Kisah Kita yang Tak Lagi Sama
“Jangan pernah merasa penting dalam hidup seseorang. Hati orang bisa berubah lebih cepat dari musim. Hari ini kamu berarti, besok bisa saja tak dianggap sama sekali.”
— Refleksi Jayeng
.
Namaku Jayeng. Dulu kukira pertemanan itu batu karang: keras, tegap, mau diguyur badai apa pun tetap menantang laut. Ternyata ia lebih menyerupai pasir putih di pesisir kota—indah mengisi sela-sela hidup, namun mudah menyelinap pergi tiap kali angin mengganti arah. Kami—aku, Arjuna, Palgunadi, dan Darmawangsa—pernah sehidup semati. Dalam komunitas kerja sosial yang kami bangun dari nol, di sebuah kota pesisir yang cuma punya satu mal bersinar, satu bandara mungil, dan sejuta rencana masa depan bernama “besok”.
.
Komunitas yang Kami Namai SAGARA
Kami menamai rumah kecil itu Sagara. Rasanya tepat—laut menampung arus, menerima sampah, menyimpan badai, namun setiap pagi kembali berkilau ditimpa matahari. Sagara berdiri di ruko tiga lantai, persis di gang belakang gedung perkantoran baru yang menancapkan papan nama LED seperti iklan janji tak habis-habisnya. Lantai satu untuk pelatihan menjahit dan barista; mesin obras berderik bersahut-sahutan dengan bunyi grinder kopi. Lantai dua untuk kelas pembuatan konten digital: lampu ring murahan, layar hijau, tripod karatan dan, entah bagaimana, selalu ada tawa meledak di tengah kebisingan. Lantai tiga—ruang rapat hari Jumat malam—dindingnya kami cat biru tua, sewarna laut pada menit sebelum matahari tenggelam.
Arjuna paling dulu datang tiap Jumat. Ia jarang bicara, tapi ketika ia mengangkat alis dan menatap satu-satu, ruang seketika rapi seperti barisan prajurit. Palgunadi kebalikan Arjuna: periang, visioner, mulutnya tak pernah lelah menyusun peta masa depan di udara. Darmawangsa jadi jembatan—ia mendengar, meringkas, menawar konflik jadi kompromi, menutup rapat rahasia orang agar luka tak bergema.
Kami menulis mimpi di kertas karton: pelatihan keterampilan gratis untuk anak muda yang tersandung jalan pendidikan, konsultasi bisnis mikro bagi ibu-ibu yang ingin naik kelas, magang di kafe-kafe jaringan, beasiswa alat kerja bagi yang lulus ujian internal. Di bawahnya Arjuna menambahkan dengan spidol hitam: “Kita boleh pelan, asal benar.” Pada malam itu, kami saling menatap dan percaya: ini bukan panggung—ini ladang amal.
.
Dunia Kerja dan Ego yang Menyusup
Tahun kedua, Sagara dilirik pemerintah daerah. Ada kunjungan, ada unggahan Instagram, ada piagam yang dipasang di tengah dinding biru seperti mata satu yang selalu menatap kami. Lalu datanglah tawaran: hibah, kolaborasi CSR, dan undangan rapat di hotel bintang lima. Di lobi hotel, karpet tebal menyerap suara langkah kami; wangi bunga segar seperti mengajak kami percaya bahwa kebaikan bisa didanai tanpa syarat. Di ruang rapat, kopi disajikan dalam cangkir porselen tipis—rasanya, untuk pertama kali, kerja sosial kami dianggap pantas duduk di kursi empuk.
Di titik itulah Palgunadi berubah. Ia tak lagi sekadar memetakan masa depan di udara; ia mulai menggambar masa depan dengan spidol permanen atas namanya sendiri. “Media perlu figur,” katanya. “Publik butuh wajah.” Aku paham logika itu—di negeri ini, seringkali ide hanya diberi jalan setelah menemukan ikon. Tapi saat ia memesan backdrop acara dengan tulisan “SAGARA: Diprakararsai oleh Palgunadi”, aku tahu angin sedang berganti.
Darmawangsa menawar dengan bahasa pelan, seperti biasa. “Ayo, tetap di rel. Sagara bukan panggung, Gun. Ini ladang. Ladang perlu pupuk, iya. Tapi mesin panen tak perlu menyala sepanjang hari.” Ia tersenyum, memasukkan kertas rancangan kerja ke map bening, menatap kami satu-satu. Arjuna hanya menutup mata sebentar, lalu berkata setipis sehelai benang, “Kita tak sedang berlomba menulis nama di dinding. Kita sedang belajar tak menulis nama di hati orang.”
.
Pecahnya Keheningan
Konflik meledak di kelas konten digital hari Sabtu. Tanpa persetujuan rapat, Palgunadi mengundang wartawan lokal, memperkenalkan diri sebagai “penggagas utama gerakan Sagara”. Namaku, nama Arjuna dan Darmawangsa tenggelam di gelombang tepuk tangan yang diarahkan kamera. Di layar Instagram Live, nama Palgunadi menempati tiga baris caption.
Selesai acara, kami berkumpul di lantai tiga. Arjuna menatap punggung tangannya lama-lama, lalu menatapku. “Wis cukup,” suaranya serak, “Aku ora butuh jeneng. Tapi aku butuh kebenaran.” Ia berdiri, memasukkan buku catatan kecilnya ke saku, merapikan kursi-kursi yang bergeser, lalu menuruni tangga seolah menuruni sebuah keputusan.
Sehari kemudian ia mengundurkan diri dari pengurus. Seminggu kemudian, Darmawangsa meminta “cuti tak terbatas untuk menenangkan hati”. Aku tetap bertahan, lebih karena takut: takut Sagara jatuh, takut anak-anak kehilangan kelas, takut para donatur pergi jika melihat formasi kami robek. “Sagara akan berjalan,” kata Palgunadi meyakinkanku. “Keberlanjutan lebih penting daripada siapa yang duduk di rapat.”
Tapi Sagara yang berjalan itu bukan lagi Sagara yang kukenal. Rapat berubah jadi presentasi; diskusi soal metode pengajaran diganti rincian undangan media. Waktu evaluasi kelas, kami lebih banyak membahas engagement daripada engagement manusia—siapa yang menyapa murid baru, siapa yang menghafal nama, siapa yang menepuk bahu saat latihan pertama gagal. Ruang biru tua terasa dingin, bukan karena pendingin udara yang terlalu rendah, tapi karena jarak di antara kursi-kursi yang tiba-tiba melebar.
.
Kebenaran yang Terlambat
Setahun setelah Arjuna pergi dari Sagara, aku mendengar kabar dari grup WhatsApp alumni: Arjuna dirawat di rumah sakit karena kelelahan dan komplikasi lambung. Di ruang rawat kelas satu, tirai putih separuh terbuka. Ia kurus, tetapi matanya tetap seperti dulu: jernih, menembus. Di nakas ada buku catatan kecil itu, yang dulu selalu ia bawa di saku.
“Kamu masih pegang Sagara, Jayeng?” tanyanya sambil tersenyum pelan.
Aku menunduk. “Sagara masih ada. Tapi aku tidak yakin ia masih kita.”
Arjuna tertawa pendek, batuk, lalu menatap lampu neon di langit-langit. “Gusti paring dalan, nanging kudu wani mlaku,” katanya lirih. “Kalau rasamu menolak, jangan dipaksa setuju hanya karena banyak mata melihat. Kamu boleh menepi, asal tak menutup jalan bagi yang mau lewat.”
Kami bicara tentang murid-murid favoritnya. Tentang anak yang dipekerjakan kafe di mal, kini bisa mengirim uang kecil ke ibunya tiap akhir bulan. Tentang perempuan muda yang menang lomba desain kemasan, yang saat pertama datang ke Sagara bahkan tak berani menyebutkan namanya keras-keras. Tentang gosip kecil yang menggelikan—lampu ring yang sering mati sendiri seolah memprotes konten-konten yang dibuat untuk menyenangkan donatur, bukan untuk menyemangati murid.
Di akhir kunjungan, Arjuna menepuk pundakku. “Kalau kamu menulis,” katanya, “tulislah bukan untuk membalas, melainkan untuk menimbang. Biar nanti yang membaca bisa memilih: menumbuh atau menumbangkan.”
Aku mengangguk, lalu pulang dengan langkah yang ingin kulangkahkan sejak lama: keluar dari Sagara. Esoknya, kukirim pesan pengunduran diri. Balasan Palgunadi singkat: terima kasih atas kontribusinya. Ada emoji tangan bersatu, ada tautan ke artikel media terbaru tentang Sagara yang sekarang disebut “ekosistem kolaborasi daerah”.
.
Kota, Malam, dan Sebuah Kekosongan
Kota kami merayakan dirinya dengan lampu. Setiap simpang diberi hiasan LED, setiap jembatan diberi nama yang bisa dipotret. Di kafe tempat kami dulu merancang Sagara, musik akustik mengisi malam-malam seolah suara gitar bisa menutup retak di antara manusia. Aku duduk sendiri di meja pojok, kursi kosong di depanku seperti undangan untuk mengaku kalah.
Di luar jendela, banjir kecil merayap dari selokan yang lupa dinormalisasi. Di grup komunitas, anak-anak berbagi foto kegiatan baru: workshop public speaking bersama selebgram, kelas personal branding, soft launching coworking space. Semuanya tampak rapi. Lalu notifikasi lain masuk: foto Arjuna dengan bingkai hitam di pojok. Ia berpulang dini hari itu—diam-diam, tanpa poster, tanpa karangan bunga dari lembaga mana pun. Kami mengurus pemakaman tersembunyi dari sorotan apa pun; hujan turun sebentar, seperti tanda tangan di halaman terakhir.
Darmawangsa berdiri di sampingku, payung kecilnya kebesaran untuk dua orang. “Arjuna memang seperti itu,” katanya pelan. “Perginya pun seperti langkahnya—ringan, tapi berarti.” Ia menggeser payung agar bahuku tidak basah. Kami tak bicara lama-lama; jangankan kalimat, napas pun rasanya harus dihemat agar tidak menyeret duka yang lain.
Malam itu, kota terasa mengerut. Jalanan yang biasanya bising kini seperti menahan diri. Di rumah, aku membuka buku catatan yang selama ini menganggur. Kutulis: Bagaimana jika kebaikan tak memerlukan sorot lampu? Bagaimana jika sorot lampu justru membuat kebaikan rabun jauh?
.
Tiga Hal yang Kupelajari Terlambat
Aku tidak ingin pembaca kisah ini berhenti di sedih. Arjuna membencinya jika duka hanya berputar-putar tanpa menumbuh. Maka kutulis tiga hal, semacam pesan terusan, untuk siapa pun yang membangun inisiatif sosial di kota-kota yang tergila-gila pada pencitraan:
Pertama, kunci ruang dana dari ruang keputusan.
Sejak dana datang, rapat kami berubah. Aku menuliskan “aturan transparansi” yang dulu seharusnya kami tetapkan lebih awal: pemisahan peran fundraising dan akademik, audit sederhana tiap triwulan, keputusan program didahului data dampak, bukan data impresi. Bawalah kalkulator—tapi jangan biarkan kalkulator menghapus nama.
Kedua, jaga ritus kecil yang manusiawi.
Di Sagara lama, kami punya kebiasaan menyebut nama satu-satu, menepuk pundak tiap sesi berakhir, menulis catatan tangan untuk peserta yang tidak lulus—bukan untuk mempermalukan, melainkan mengundang kembali. Ritus kecil ini lebih ampuh daripada seratus unggahan viral. Tanpa ritus, ruang akan terasa seperti kantor; murid akan menjadi angka; pengajar akan menjadi panitia.
Ketiga, tetapkan pintu keluar yang terhormat.
Komunitas sering lupa menyiapkan cara berpisah. Padahal, tak semua jalan ditakdirkan searah selamanya. Pintu keluar yang baik membuat orang bisa kembali sebagai kawan; pintu keluar yang buruk membuat orang pulang sebagai hantu—namanya disebut, tetapi kehadirannya ditakuti.
Aku menulis tiga hal ini bukan untuk menyalahkan siapa pun—terutama bukan Palgunadi. Ia bukan penjahat; ia manusia yang tersapu arus. Kota pun demikian: ia bukan antagonis; ia hanya cermin yang diperlihatkan terlalu dekat. Kalau suatu hari ia membaca tulisan ini, semoga ia tahu: kita pernah berjalan bersama. Dan pernah bersama itu tidak bisa dihapus oleh selembar baliho.
.
Surat-Surat yang Tak Pernah Kukirim
Aku menulis surat untuk Arjuna yang tak pernah terkirim. Isinya sederhana:
“Jun, kau ingat kursi kayu di pojok lantai tiga? Malam ini aku duduk di sana. Kuncinya sekarang di tangan pengurus baru, tapi entah bagaimana, penjaga gedung masih mempercayakan ruangan itu padaku tiap Jumat malam. Aku membawa termos kopi—yang kau bilang terlalu manis—dan buku catatan kecil. Ada anak yang datang, meminjam ruangan untuk mempresentasikan rencana bisnis kecil: menyewakan jas hujan di parkiran mal. Ia menyusun proyeksi sederhana, laba-rugi yang lucu. Aku tertawa, ia tertawa, tapi kami sama-sama serius.
Aku mengajarinya mencatat pengeluaran kecil: karet gelang, plastik, tinta printer. Ia mengajariku sesuatu yang lebih penting: keberanian memulai.
Jun, Sagara berganti nama menjadi Navapala. Aku tidak diajak rapat. Aku tersenyum; ternyata benar dugaanmu—nama bisa berubah, yang harus bertahan adalah cara memandang manusia.”
Aku menulis surat untuk Palgunadi, juga tak kukirim:
“Gun, semoga kau sehat. Aku lihat programmu tumbuh. Kau berbakat memimpin di depan kamera—itu anugerah. Aku berterima kasih untuk semua pintu yang kau buka. Jika suatu hari kau ingin masuk kembali ke ruangan tanpa kamera, aku jaga kursi biru di pojok itu untukmu. Kita bisa mulai dari satu kelas kecil, tanpa backdrop, hanya papan tulis dan spidol hitam. Kau bicara tentang strategi, aku menulis di papan, Dan kita kembali menghafal satu-persatu nama yang duduk di depan—orang yang kita bantu, bukan penonton yang kita cari.”
Dan tentu, aku menulis surat untuk Darmawangsa:
“Mas Darma, terima kasih sudah mengajarkan seni menahan kalimat. Kau selalu tahu kapan harus berhenti menjelaskan. Aku belajar, bukan semua salah perlu dijdelaskan; sebagian cukup diurai pelan di dalam hati, agar tidak membentuk simpul baru di lidah orang lain. Kalau kota ini sering membuat kita ingin berteriak, mari kita tetap memilih suara rendah.”
.
Jumat Malam, Selalu
Kini, setiap Jumat malam aku datang ke sekretariat lama. Penjaga gedung membukakan pintu dengan senyum yang seolah mengerti sesuatu tanpa perlu bertanya. Aku duduk di bangku kayu ujung ruangan—kursi yang menyimpan jejak betis Arjuna, tawa Palgunadi, dan desah panjang Darmawangsa. Kadang menulis, kadang menatap cat dinding yang sedikit mengelupas. Di luar, suara azan Isya merambat di antara gedung-gedung. Kota, seperti biasa, membentangkan lampu-lampunya.
Anak-anak baru sesekali datang, mengetuk sopan. Mereka tak mengenal Sagara; mereka mengenalku lewat unggahan kecil yang iseng kutulis tentang bagaimana memulai tanpa menunggu semua rapi. Mereka bercerita tentang orang tua yang pulang larut, tentang gaji yang tak cukup, tentang hubungan yang patah, tentang mimpi sederhana: punya kios, punya kamera, punya diriku sendiri yang percaya diri. Aku mendengar. Aku menulis nama mereka satu-satu. Aku tahu, suatu saat mereka pergi—itu wajar. Kota besar selalu lapar akan langkah.
Malam-malam seperti ini, aku kadang teringat sebuah nasihat yang Arjuna bisikkan pada hari-hari awal: “Anak lanang iku kudu saguh nggawa donya, nangis ora kudu didelok.” Laki-laki harus siap menggendong dunia, tetapi tak perlu memamerkan tangisnya. Aku tidak sepenuhnya setuju—tangis boleh dilihat, agar orang tahu kita manusia. Tetapi aku paham maksudnya: jangan jadikan duka panggung; jadikan ia doa.
.
Rekonsiliasi yang Tidak Dramatis
Beberapa bulan lalu, Palgunadi mengirim pesan. Singkat. “Boleh ketemu?” Kami bertemu di kafe lama. Ia datang tanpa rombongan. Matanya lelah, tapi suaranya tak bergetar. “Aku kangen Jumat,” katanya. Kami tidak membicarakan siapa benar siapa salah. Kami membicarakan satu murid lama yang baru buka kios camilan di pasar modern. Kami membicarakan metode evaluasi dampak; ia ingin memperbaiki Navapala yang—aku tahu dari kabar—mulai kebingungan mempertahankan kepercayaan. Ia meminta salinan SOP transparansi yang pernah kutulis. Aku memberinya, tanpa tanda air, tanpa catatan kakinya—kertas itu bukan milikku, seperti halnya ide yang selalu lebih besar daripada penulisnya.
Seminggu sekali, ia hadir diam-diam di ruangan biru. Duduk di belakang, mendengar kelas kecil yang kini kujalankan bersama beberapa relawan baru. Tidak ada foto, tidak ada unggahan. Hanya ada catatan-catatan kecil, ada tawa yang tidak perlu diedit, ada kesalahan eja di papan tulis yang kami biarkan tetap ada agar kelas merasa manusia.
Aku tidak tahu apakah ini bisa disebut rekonsiliasi. Yang kutahu: kami menemukan lagi cara untuk duduk saling hadap, tanpa sorot. Dan itu cukup.
.
Kami Pernah Ada, Dan Itu Cukup
Persahabatan bukan soal abadi. Ia soal pernah saling percaya, pernah menaruh mimpi di telapak tangan bersama, pernah menyerahkan punggung pada pukul-pukul keras tanpa takut ditinggal. Jika akhirnya telapak tangan itu berpisah, bukan berarti semua makna menguap. Persahabatan bekerja seperti laut: menghapus jejak di permukaan, menyimpan batu karang di dasar. Orang yang melintas melihat ombak berganti; orang yang menyelam menemukan bentuk yang bertahan.
Maka ketika kota semakin terang, dan suaraku semakin pelan, aku menulis ini bukan untuk memanggil kembali yang pergi, melainkan untuk mengantar yang tinggal. Sagara—atau apa pun namanya hari ini—boleh berganti kepengurusan; kebaikan yang pernah kita titipkan di sana akan menemukan jalannya, seperti air mencari celah, seperti akar menembus tanah. Dan jika suatu hari kau—siapa pun yang membaca—memutuskan membangun ladang amal di kota yang gemar berpesta citra, ingatlah bahwa ladang tumbuh pelan. Ia butuh matahari, tapi ia tak perlu lampu sorot setiap saat.
Kepada Arjuna, aku berjanji: kami akan memilih menumbuh daripada menumbangkan. Kepada Palgunadi, aku berdoa: semoga panggung yang kau kuasai suatu saat bersalin rupa menjadi kelas kecil tempat nama-nama diingat satu-satu. Kepada Darmawangsa, aku meminjam kebisuanmu: untuk perkara tertentu, diam adalah bahasa paling bertanggung jawab.
Dan kepadamu, yang tersesat di tengah kota yang bising, semoga kau bertemu satu ruangan biru di lantai tiga, satu kursi kayu di pojok, satu orang yang menulis namamu di buku catatan kecil—bukan untuk dijumlahkan, melainkan untuk diingat.
“Kita tak harus abadi dalam hidup seseorang. Cukup pernah hadir, pernah setia, dan pernah jadi alasan seseorang percaya bahwa dunia masih punya orang baik.” — Kenangan Jayeng untuk Arjuna
.
.
.
Jember, 4 Juli 2025
.
.
#KisahKitaYangTakLagiSama #CerpenKota #SastraKompasMinggu #Persahabatan #KerjaSosial #RefleksiHidup #Transparansi #Rekonsiliasi #Jayeng #Sagara