Kebaikan yang Tidak Membunuh Diri Sendiri

“Kamu boleh menjadi orang baik, tapi kamu tidak wajib untuk selalu mengorbankan dirimu. Kadang, cara terbaik mencintai dunia adalah dengan tidak melupakan dirimu sendiri.”

.

Amplop di Tangan Kiri

Langit Jakarta pagi itu kelabu. Di balik kaca mobil daring yang melaju pelan di atas flyover Sudirman, gedung-gedung tinggi menelan ujung awan seperti gigi baja. Hujan baru saja berhenti, menyisakan jemari air di kaca yang merapat lalu pecah. Di kursi belakang, seorang perempuan bernama Jayeng Sekar diam. Tas kulit lusuh di pangkuan; amplop putih di tangan kirinya—surat pengunduran diri yang ia rancang sejak dua minggu lalu, direvisi tujuh kali, lalu dibiarkan menunggu seperti luka yang enggan diakui.

Hari ini bukan soal menyerah.

Hari ini tentang mencabut akar luka yang terlalu lama dibiarkan tumbuh.

Sopir menyalakan radio: iklan kopi, cuplikan berita tentang macet, lalu lagu lawas yang pernah jadi penanda masa kuliah. Sekar tersenyum tanpa gigi. “Mbak, mau masuk Sudirman atau lewat Karet?” tanya sopir.

“Lewat mana yang paling tenang,” jawabnya. Ia tidak bilang “cepat”. Ia memilih “tenang”.

Di parkiran basement yang pengap, ia mengatur napas. Lift memantulkan wajahnya yang tampak dewasa dengan sisa anak kecil di sudut mata. Di lantai 27, lampu-lampu kantor menyala dingin. Meja-meja memajang tumbuhan plastik, trofi mungil, dan foto liburan yang hanya sempat terjadi sekali. Di ujung ruang, ruang rapat “Lempuyangan” menunggu.

Ia merasakan amplop itu lagi—ujung kertasnya menekan halus telapak tangan. Seperti mengingatkan: keputusan adalah keberanian yang punya bentuk.

.

Tujuh Tahun Menjadi Jayeng Sekar

Tujuh tahun, Sekar jadi Manajer Komunikasi Senior di perusahaan konsultan strategis kelas atas. Namanya jadi kata kerja: “Tolong, Sekar-in dulu ya.” Ia jadi pemadam kebakaran antardivisi, juru damai yang tak punya seragam, spon penyerap amarah klien. Teleponnya hidup lebih lama dari baterai. Ia bisa memadamkan isu, menenun kalimat dari puing, mengubah rapat buntu jadi laporan yang tampak rapi. Ia ahli menenangkan nada suara, meredakan ruang, mengembalikan senyum—kecuali senyumnya sendiri.

“Sekar, bantu ini ya. Dadakan, urgent banget.”
“Sekar, kamu bisa handle klien ini. Mereka keras, tapi kamu kan sabar.”
“Sekar, maaf ya rapatnya molor. Bisa kamu rangkum aja buat kami?”

Dan Sekar akan tersenyum, “Baik, saya usahakan.”

Tidak ada yang tahu kalau di balik senyum itu ada detak jantung yang lari maraton tiap malam. Tidak ada yang bertanya apakah ia baik-baik saja, karena semua percaya: Sekar akan selalu ada. Di kantor, yang selalu ada jarang ditanya.

.

Titik Balik Bernama Proyek Lempuyangan

Proyek Lempuyangan datang dari klien multinasional dengan tenggat tak masuk akal. Atasan Sekar—Adipati Mertokusumo—mencanangkan strategi bak parade: ambisius, gemerlap, dan menutup kebocoran dengan konfeti. Tim kacau sejak hari pertama. Orang saling menyalahkan, file saling menimpa. Saat malam menelan jalanan, kantor masih menyala. Sekar bertahan. Ia menyusun ulang peta, membagi peran, menulis naskah yang disetujui pagi untuk dibatalkan siang. Ia tidur di sofa ruang kreatif, mengenal bunyi pendingin ruangan seperti teman. Di punggungnya, pegal tak mau kompromi. Di pandangannya, huruf-huruf menari.

Malam terakhir, ia memoles presentasi hingga berkilat. Ia titipkan ke Adipati dengan catatan-catatan kecil yang tak terlihat tapi menentukan. Pagi itu, ruangan Lempuyangan penuh. Klien duduk. Layar menyala. Adipati tampil, suaranya mantap, slide berganti dengan ritme yang ia hafal. Semua orang mengangguk. Tepuk tangan terjadi seperti kewajiban.

Pada slide terakhir, satu nama muncul besar: Adipati Mertokusumo. Wajahnya terpampang, senyumnya lebar. “Saya bangga dengan tim,” katanya sambil menatap kamera, “terutama kepemimpinan saya yang menjaga semuanya di jalur.”

Nama Sekar tidak muncul bahkan sebagai catatan kaki.

Seketika kerja kerasnya runtuh tanpa suara. Ia tidak menangis. Tidak marah. Ia hanya duduk, jantungnya memahat sunyi di dalam dada. Di layar monitor kecil di pangkuannya, ia melihat refleksi wajahnya sendiri: perempuan yang selalu ada, kali ini tidak disebut.

Sepulangnya, ia memandangi Jakarta dari jembatan penyeberangan Dukuh Atas. Orang bergegas seperti hujan yang tak jadi. Seseorang tertawa sambil menenteng kopi. Sekar merasakan sesuatu di lehernya longgar: keyakinan bahwa kebaikan tanpa batas akan awalnya dipuji, lalu akan diambil alih, lalu dilupakan. Malam itu ia menulis tiga kalimat: “Aku capek menjadi tak terlihat. Aku ingin pulang. Aku ingin sembuh.”

.

Malam di Balkon Raden Rengganis

Apartemen Raden Rengganis menghadap rel KRL yang sibuk. Balkon kecilnya menyimpan tanaman markisa yang merambat. Rengganis, sahabat lama sekaligus psikolog dengan darah Menak dari Pamekasan, menyeduh teh jahe. “Kamu kenapa diam saja waktu presentasi?” tanyanya.

Sekar menatap pola lampu apartemen-apartemen lain. “Karena aku tahu ada perang yang tidak perlu dimenangkan. Aku cuma sadar satu hal, Nis: menjadi baik tanpa batas itu bisa bikin kita hancur perlahan.”

Rengganis menyodorkan cangkir. “Dan sekarang, kamu memilih jadi apa?”

“Orang baik yang tetap bernafas,” jawab Sekar.

Rengganis mengangguk pelan. “Di Madura, ada pepatah: bennè bagus, tape orèya e korbanka dirè—bagus itu bagus, tapi jangan dirimu yang jadi tumbal. Kebaikan tanpa tepi itu seperti laut tanpa pantai; indah di mata orang lain, menenggelamkan yang berenang.”

Malam itu, Sekar menulis surat pengunduran diri. Tanpa dramatisasi, tanpa ancaman. Ia menyalin kalimat-kalimatnya sendiri dengan rapi. Ia menandatangani. Amplop putih menunggu di meja. Jakarta di luar seperti menahan napas bersama.

.

Perjalanan Sunyi Setelahnya

Hari-hari setelah resign begitu hening, seperti setelah konser usai. Tidak ada notifikasi email, tidak ada rapat Zoom, tidak ada suara “urgent” yang merusak pagi. Sekar bangun sebelum matahari, merapikan tempat tidur yang selama ini jadi kursi. Ia berjalan menyusuri taman Tebet Eco Park, menghitung napas, memerhatikan daun yang berlubang kecil dimakan ulat, merasakan langkahnya sebagai peristiwa.

Untuk pertama kali, ia mendengar bunyi kerikil di bawah sepatu.

Awalnya, rasa bersalah menyenggol: tentang loyalitas, tentang “keluarga kantor,” tentang meninggalkan medan sebelum perang. Tapi rasa bersalah itu perlahan mengempis seperti ban yang menemukan tambalan. Ia ikut kelas meditasi di sebuah pusat komunitas di Kuningan yang dipandu Pangeran Wiraguna—mantan konsultan yang memutuskan mengajar mindfulness setelah serangan panik di ruang rapat yang membuatnya melihat plafon seperti sumur.

“Menjadi baik bukan berarti membiarkan dirimu dilukai terus-menerus,” kata Wiraguna saat sesi. “Ada kebaikan yang menyelamatkanmu, ada kebaikan yang pelan-pelan membunuhmu. Kuncinya adalah batas.”

Sekar mengangguk. Di lututnya, ia merasa semut merayap. Ia tersenyum karena baru kali ini semut terasa sebagai semut.

.

Belajar Bicara “Tidak”

Pelajaran pertama: mengatakan “tidak” tanpa minta maaf berlebihan. Ia mencoba pada hal-hal kecil—permintaan tolong random di grup alumni untuk menyusun proposal gratis “nanti kita ekspos namamu,” ajakan kerja proyek yang deadline-nya kemarin, hubungan pertemanan yang datang hanya saat butuh. “Maaf, aku tidak bisa. Aku sedang menjaga diriku,” tulisnya.

Ada yang merengut. Ada yang menjauh. Ada yang menuduhnya berubah. Sekar terkejut betapa kata “tidak” adalah cermin: ia menunjukkan siapa yang mencintaimu dan siapa yang mencintai manfaatmu.

Pelajaran kedua: menepikan diri bukan berarti menutup diri. Ia belajar memilih, bukan menolak dunia. Ia menulis di jurnalnya: “Aku tetap bisa jadi orang baik sambil berkata tidak. Aku bisa tetap hangat sambil menetapkan batas. Aku bisa jujur meski tak semua orang suka.”

Ia mulai mengambil pekerjaan sebagai penulis independen untuk organisasi-organisasi kecil yang punya misi. Ia membantu merangkai narasi untuk gerakan kota: perpustakaan komunitas, bank sampah, ruang bermain anak di pinggir kali yang diinisiasi ibu-ibu PKK. Ia menemukan kebaikan yang tak bunuh diri.

.

Kota yang Mengajar

Jakarta, jika diizinkan, adalah guru yang sabar. Di stasiun MRT, Sekar melihat seorang bapak memegang tangan anaknya yang bertanya kenapa gedung tinggi, apakah awan bisa jatuh. Di halte TransJakarta, ia melihat petugas meminta maaf pada penumpang yang marah karena bus penuh. Di warung soto di Pejompongan, ia melihat ibu pemilik warung membungkus sisa makan untuk seorang pemulung yang selalu datang menjelang tutup.

Kota ini gemuruh, tapi masih punya detik-detik lirih yang bisa menyulam ulang kepercayaan. Sekar menulis: “Mungkin kita tidak perlu jadi bahagia untuk bersyukur; kita cukup berhenti membandingkan luka.”

Suatu sore, ia duduk di pinggir waduk Pluit bersama Rengganis. Angin membawa bau asin yang jauh. “Kamu kelihatan hidup,” kata Rengganis.

“Aku juga merasa begitu. Meski tabunganku takut,” jawab Sekar tertawa.

“Kebaikan yang tidak membunuh diri sendiri itu memang awalnya mahal,” ujar Rengganis. “Tapi ia membayar dengan napas yang panjang.”

.

Undangan dari Dewan Menak

Dua tahun berlalu. Di email, Sekar menerima undangan menjadi pembicara di forum Dewan Menak Muda Nusantara—jaringan profesional yang berbasis etika kerja dan kesehatan mental. Tema: “Batas sebagai Bentuk Cinta.” Ia sempat ragu—siapa dirinya? Lalu ia teringat perempuan yang menulis surat resign di balkon. Ia menjawab: ya.

Di aula sebuah coworking space di Senayan, kursi-kursi berjejer. Poster berwarna hangat menempel di dinding: “Kebaikan Boleh, Konyol Jangan.” Sekar berdiri dengan mikrofon, jantung berdebar wajar. Ia menceritakan Proyek Lempuyangan tanpa menyebut nama, menceritakan malam-malam di sofa kantor, menceritakan bagaimana ia mengembalikan dirinya dengan hal-hal kecil: air putih, tidur yang benar, “tidak” yang diucapkan pelan.

Seorang peserta, Raden Ayu Citraloka, mengangkat tangan. Suaranya gemetar, “Bagaimana caranya tetap jadi orang baik, tapi nggak habis-habisan?”

Sekar tersenyum. “Dengan tidak membunuh diri sendiri demi validasi. Dengan memilih baik yang sehat, bukan baik yang menyakitkan. Batas itu bukan tembok, melainkan pagar. Kamu masih bisa merangkul, tapi kamu juga bisa mengunci gerbang saat perlu beristirahat.”

Tepuk tangan berlangsung lama. Beberapa orang menunduk, entah merenung atau menahan air mata.

.

Amplop yang Kembali

Suatu pagi, setelah forum itu, Sekar menerima paket kurir. Di dalamnya, ada amplop putih. Di sudutnya tertulis: “Untuk Jayeng Sekar—dari seseorang yang terlambat belajar.” Di dalam amplop, ada salinan undangan pengumuman “Employee of the Year” dua tahun lalu—yang menampilkan foto Adipati Mertokusumo. Di baliknya ada tulisan tangan:

“Terima kasih untuk kerja keras yang pernah tidak sempat kusebut. Aku tidak meminta maaf untuk menagih maafmu. Ini sekadar pengakuan terlambat. Semoga kamu sudah lebih baik. —A.”

Sekar membaca dua kali. Ia tidak menangis. Ia meletakkan surat itu di meja, menatapnya seperti menatap masa lalu yang akhirnya menutup pintu sendiri. Ia mengirim foto surat itu ke Rengganis. Balasan datang: “Semesta punya cara memulangkan hal-hal. Pajhur o gelarna, tape jhaga dirè—terimalah, tapi tetap jaga dirimu.”

Sekar tidak membalas. Ia membuat teh. Setelah lama diam, ia menulis satu kalimat di jurnal: “Pengakuan orang lain tak pernah seindah pengampunan diri sendiri.”

.

Bertemu Lagi

Beberapa bulan setelah itu, Sekar tak sengaja berpapasan dengan Adipati di sebuah lobi hotel tempat berlangsungnya konferensi industri. Adipati terlihat lebih kurus, senyumnya bukan lagi tegas tapi lelah. Mereka saling menyapa.

“Apa kabar?” tanya Adipati.

“Baik,” jawab Sekar. “Kamu?”

“Sedang belajar,” kata Adipati. “Belajar mengucapkan terima kasih sebelum semuanya terlambat.”

Ada jeda. Lalu Adipati menatap mata Sekar lebih lama dari sopan santun. “Kalau boleh mengulang, aku ingin memulai ulang cara memimpin.”

“Kalau boleh mengulang,” balas Sekar, “aku ingin lebih cepat mendengarkan tubuhku sendiri.”

Mereka tertawa pendek. Lalu percakapan pindah ke hujan, ke kopi, ke pameran buku. Tidak ada permintaan maaf formal. Tidak ada pelukan. Tidak ada dendam. Hanya dua orang yang akhirnya mengakui beban masing-masing. Dan mungkin itu cukup.

.

Surat untuk Sekar Kecil

Malam tahun baru, Sekar menulis surat untuk dirinya yang kecil, gadis yang selalu ingin membuat semua orang senang.

“Sekar kecil yang suka mengikat pita di rambut,
Maaf ya. Dulu aku terlalu sibuk membuat dunia nyaman,
sampai lupa menenangkanmu. Aku membiarkan kita menjadi kursi
yang diduduki siapa pun yang lelah. Tapi sekarang, aku sudah pulang.
Kita punya kamar sunyi tanpa lampu neon. Kita punya jendela yang bisa dibuka.
Kita punya kata “tidak” yang lembut, dan kata “ya” yang jujur.
Mulai hari ini, kamu tidak perlu sendirian lagi.”

Ia melipat surat itu, memasukkannya ke amplop kosong yang dulu menyimpan pengunduran diri. Ia menuliskan: Untuk yang selalu menunggu aku pulang.

.

Skena Kecil di Kota Besar

Kehidupan Sekar kini tidak spektakuler. Ia menulis untuk komunitas, memfasilitasi kelas menulis untuk ibu-ibu pekerja malam di sebuah rumah singgah. Ia membantu membuat booklet untuk kelompok pemuda yang memperjuangkan trotoar ramah difabel. Sesekali, ia menangani proyek korporat—dengan perjanjian yang jelas, jam kerja yang manusiawi, dan hak untuk mundur saat nilai ditinggikan di atas manusia.

Di setiap ruang ia datangi, ia mengingat pesan Wiraguna: “Kebaikan tanpa batas adalah candu yang akan didefinisikan orang lain. Batas adalah cara kita mencintai tambahannya—diri.”

Ia tidak lagi takut disebut egois. Ia tahu egois itu berbeda dengan tahu kapan berhenti.

.

Pagi yang Ringan

Pagi itu, Jakarta kembali kelabu. Sekar berjalan di trotoar baru di Menteng. Daun-daun trembesi meneteskan sisa hujan ke pundaknya. Di lampu merah, seorang pengendara motor menurunkan kecepatan, memberi jalan pada pejalan kaki. Hal remeh yang dulu jarang. Hal kecil yang membuat dada hangat. Sekar menyeberang pelan, menaruh kedua tangan di saku jaket.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Raden Ayu Citraloka: “Kak, slide ‘Batas adalah Bentuk Cinta’ aku pakai buat meyakinkan HR bahwa lembur tanpa ujung bukan prestasi. Kami bikin kebijakan baru. Makasih ya.” Sekar tersenyum—panjang, sampai matanya juga ikut tersenyum.

Ia membalas: “Hebat kamu. Ingat: baik itu bukan habis-habisan. Jaga dirimu.”

Ia menengadah. Langit masih kelabu, tapi warnanya tak lagi mengancam. Jakartanya masih sama: bising, ganas, sekaligus memberi kejutan kecil pada mereka yang mau memperlambat langkah.

Sekar memasukkan ponsel, mengeratkan syal, lalu berjalan lagi. Amplop putih yang dulu ia genggam, kini tinggal kenangan yang mengajari cara melepaskan. Ia tahu, di sepanjang hidup akan datang proyek-proyek yang minta diselamatkan, orang-orang yang minta dipanggul, panggung-panggung yang tak berniat berbagi nama. Ia juga tahu, ia tidak harus hadir di semua panggung.

Kebaikan sejati, pikirnya, adalah yang tidak membunuhmu perlahan—yang mengajari kita merawat napas, menghormati batas, dan kembali pulang pada diri sendiri setiap kali dunia berusaha menyeret.

Di ujung jalan, lampu hijau menyala. Sekar menyeberang. Langkahnya ringan, seperti orang yang akhirnya tahu caranya pulang.

.

.

.

Jember, 30 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KebaikanYangSehat #BatasAdalahCinta #CerpenKompasMinggu #Jakarta #Mindfulness #SelfLove #EtikaKerja #Burnout #CeritaEmosional #NamakuBrandku

.

Kutipan-kutipan dari Cerpen

  • “Batas itu bukan tembok, melainkan pagar—kamu masih bisa merangkul, dan kamu juga bisa mengunci gerbang saat perlu beristirahat.”

  • “Pengakuan orang lain tak pernah seindah pengampunan diri sendiri.”

  • “Kebaikan tanpa tepi itu seperti laut tanpa pantai: indah di mata orang lain, menenggelamkan yang berenang.”

  • “Kita tidak perlu jadi bahagia untuk bersyukur; kita cukup berhenti membandingkan luka.”

  • “Baik itu bukan habis-habisan.”

Leave a Reply