Langkah Kecil Menuju Langit Luas
“Hidup kadang perlu kita remas pelan, dibentuk ulang. Karena di balik rutinitas yang membosankan, tersimpan jendela menuju versi diri yang lebih utuh.”
— Langkah Kecil Menuju Langit Luas
.
Aluna, kota kecil yang tumbuh dari deret ruko, gedung-gedung kantor setinggi lima lantai, dan rel kereta yang membelahnya seperti garis tegas di telapak tangan. Pada jam-jam sibuk, suara klakson menyalak di simpang, wangi kopi sachet bercampur asap knalpot, dan papan reklame memantulkan cahaya yang agak berlebih ke jendela-jendela apartemen. Di salah satu kotak beton ber-AC di lantai empat sebuah gedung manufaktur, Ranu—34 tahun, analis keuangan—hidup dalam orbit yang rapi: tiba pukul delapan, menatap sel-sel angka, absen makan siang jam dua belas lewat lima, kopi hitam tanpa gula jam dua belas tiga puluh, pulang jam lima, dan malamnya berjaga bersama buku-buku yang belakangan lebih sering ia tatap daripada ia baca.
Belakangan, saat menunggu air dispenser usang mengisi gelas plastik putihnya, ada suara kecil yang tak ia kenal mulai rajin datang: Apakah hidup hanya begini saja? Suara itu mula-mula terdengar seperti cicak di balik poster keselamatan kerja, lalu makin jelas sehingga Ranu merasa ada ruang kosong di dadanya yang minta diisi.
Pada siang yang lain—hari itu Aluna gerah, awan menggantung seperti tirai basah—Ranu menatap ponselnya untuk lari sejenak dari tabel arus kas. Jempolnya menekan sesuatu tanpa sengaja dan sebuah ramalan mingguan muncul: “Shrugging off your usual routine in an effort to hone your skill set and broaden your horizons could feel even more appealing than usual…” Ia nyaris tergelak. “Masa hidupku disetir horoskop?” gumamnya, namun ia membaca ulang kalimat itu, kali ini lebih pelan, seperti seseorang membaca doa yang ia ragu percaya. Anehnya, kata-kata asing itu justru terdengar akrab.
Di sela kekonyolan itu, ia mengetik: skill baru untuk pengembangan diri. Mesin pencari mengantarnya ke artikel tentang microlearning—belajar dalam keping-keping kecil, lima belas menit sehari, macam meneteskan vitamin ke otak yang letih. Ia mengunduh sebuah aplikasi. Notifikasinya sederhana: Selamat datang. Mulai hari ini, langkah kecil Anda berarti. Ranu merasakan sesuatu mengalir di punggung tangannya. Bukan magis, hanya lentik arus listrik kecil dari keberanian yang belum punya nama.
.
Malam pertama, ia memilih modul storytelling dasar. Di layar, seorang pengajar dengan suara tenang menjelaskan bahwa angka pun bercerita, asalkan kita tahu cara mendengarnya. “Cerita,” kata si pengajar, “adalah jembatan dari kepala ke kepala, dari hati ke hati.” Ranu menatap laporan laba rugi yang terbuka pada laptopnya. Jembatan? Selama ini ia mengira pekerjaannya hanya menyusun batu-batu angka menjadi dinding. Ternyata bisa juga menjadi jembatan.
Seakan semesta bersekongkol, keesokan harinya email promosi tiket kereta masuk: Aluna–Kota Pelabuhan 50%. Workshop storytelling akhir pekan. Host-nya seorang praktisi yang konon biasa dipanggil Jayeng—nama yang mengingatkan Ranu pada tokoh-tokoh Menak yang dulu hanya ia dengar sekejap dari pengantar tidur neneknya. “Mungkin ini tanda kedua,” katanya, separuh bercanda. Ia memesan tiket. Tindakannya ringan, tetapi menerobos kebiasaan lima tahun yang lurus-lurus saja.
.
Sabtu, Ranu duduk di kereta ekonomi yang rapi. Di luar, kebun tebu melintas, bengkel, rumah ibadah, dan jemuran kain batik. Di dalam, wangi nasi bungkus menenangkan. Ia mengingat lagi suara kecil itu. Tak keras, tapi teguh: Cobalah. Di kursinya, ia menuliskan kalimat-kalimat kecil: Kenapa aku selalu menghindari panggung? Kenapa angka lebih aman daripada kata?
Kota Pelabuhan menyambutnya dengan udara asin dan suara kapal menjerit pelan. Ruang workshop berada di lantai dua sebuah gedung tua yang dipoles ulang: dinding bata terekspos, lampu kuning keemasan, dan poster bertuliskan: “Cerita yang baik tak memaksa, ia mengundang.” Jayeng, pria berambut perak dengan mata teduh, membuka kelas dengan satu pertanyaan: “Di mana Anda menyembunyikan keberanian Anda?” Ranu tersenyum miris—ia merasa pertanyaan itu jatuh tepat di ruang kosong dalam dadanya.
Sesi demi sesi, Ranu belajar menyusun kisah dari potongan pengalaman. Ada peserta bernama Rengganis, desainer dari Surabaya, yang bercerita tentang memintal ulang pekerjaannya setelah pandemi. Ada Kelana, pemilik kedai kopi yang jatuh dua kali sebelum menemukan racikannya sendiri. Ada Nursasa, mantan pegawai bank yang mengajar literasi keuangan di gang-gang sempit. Mereka bicara dengan mata yang menyala. Di tengah-tengah, Ranu seperti mendengar kembali suara neneknya: “Hidup itu perjalanan yang ditata ulang berkali-kali. Sapa gelem sinau, bakal ketemu dalan.”
Saat tiba giliran bercerita, Ranu awalnya kaku. Ia bicara tentang meja kerjanya yang dingin, jarum jam tua di sudut ruang yang bergerak tetap, dan betapa angka bisa terdengar seperti hujan dengan ritme yang sama. Ia menyelipkan kalimat yang belum pernah ia ucapkan: “Aku takut salah memilih, maka kupilih tidak memilih apa-apa.” Ruangan sunyi. Jayeng menatapnya, angguk pelan. Tepuk tangan datang, bukan pekik sorak; semacam selimut tipis yang menutup malu. Seusai kelas, Jayeng menepuk bahunya, seperti sahabat lama. “Kau punya suara yang bersih. Latih. Jangan biarkan meja kerjamu menjadi batas panggungmu.”
Dalam perjalanan pulang, jendela kereta memantulkan wajahnya. Ia seperti melihat Ranu lama berdiri di peron, melambaikan tangan, sementara Ranu lain duduk di dalam, pelan-pelan bergerak. Di ponselnya, ia menulis: Setiap langkah kecil hari ini adalah tiket masuk ke ruang yang lebih terang besok. Ia menambahkan satu kalimat lagi, entah untuk siapa: “Keberanian tak selalu berisik; kadang ia berupa langkah yang menghentak diam.”
.
Senin, Ranu kembali ke kantor yang sama, lift yang sama, suara mesin pendingin udara yang sama—namun ada yang sedikit miring dalam cara ia menatapnya. Di rapat mingguan, Kepala Divisi, pria berperawakan mantap bernama Wirapati—biasa dipanggil Wira—mengumumkan forum ide pengembangan bisnis. “Kita butuh lini edukasi digital. Pasar butuh belajar, bukan sekadar membeli,” katanya. Ranu mengangkat tangan. Teman sekubikel melirik: Ranu?
Ia mempresentasikan ide: edukasi finansial berbasis cerita—bagaimana mengajarkan arus kas pada pelaku UMKM lewat narasi sederhana, video pendek lima menit, modul interaktif yang tak membuat pusing. Ia mengutip kisah-kisah dari workshop: Kelana yang jatuh karena salah mengatur stok, Rengganis yang belajar menghitung harga pokok. Ia menutup dengan kalimat yang ia tulis di kereta: “Setiap angka memanggul cerita tentang pilihan.” Ruangan tidak meledak, tapi orang-orang menunduk pada catatan mereka dengan cara berbeda. Di akhir rapat, Wira bilang, “Datang ke ruanganku setelah ini.”
Ranu duduk di hadapan Wira yang menekuk jari-jarinya seperti jembatan. “Kau yakin bisa memimpin prototipe ini?” tanya Wira. Ranu ingin menjawab seperti biasa: lebih baik orang lain. Tapi ia teringat jendela kereta. “Saya mau belajar. Dan saya tahu mau memulainya dari mana,” katanya, suaranya nyaris tak goyah. Wira tersenyum tipis, sesuatu berkilat dalam matanya. “Baik. Satu bulan untuk konsep. Libatkan Divisi Komunikasi. Ada junior baru di sana, namanya Umara, anaknya agak liar tapi tajam.”
Malamnya Ranu membeli spidol warna. Ia menggambar alur modul: mula-mula cerita, lalu konsep, baru angka. Ia merasa aneh—bahagia dengan raut kebingungan yang jujur. Di sudut, horoskopnya masih tersimpan. Ia tertawa pada dirinya sendiri, namun tidak menutupnya. “Terima kasih, kebetulan yang memantik,” tulisnya.
.
Proyek berjalan. Umara membawa teman-teman dari komunitas kreatif. Kantor yang biasanya hening berubah menjadi studio kecil: tripod menempel pada kardus, lampu ring menyala, dan papan whiteboard penuh coretan. Rengganis—yang ternyata berteman dengan Umara—muncul sebagai relawan desain. Ia tertawa ketika Ranu mengungkapkan soal workshop. “Aluna itu kecil, Ran. Kita ini sering ketemu versi lain dari orang yang sama,” katanya.
Mereka membuat video percontohan. Ranu menjadi narator untuk episode pertama: “Mengapa uang masuk dan uang keluar harus berteman?” Tangannya gemetar di take pertama. Umara mengangkat kamera, “Santai, Mas. Anggap ngobrol sama ponakan.” Pada take ketiga, suara Ranu keluar lebih hangat. Ia bercerita tentang Ibu Wati, pedagang sayur di gang dekat apartemennya—bagaimana beliau kelimpungan setiap akhir bulan. Ia menyisipkan perhitungan sederhana. Lima menit. Selesai. Mereka menontonnya di layar kecil. Ada keheningan aneh yang bukan canggung. Hening yang memeriksa apakah sesuatu telah menyentuh sesuatu.
Rilis internal dilakukan. Tanggapan karyawan lain melampaui dugaan. Email masuk dari Divisi Operasi; mereka minta versi untuk operator pabrik agar paham arti lembur dan tabungan. Divisi HR mengusulkan program literasi untuk keluarga karyawan. Wira menulis singkat: “Teruskan.”
Minggu kedua, sesuatu retak. Kelana, manajer pemasaran yang terancam kehilangan anggaran, mengajukan keberatan. “Apa ini bukan tugas Marketing? Kenapa analis keuangan memimpin?” Nada suaranya halus, tetapi ada sisi yang menggesek. Ranu sempat kecut. Di rapat, ia memilih memaparkan data: biaya produksi konten vs proyeksi dampak. Tapi ia juga bercerita tentang Ibu Wati—bahwa angka berarti jika ada wajah di baliknya. Kelana memutar matanya, tapi tak berkata banyak. Sepulang rapat, Ranu menghela napas panjang di tangga darurat, sudut paling sunyi di gedung itu. Ponselnya bergetar—pesan dari Jayeng: “Jangan lupa, panggung yang benar bukan untuk menyikat orang, melainkan untuk menyinari jalan.” Ranu merasakan dadanya menghangat.
.
Kabar dari rumah datang seperti angin menerbangkan kertas-kertas di meja: ibunya jatuh di dapur. Tidak parah, tetapi harus diperiksa. Ranu pulang ke rumah masa kecilnya di pinggir Aluna. Di sana, segala sesuatu tampak menyusut: langit-langit rendah, kipas angin yang menjerit, jam dinding yang—anehnya—mirip jarum jam tua di kantor. Ibunya, Sari, tersenyum memintakan maaf karena merepotkan. “Aku capek sedikit, Nduk—eh, Ndok… eh, Ran,” katanya tergelincir pada panggilan masa lalu. Ranu tertawa, namun ada asam di tenggoroknya.
Di ruang itu, Sari bercerita tentang dulu: Ranu kecil yang suka memutar bolpoin seakan itu pesawat, Ranu remaja yang menolak ikut lomba pidato karena takut panggung, Ranu dewasa yang jarang bercerita karena “takut membebani”. “Kau selalu takut bikin repot. Padahal hidup ini ramai, bukan museum,” kata Sari, membetulkan selimut. Ranu menatap ibunya lama. Ia ingat betul betapa ibunya dulu menjahit baju seragam dengan mesin jahit tangan; suaranya seperti hujan kecil, ritmis.
Malam itu, Ranu duduk di teras menatap jalan aspal yang retak. Di seberang, warung kopi kecil memutar lagu lawas. Beberapa pengemudi ojek online tertawa. Ranu menulis lagi di ponselnya: “Orang dewasa sering memakai kata efisiensi untuk menyembunyikan ketakutan.” Ia menambahkan: “Aku ingin efisien, tapi berani.”
Keesokan hari, ia kembali ke kantor, kini dengan keputusan tak kasat mata: ia tidak akan lagi bersembunyi di balik angka.
.
Pengujian publik pertama dilakukan di balai warga kelurahan Girilana—area padat di belakang terminal. Kipas angin berdengung keras, proyektor memantulkan bayangan jeruji jendela ke layar. Penonton adalah Ibu Wati sungguhan dan kawan-kawannya: pedagang sayur, penjual gorengan, tukang jahit, dan dua remaja yang awalnya menguap. Ranu memberi salam, suaranya nyaris pecah—bukan karena gugup, melainkan karena ia baru sadar betapa ingin ia menyampaikan ini.
Di tengah sesi, seorang bapak berkemeja kotak-kotak mengangkat tangan: “Mas, kenapa saya merasa salah terus? Uang selalu habis. Saya capek diolok orang rumah.” Ranu mendongak, menatap penuh. Di momen itu, modul dan slide seperti terdorong mundur. “Pak,” katanya, “barangkali kita tidak salah, hanya belum berteman dengan cara uang bergerak. Uang suka berjalan pelan ke arah yang kita tidak lihat.” Ia menggambar tiga kotak sederhana di papan tulis: masuk, keluar, sisa. “Kalau sisa tidak terlihat, bukan berarti tidak ada; mungkin ia bersembunyi di kebiasaan yang belum kita tengok.”
Suasana ruangan mengendur. Tangan-tangan yang tadi bersilang mulai mencatat. Seorang remaja bertanya, “Kak, kalau uang sisa cuma lima ribu, apa masih layak disisihkan?” Ranu tersenyum, mengingat dirinya sendiri. “Layak, karena yang kita latih itu bukan jumlahnya, melainkan ototnya.” Umara, dari belakang kamera, mengangkat jempol.
Sesi usai. Orang-orang menghampiri, bukan untuk memuji, tapi untuk bertanya cara memulai. Itu pujian yang paling Ranu mengerti. Di luar, matahari turun miring, memantulkan jingga ke kaca-kaca ruko. Ranu menatap Aluna: suara angkot, derit besi rolling door, aroma soto ayam. Ia mencatat: “Kota kecil mengajarkan hal besar: suara paling keras sering datang dari hal paling sederhana.”
.
Kabar baik datang bertubi: video lima menit itu beredar di grup-grup warga; kantor menerima undangan dari dua kecamatan lain. Wira memanggil Ranu ke ruangannya. Ada CEO—lelaki berwajah teduh bernama Jayendra, namun para pegawai memanggilnya Jayeng juga karena kebetulan sama. “Saya melihat prototipe Anda. Digagas dengan hati. Kami ingin menjadikannya lini resmi. Ranu, Anda kami tunjuk Project Lead. Ini perjanjian baru. Dengan catatan: skala kecil dulu, uji tiga bulan. Sanggup?”
Ranu mengangguk. Ia tak paham apakah hatinya berdebar karena tanggung jawab atau karena rasa terpilih yang selama ini tak ia kenal. Seusai pertemuan, ia berdiri di balkon kantor. Dari sana, rel kereta terlihat memanjang, kecil, seperti garis takdir yang bisa dilompati. Di bawah, tukang parkir bersiul, anak-anak sekolah berlarian, dan sinar matahari jatuh tepat pada poster keselamatan kerja yang sudah pudar: “Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas.”
Malam itu, di kamar apartemen, Ranu menempelkan catatan kecil di dinding: “Berani melangkah keluar adalah kunci menuju langit yang lebih luas.” Ia menatap kalimat itu lama, seolah menatap mata dirinya sendiri.
.
Namun hidup, seperti rel yang berliku halus, menyiapkan belokan. Minggu berikutnya, Kelana membawa laporan bahwa salah satu video mereka dikritik di media sosial: istilah yang dipakai dianggap merendahkan. Ranu membaca komentar-komentar yang mengiris. Dadanya mengeras. Umara panik, Rengganis menghela napas. “Internet kadang seperti pasar malam,” kata Rengganis, “banyak lampu, banyak suara, tapi tak semua melihatmu dekat.”
Ranu meminta maaf terbuka di akun program. Ia mengakui kalimat yang kurang peka, menjelaskan niat, lalu menawarkan sesi dengar pendapat. Di ruang rapat, ia berhadapan dengan perwakilan komunitas yang tersinggung. Di sana, Ranu memilih mendengar—tanpa defensif, tanpa data menempeleng. “Kami tidak butuh pembelaan, Mas,” kata salah satu perwakilan, Nursasa, yang ternyata orang yang sama dari workshop. “Kami butuh dilibatkan sejak awal.” Ranu menunduk. “Benar. Bantu kami menyusun kata-kata yang lebih merangkul?”
Mereka pun duduk bersama. Sesi yang harusnya sejam molor jadi tiga. Mereka tertawa di tengah perbedaan. Di akhir, Nursasa menulis sebaris kalimat di whiteboard: “Ilmu yang baik adalah ilmu yang membuat orang merasa dihormati, bukan dihakimi.” Ranu menatap tulisan itu seperti menatap cermin yang membersihkan wajahnya. Ia mengulang—untuk diingat, bukan sekadar dimasukkan ke slide: “Mengajar bukan menara; ia jembatan yang dibangun dari dua arah.”
.
Di rumah, ibunya batuk-batuk lagi. Ranu membawa Sari ke puskesmas, menunggu di lorong dengan kursi plastik yang dingin. Sari menatap Ranu sambil menggenggam jemarinya. “Aku bangga padamu,” katanya pelan. “Bukan karena jabatanmu. Tapi karena kau tak lagi takut mendengar dirimu sendiri.” Ranu tersenyum, menahan sesuatu yang ingin tumpah. Perawat memanggil. Malam, ia pulang lebih tenang. Catatan di dinding apartemen kini memiliki teman baru: “Mendengar adalah bentuk berani yang paling lembut.”
.
Tiga bulan berlalu. Program berkembang pelan, tapi mantap. Mereka membuat seri tentang utang sehat, tabungan darurat, harga pokok, dan mimpi yang bisa diukur. Setiap video diiringi pertemuan kecil di gang-gang dan aula RW. Ranu mulai dikenal oleh nama, bukan oleh jabatan. Orang-orang menyapanya di minimarket, di peron kereta, di halte bus. Itu memalukan sekaligus melegakan—karena ia belajar, ternyata pekerjaannya bisa menyentuh sesuatu selain target.
Suatu malam, hujan turun deras, memantulkan neon-nion kota ke jalanan. Ranu berjalan dari kantor menuju stasiun, payungnya miring menangkis angin. Di salah satu sudut, ia melihat Kelana berdiri sendiri, merokok, menatap lampu merah. Ranu hampir berlalu, tapi ia berbalik. “Mas,” sapanya. Kelana mengangkat alis, separuh sinis. “Saya ingin bilang terima kasih. Kritik Mas membuat kami memperbaiki banyak hal,” kata Ranu. Kelana mematikan rokok, bibirnya melengkung sinis setengah, lalu berubah satu milimeter lebih lunak. “Aku juga belajar, Ran. Ternyata mengajarkan orang lain bisa jadi cara paling murah untuk memahami diri sendiri.”
Hujan mengecil. Mereka berjalan berlawanan arah. Ranu memasukkan payung ke plastik, menatap jejak air di trotoar yang seperti huruf-huruf miring. Ia teringat satu kalimat dari Jayeng di workshop pertama: “Di kota, kehidupan sering bergerak lebih cepat daripada kesadaran. Tugas kita memperlambatnya secukupnya agar maknanya tertangkap.”
.
Puncak kecil datang tidak dengan terompet, melainkan dengan dua baris pesan: “Program Aluna Financial Literacy diundang presentasi di forum provinsi.” Wira menepuk bahu Ranu; Umara berjingkat. Mereka menyiapkan slide—kali ini bukan numeralia dingin, melainkan kisah-kisah nyata. Ranu menyusun alur: mulai dari Ibu Wati, berpindah ke bapak berkemeja kotak-kotak, lalu remaja yang bertanya soal lima ribu, dan akhirnya komunitas yang mengajarkan untuk melibatkan. Di akhir slide, ia menulis kalimat yang ia tulis sejak awal: “Setiap angka memanggul cerita tentang pilihan.”
Di forum itu, lampu panggung tidak terlalu terang, hawa ruangannya terlalu dingin, dan mikrofon sedikit terlalu peka. Ranu membungkuk ke mic, menatap audiens seperti menatap tetangga sendiri. Ia bercerita, bukan mempresentasikan. Ia menyisipkan fakta: tingkat tabungan naik sekian persen, transaksi utang harian turun sekian, jam lembur dikelola lebih sadar. Namun setiap fakta dibungkus wajah. Tepuk tangan kali ini lebih riuh. Jayendra—CEO yang jarang memuji berlebihan—mengangkat jempol dari baris depan. Seusai acara, seorang perempuan muda menghampiri, “Mas, saya dari kota sebelah. Bolehkah kami meniru?” Ranu tertawa kecil. “Jangan meniru. Mari berbagi. Biar masing-masing punya warna.”
Di perjalanan pulang, kereta meluncur seperti kalimat panjang yang menemukan titiknya. Ranu bersandar pada sandaran kursi, matanya nyaris terpejam. Aluna menanti dengan rumah-rumah lampunya yang tak seragam, jalan-jalannya yang tidak lebar, dan orang-orangnya yang belum tentu ramah namun sungguh-sungguh. Di layar ponsel, ia menulis satu kutipan untuk dirinya sendiri, untuk ditempel besok di dinding apartemen:
“Langkah kecil tidak selalu kecil; ia adalah pintu yang menyingkap langit.”
.
Pagi berikutnya, Ranu bangun sebelum alarm. Ia menyiapkan sarapan sederhana untuk ibunya, menyetrika kemeja yang paling ia suka—bukan karena mahal, tetapi karena membuatnya mengingat betapa tangan ibunya yang dulu mengajarinya merapikan lipatan. Di cermin, ia menatap wajahnya yang masih sama: mata yang mudah letih, garis bibir yang sulit tegas, sedikit bekas jerawat di pipi kanan. Namun ada sesuatu yang berbeda—semacam cahaya tipis yang bukan dari lampu kamar. Keyakinan yang belum terlalu besar, namun sudah tak mau pergi.
Ia menaruh sticky note baru di dinding, di bawah dua yang lama:
-
Berani melangkah keluar adalah kunci menuju langit yang lebih luas.
-
Mendengar adalah bentuk berani yang paling lembut.
-
Hidup kadang perlu kita remas pelan, dibentuk ulang—agar kita bisa menyapa diri sendiri yang selama ini menunggu di seberang kaca.
Ranu mengunci pintu, menuruni tangga, menyapa satpam yang sedang berkelakar tentang hasil pertandingan semalam. Di jalan, ia berhenti sebentar untuk membantu seorang ibu yang kesulitan menenteng galon. Hal-hal kecil. Namun hari itu, hal-hal kecil terasa seperti latihan untuk menjadi manusia yang lebih utuh.
Di peron, kereta tiba tepat waktu. Ranu melangkah masuk, memilih duduk di dekat jendela. Kota berlari mundur, seperti film lama yang diputar lebih cepat. Dalam kepalanya, ia menata narasi untuk episode berikutnya: bagaimana menyisihkan waktu lima belas menit sehari untuk belajar apa pun—bukan demi sertifikat, melainkan demi menjaga api kecil di dalam. Ia tersenyum pada bayangan di jendela. “Aku bukan siapa-siapa,” katanya dalam hati, “tetapi aku sedang belajar menjadi diriku sendiri.”
Kereta melaju. Di langit, awan berderet seperti tanda baca yang akan membiarkan kalimat berikutnya lahir. Aluna menunggu. Proyek menunggu. Orang-orang menunggu. Dan di antara semua itu, Ranu tidak lagi menunggu dirinya sendiri.
.
Beberapa bulan sesudah forum provinsi, Ranu duduk di bangku taman kecil di belakang kantor. Pohon trembesi mengayun pelan, anak-anak mengejar bola plastik, dan penjual es lilin meneriakkan dagangannya. Sari duduk di sebelahnya, makan es lilin rasa alpukat. Ia menatap Ranu dengan mata yang sama seperti ketika melepasnya ke sekolah dua puluh lima tahun lalu. “Kau tahu,” katanya, “langit itu luas sekali. Tapi kita tak harus terbang tinggi untuk melihatnya. Terkadang, cukup berdiri tegak dengan langkah kecil yang jujur.”
Ranu mengangguk. Ia mengangkat wajah, menatap langit Aluna yang hari itu pucat, tetapi lapang. Dalam hatinya, ia melafalkan satu kalimat yang kini seperti doa: Teruskan langkah kecilmu. Karena setiap langkah kecil yang jujur, tak pernah benar-benar kecil.
Dan di kota yang kadang terlalu cepat untuk isi kepala, ia menambahi hidupnya dengan jeda, secukupnya, untuk memastikan makna tidak tertinggal.
.
.
.
Malang, 9 Juni 2025
.
.
#Cerpen #UrbanIndonesia #KompasMingguStyle #Microlearning #Storytelling #LiterasiFinansial #Motivasi #LangkahKecil #Aluna
Very inspiring story ❤️
Cheers to you …