Menuju Titik Tiba

“Yang ditakdirkan untukmu tak akan tersesat jalan. Ia datang bukan karena dipaksa, tapi karena waktunya telah sempurna.”

“Kau tak perlu mengetuk deras jika pintu memang ditakdirkan terbuka.”
“Sabarlah: rasa sakit itu benih; kelak ia tumbuh menjadi ketenangan.”
“Kita bukan selalu ditolak mimpi; kadang kita sedang diuji kesiapannya.”

.

Langit Yogyakarta petang itu menggantung rendah, abu-abu seperti kertas kalkir yang menutup matahari setengah hati. Di bilangan Kotabaru, trembesi tua merundukkan ranting, seolah menutup rahasia kota yang telah terlalu sering menyimpan pulang orang-orang yang patah. Amir mematikan mesin mobilnya, tetapi kedua tangannya masih memeluk setir seperti pegangan terakhir yang tak ingin ia lepaskan. AC telah lama padam, namun dingin tertinggal seperti penyesalan: pelan, lama, menusuk.

Tiga tahun lalu, Amir meninggalkan Jakarta. Meja kerja di lantai 30, kopi yang datang tanpa diminta, rapat-rapat di ruang kaca yang menyodorkan pemandangan dan paranoia. Ia—desainer kreatif senior—berpindah ke Yogya dengan janji yang terdengar heroik: menjadi manusia yang lebih manusia. “Kota pelan untuk hati yang ingin utuh,” tulisnya di catatan pindahan. Di sebuah rumah kontrakan di Demangan, ia dirikan studio kecil berjudul Titik, mengundang tiga rekan: Jayeng, Anom, dan Wirang—nama-nama yang didapat dari lelucon mereka tentang kisah Menak yang pernah diceritakan seorang dosen teater dulu. “Biar tiap kita punya takdir wayangnya,” kata Anom, yang paling muda, sambil terkekeh.

Hari ini, tender besar dari merek fashion lokal jatuh ke agensi lain—lagi. Bukan kabar baru, namun pukulan kali ini menemukan rongga dadanya yang tak lagi punya bantalan. Amir mematung. Ia tahu berita ini bahkan sebelum email resmi datang; ada intuisi getir yang menyeberangkan kekecewaan tanpa perlu surat jalan. Di dasbor, secarik notes lusuh menganga. Ia menariknya; tulisan spidol merah berbunyi: “Yang sabar, yang datang lambat biasanya paling tulus.” Jemarinya sempat hendak merobek. Urung. Ia menelan pahit.

Amir turun dari mobil. Kakinya, tanpa komando, melangkah ke sebuah toko buku kecil yang baru kali itu ia masuki—toko yang selama tiga tahun ini hanya menjadi latar di kaca mobilnya, seperti figuran yang sabar menunggu giliran bicara. Aroma kertas basah menampar ragu-ragunya. Di rak tengah, tangannya bertemu sebuah buku yang sampulnya telah mengusam membuka: Man’s Search for Meaning. Saat telunjuknya menyentuh pinggiran buku, sebuah tangan lain—ramping, tenang—juga menyentuhnya dari arah berlawanan.

“Buku berat untuk hari yang berat?” suara itu seperti hujan yang tak memaksa jatuh: halus, bersih.

Amir menoleh. Perempuan itu menatap tanpa menyelidik. “Kadang bebannya yang membuat kita akhirnya menepi,” jawab Amir.

“Kadang juga justru menepi yang membuat beban punya nama,” balasnya. Ia tersenyum. “Aku Kelaswara. Orang-orang memanggilku Laras.”

Nama itu menyalakan sesuatu di kepala Amir—serpih ingatan Menak Madura yang dahulu sekadar candaan, kini kembali sebagai penanda: Jayeng, Anom, Wirang, dan kini Kelaswara. “Amir,” katanya, singkat.

“Amir?” Laras mengangkat alis. “Nama panjang yang disederhanakan.”

“Dan hidup pendek yang sering kali dipanjangkan oleh cemas,” Amir menutup lelucon.

Mereka tertawa tipis, duduk di sudut dekat jendela. Di luar, sore mengolah cahaya menjadi abu-abu yang bisa membesarkan atau mengecilkan dada, tergantung siapa yang memandang.

.

Malam itu, Amir menulis lagi. Setelah dua tahun blognya kosong, ia mengetik di halaman baru: Titik Tiba. Ia menulis tentang “datang pelan” yang sering dipandang kalah oleh “menang cepat”. Ia menulis tentang kota yang menaruh jam di saku dan memaksa kaki untuk tidak menyamakan rute dengan nasib. Tulisannya menyebar, bukan seperti roket yang berisik, melainkan seperti akar yang sabar. Di surelnya, pesan-pesan pribadi datang dari orang-orang yang tak ia kenal: pegawai ritel yang ditolak promosi, guru kontrak yang menunggu SK, barista yang tersingkir dari lomba, ibu muda yang menunda studi. Semuanya berkata sama: “Terima kasih telah menamai perasaan kami.”

Laras membaca, diam. Ia tak pernah menekan tombol “suka”. Ia menunggu tulisan yang tepat untuk sebuah jejak yang tak kasat mata. Suatu malam, Amir menulis “Yang Tiba Tanpa Disuruh Pergi”. Di akhir tulisan itu, sebuah komentar muncul: “Kadang kita tak tahu, kita ini ditunggu atau menunggu. Tapi yang pasti, dua-duanya sedang menuju.” Amir tak perlu menebak siapa. Ia menjawab dua kata: “Terima kasih.”

Sehabis itu, pertemuan-pertemuan kecil tumbuh seperti gang-gang Yogya yang tak pernah habis. Kadang mereka bertemu di warung soto dekat Pugeran; kadang di kafe mungil di Tirtodipuran yang menyajikan musik 90-an. Laras, dosen psikologi di sebuah kampus swasta, pembawanya tenang seperti jalanan di pukul enam—sepi yang tidak membuat takut. Ia bukan perempuan yang datang untuk mengisi lubang di hati Amir; ia datang untuk menaruh cermin, supaya Amir melihat: lubang itu ternyata ruang bernapas.

“Menunggu bukan pasif, Mir,” kata Laras suatu malam. “Menunggu itu latihan percaya. Kalau latihan, berarti ada kerja: menata, memberesi, menakar ulang.”

“Dan kalau percaya?” tanya Amir.

“Percaya itu pekerjaan sunyi,” Laras menatapnya, “yang upahnya sering dibayar oleh ketenangan.”

.

Studio Titik perlahan diatur ulang. Jayeng—yang dulu paling sering mengeluh “hidup tak adil”—mulai membangun sistem kerja yang lebih jujur pada ritme mereka. Ia menghapus paket-paket jasa yang dibuat hanya demi mengejar klien besar. “Kita bukan pabrik,” katanya sambil menotok spidol ke papan tulis, “kita atelier.” Anom, muda dan tangkas, menambahkan layanan cerita merek—membantu UMKM menamai dirinya dengan kalimat yang ramah di lidah pelanggan. Sementara Wirang—yang sebetulnya paling puitik—diam-diam membuat divisi arsip, mengumpulkan sketsa, catatan rapat, dan revisi, seolah takut kelak lupa dari mana semua ini dimulai.

Suatu hari, telepon berdenting. Sebuah komunitas kesehatan mental di Jakarta mengundang Amir menjadi pembicara—bukan soal tipografi, bukan soal warna, melainkan soal menamai lelah. Amir tertawa takut. “Aku bukan psikolog,” katanya pada Laras.

“Tidak perlu,” jawab Laras. “Kau datang sebagai orang yang pernah lelah dan tidak malu mengakui.”

Acara itu mengubah sesuatu. Bukan uang—honorarium yang mereka terima bahkan kalah dari harga font premium—melainkan rasa berguna yang tidak bisa ditakar Excel. Video rekaman sesi “The Arrival Theory”—istilah yang tiba-tiba meluncur dari mulut Amir ketika menjelaskan tentang titik tiba—beredar pelan. Orang-orang mulai menyebut Amir bukan hanya “desainer”, tapi “penulis naratif”. Di bio Instagram, Amir tetap menuliskan: “merapikan kalimat, mengajak hati-istirahat.”

Yang aneh, sejak itu, Titik justru ligat. Toko roti kecil di Prawirotaman minta dibuatkan identitas baru; klinik gigi di Baciro minta diurusi bahasa yang tidak membuat pasien takut; sebuah perguruan tinggi meminta kurasi poster mahasiswa agar tidak lagi meniru-niru poster festival musik di Jakarta. Mereka tidak kaya. Tetapi mereka jarang cemas soal listrik dan beras.

.

“Jangan jadi penghapus,” kata Laras suatu ketika di atas motor, pulang dari Pasar Giwangan setelah belanja ramuan jamu—keduanya sedang belajar hidup tanpa terlalu sering memesan aplikasi. Angin memasuki helm, mencuci resah.

“Penghapus?” Amir tertawa. “Aku kan bukan alat tulis.”

“Penghapus kenal semua salah, tapi tidak pernah menulis,” jawab Laras. “Kau harus tetap menulis, Mir. Sekurang-kurangnya untuk tidak menjadi salahmu sendiri.”

Amir mengingat kalimat itu lama. Sampai malam saat ia mendapati email yang membuatnya duduk tegap: brand fashion yang dulu menolak mereka, mengundang Titik untuk tender ulang. Ada perubahan manajemen, ada strategi yang ingin ‘lebih manusia’. Amir menatap layar. Ia teringat keringat Jayeng, semangat Anom, arsip Wirang, dan suara Laras yang tenang. Ia menerima. Tapi ia berjanji pada dirinya: kali ini yang datang bukanlah kering yang memaksa menang, melainkan jujur yang memperkarakan milik.

Mereka bersiap. Malam-malam diisi dengan menempel sticky notes di dinding, memetakan cerita merek bukan dari angle “paling berbeda”, melainkan dari “paling benar”. Mereka mendonorkan kalimat-kalimat yang tidak bombastis, menggambar garis yang tidak menipu. Amir mengulang-ulang kalimat yang ia tulis sendiri di catatan ponsel: “Kita bukan menaklukkan pasar. Kita mengantarkan pelanggan sampai di rumahnya.”

Hari presentasi, Yogya hujan tipis. Di ruang meeting berwarna putih, lampu warm yang terlalu hangat, Amir berdiri di depan layar. Ia mengganti deck pembuka: dari halaman “visi-misi” menjadi sebuah kalimat: “Apa titik tibamu?” Lalu ia bercerita: tentang roti kecil yang tak mau disebut “artisanal” karena takut membuat pelanggan minder; tentang klinik gigi yang memilih “mengajak bicara” dari pada “menarik perhatian”; tentang pelanggan yang pulang dari poster, bukan dari diskon. Ia tidak menunjukkan penghargaan. Ia menunjukkan arsip: proses, revisi, yang gagal, yang jujur—temuan Wirang yang selama ini dianggap remeh.

Ketika selesai, ruangan hening. Seorang manajer yang baru—barangkali seumuran Amir—menghela napas. “Kalian tidak menjanjikan cepat,” katanya, “tapi kalian menjanjikan sampai.”

Mereka pulang tanpa ekspektasi. Belajar dari luka, Amir menutup telepon, menempelkan dahi ke kaca jendela mobil, membiarkan hujan mengantar jalan.

Seminggu kemudian, email datang. Titik menang.

Amir memandang layar. Rasanya seperti seseorang menepuk pundak dari belakang waktu. Ia tidak bersorak. Ia menutup mata. Ia mengirim pesan suara ke Laras: “Kita tidak salah menunggu.”

Di seberang, suara Laras gemetar tipis, “Selamat sampai, Mir.”

.

Kabar baik membawa juga undangan lain: kelas-kelas kecil tentang narasi yang manusia. Amir dan Laras memberanikan diri membuka program sabtu-minggu bertajuk The Arrival Theory. Pesertanya macam-macam: pemilik warung mie ayam, staf HR, guru TK, anak magang, seorang satpam apartemen yang ingin menulis ulang pengumuman lift supaya tidak terdengar mengancam. Mereka tak bicara tentang tone of voice dalam bahasa Inggris semata; mereka bicara tentang suara hati yang kadang lebih lunak didengar ketika ditulis. Laras memulai setiap pertemuan dengan latihan napas; Amir menutupnya dengan pekerjaan rumah: menamai satu hal yang membuatmu ingin pelan.

Di sela kelas, Amir menulis cerpen. Ia meminjam nama-nama sahabatnya dari dunia Menak yang dulu mereka jadikan gurauan. Jayeng menjadi lelaki yang menyimpan kunci di sepatu; Anom menjadi perempuan yang mengukur tiap keputusan dengan jarak lima langkah; Wirang menjadi arsip yang selalu takut dibuang; Kelaswara tumitnya luka karena menunggu; Amir berjalan tanpa jam tangan. Ia menulis dengan suara yang ia temukan di Yogya: bukan sok santai, bukan sengaja mendayu, melainkan jujur yang tak malu lemah.

Cerpen-cerpen itu dimuat di blognya, disalin orang-orang ke status Facebook, dibacakan diam-diam di grup WA keluarga. Salah satunya, “Menuju Titik Tiba”, dibagikan seorang mantan kolega di Jakarta—orang yang dulu paling mengejek keputusan Amir pindah. Di bawah tautan, ia menulis: “Kau benar. Kita semua butuh lambat untuk bisa pulang.”

.

Namun hidup tidak memelihara garis lurus. Pada malam paling bahagia, juga bisa datang tulisan yang mengguncangkan. Laras mendapat email mutasi: kampusnya menawari posisi baru di Surabaya. “Satu tahun saja,” katanya. “Ada program yang ingin kususun; setahun ini mungkin menjadi pintu untuk banyak mahasiswa—terutama yang tak punya pilihan.”

Amir diam. Kata “pintu” selalu memanggil rasa takutnya. “Kalau kau pergi, kelas-kelas kita?”

“Tak harus berhenti,” Laras menatap, “kita bisa atur daring. Kau juga tahu: beberapa pertemuan butuh jarak agar bisa memaknai datang.”

Amir mengangguk, namun di dadanya sesuatu seperti retakan kaca yang tak pecah. Malam itu, ia tidak menulis. Ia berjalan kaki dari Demangan ke Alun-Alun Utara melewati Tugu, lalu menyusuri trotoar yang berlubang untuk menjadi saksi. Yogya hampir tengah malam, pedagang ronde memanggil dengan suara yang menggigil gula. Amir membeli, duduk di bangku plastik. “Kau menabrak rencana, atau rencana menabrakmu?” batinnya.

Di rumah, ia akhirnya menulis satu kalimat di kertas: “Pulang itu bukan selalu bersama, kadang pulang adalah tetap menjadi rumah untuk yang pergi.” Lalu ia menempelkan kertas itu di kaca lemari es, berdiri lama di depannya, seperti menunggu pengakuan.

.

Hari perpisahan sederhana. Di stasiun Lempuyangan, Laras membawa ransel biru dan buku catatan kecil. Amir membawa kotak plastik berisi brownies yang gagal mengembang—percobaan keempat, gagal juga. Mereka tertawa karena alasan yang paling sehat: kebodohan yang bisa ditertawakan sekarang, bukan nanti.

“Mir,” kata Laras. “Kita tidak memulai ini untuk menjadi pahlawan. Kita memulai karena ingin meluruskan punggung kita sendiri. Kalau punggung orang lain ikut tegak, itu bonus.”

“Kalau pundak kita turun lagi?” Amir menahan perih di humor.

“Kita duduk, minum air, lalu bangun lagi.” Laras mengangkat brownies. “Dan belajar memanggang.”

Kereta bergerak. Laras beranjak, menoleh berkali-kali, lalu tenggelam dalam ritme rel yang menyilangkan kota-kota. Amir berdiri sampai gerbong menjadi titik, sampai titik menjadi warna, sampai warna menjadi jarak yang tak bisa diukur dengan langkah.

Malamnya, Amir menulis: “Yang ditakdirkan untukmu tak akan tersesat jalan. Ia datang bukan karena dipaksa, tapi karena waktunya telah sempurna.” Ia menaruh kalimat itu di paling atas—epigraf untuk tulisan yang ia kira akan menenangkan orang lain, padahal ia sedang menenangkan dirinya.

.

Beberapa bulan berlalu. Kelas-kelas tetap hidup, walau kini layar memediasi tatap. Titik tumbuh tidak meledak, tetapi menegakkan. Jayeng berhasil menolak proyek besar yang meminta menyembunyikan fakta; ia pulang malam itu dengan mata basah, bukan karena uang, tetapi karena keberanian. Anom menutup rapat dengan pelukan, sesuatu yang dulu dianggap tidak profesional. Wirang memindahkan arsip ke cloud, karena ia takut gempa mengambil ulang kenangan.

Di hari ulang tahunnya yang ke-35, Amir membeli kue kecil di toko roti langganan Prawirotaman. Di atasnya ia tulis dengan spuit: “Selamat sampai.” Sendiri di meja makan, ia memotong kue seperti orang yang membuka pintu rumahnya setelah lama berkelana, bersyukur mendapati aroma yang ia kenal: gula, mentega, dan sabar. Ia menekan record di ponsel, mengirim pesan ke Laras: “Hari ini aku tidak merayakan keberhasilan, tapi kedatangan. Bukan orang, bukan pencapaian. Tapi diriku sendiri.”

Balasan datang beberapa jam kemudian, menjelang tengah malam. Suara laras pelan, seperti doa yang tak mau terdengar terlalu keras agar tidak melukai sunyi. “Selamat sampai, Mir. Peluk dari jarak yang semoga sedang menuju pendek.”

Amir menatap jendela. Di luar, Yogya memantulkan cahaya lampu jalan ke daun-daun mangga. Ia memejam. Di gelap itu, ia bertemu semua orang yang pernah memintanya untuk cepat; ia bungkukkan kepala pada mereka dengan cara yang paling sopan: tidak dendam. Lalu ia menemui semua yang pernah memintanya untuk pelan; ia rangkul mereka dalam hatinya, satu per satu: ibunya, Laras, Jayeng, Anom, Wirang, dan dirinya yang dulu—anak yang selalu takut lampu padam tetapi diam-diam mencintai malam.

.

Beberapa hari setelah itu, Amir menerima pesan dari nomor tak dikenal. “Mas Amir,” tulisnya, “saya satpam apartemen. Pengumuman lift yang Mas bantu susun—yang pakai kalimat sopan itu—membuat orang-orang foto dan share, sambil bilang: terima kasih sudah diajak bicara, bukan dimarahi. Terima kasih, Mas.”

Amir menutup mata. Ada rasa yang melebihi menang tender. Rasa berguna yang tidak menggurui. Rasa tiba yang tidak berhenti pada diri. Ia merapikan kursi, menyapu remah kue ulang tahun, lalu duduk menulis.
Judul: Menuju Titik Tiba.
Isi: perjalanan yang tahu kapan menepi, tahu kapan melangkah, dan paling penting, tahu kapan berhenti menyakiti diri sendiri.

Ia menutup laptop, menyalakan lampu balkon. Kota tak berubah: suara motor, pedagang angkringan, anjing tetangga, musik dangdut dari kejauhan. Tetapi di dalam Amir, ada yang selesai dengan cara yang tidak keras kepala—selesai yang tidak berarti berhenti, melainkan berdamai. Ia mengirim pesan ke grup Titik: “Terima kasih sudah tinggal.”
Jayeng membalas dengan stiker kopi. Anom mengirim foto cat semprot di jari. Wirang mengirim tautan folder arsip baru. Laras mengirim ikon rumah.

Amir tersenyum. Sambil memandang ke langit yang tak lagi goyah, ia berbisik untuk dirinya sendiri—untuk anak kecil yang gemetar di dalam dada orang dewasa:
“Terkadang, pulang bukan ke tempat, melainkan ke versi dirimu yang paling damai.”

Dan malam itu, tanpa fanfare, tanpa kembang api, tanpa pengumuman, Amir sampai.

.

.

.

Jember, 19 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #CerpenIndonesia #Yogyakarta #MenujuTitikTiba #NarasiEmosional #TheArrivalTheory #MenakMadura #Storytelling #Pulang #Damai

.

Kutipan-Kutipan dari Cerita

  • “Yang ditakdirkan untukmu tak akan tersesat jalan. Ia datang bukan karena dipaksa, tapi karena waktunya telah sempurna.”

  • “Kau tak perlu mengetuk deras jika pintu memang ditakdirkan terbuka.”

  • “Menunggu bukan pasif; menunggu adalah latihan percaya.”

  • “Pulang bukan selalu bersama; kadang pulang adalah tetap menjadi rumah untuk yang pergi.”

  • “Kita bukan menaklukkan pasar. Kita mengantarkan pelanggan sampai di rumahnya.”

  • “Sabarlah: rasa sakit itu benih; kelak ia tumbuh menjadi ketenangan.”

  • “Terkadang, pulang bukan ke tempat, melainkan ke versi dirimu yang paling damai.”

Leave a Reply