sore. Anak-anak menyebutnya kelas pelangi.”
Sambu muncul beberapa menit kemudian, menaruh map plastik bening di meja. “Dapat,” katanya. “Salinan rencana teknis awal. Ada peta detail. Ada timeline.”
Mereka saling berpandangan. Map itu seperti kunci kecil ke pintu yang lebih besar—bisa berupa jalan keluar, bisa juga lorong buntu. Tapi setidaknya, mereka tidak lagi meraba dalam gelap.
.
“Alon-alon asal kelakon,” gumam Kemuning, memandangi malam lewat jendela bus kota menuju ke posyandu. “Pelan tapi sampai.”
“Pelan bukan berarti pasrah,” jawab Tole. “Ada saatnya kita harus berlari.”
Kemuning menoleh, menatap Tole dengan mata yang penuh sesuatu yang tidak ia sebutkan. “Kau selalu ingin berlari.”
“Karena aku tahu rasanya ditinggal kereta,” Tole terkekeh singkat. “Dan karena aku pernah tertinggal banyak hal.”
Mereka turun di halte dekat gang sempit. Di ujung gang, cahaya posyandu tampak seperti lampu kapal yang berusaha menuntun perahu-perahu kecil. Di sana, ibu-ibu duduk, beberapa menggendong balita, beberapa sibuk menakar bubur kacang hijau. Kemuning bergabung mengukur tinggi badan, berat badan, sementara Tole membantu memotret, mencatat.
Seorang ibu muda, kerudung biru pastel, menyodorkan buku KIA anaknya. “Mbak, kalau kami pindah nanti, posyandunya jauh tidak ya?”
Kemuning tersenyum menenangkan. “Kami sedang mengusahakan agar layanan tetap dekat. Kami butuh data agar suara ibu-ibu lebih didengar. Tolong isi ini, ya,” katanya menyodorkan formulir. “Kalau kita bergerak bersama, keputusan di atas juga harus mempertimbangkan kebutuhan di bawah.”
Ibu itu mengangguk. “Sira bisa amarga liyan,” katanya pelan—barangkali ia pernah mendengar pitutur itu di mana. Kita bisa karena orang lain.
Kemuning menatap Tole. Tole mengangguk, memotret buku KIA yang lusuh itu. Entah bagaimana, momen sederhana itu terasa seperti penanda: bahwa semua hal besar lahir dari yang kecil dan konsisten.
.
Wira bekerja seperti jam. Ia memetakan nama-nama, koordinat, akses jalan, jarak ke sekolah dan puskesmas, lalu mengonversi semuanya ke peta panas; merah untuk risiko tinggi, kuning untuk sedang, hijau untuk aman. Ketika melihat daerah merah melebar di pinggir peta, ia menghela napas panjang.
“Kalau rencana ini jalan tanpa skema mitigasi, tingkat putus sekolah bisa naik 20–30% dalam dua tahun pertama,” katanya pada rapat internal sambil menunjuk peta. “Sementara peluang kerja yang dekat dengan tempat tinggal—warung, bengkel, laundry rumahan—akan hilang seketika. Rantai ekonomi kecil ini rapuh.”
Tole mengetuk meja pelan. “Kalimatmu indah buat slide, Wira. Tapi kita butuh yang menusuk. Yang membuat mereka merasakan.”
“Data bisa menusuk,” jawab Wira tenang. “Ketika diikat oleh kisah.”
Sambu menambahkan, “Dan dijahit rapi oleh jadwal. Aku catat: minggu pertama data; minggu kedua sosialisasi video pendek; minggu ketiga audiensi; minggu keempat pilihan skema alternatif. Kalau meleset, kita ulang.”
“Kita lakukan,” ucap Kemuning, menatap mereka satu per satu. “Ingat pitutur: Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Keangkaraan bisa luluh oleh kebijaksanaan. Kita tidak melawan, kita merundingkan masa depan yang manusiawi.”
.
Di sela kerja, hidup tetap minta bagian. Kemuning merawat ibunya yang sakit ginjal; Tole lembur sebagai barista malam agar sewa kamar kontrakan tertutup; Wira menolak tawaran kerja tetap di konsultan agar bisa fokus, keputusan yang membuat ibunya cemas; Sambu menabung untuk menikah tapi makin sering mengambil uang tabungan karena harga bahan bangunan naik.
Suatu malam, setelah rapat warga, Tole berjalan bersama Kemuning melewati jembatan kecil yang menghubungkan gang mereka ke jalan besar. Air kali memantulkan cahaya lampu seperti kulit ikan.
“Kau pernah merasa … kita melawan sesuatu yang terlalu besar?” tanya Kemuning tiba-tiba.
“Sering,” jawab Tole. “Tapi aku juga percaya, yang besar itu tidak selalu kuat di semua sisi. Ada celah. Tugas kita mencari celah itu, memasukkan suara.”
Kemuning terdiam, memeluk dirinya. “Aku takut gagal, Tole.”
“Kita akan gagal beberapa kali,” kata Tole pelan. “Lalu menang sedikit. Lalu gagal kecil lagi. Itu cara dunia bergerak.”
Kemuning menatap Tole, dan Tole menahan tatapannya hanya sebentar. Ia takut membaca sesuatu yang ia tidak siap untuk jawab.
.
Audiensi pertama berlangsung di aula kelurahan. Pejabat dinas datang dengan setelan abu-abu, rambut disisir klimis; tim teknis menyusun map dan laptop; warga berbondong-bondong, membawa bayi, termos nasi, rasa ingin tahu, dan sedikit marah. Di depan, Wira memegang pointer laser; Tole menata mikrofon dan speaker; Sambu memastikan proyektor tak meledak di menit krusial; Kemuning menyambut ibu-ibu, menyodorkan daftar hadir, menenangkan bayi yang menangis.
Wira membuka presentasi dengan tenang, menampilkan peta, angka, dan grafik. “Ini bukan penolakan terhadap perubahan,” katanya. “Ini upaya memastikan perubahan tidak mencabut akar warga.” Ia menunjukkan proyeksi jarak sekolah—jika relokasi lebih dari 5 km, jam tidur anak akan berkurang 40–60 menit per hari, menambah kelelahan. Ia menampilkan potret “kelas pelangi” Pak Basri, “matematika ban” di bengkel kecil, posyandu, taman bacaan.
Tole mengambil alih, menayangkan video tiga menit yang mereka produksi: wajah-wajah yang tertawa, tangan-tangan yang bekerja, suara bocah yang mengeja, juga keraguan di mata para orang tua. Di akhir video, muncul kalimat sederhana: “Rumah bukan sekadar dinding. Rumah adalah jarak terpendek antara kita dan harapan.”
Aula hening. Pejabat dinas membersihkan tenggorokan. Ia berkata, “Kami mendengar. Tapi proyek ini—”
“Tole?” bisik Kemuning.
Tole mengangguk, melangkah, suaranya lembut namun teguh. “Kami mengusulkan tiga skema alternatif, Pak. Satu, in-situ upgrading bertahap: memperbaiki bangunan dan drainase tanpa menggusur, dibarengi pelatihan kerja. Dua, relokasi dekat dengan radius 1–2 km, memprioritaskan keluarga dengan anak usia sekolah dan lansia. Tiga, kerja sama penggunaan lahan kosong milik BUMD untuk hunian sementara sambil menunggu rumah susun jadi. Kami bawa data jarak layanan esensial dan proyeksi biaya. Kami siap bekerja bersama.”
Pejabat dinas menatap lembar usulan. Ia tampak heran, mungkin karena biasanya ia hanya menerima penolakan, bukan rancangan alternatif. “Kami tidak bisa janji hari ini,” ucapnya akhirnya. “Tapi kami akan bicarakan.”
Dari belakang, Sambu mencatat detil: akan bicarakan = tindak lanjut 10 hari; butuh pengingat 7 hari; siapkan bahan tambahan. Ia mengetuk-ngetukkan bolpoin ke buku catatan, ritme kecil yang tak sempat orang lain tangkap.
.
Hari-hari berjalan seperti deret angka: 1—jemput data, 2—olah peta, 3—publikasi video, 4—rapat wilayah, 5—pendampingan hukum, 6—istirahat (meski tak pernah benar-benar istirahat), 7—ulang lagi dari awal. Di sela deret itu, ada jeda-jeda rapuh: mata Kemuning yang memerah karena kurang tidur; suara Tole yang parau karena terlalu sering bicara; punggung Wira yang kaku; jari-jari tangan Sambu yang melepuh karena memperbaiki atap posko kala hujan deras.
Pada pekan ketiga, mereka mendapat panggilan kedua dari dinas. Rapat kerja lebih kecil, di gedung ber-AC dan lift yang sunyi. Tole memperlihatkan mock-up brosur sosialisasi versi warga, dengan bahasa sederhana dan ilustrasi. Wira menjelaskan analisis biaya—bahwa in-situ upgrading bisa menghemat 15–20% dibanding relokasi penuh jika dihitung nilai putus kerja dan biaya sosial. Kemuning membawa testimoni warga yang direkam singkat, kalimat-kalimat ringkas yang menembus: “Kalau saya pindah, siapa yang menjaga Ibu saya sementara saya jualan? Jarak rumah ke warung saya hanya 300 meter.” Sambu membawa dokumen legal, pointer pada pasal kewajiban pemerintah menyediakan hunian pengganti yang layak.
Di ujung rapat, pejabat dinas berkata, “Kami akan uji coba satu RW dengan skema dua: relokasi dekat 1–2 km, prioritas sekolah. Tiga bulan masa uji.”
Mereka keluar gedung itu dengan napas panjang yang sama-sama ditahan lalu dilepas. Di parkiran, hujan baru saja reda; pohon ketapang berkilat.
“Ini belum menang,” ujar Wira, realistis.
“Tapi kita menggeser jarum,” sahut Tole.
Kemuning menepuk bahu Sambu. “Kau mencatat semua tindak lanjut?”
“Sudah,” jawab Sambu singkat. “Tapi kita butuh teman lagi. Pekerjaan akan bertambah.”
Tole menatap langit, lalu ke wajah-wajah mereka. Ada rasa syukur yang tidak meledak, hanya hangat. Ada juga takut: karena kemenangan kecil menuntut pekerjaan baru.
.
Setelah rapat itu, kabar menyebar. Jendela kedatangan relawan: mahasiswa arsitektur yang menawarkan rancangan rumah modular murah; guru matematika yang bersedia mengajar malam; pengacara muda yang mau mendampingi administrasi; fotografer yang meminjamkan lensa. Tim inti tumbuh—seperti gang yang memperluas diri pelan-pelan.
Namun, bersama kabar baik, datang juga lupa. Ada yang mulai bertengkar karena kredit foto; ada yang tersinggung karena pendapatnya tak diambil; ada yang sinis, menilai “perjuangan” ini hanya panggung. Di media sosial, komentar beragam, dari dukungan sampai mengejek.
Pada suatu rapat malam, pertengkaran meledak. Seorang relawan menghentakkan tangan ke meja, menuduh Tole memonopoli panggung. Tole membalas dengan sengit. Suara meninggi. Wira meletakkan kacamata, memijat hidung. Kemuning mencoba menenangkan, tapi terseret arus. Sambu berdiri, mematikan proyektor. Gelap sesaat.
Dalam gelap itu, suara Sambu datar, minim emosi, tapi tegas. “Kita bukan panggung. Kita jembatan. Kalau jembatan retak, kita semua jatuh. Ingat pitutur: Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Kita datang bukan untuk mengalahkan siapa, tapi memenangkan cara.”
Sunyi setelahnya seolah memberikan ruang kepala mereka mengulang kata-kata itu. Kemuning menyalakan lampu. Wira mengembuskan napas. Tole menatap meja sebentar, lalu mengangguk, menatap relawan itu. “Maaf,” katanya. “Aku keras kepala. Aku takut waktu habis sebelum kita sempat apa-apa.”
Relawan itu menunduk. “Aku pun minta maaf. Aku kelelahan.”
Kemuning menyimpulkan rapat dengan merapikan tujuan: “Kita kembali ke empat arah angin kita. Wira menjaga arah strategi. Tole memikul suara. Aku menjahit hubungan. Sambu menegakkan eksekusi. Yang lain, pilih tempat berdiri yang paling pas. Bukan semua harus berdiri di tengah.”
Mereka pulang malam itu dengan langkah lebih pelan. Di depan ruko, lampu neon temaram. Dari kejauhan, suara kentongan ronda seperti metronom yang menenangkan.
.
Uji coba berjalan. Satu RW dipilih; jarak relokasi 1,4 km dari rumah semula. Tidak semua mulus: air awalnya keruh, listrik tersendat, beberapa kunci rumah terlambat dikirim. Tapi anak-anak bisa tetap di sekolah lama; posyandu keliling menambah jadwal; kelas pelangi tetap menyala di halaman Pak Basri, kini dua kali seminggu.
Wira mengumpulkan data dampak: jam tempuh ke sekolah turun 50% dibanding skema relokasi jauh; angka izin absen menurun 17%; pendapatan harian keluarga yang bergantung pada pelanggan lama stabil (turun kecil 4–6% namun pulih di bulan ketiga). Tole menulis kisah-kisah kecil untuk media warga: ibu penjual nasi uduk yang berpindah gerobak lebih pagi agar sempat menyapa pelanggan lama; bapak tukang tambal ban yang membuka cabang mini di lokasi baru; seorang anak bernama Aksara yang tetap juara kelas karena tidak harus bangun sebelum ayam.
Kemuning menjalani hari-hari dengan berjalan kaki lebih banyak, mengetuk pintu, mendengarkan curhat, membawa minyak kayu putih di tas kecilnya. Ia kembali ke rumah selalu setelah ibu tidur. Tole sering mengantarnya pulang. Di gang menuju kontrakan Kemuning, ada pohon mangga yang buahnya jarang diambil pemiliknya; mereka suka berhenti di situ, hanya untuk menghela napas.
“Kalau semua ini selesai,” kata Tole suatu malam, “kau mau kemana?”
Kemuning tersenyum samar. “Tidak ada yang benar-benar selesai, Tole. Tapi kalau kau tanya ke mana aku, mungkin aku ingin istirahat tiga hari, ke pantai. Membiarkan ombak menertawakan aku.”
“Boleh aku ikut menertawakanmu?” Tole bercanda. Kemuning menoleh, menatap dalam. “Kalau kau bisa tertawa tanpa melukai,” katanya. “Kalau tidak, lebih baik menangis yang jujur.”
Tole tak tertawa. Ia menunduk, menggigit bibir, merasakan dunia mengendur dan menegang bersamaan.
.
Bulan ketiga. Rapat evaluasi akhir uji coba. Di layar, Wira menampilkan rangkuman metrik, Tole menayangkan video penutup, Kemuning menyampaikan testimoni keluarga, Sambu memaparkan daftar perbaikan teknis yang belum tuntas. Pejabat dinas mengangguk pelan. “Kami merekomendasikan perluasan skema kedua untuk empat RW,” katanya akhirnya. “Tentu ada penyesuaian. Kami minta kalian terlibat dalam tim pelaksana.”
Ada tepuk tangan. Ada juga skeptisisme yang masih mengambang—karena keputusan di kota tak selalu lurus. Tapi malam itu, di “Jendela,” mereka makan nasi goreng bersama, tertawa, saling menggodai. Sambu tersenyum, senyum kecil yang jarang—seperti celah sinar di awan tebal.
Kebahagiaan itu, sayangnya, tidak bertahan lengkap.
Keesokan harinya, saat memperbaiki kabel di plafon posko, kaki Sambu terpeleset. Ia terjatuh, menahan diri dengan tangan. Tulang radiusnya retak. Sambu, yang selalu menjaga segala sesuatu berjalan, harus duduk.
“Tole,” katanya di klinik sambil menahan nyeri, “kau yang jaga kunci.”
Tole tertawa hambar. “Kau pikir aku bisa menggantikanmu?”
“Tentu tidak,” Sambu menatapnya dengan mata yang jernih. “Kau tidak menggantikan. Kau mengisi. Kita ini gotong royong. Kalau satu tangan berhenti, tangan lain cukup kuat menahan sehari. Besok gantian.”
Tole diam. Ia merasakan sesuatu mengembang di dada: tanggung jawab yang bukan beban, melainkan undangan. Ia menggenggam bundel kunci itu, mengangguk.
Malam-malam setelah itu, Tole datang lebih awal ke posko, memeriksa lampu, menyusun kursi, memastikan air termos terisi. Ia baru sadar ada ratusan urusan kecil yang dulu seolah terjadi sendiri. Ia menulis satu kalimat di buku catatan: “Kemenangan besar berdiri di atas disiplin yang diam.”
.
Meski skema meluas, suara sumbang tidak hilang. Beberapa warga menuduh mereka “bersekongkol” karena mau bekerja sama dengan pemerintah. Di media sosial, serangan pribadi mengarah ke Kemuning, menuduhnya mencari perhatian.
Suatu sore, Kemuning duduk termangu di teras Jendela. Hujan turun tipis, bau tanah naik. “Aku lelah, Tole,” suaranya parau. “Bukan karena pekerjaan, tapi karena kata-kata yang dibuang tanpa hati.”
Tole duduk di sampingnya, memegang payung dilipat, tak tahu harus melakukan apa. Lalu ia berkata pelan, “Wani ngalah luhur wekasane. Berani mengalah, mulia akhirnya. Bukan kalah, Kemuning. Mengalah.”
Kemuning menatapnya. Ada air di matanya, tapi ia tersenyum. “Kau tahu menenangkan di waktu yang tepat,” ujarnya. “Itu berbahaya sekali.”
“Kupikir yang berbahaya itu ketika aku lupa menenangkan diriku sendiri,” Tole membalas, setengah bercanda.
Mereka tertawa kecil bersama, di bawah suara hujan yang semakin rapat. Dan di sela tawa itu, Tole memberanikan diri menggenggam ujung jaket Kemuning—bukan tangan, bukan pelukan, hanya ujung jaket—seperti anak kecil memegang ujung kain ibunya saat menyeberang jalan.
.
Waktu berlalu. Kota belajar mengeja kebijakan dengan suku kata yang lebih manusiawi. Empat RW menyusul program relokasi dekat; in-situ upgrading diuji di dua lokasi. Tidak semua menawan, tapi cukup untuk menyalakan cerita baru: bahwa perubahan bisa dinegosiasikan, bahwa warga bukan objek, melainkan rekan setara.
Satu sore, di lapangan kecil dekat rumah susun baru, “kelas pelangi” merayakan ulang tahun ketiga. Ada kue bolu susu sumbangan koperasi. Pak Basri memimpin doa, anak-anak meniup lilin bersama. Wira duduk di bangku semen, mengakhiri satu peta lagi; Sambu, sudah sembuh, memasang tenda kecil agar angin tidak mematikan lilin; Kemuning memeluk ibu-ibu; Tole memotret dan kadang-kadang lupa menekan tombol karena matanya basah.
Seorang anak, Aksara, menarik lengan Tole. “Bang Tole, apa itu ‘urip iku urup’?”
“Tole menatap Aksara, lalu menatap Kemuning, Wira, Sambu. Ia menurunkan kamera, berjongkok. “Itu artinya, Nak, kalau kita hidup, jangan cuma jadi bayangan. Jadilah cahaya buat orang lain. Sedikit saja, asal sungguh.”
Aksara mengangguk. “Kayak lilin?”
“Ya,” jawab Tole. “Tapi kalau bisa, jadi pagi.”
.
Di malam perayaan itu juga, Tole kembali ke jembatan kecil. Ia ingin sendirian sejenak; beberapa kebahagiaan perlu ruang kosong agar tak tumpah. Ia merogoh saku, menemukan rokok yang sudah patah. “Lucu,” gumamnya, menatap ujungnya. “Yang patah pun masih bisa dinyalakan.”
Seseorang berdiri di sampingnya. Kemuning. “Kau tidak menyalakannya?” tanyanya.
“Tidak,” Tole tersenyum, menyimpan rokok. “Aku rasa sekarang aku tidak perlu latihan menahan. Aku perlu latihan melepas.”
Kemuning menghela napas, memandang aliran air yang gelap. “Kau tahu, aku dulu memimpikan hidup yang rapi. Bangun pagi, bekerja, pulang, menua. Tapi ternyata ruas jalan berubah, jalur kita lengkung.”
“Rapi itu membosankan,” kata Tole.
“Rapi itu menenangkan,” bantah Kemuning, lalu tertawa. “Tapi iya, kadang menenangkan juga lahir dari kekacauan yang dirapikan bersama.”
Angin bergerak, membawa aroma tanah basah dan sedikit bau solar dari bus jauh. Tole tidak memegang ujung jaket lagi. Ia menggenggam tangan Kemuning. Kali ini, tidak hanya sebentar. Dunia tetap bising, tapi ada bagian kecil yang tenang.
.
Beberapa bulan kemudian, Jendela mengadakan pameran kecil di balai warga: foto, peta, grafis, dan catatan harian. Tole menulis pengantar: “Kami bukan pahlawan. Kami orang-orang biasa yang bosan menjadi penonton.” Wira memajang timeline pekerjaan mereka: 120 hari, 48 rapat, 6 video, 9 peta, 312 formulir warga. Kemuning menempelkan kertas-kertas warna-warni berisi potongan kalimat dari ibu-ibu: “Terima kasih sudah mendengar.” “Jangan lupakan yang sakit pinggang.” “Sekolah tetap dekat.” Sambu menata lampu-lampu.
Seorang pria paruh baya datang, menatap foto-foto itu lama. Ia berjalan mendekati Tole. “Anak muda,” katanya, “dulu saya tidak percaya gerak kecil bisa menunda mesin besar. Ternyata bisa. Kau dan teman-temanmu membuktikannya.”
Tole menggeleng. “Bukan kami. Ini banyak orang.”
Pria itu tersenyum. “Banyak orang selalu dimulai dari beberapa.” Ia menepuk bahu Tole, lalu berlalu.
Malam penutupan pameran, Tole berdiri di depan mikrofon. Di hadapannya, warga duduk di kursi plastik, sebagian berdiri, anak-anak berlari kecil. Tole menatap wajah-wajah yang ia kenal: Pak Basri, ibu penjual nasi uduk, tukang tambal ban, Aksara. Ia menatap Kemuning, Wira, Sambu.
“Tole menarik napas. Ucapannya sederhana.
“Teman-teman,” katanya, “kita semua tahu kota ini tak akan pernah berhenti berubah. Kadang cepat, kadang pelan. Tapi ingat pitutur: Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh. Jangan mudah heran, jangan mudah terkejut, jangan semena-mena. Kalau ada yang terlalu besar, cari celah manusiawinya. Kalau ada yang terlalu kecil, perbesar dengan gotong royong. Kalau ada yang patah, jangan langsung dibuang—lihat dulu apakah ia masih bisa menyalakan cahaya.”
Ia berhenti sejenak. “Dan kalau suatu hari kami pun lelah,” suaranya melembut, “tolong ingatkan kami bahwa urip iku urup. Hidup, ya menyalakan.”
Tepuk tangan menyebar pelan, lalu menguat. Di sudut ruangan, Sambu berdiri dengan tangan menyilang, bibirnya menahan senyum. Wira mengusap kacamata—mungkin ada debu. Kemuning mengusap sudut matanya—pasti bukan debu.
Di luar, kota melanjutkan hiruknya. Lampu-lampu mengalir seperti ombak terang. Jendela menutup pintu malam itu, tapi jendela yang lain sudah dibuka: jendela di kepala banyak orang, jendela di hati yang tadinya waswas, jendela di peta yang tadinya merah semua.
Keesokan paginya, Tole bangun sebelum subuh. Ia berjalan menyusuri gang, menyalakan lampu-lampu kecil di posko, merebus air untuk termos, menyapu lantai. Ia tidak merasa seperti pahlawan. Ia merasa seperti orang yang menepati janji pada dirinya sendiri: bahwa ia akan mencoba menyalakan, meski koreknya kecil, meski tangannya kadang gemetar.
Saat matahari menetas di ufuk, Wira datang membawa kertas-kertas baru; Kemuning datang dengan senyum yang sudah setengah lelah setengah berapi; Sambu datang mengangkat galon air. Mereka makan bubur di pinggir jalan, memandangi kota yang mulai berangkat.
“Jalan panjang,” kata Wira.
“Tapi kita sudah menemukan langkah,” sahut Kemuning.
“Dan langkah itu bukan milik kita sendiri,” tambah Sambu.
Tole mengangguk. Ia menatap mereka, menatap kota, menatap pagi. Lalu ia berkata pelan, seperti janji, seperti doa:
“Kita bukan hanya bekerja. Kita membentuk kebiasaan baru: menjadi manusia.”
Dan, entah kenapa, kata-kata itu seperti membuat udara menjadi lebih terang setengah nada.
.
.
.
Jember, 23 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #PituturJawa #KotaBercerita #GotongRoyong #UrbanStory #HumanCentered #Empati #RelokasiBerkemanusiaan #MenyalakanHidup