Mereka Merindukanmu, Tapi Tak Pernah Menyatakan
“Yang paling sunyi dari rindu bukan jarak, melainkan keberanian yang tidak jadi dilahirkan.”
.
Kita hidup di zaman yang aneh. Di mana rindu dikirim lewat story, bukan lewat pesan. Di mana rasa bersalah disembunyikan di balik diam. Di mana cinta bisa begitu dalam, namun tak pernah sampai ke permukaan.
Ini adalah kisah tentang Muninggar dan Wiradana—dua nama yang seolah lahir dari kidung Menak Madura, tetapi tumbuh di jantung kota modern; dua hati yang masih saling mengingat, namun dikepung kebiasaan untuk menahan diri.
.
Nama Itu Muncul Lagi
Ketukan Diam di Pintu Hati
Hujan di Surabaya turun rapi seperti nada-nada gamelan: tertib, telaten, menjejak kaca jendela seperti mengetuk masa lalu. Di apartemen lantai dua puluh milik Muninggar, lampu-lampu kota membias pada tirai tipis, mengganggu hening yang sengaja ia bangun sejak beberapa pekan lalu.
Ponselnya bergetar.
“Wiradana viewed your story.”
Bukan hal baru. Nama itu selalu muncul di urutan teratas. Mengintip, lalu pergi. Seperti seseorang yang berdiri lama di depan pintu, mengetuk pelan, tetapi menolak masuk.
Muninggar membuka galeri. Foto-foto lama masih tersimpan rapi: mereka tertawa di bibir pantai Sambilangan; mereka membelah malam di Jembatan Suramadu, memotret angin; mereka menyantap soto madura di warung favorit, berdebat soal rasa asin yang “harusnya” sedikit ditahan; mereka menyusun mimpi—rumah kecil dengan halaman untuk menjemur garam pada baki-baki rotan, sekadar lelucon yang jadi serius bila diulang puluhan kali.
Dulu, setiap notifikasi dari Wiradana membuat jantungnya berdebar. Kini, hanya ada perasaan ganjil yang sulit ia jelaskan: semacam nyeri yang tidak keras, tapi konsisten, seperti sepatu yang setengah nomor lebih kecil—tetap bisa dipakai, tetapi melukai tiap langkahnya.
“Kalau kamu masih membaca hidupku dari jauh,” gumamnya pada pantulan diri di jendela, “kenapa kamu tidak mengucap satu kalimat saja: aku menyesal?”
.
Diam yang Nyaring
Ketakutan yang Berbicara Lewat Hening
Di sisi kota yang lain, lampu-lampu kantor di CBD mengecil satu per satu. Di lantai belasan, Wiradana menutup rapat presentasi akuisisi properti—angka-angka yang indah untuk komisaris, tetapi hambar untuk rindunya. Ia menyalakan ponsel: story Muninggar baru diunggah. Potret buku di pangkuan, secangkir kopi, jendela basah oleh hujan.
Ia mengetik: “Apa kabar, Ning?”
Kursor berkedip. Berkedip lagi. Lalu ia menghapusnya.
Ada suara kecil di kepalanya, suara yang selama ini menang: “Besok saja. Selesaikan dulu target Q4. Sabar dulu—nanti waktu yang memperbaiki.”
Padahal ia tahu, waktu tidak memperbaiki apa pun yang tidak dikerjakan. Waktu hanya mengeras—seperti garam yang dibiarkan di udara terlalu lama.
Ia menutup ponsel. Menatap malam. Lalu menepis rasa dengan cara-cara yang mapan bagi kelas menengah mapan: memesan makan malam yang baik, membayar keanggotaan gym yang jarang dipakai, dan merencanakan liburan yang mungkin akan sendirian.
“Kalau ia bahagia,” batin Wiradana, “bukankah mengganggu adalah ego?”
Tetapi ia lupa, diam—di hadapan orang yang kita cintai—sering kali adalah bentuk ego paling halus.
.
Sahabat yang Mendengar
Cermin untuk Hati yang Terluka
“Dia masih lihat story kamu?” tanya Rengganis sambil meniup uap kopi di kedai langganan mereka di Dharmawangsa. Musik jazz mengalun pelan; barista cekatan, pelanggan rapi; kota seperti menepis lelahnya sendiri dengan wangi kopi.
“Setiap hari,” jawab Muninggar, mencoba tersenyum. “Tapi tak satu pun pesan.”
Rengganis bersandar, menatap temannya yang biasa tegas di ruang rapat, tetapi ringkih di wilayah rasa. “Berhentilah berharap dari orang yang memilih diam daripada jujur.”
“Kalau suatu hari dia minta maaf?”
“Maaf yang datang terlambat itu baik untuk penutup, bukan permulaan,” kata Rengganis. “Kamu tidak butuh orang yang mengagumimu diam-diam; kamu butuh orang yang mengusahakanmu.”
Kalimat itu menancap seperti paku payung di papan gabus: kecil, tapi memastikan sesuatu tetap pada tempatnya.
.
Luka yang Membeku
Waktu yang Tak Menyembuhkan
Sudah dua bulan sejak pertengkaran itu—perkara sederhana yang tumbuh menjadi jurang. Mereka berselisih soal ulang tahun ibu Muninggar.
“Kamu janji datang,” kata Muninggar di telepon malam itu.
“Aku ada rapat dadakan,” jawab Wiradana. “Kamu juga harus mengerti.”
“Aku juga bekerja. Tapi aku mengusahakan.”
“Jangan mulai lagi, Ning.”
“Bukan aku yang memulai. Kamu yang mengabaikan.”
Percakapan berakhir dengan layar yang padam sebelum perasaan sempat mencari jalan pulang.
Wiradana percaya waktu akan menyembuhkan. Nyatanya, waktu hanya membekukan—seperti es batu: bening, dingin, keras; menyimpan sesuatu di dalamnya tetapi menolak untuk disentuh.
.
Draf Pesan yang Tak Pernah Terkirim
Keberanian yang Selalu Tertunda
Di tengah malam, ketika gedung-gedung berhenti berbicara, Wiradana membuka kembali percakapan lama. Ia membaca tawa yang telah berubah menjadi arsip. Ia mengetik pelan:
“Ning, aku minta maaf. Aku bodoh membiarkan jarak mengisi tempat yang seharusnya kita isi berdua.”
Kursor berkedip. Lalu pesan disimpan di draf—sekali lagi. Tak pernah terkirim.
Ia membayangkan kemungkinan paling buruk: ditolak. Ia lupa membayangkan kemungkinan paling baik: dimaafkan.
Kita sering membesarkan bayangan hingga menutupi pintu. Padahal, pintu itu tidak terkunci. Kita sendiri yang tidak memutarnya.
.
Menjadi Rumah Bagi Diri Sendiri
Pelajaran dari Rasa
Muninggar membuka jurnal kulit kesayangannya. Di halaman pertama bulan ini, ia menulis:
“Hari ini, aku belajar menjadi rumah bagi diriku sendiri. Jika seseorang ingin pulang, ia akan mengetuk. Tugasku bukan menunggu—tugas
ku memastikan ruang tamuku terang.”
Ia mulai menata ulang hidupnya: kembali ke kelas yoga subuh yang lama ditinggal; menelepon ibunya tiap Rabu malam; mendaftar volunteering di komunitas yang membagi makan siang untuk pekerja harian; menolak proyek yang menggerus akhir pekannya.
Itulah hal-hal kecil yang membuatnya waras: menyiram tanaman di balkon, mengganti seprai, menghapus foto lama bukan karena benci, tapi karena memberi tempat pada yang baru.
Sementara itu, Wiradana mulai merasa kehilangan seperti alarm yang telat disetel. Di ruang rapat, kata-kata menghilang dari kepalanya. Di rumah, sunyi membesar. Ia mulai bertanya pada diri sendiri: “Apa gunanya memenangkan tender jika aku kalah pada diri sendiri?”
.
Kota sebagai Cermin
Rencana yang Tidak Lagi Sama
Malam lain di Suramadu, angin laut memanggil kenangan seperti anak kecil memanggil layang-layang. Dulu, di jembatan ini, mereka berjanji akan merayakan keberhasilan-keberhasilan kecil: proyek yang tembus, artikel yang tayang, klien yang akhirnya percaya.
“Kalau kita tidak jadi menikah, kita tetap jadi manusia baik,” kata Muninggar kala itu, setengah melucu.
“Kalau kita jadi menikah, kita harus tetap jadi manusia baik,” sahut Wiradana, menautkan jari-jari di udara.
Janji-janji itu tidak pernah bubar—hanya terpisah.
Kota mengajari mereka hal yang tidak diajarkan keluarga: menegakkan diri ketika sayap terasa robek; membayar kesepian dengan produktivitas; menyembuhkan dengan memberi. Tetapi kota juga menyimpan cermin: pada akhirnya, kita harus menatap siapa yang menatap balik dari kaca lift, dari kaca helm, dari permukaan kopi hitam—diri sendiri.
.
Tiga Kalimat
Sebuah Percakapan yang Seharusnya Sederhana
Beberapa pekan kemudian, di lobi hotel tempat konferensi industri properti diselenggarakan, takdir memaksa mereka berpapasan. Tidak ada musik dramatis, hanya sapaan sopan dan senyum yang terlalu formal.
“Lama,” kata Wiradana.
“Ya,” jawab Muninggar.
“Kamu terlihat baik.”
“Karena aku hidup benar,” ucap Muninggar, lalu menahan napasnya—bukan karena gugup, tetapi karena sadar: kebenaran sering terasa tajam bagi orang yang menundanya.
Mereka berdiri sejenak, seperti dua orang asing yang pernah saling hafal. Tiga kalimat saja—itu yang dibutuhkan untuk mulai menyeberang. Tetapi jembatan itu lagi-lagi tidak dilewati.
.
Menyentuh Dasar
Saat Keheningan Tak Lagi Nyaman
Malam itu, Wiradana pulang lebih cepat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi: wajah yang tampak berhasil tetapi lelah. Ia menyalakan ponsel, membuka draf lama, menambahkan kalimat:
“Jika kamu tidak ingin kembali, aku tetap ingin meminta maaf. Untuk yang telah kulalaikan, untuk ego yang kubesarkan. Kamu berhak bahagia—denganku, atau tanpaku.”
Ia menekan kirim.
Untuk pertama kalinya, ia memilih keberanian daripada perhitungan.
Di ujung kota, ponsel Muninggar bergetar. Ia membiarkan pesan itu berenang dalam benaknya selama beberapa menit. Lalu ia menulis balasan, jujur tanpa menunda:
“Terima kasih. Aku sudah memaafkanmu sebelum kamu meminta. Maafku adalah pintu keluar bagi amarahku sendiri. Tapi aku tidak lagi menunggu di beranda. Aku sudah melanjutkan hidup. Semoga kamu juga bisa.”
Pesan terkirim. Muninggar menutup mata, menghirup napas panjang. Bukan untuk kembali, tetapi untuk damai.
.
Hal-hal yang Tersisa
Apa yang Kita Pelajari Setelah Selesai
Beberapa waktu berlalu, hidup berjalan. Muninggar menerima tawaran menulis kolom berkala tentang etika diri di tempat kerja—bagaimana tidak memelihara dendam pada jam makan siang, bagaimana mengembalikan martabat dengan meminta maaf tepat waktu, bagaimana menegur diri sendiri tanpa mempermalukan. Ia menulis dengan gaya yang rapi, sesekali menyelipkan kisah relawan, menambahkan doa. Kolom itu banyak dibaca karena praktis dan jujur.
Wiradana, di sisi lain, mulai pulang lebih awal. Ia menata ulang prioritas, menghubungi ayahnya lebih sering, hadir saat keponakannya tampil menari di sekolah. Ia masih bekerja keras—itulah dirinya—tetapi ia belajar tidak menunda kalimat penting. Pada rekan kerjanya yang berbuat salah, ia berkata, “Mari perbaiki hari ini.” Pada dirinya yang tergelincir menunda, ia berkata, “Ketakutan tidak membeli waktu—ketakutan hanya membakar peluang.”
Suatu Sabtu, mereka bertemu lagi—kali ini tidak sengaja di sebuah pameran fotografi. Mereka saling tersenyum. Tidak ada lagi luka yang menuntut. Tidak ada lagi harap yang memaksa. Ada kedewasaan yang menenangkan.
“Foto itu bagus,” ujar Muninggar menunjuk gambar taneyan lanjhang—rumah Madura yang menyatu, halaman memanjang dengan sumur di tengah; simbol keluarga yang saling menjaga.
“Indah karena berdekatan,” kata Wiradana.
“Dan kuat karena jujur,” sambung Muninggar.
Mereka tertawa kecil. Dua kalimat, cukup untuk menyimpulkan masa lalu: kedekatan tanpa kejujuran hanya terasa seperti rumah tanpa sumur—indah di foto, kering di kehidupan.
Rindu yang Disopankan Keberanian
Di dunia ini, banyak hati yang masih saling mencintai tetapi kalah oleh egonya sendiri. Mereka merindukan, tetapi tidak menyatakan; mereka menyesal, tetapi tidak mengucap; mereka ingin kembali, tetapi tidak melangkah. Lalu menyalahkan waktu—padahal yang kurang hanyalah keberanian untuk mengetuk.
Jika kamu sedang membaca kisah ini dengan seseorang berkelebat di kepalamu, ambillah napas yang dalam dan ingat:
-
Rindu yang tidak diucapkan berubah menjadi luka yang pelan-pelan menggerogoti hati.
-
Maaf yang kau minta hari ini menyelamatkanmu dari penyesalan besok.
-
Cinta bukan hanya rasa—cinta adalah tindakan yang berulang-ulang memilih jujur.
Muninggar dan Wiradana mengajarkan kita: kadang akhir yang baik bukan kembali, melainkan berdamai—dengan orang lain, dan terutama, dengan diri sendiri.
“Orang yang benar-benar peduli memilih kejujuran, bukan keheningan.”
Dan kota, dengan semua lampu yang menyala dan padam, tetap berdiri sebagai saksi: bahwa keberanian kecil mengubah peta besar—yang jauh menjadi dekat, yang beku menjadi cair, yang sendu menjadi sederhana: lega.
.
.
.
Jember, 6 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #CintaDewasa #RinduYangTertahan #MenakMadura #KotaDanRasa #KeberanianBerucap #Reflektif #EdukasiEmosional
.
Kutipan-kutipan dari Kisah
-
“Keberanian itu pintu kecil, tapi di baliknya ada ruang tamu yang terang.”
-
“Jangan menyuruh waktu menyembuhkan, jika kamu sendiri menolak berobat.”
-
“Kedekatan tanpa kejujuran adalah rumah tanpa sumur.”
-
“Maaf yang datang tepat waktu adalah lampu yang dinyalakan sebelum gelap.”