Di Balik Ambisi dan Nyala Rasa
“Jangan lelah berbuat baik. Karena di balik upaya yang tampak sepi, ada hikmah yang akan kembali dalam bentuk kejutan yang menenangkan.”
.
Di ujung pekan yang gerah di kota kecil Jawa Timur, jalan raya seperti memantulkan dengus napas mesin. Angkot berhenti sembarangan, motor saling sahut klakson, dan langit menggulung awan tipis yang malas. Di lantai dua sebuah ruko berpelitur kusam di Sidoarjo, lampu neon putih berkedip-kedip seperti kelopak mata yang menahan kantuk. Tumenggung Panji duduk bertopang siku di tepi meja, menatap berkas proposal yang sudah lebih sering disentuh mata daripada disentuh harapan. Matanya nanar, tetapi hatinya belum padam. Ia tahu, masih ada satu pintu yang belum ia ketuk kembali—pintu kesempatan yang dulu hanya sedikit terbuka.
Tumenggung Panji bukan tokoh istana dalam dongeng, meski namanya diwariskan dari leluhur Menak Madura. Di kantor, orang memanggilnya Panji saja. Kepala Departemen Operasional di sebuah perusahaan jasa pariwisata yang mengelola tur dan event korporat. Empat puluh dua usianya; di angka itu, orang biasanya sudah berdamai dengan luka yang tak perlu dipamerkan dan ambisi yang tak perlu diteriakkan. Namun damai bukan berarti berhenti.
Tiga bulan lalu, Panji membawa proposal pengembangan cabang baru ke pimpinannya, Adipati Arya—lelaki berwajah tenang dengan garis rambut yang mulai surut, dikenal dingin dalam mengambil keputusan namun jarang salah menakar risiko. “Kita lihat nanti,” ujar Adipati kala itu, seolah menumpangkan harapan Panji pada punggung awan. Sejak itu tak ada kabar. “Nanti” berubah jadi senyap.
Malam itu, Panji pulang menjelang isya. Di rumah, angin menenangkan, tapi hatinya berisik. Sekar Wangi—istrinya—sedang menata piring makan malam di meja kayu yang mulai pudar warna pernisnya. Dua anak mereka, Arum dan Jagad, bergelut kecil memperebutkan sendok panjang untuk melarutkan cokelat bubuk. Ada tawa, ada suara cemberut kecil, ada bau sayur asem dan tempe goreng yang seharusnya jadi kabar gembira. Namun Panji duduk seperti orang yang baru saja kalah catur pada bayangannya sendiri.
“Kamu tahu, Panji,” kata Sekar perlahan, menatap tidak tajam tapi dalam, “yang kubutuhkan bukan gaji, tapi waktu. Kehangatan. Cerita-cerita kecil sebelum tidur.”
Kata-kata itu menggema lama di kepalanya. Ia bukan tak mencintai Sekar, ia hanya terjebak di simpang jalan yang riuh: di satu sisi, ambisi yang sahih; di sisi lain, rumah yang minta disirami.
•
Pagi Senin berikutnya, Panji memakai batik Sekar Jagad—warna biru tua dengan benang perak yang samar. Ia menyiapkan diri seperti orang yang hendak meminang nasib. Napasnya ia setel, langkah kakinya ia luruskan, dan ia mengetuk pintu ruang Adipati dengan tiga ketukan presisi.
“Masuk,” sahut suara itu.
“Saya ingin menegaskan kembali kesiapan saya memimpin pengembangan proyek cabang Bali,” ujar Panji, setelah kursi dan jarak sudah sepakat. “Tiga bulan ini saya menelusuri data, menyisir tren, dan menakar potensi. Saya bawa draf strategi implementasi—timeline enam bulan, on-boarding tim lokal, mitra transportasi, SOP layanan multibahasa. Boleh saya paparkan?”
Adipati menatapnya lama, tidak menusuk tapi menimbang. Sudut bibirnya bergerak sedikit—bukan senyum, mungkin sinyal waspada yang melunak.
“Kamu gigih, Panji. Banyak yang hanya pandai bicara dan ingin kredit foto. Kamu membawa data.” Ia mencondongkan tubuh. “Mari duduk. Tunjukkan padaku peta tempurmu.”
Panji membentang peta pikirannya: ia memulai dengan kebutuhan pasar setelah pandemi; bahwa wisatawan domestik butuh pengalaman autentik, bukan sekadar foto latar sawah. Ia memaparkan rute-rute baru: sunrise di Pura Lempuyang tidak lagi dijual sebagai antrean panjang untuk satu foto, melainkan paket “hening subuh” dengan pembacaan sejarah singkat, dilanjutkan makan pagi sederhana di rumah warga. Ia mengulas kemitraan dengan UMKM kriya di Denpasar Utara, potensi tenaga kerja dari sekolah pariwisata di Singaraja, dan opsi kerja sama dengan hotel-hotel yang memang enggan menyebut “plus-plus” dalam service list.
“Targetmu?” tanya Adipati.
“Bulan keempat: break-even. Bulan keenam: margin tipis tapi stabil. Tahun pertama: solid. Bukan hanya angka, tapi reputasi—yang lebih mahal dari harga diskon.”
Adipati tidak buru-buru bersuara. Ia menutup draf, mengetuk-ngetuk sampul dengan kuku. “Aku akan bawa ini ke rapat direksi. Siapkan data tambahan: standar pelatihan staf, rencana mitigasi komplain, dan—” Adipati melempar padangannya keluar jendela, ke riuh jalan, “—cara membawakan Bali tanpa menjual Bali.”
“Siap,” kata Panji. Dan ada sesuatu yang menggeser di dalam dadanya: segaris terang memantul pada gundukan gelap yang selama ini ia kira gunung.
•
Namun perubahan jarang berdiri sendirian. Di rumah, Sekar bertanya dengan mata: “Sudah sampai mana mimpimu meminangmu?” Panji ragu menyuguhkan jawab. Ia memeluk istrinya di dapur, di antara bau bawang putih dan kerupuk yang mengembang. “Beri aku sedikit waktu,” katanya. “Bukan untuk pergi, tapi untuk pulang lebih baik.”
Sekar mengangguk. “Baik. Tapi jangan pulang sebagai orang asing.”
Malam itu, setelah rumah terbenam dalam diam, Panji duduk di teras. Angin membawa bau tanah basah dari kebun tetangga yang baru disirami. Ia membuka kembali jurnalnya—jurnal yang sudah lama jadi arsip rencana. Di halaman kosong, ia menulis: Dulu kupikir yang penting itu naik jabatan. Ternyata, yang lebih penting adalah naik kesadaran.
Esoknya, ia mengubah ritme: bangun lebih pagi untuk tiga puluh menit hening; sarapan bersama tanpa menatap ponsel; pulang lebih cepat satu hari dalam seminggu untuk menemani Arum menghafal puisi dan Jagad menyusun lego menjadi kota-kota kecil. Ia mendaftar kursus daring singkat: manajemen proyek lintas budaya. Ia belajar frasa sederhana bahasa Bali, sekadar menandai bahwa ia tidak datang sebagai pedagang yang hendak menawar terlalu murah.
Perlahan, rumah bukan lagi stasiun transit. Rumah jadi bandara keberangkatan iman.
•
Rapat direksi berlangsung di sebuah hotel di Surabaya. Karpet tebal menelan bunyi sepatu, AC dingin meratakan ingatan, kopi hitam di cangkir putih mengembuskan bau pahit yang meyakinkan. Panji mempresentasikan rencananya, tidak terburu-buru namun tidak beriwayatkan kebosanan. Ia menampilkan bagan risiko: cuaca, lonjakan harga bahan bakar, perubahan kebijakan daerah, juga risiko yang paling sering terlupakan—kelelahan tim.
“Kami tidak akan mengeksploitasi jam kerja,” ujar Panji yakin. “Kualitas layanan tidak lahir dari staf yang mengantuk.”
Seorang direktur senior, perempuan, rambut pendek rapi, menaikkan alisnya. “Dan bagaimana kamu menangani komplain?”
“Dengan rendah hati. Dan tangkas. Kami siapkan protokol dua puluh empat jam untuk respons awal, perbaikan, dan follow-up. Kami belajar dari review tamu—bahwa minta maaf saja tidak cukup. Harus ada tindakan.”
Adipati menyilangkan tangan, memandang tanpa interupsi. Ada sesuatu dalam cara Panji berbicara—kali ini tidak hanya memaparkan, tapi menanggung. Sunyi usai presentasi laksana jeda napas sebelum seseorang mengucap “ya” atau “nanti”.
“Keputusan: kita buka cabang,” ucap Direktur Utama akhirnya. “Panji memimpin.”
Kalimat itu sederhana, tapi di dada Panji, kalimat itu menumbuhkan hutan.
•
Sebelum pindah sementara ke Bali, Panji mengajak keluarga berkemah singkat ke kaki Gunung Ijen. Bukan rekreasi mewah—sekadar tenda pinjaman dari ipar, kompor portabel, dan bumbu minimalis. Malam jatuh pelan di sela-sela daun kopi, suara serangga bertukar sapa, angin menepuk-nepuk tenda seperti sahabat lama. Di sana, di gelap yang menenangkan, ada percakapan yang selama ini tak kunjung lahir di ruang tamu.
“Aku merasa… hidup lagi,” bisik Panji, menatap langit yang disorot lampu senter Jagad membentuk lingkar-lingkar tak beraturan. “Bukan karena jabatannya. Karena rasanya.”
Sekar menyentuh punggung tangannya. “Terima kasih sudah pulang, meski kamu tak pernah benar-benar pergi.”
Arum memeluk lengan ibunya, Jagad menyusup ke selimut ayahnya. Panji menutup mata. Di balik kelopak yang hening, ia melihat: rumahnya bukan penahan laju, tapi penguat sayap.
•
Bali menyambut dengan ramai yang antik. Udara asin bercampur wangi dupa, suara gamelan menyelinap dari pura kecil di tikungan, dan warung-warung memasang papan: “Nasi jinggo habis jam delapan!”—sekaligus maklumat sekaligus undangan. Panji meninjau lokasi calon kantor: ruko tiga lantai dekat Denpasar Utara, di mana arus lokal masih lebih nyaring dari sorak pariwisata. Ia bertemu calon staf—anak-anak muda yang menyebut “mas” dan “mbak” tanpa basa-basi palsu, mata mereka jernih oleh ingin.
“Kita bukan agen foto,” kata Panji pada tim barunya. “Kita agen rasa. Tugas kita: mempertemukan orang dengan pulau ini, tanpa menjual pulau ini sebagai latar belakang.”
Tim mengangguk. Mereka menyusun SOP, memetakan rute tanpa membunuh misteri, memilih mitra yang mau diajak tumbuh bukan hanya dibayar. Mereka mengadakan pelatihan internal: cara meminta maaf yang benar, cara mendengarkan komplain tanpa menunggu giliran membela diri, cara menata ulang rencana ketika hujan datang pelan-pelan merusak janji sunset. Mereka membahas “halal dan higienis” bukan sebagai jargon pemasaran, melainkan sebagai standar yang bisa diuji. “Halal untuk sebagian, higienis untuk semua. Keduanya bukan musuh,” ucap Panji.
Minggu berjalan. Bulan berganti. Roda mulai berputar—tidak gesit, tapi mantap. Ada tamu yang tersenyum syukur, ada juga yang menulis review pedas karena ekspektasi yang salah arah. Panji dan tim menanggapi satu per satu, mengirim maaf, mengirim perbaikan, mengirim ucapan terima kasih ketika kritik datang seberat batu. “Karier itu bukan menaklukkan orang lain. Tapi mengalahkan diri sendiri yang malas berkembang,” Panji menulis di papan operasional—bukan untuk memotivasi orang lain, pertama-tama untuk menegur dirinya sendiri.
•
Suatu sore, saat matahari terjerat tipis di sela-sela pohon kamboja, Panji mendapat telepon dari rumah: Arum terjatuh saat upacara bendera, pergelangan kaki terkilir. Bukan bencana, tapi cukup untuk menggugurkan jadwal rapat. Panji memesan tiket paling cepat, terbang malam itu juga, mendarat di bandara Surabaya dengan mata picik oleh kantuk dan rindu. Di rumah, Arum tidur dengan perban melilit rapi. Sekar menyambut dengan senyum melepas cemas.
“Kamu tidak harus selalu ada di setiap acara kantor,” ucap Sekar, menyiapkan teh panas. “Tapi kamu harus selalu ada ketika rumah mengetuk.”
Panji menatap wajah perempuan itu: yang menjaga rumah dari dalam, sekaligus menjaga dirinya agar tidak terlempar ke luar oleh laju ambisi. “Maaf,” katanya, bukan sebagai ritual, melainkan sebagai jembatan.
“Tidak usah minta maaf terlalu sering, Panji,” jawab Sekar, suaranya setenang air hujan di talang. “Lakukan yang bisa menebusnya.”
Keesokan harinya, Panji menunda kembali ke Bali sehari. Ia mengantar Arum kontrol, menemani Jagad ikut lomba menggambar di kelurahan, dan makan malam bersama orang tuanya—yang mulai bercerita dengan repetisi manis tentang masa muda. Di meja itu, Panji menyadari bahwa tumbuh bukan berarti meninggalkan, melainkan memperluas.
•
Di Bali, kantor cabang mendekati bulan keempat. Grafik pendapatan menanjak pelan; tak ada kembang api, tapi ada nyala lilin yang tahan angin. Suatu pagi, Panji menerima surel dari Adipati: singkat, tetapi penting. “BEP tercapai sesuai target. Lanjutkan maintain reputasi. Jangan euforia.” Panji tersenyum. Ia meneruskan surel itu ke tim dengan tambahan: “Kita bersyukur, lalu kembali bekerja.”
Namun hidup, seperti kota, selalu menyimpan gang sempit yang tiba-tiba buntu. Satu malam, rombongan tamu korporat komplain pedas: bus terlambat, catering salah menu, dan pemandu utama sakit perut mendadak. Panji menerima telepon dari klien, suaranya seperti pisau tumpul—menyakiti karena capek, bukan karena benci.
“Kami kecewa, Pak Panji.”
“Maafkan kami,” ucap Panji, menahan napas agar tidak buru-buru menjelaskan. “Kami salah. Malam ini juga saya perbaiki. Besok pagi saya sudah ada di lokasi.”
Ia turun aksi: menghubungi mitra bus cadangan, memindah catering, meminta dua pemandu pengganti, menyertakan kompensasi tanpa diminta. Ia menulis catatan evaluasi; bukan untuk mencari kambing hitam, tapi agar besok tidak mengulang hari ini.
Ketika klien menutup acara dengan senyum yang tidak dipaksakan, Panji berdiri di luar ruangan, menatap langit yang baru saja kehilangan matahari. Di dadanya, sesuatu terasa remuk dan sembuh sekaligus. “Rasa jenuh bukan pertanda kamu harus pergi,” ia menulis dalam jurnal, “tapi sinyal bahwa kamu harus bertumbuh.”
•
Sekar, sementara itu, menumbuhkan dunia kecilnya: usaha kriya yang lama ia tunda kini ia rintis dari ruang tamu. Ia menamai brand itu “Lembayung Rumah”—tas tangan kecil dari kain perca, tempat pensil motif lurik, sarung bantal batik yang dijahit dengan sabar. Ia belajar memotret produk dengan cahaya dekat jendela, menulis caption yang tidak manis berlebihan, dan membalas pesan pelanggan dengan nada sopan yang membuat orang merasa dihormati, bukan diburu.
Suatu sore, Sekar mengirim foto tas tangan krem dengan aksen merah marun ke ponsel Panji. “Sold out pertama,” tulisnya singkat. Panji membalas dengan jempol dan emoji api. Ia merasa bangga seperti anak kecil yang baru menang lomba lari—bukan karena jarak yang ditempuh, tapi karena ia melihat sosok yang dicintainya berani melangkah.
Akhir pekan, mereka tak lagi ke mal. Mereka bersepeda di jalan kampung yang menyempit di antara pagar bunga kertas, berhenti di warung lotek yang sudah berumur, dan sesekali menepikan diri di tepi bengawan kecil untuk sekadar menghitung ikan yang tak mau dihitung. Rumah tidak lagi menunggu; rumah berjalan bersama.
•
Musim pun berganti tanpa upacara. Tahun pertama cabang Bali ditutup dengan angka yang tidak memalukan dan reputasi yang tidak kosong. Di rapat akhir tahun, Adipati menyebut nama Panji bukan sebagai pujian, melainkan sebagai penanggung jawab yang layak dipercaya. “Kita pertahankan ritme ini,” katanya. “Tidak perlu sprint. Maraton yang rapi lebih sehat.”
Sepulang rapat, Panji menepikan mobil di pinggir pantai Mertasari. Sore berbahu bilur jingga. Anak-anak berlari mengejar ekor ombak yang nakal. Seorang kakek duduk di kursi lipat, memandang laut seperti membaca surat lama. Panji duduk di pasir, melepas sepatu, membiarkan dingin merayap naik ke tulang betis.
Dalam kepala, bayangan berkelebat seperti montage film: wajah Sekar di dapur, senyum menahan letih; Arum tertawa dengan pergelangan yang tak lagi bengkak; Jagad mencoret-coret kertas dengan kota lego yang makin mendekati logika urban; timnya di Bali menyampaikan gagasan tanpa takut; komplain yang datang seperti batu dan pergi seperti pelajaran; dan pintu—pintu yang pernah setengah terbuka, yang kini dipelajari cara mengetuknya.
Kita semua, pikirnya, adalah Panji dalam hidup kita masing-masing. Kadang, ada pintu yang belum kita ketuk kembali. Ada tanggung jawab yang perlu kita ambil ulang. Ada cinta yang tak perlu diperbarui—hanya perlu disentuh lagi.
Ia menyusun kata-kata yang, barangkali, ingin ia sampaikan kepada siapa pun yang kebetulan singgah: jangan lelah berbuat baik. Karena di balik upaya yang tampak sepi, ada hikmah yang akan kembali dalam bentuk kejutan yang menenangkan.
Dan seperti Tumenggung Panji, yang namanya mungkin terasa terlalu besar untuk kartu nama dan terlalu sederhana untuk cerita, kadang yang kita butuhkan bukan revolusi, melainkan keputusan-keputusan kecil yang konsisten. Bukan kembang api, melainkan lilin yang tahan angin. Bukan parade, melainkan langkah kaki yang tetap bermakna meski hanya terdengar oleh kita sendiri.
•
Suatu malam menjelang tahun baru, Panji pulang ke rumah lebih awal. Lampu teras menyala temaram. Sekar menata gelas, Arum dan Jagad menyiapkan permainan papan bekas yang kardusnya sudah renyah di sudut. Panji menatap jam dinding. Ia tidak sedang menunggu detik dua belas untuk bersorak; ia sedang menyimak detik-detik yang berjalan tanpa gaduh.
“Panji,” kata Sekar, menyerahkan gelas berisi teh hangat, “terima kasih karena memilih pulang—setiap hari.”
Panji mengangguk. “Dan terima kasih karena selalu menyalakan lampu.”
Di luar, kembang api mekar sebentar lalu padam, seperti kabar baik yang tidak ingin diingat lama-lama agar tidak mengganggu kerja besok. Di dalam rumah, nyala yang lebih kecil bertahan lebih lama. Lilin di meja makan tak menuntut langit kosong; ia cukup menerangi wajah-wajah yang saling menyimak.
Di balik ambisi, ada nyala rasa. Dan di balik nyala rasa, ada rumah yang tidak pernah menutup pintunya.
.
.
.
Jember, 30 Juni 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #MenakMadura #UrbanStory #KeluargaDanKarier #Pariwisata #Leadership #Harubiru #JawaTimur #Bali
.
Petikan-petikan untuk disematkan dalam hati:
-
“Karier itu bukan menaklukkan orang lain. Tapi mengalahkan diri sendiri yang malas berkembang.”
-
“Rasa jenuh bukan pertanda kamu harus pergi. Tapi sinyal bahwa kamu harus bertumbuh.”
-
“Jangan lelah berbuat baik. Karena di balik upaya yang tampak sepi, ada hikmah yang akan kembali dalam bentuk kejutan yang menenangkan.”
-
“Rumah bukan stasiun transit; rumah adalah bandara keberangkatan iman.”