Sepotong Waktu yang Tak Perlu Terbakar Amarah
“Setiap kali kau marah pada sesuatu, tanyakan pada dirimu: jika besok aku tiada, apakah marah ini pantas menghabiskan waktuku yang tersisa?”
“Setelah semua yang kulalui, aku belajar: hidup bukan tentang siapa yang benar atau salah, melainkan tentang memahami… dan menerima.”
.
Prolog
Setelah semua yang terjadi dalam hidupku, aku memandang dunia dengan mata yang berbeda.
Bukan lagi soal siapa yang benar atau siapa yang kalah dalam perdebatan.
Bukan lagi soal siapa yang lebih unggul, lebih pintar, lebih terdengar.
Hidup, pada akhirnya, adalah perjalanan sunyi.
Dan di dalam sunyi itu, aku belajar satu hal: memahami, menerima, lalu melepaskan.
Sejak saat itu, ada satu kalimat yang selalu kupeluk erat:
“Setiap kali kau marah, tanyakan dirimu: jika esok tiada, apakah marah ini pantas?”
.
Jakarta, Sebuah Kota yang Menyulut
Namaku Dewangga.
Aku tinggal di sebuah apartemen studio mungil di sudut Jakarta Selatan, hanya berjarak tiga halte bus dari gedung-gedung tinggi yang penuh kaca. Dari jendela kamar lantai 15, aku bisa melihat lautan kendaraan yang setiap jam berubah menjadi sungai logam.
Aku bekerja sebagai freelance copywriter. Menulis tagline, iklan, artikel, bahkan konten Instagram untuk brand yang kadang aku sendiri tak pernah beli produknya.
Hidupku sederhana. Kopi tubruk, buku tipis, musik lama. Namun, ada satu hal yang sering membuat hari-hariku retak: aku mudah marah.
Bukan marah meledak-ledak.
Marahku lebih sunyi, menumpuk dalam hati.
Aku seperti tong kosong yang diisi bara kecil: hanya menunggu angin untuk menyala.
“Amarah yang disimpan adalah bara. Ia tidak padam, hanya menunggu angin untuk menyala kembali.”
.
Sahabat Bernama Gilang
Hidup memberiku satu sahabat yang jadi cermin: Gilang.
Kami berteman sejak kuliah di Yogyakarta. Jika aku adalah bara, dia adalah air.
Ritual kami sederhana: kopi. Dari warung dekat kampus dulu, hingga kini ke kedai kecil di Cikini. Obrolan kami selalu panjang, kadang serius, kadang konyol.
Suatu malam, aku datang dengan wajah penuh lipatan amarah. Proyek besar dibatalkan sepihak. Satpam apartemen bersuara ketus. Semua kumuntahkan di meja kopi itu.
Gilang menatapku lama, lalu tersenyum.
“Dewa, kalau besok lu mati, marah lu hari ini worth it enggak?”
Aku tertawa sinis. “Lu bisa aja, bro.”
Tapi kalimat itu menempel di kepalaku.
.
Kabar yang Membelah
Dua minggu kemudian kabar datang seperti petir.
Gilang meninggal. Serangan jantung. Usianya baru 37.
Aku berdiri di pemakamannya. Angin siang membawa bau tanah basah. Aku melihat tanah menutup tubuh sahabatku. Semua terasa surreal.
Kosong.
Bisu.
Yang tertinggal hanya pertanyaannya:
“Kalau besok aku mati, marahku hari ini… worth it enggak?”
Aku pulang dengan tubuh berat. Malam itu aku duduk di apartemen sendirian, menatap dinding kosong. Lama sekali.
.
Catatan Amarah
Sejak itu aku mulai menulis catatan harian.
Berapa kali aku marah hari ini?
Apa penyebabnya?
Apa dampaknya?
Hasilnya mengejutkan.
Aku marah pada iklan YouTube lima detik.
Aku marah pada pengemudi ojek yang salah rute.
Aku marah pada teman yang telat 15 menit.
Hal-hal sepele. Tapi menggerogoti energi.
“Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan menggerutu pada hal yang tak bisa kita ubah.”
.
Nama-Nama yang Membekas
Aku masih bergaul dengan beberapa kawan lama.
Amir, pendamai seperti Menak Jatmik.
Arsaka, keras kepala, mengingatkanku pada Menak Koncar.
Dan Ratna—perempuan yang dulu pernah membuatku jatuh hati, kini hanya sekadar nama di layar ponsel.
Ratna adalah kenangan yang belum selesai. Kami pernah hampir jadi sesuatu, tapi terhenti oleh jarak, kesibukan, dan… egoku sendiri. Aku mudah tersulut oleh hal-hal kecil, dan Ratna, yang penuh kesabaran, akhirnya lelah.
Suatu malam, setelah bertahun-tahun hanya saling melihat story Instagram, aku memberanikan diri menghubunginya.
“Kopi, sekali waktu?”
Ia membalas cepat:
“Besok malam. Tempat biasa.”
.
Pertemuan yang Membuka Luka
Kami bertemu di sebuah kafe kecil di Senopati. Ratna masih sama. Matanya bening, senyumnya tipis, rambutnya kini lebih pendek.
Kami duduk, berbicara ringan. Lalu obrolan merambat ke masa lalu. Tentang kenapa dulu kami berhenti. Tentang betapa sering aku dulu marah pada hal-hal sepele, lalu melampiaskannya padanya.
“Aku dulu sering takut sama marahmu, Dewa,” katanya pelan. “Bukan takut fisik. Tapi takut… rasa sayangku habis karena energi itu.”
Aku terdiam. Dadaku sesak.
Kopi di hadapanku terasa hambar.
“Kalau besok aku mati,” aku berbisik, “apa marahku dulu layak, Rat?”
Ratna menatapku lama, lalu tersenyum getir.
“Pertanyaan itu harusnya kau ajukan sejak dulu.”
.
Jakarta dalam Wajah-Wajah
Hari-hari berikutnya, aku mulai melihat kota ini berbeda.
Seorang ayah menggendong anaknya menyeberang jalan.
Seorang pedagang kaki lima tetap tertawa meski hujan membasahi dagangannya.
Seorang pengendara motor marah-marah di perempatan, wajahnya merah.
Aku melihat diriku sendiri di wajah marah itu.
Perlahan aku belajar:
Berhitung sampai sepuluh sebelum bicara.
Minum air sebelum membalas pesan.
Diam sebelum menulis komentar.
Tak selalu berhasil. Tapi hidup terasa lebih ringan.
.
Ratna, Lagi
Kami bertemu lagi beberapa kali. Tidak ada janji manis. Tidak ada kata cinta. Tapi ada percakapan yang tulus.
Suatu malam, Ratna berkata:
“Aku senang lihat kamu berubah. Dulu, kamu seperti api yang siap membakar apa saja. Sekarang… lebih tenang. Mungkin ini Dewa yang dulu aku tunggu.”
Aku hanya bisa menunduk.
Tak berani berharap.
Kadang, cinta memang bukan soal memiliki. Kadang, cinta adalah tentang belajar menjadi lebih baik—meski terlambat.
.
Menjadi Tenang
Perubahan bukan proses sehari. Masih ada hari aku terpancing. Masih ada malam aku menyesali kata-kata. Tapi kini aku punya mantra:
“Kalau besok aku mati, apa marah ini layak?”
Sembilan dari sepuluh kali jawabannya tidak.
Aku mulai lebih menghargai hal-hal kecil. Aroma kopi pagi. Jalan kaki di trotoar. Tawa anak kecil di halte.
Dan Ratna—yang kini hanya jadi teman baik—menjadi pengingat bahwa ada cinta yang hilang karena aku tak pandai menjaga amarahku.
.
Epilog
Kini aku masih bujangan.
Masih menulis.
Masih berjalan kaki di kota yang tak pernah tidur.
Tapi aku bukan lagi Dewangga yang dulu.
Aku lebih tenang.
Setiap pagi, sebelum membuka laptop, aku menempelkan post-it di meja:
“Kalau besok aku mati, marahku hari ini… worth it enggak?”
Dan entah bagaimana, kalimat itu membuat hariku lebih damai.
.
Refleksi Akhir
Malam di kota ini selalu datang dengan riuh lampu, tapi hatiku kini belajar mencari sunyi di antara kerlap-kerlipnya. Aku sadar, hidup bukan sekadar menghitung apa yang hilang, melainkan menghargai apa yang masih tersisa.
Aku pernah kehilangan sahabat yang terlalu cepat dipanggil pulang. Aku pernah kehilangan cinta karena gagal mengendalikan diri. Dan kini aku belajar: bukan dunia yang terlalu kejam, tapi aku yang terlalu sering menyulut api di dalam dada sendiri.
“Amarah tak pernah memberi ruang bagi cinta tumbuh. Ia hanya mengikis sedikit demi sedikit kebahagiaan yang mestinya sederhana.”
Aku menatap jendela apartemen, jalan protokol berkilau oleh lampu kendaraan. Di bawah sana, ribuan manusia bergegas membawa resah masing-masing. Mungkin sebagian sedang marah, mungkin sebagian sedang menangis, mungkin sebagian sedang tertawa.
Dan aku, seorang Dewangga yang pernah menjadi bara, kini memilih menjadi lilin kecil yang cukup untuk menerangi dirinya sendiri. Tidak lagi ingin membakar. Cukup hangat untuk bertahan, cukup damai untuk hidup.
Karena jika esok tiada, aku ingin hari ini tercatat bukan sebagai hari ketika aku marah.
Tapi hari ketika aku akhirnya tenang.
.
.
.
Jember, 12 Juni 2025
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #HidupTanpaAmarah #RefleksiHidup #CeritaJakarta #CintaYangHilang