Tanda Hatinya Sudah Damai

“Kesempurnaan batin bukan saat kau tidak lagi menangis, tapi saat air matamu tidak lagi membutakanmu dari kebenaran.”

.

Di Jakarta, jam enam pagi terdengar seperti dengung lebah raksasa yang menetas dari beton. Bus kota menguap, KRL berderit, dan kopi-kopi dinyalakan dari etalase kios kecil seperti lilin di kapel yang tak pernah sunyi. Di antara manusia yang bergegas, Arga berjalan tanpa suara—sepatu lamanya memantulkan cahaya lampu jalan yang belum padam. Ia membawa ransel hitam yang setia menampung rahasia kecil: buku tulis, pulpen yang bisa menari jika hati mengizinkan, dan sebuah surat yang tidak pernah ia kirimkan pada siapa pun.

Arga bukan lelaki yang menang di ruang rapat, melainkan lelaki yang pulang dengan utuh dari setiap rapat. Ia bisa membaca wajah seperti peta cuaca: garis bibir atasan yang menajam, dahi rekan kerja yang menggelap semacam langit sebelum hujan. Ia bukan penafsir kata-kata, ia penafsir jeda. Di antara kalimat-kalimat yang saling menubruk, Arga mendengarkan ruang kosongnya.

“Orang-orang terlalu sibuk menjelaskan, terlalu sedikit yang berusaha memahami,” ucapnya lirih, seakan sedang berbincang dengan kaca spion angkot yang memantulkan wajahnya sendiri.

Di kantor, nama proyeknya adalah “Jembatan”—konsep pemasaran yang disebut-sebut akan menyambungkan merek tua dengan generasi baru. Tapi di meja rapat, jembatan itu terlalu sering diganti menjadi pagar. Argumen memanjang seperti kereta barang yang tak datang-datang ke stasiun, dan orang-orang saling menyisikan bahu untuk berebut tempat di gerbong yang sama. Raga, rekan sebangkunya—lelaki Madura tinggi kurus yang dipanggil semua orang dengan nama panggilan warisannya: Ragapati—mengirimkan catatan kecil di layar ponsel: Kalau kamu perlu keluar, keluar saja. Joko Tole selalu bilang, pedang yang tajam tak perlu bertarung di pasar.

Arga tersenyum. Ragapati suka mencomot nama-nama dari kisah Menak Madura—Joko Tole, Cempa, Wiraraja—lalu menyelipkannya ke etika kerja sehari-hari. Bagi Raga, legenda bukan dongeng, melainkan prosedur kerja yang tak sempat ditulis di SOP. “Joko Tole,” katanya suatu kali di warung soto Betawi, “mengajarkan bahwa tenaga paling kuat adalah yang tak merasa perlu memamerkan kekuatan.”

Rapat pagi itu memanas seperti panci sop yang lupa dimatikan. Berdebat tentang target yang dilipatgandakan, tentang grafik yang mestinya melambung. Tiba-tiba, suara meja dipukul. Arga memejam. Ada kegaduhan yang ia kenal: kompetisi yang tumbuh dari cemas, bukan dari cinta pada kerja.

Jam dinding menandai 10.45. Arga berdiri, membereskan laptopnya, dan mengatakan maaf pelan yang terdengar seperti doa. Ia keluar. Di lorong panjang, ia menarik napas yang sejak pagi dicicil. Di lift, ia menatap angka turun satu per satu, seakan mengawasi emosinya sendiri turun ke dasar.

Tak ada yang mengerti. Pimpinan mengirim pesan siang itu juga: Kamu ke mana? Kita butuh kamu di ruangan. Arga menjawab sore hari: Maaf saya tidak bisa melanjutkan. Bukan karena saya tidak mampu, tapi karena saya tidak ingin kehilangan bagian terbaik dari diri saya.

Ia menekan tombol kirim, lalu memegang dadanya. Di sana ada ketakutan kecil menetes, tetapi juga ada ruang lapang yang tak pernah ia jumpai selama ini. Ia berjalan keluar gedung, menyusuri trotoar yang basah oleh gerimis, dan mampir ke kedai kopi depan halte Transjakarta. Di dindingnya ditempel poster: “Kopi paling jujur adalah yang pahit di awal, hangat di akhir.” Ia memilih bangku di pojok, menyalakan musik instrumental dari ponselnya, dan menulis di jurnal: Hari ini aku memilih tenang, meski itu berarti aku kehilangan sesuatu. Tapi bukan kehilangan diriku.

.

Malam di kosan, Arga punya ritual sederhana: teh hangat yang uapnya seperti napas yang tenang, musik yang menjaga jarak, dan buku catatan yang tak pernah menghakimi. Ia menulis kegagalan. Menulis rencana yang kandas. Menulis kekecewaan tanpa mencari terdakwa. “Bicara dengan diri sendiri bukan pertanda gila,” katanya kepada bayangannya. “Itu pertanda kita masih mau mendengarkan.”

Di halaman lain, ia menulis kalimat pendek yang menempel di pikirannya: “Keheningan adalah guru yang tak pernah memamerkan ijazah.” Ia merasa butiran kecil berjatuhan di dalam dada—bukan runtuh, melainkan rontoknya beban lama yang tak lagi relevan. Di momen-momen seperti ini, Arga teringat almarhum ibunya, Kemala. Perempuan yang mengajarkannya cara mengikat tali sepatu dan melepaskan tali hati. “Kalau kamu tak bisa tenang di tengah pasar,” kata ibunya, “bagaimana kamu akan tenang di tengah dirimu sendiri?”

Esoknya, sebelum matahari purna muncul, Arga menuju Stasiun Manggarai. Peron penuh, tetapi wajah-wajah yang lelah itu seperti halaman buku yang ingin ia baca satu per satu. Ada anak kecil yang memeluk tas sekolah terlalu erat, ada bapak-bapak yang memegang koran lebih erat dari masa depannya sendiri. Ada perempuan menatap kaca ponsel sambil menyeka air mata dengan tisu yang diselipkan di bawah masker.

Kereta datang seperti kalimat yang akhirnya menemukan titik. Arga naik, berdiri, memegang tiang, dan membiarkan kota melintas. Ia turun di Senen, menuju loket, dan membeli karcis kereta ke arah barat. Tak ada tujuan yang disebut penuh. Ia hanya ingin bergerak. Ia hanya ingin mengosongkan kepalanya di jalur besi yang tak pernah berbohong.

Kereta meninggalkan kota; beton menyusut menjadi sawah yang sabar. Arga memejamkan mata, dan ibunya datang dari jauh sekali, berjalan di sela bambu yang bergoyang, membawa tumpeng kecil yang tidak pernah habis. “Jangan takut kehilangan,” suara itu berkata. “Keikhlasan selalu punya cara untuk membayarmu kembali.”

Di Cirebon, Arga turun. Angin asin dari pelabuhan menyentuh wajahnya seperti tangan tua yang masih hangat. Ia berjalan mengikuti naluri, masuk kampung, melewati gang yang menelan bunyi. Di ujung gang, sebuah musholla kecil menunggu; catnya mengelupas seperti kenangan yang lama disimpan. Di serambinya duduk seorang kakek dengan sarung kusam, bibirnya membaca dengan sangat pelan.

“Silakan, Nak,” kata kakek itu, tanpa menoleh. “Di sini angin selalu punya kursi kosong.”

Arga duduk. Mereka bercakap tentang hal-hal yang tak dibicarakan di kantor: tentang anak kakek yang tak pulang, tentang laut yang tahu lebih banyak rahasia daripada manusia, tentang kehilangan yang tidak memusuhi siapa pun. “Lepaskan itu bukan berarti tak cinta,” kata si kakek, “kadang justru karena cinta, kita tak menahan.” Kakek menyebut namanya: Wiraraja—bukan bangsawan, hanya nama yang diwarisi dari kampung. “Di sini,” katanya sembari menunjuk dada, “kita semua menak—bukan karena gelar, tapi karena harus menaklukkan diri sendiri.”

Arga pulang ke Jakarta hari itu juga. Di pundaknya ada sesuatu yang lebih ringan dari tas yang dibawanya. Malamnya ia menulis lagi: “Waktu bukan garis lurus bagi hati yang tenang.” Ia menutup buku, menutup lampu, lalu membuka jendela. Kota yang bising itu baginya seperti laut malam: dari jauh kelihatan tenang, dari dekat tak berhenti mengulum ombaknya.

.

Kemudian datang banjir. Hujan tiga hari dan sungai kota menolak bernegosiasi. Air mengambil lorong-lorong rendah, menelan sandal-sandal, menampar pintu-pintu. Di ujung kampung tempat kos Arga, ada posko dadakan. Ragapati menghubunginya: Gue di posko, Ga. Kita perlu orang yang bisa diam dan memastikan semua yang panik merasa dilihat. Arga tertawa—hanya Raga yang bisa menyusun kalimat seperti itu.

Di posko, Arga bertemu kembali dengan kisah-kisah Menak Madura yang berganti wajah. Ada Cempa—kali ini perempuan kurir paket yang tak berhenti hilir mudik mengantar obat dan mie instan. Ada Tole—bocah SMP yang tak pandai berhitung, tetapi hafal setiap kebutuhan tetangga tanpa menulis. Ada Mayang—gadis berkerudung yang kehilangan kios gorengan, namun mengajak orang-orang yang kelaparan untuk makan terlebih dahulu di lantai yang masih basah.

Arga tidak pidato. Ia mengangkat galon, menyusun selimut, mencatat nama, dan—yang terpenting—mendengarkan. Ia tahu betapa hebatnya telinga yang tidak menuntut. Di satu sudut, ia duduk bersama seorang anak kecil yang mencari kucingnya. “Namanya Kunyit,” kata bocah itu. “Dia selalu datang kalau aku menyebut ‘pulangg…’ dengan suara panjang.” Arga ikut memanggil; mirip doa yang mengendurkan urat. Kunyit tidak kembali malam itu, tapi anak itu tertidur di pundak Arga, yang menetapkan bahwa tidak semua pencarian punya bentuk temu yang sama.

Banjir surut. Kota bangun dari ranjang airnya. Di posko yang tersisa hanyalah tenda, sisa mie, dan rasa persaudaraan yang tak segera dibongkar. Raga menyalakan rokok, menatap ke kejauhan. “Ga,” katanya, “kamu masih mau balik ke kantor lama?” Arga menggeleng. “Aku ingin membangun sesuatu yang tak memerlukan ruangan terlalu besar,” jawabnya. “Mungkin kelas kecil; mungkin ruang baca; mungkin dapur yang bisa menenangkan orang dengan kuah panas dan nasi hangat.”

“Madura punya pepatah,” kata Raga, “kalau perahu tak sanggup menembus ombak, jangan marah pada laut. Perbesar perahumu, atau belajar membaca angin.” Arga tersenyum. “Mungkin aku akan belajar jadi angin dulu,” jawabnya. “Ringan, tapi berpihak.”

.

Kemala pernah berkata: “Jangan terlalu lama menatap kaca spion; jalan di depanmu butuh matamu.” Kata-kata itu kembali ketika Arga bertemu seseorang di trotoar Sudirman—seorang perempuan yang pernah menjadi rumahnya, yang matanya dulu selalu menyisakan ruang bagi Arga untuk pulang: Cempa. Mereka bertemu di bawah langit yang melukis gedung-gedung dalam satu tarikan napas. “Apa kabar?” tanya Cempa.

Arga ingin menjawab dengan daftar: punggungnya yang sesekali nyeri, tabungannya yang pas, pekerjaannya yang belum juga punya nama. Namun yang keluar hanyalah: “Aku damai, meski masih belajar.”

Mereka berjalan beriringan. Tidak ada cerita tentang siapa yang salah pada perpisahan mereka dulu. Tak ada agenda untuk kembali. Ada ketulusan yang santai, seperti dua musafir yang berbagi payung di halte yang salah. Cempa bercerita tentang ibunya yang sakit, tentang toko bukunya yang nyaris tak pernah ramai tapi juga tak pernah kosong sepenuhnya. “Aku membuka toko karena ingin orang pulang dengan sesuatu,” katanya. “Walau hanya selembar kalimat yang menolong.”

“Selamat,” kata Arga. “Kamu berhasil menjadi manusia yang tak mengharap tepuk tangan untuk hal-hal yang lembut.”

Mereka berpisah di lampu merah. Arga menatap punggung Cempa yang menghilang bersama arus manusia. Di dadanya, sesuatu terasa seperti pintu yang tak lagi berderit ketika dibuka.

.

Arga meneruskan harinya menjadi kurator ketenangan. Ia menyewakan waktunya untuk hal-hal kecil: menjemput anak tetangga dari sekolah, menemani orang tua berobat, mengantarkan berkas ke kantor kelurahan, membantu pedagang kaki lima mengurus izin yang terlalu banyak halaman. Ia tak memungut bayaran dari yang tak bisa membayar. Ia hanya menyimpan catatan utang-utang kecil yang akan dilunasi semesta dengan cara yang tidak perlu ia tebak.

Suatu siang, wiraniaga dari operator telepon menawarinya paket internet. Arga tertawa dan membelikannya kopi. Mereka mengobrol. “Mas,” kata sang wiraniaga, “kenapa orang suka marah-marah di jalan?” Arga berpikir sebentar. “Karena kita lupa bahwa terburu-buru dan penting tidak selalu teman satu mobil. Kalau kita penting, kita tak perlu terburu-buru menunjukkannya.”

Di halte, seorang ibu muda menyodorkan bayi yang menangis. “Mas, bisa gendong sebentar? Saya mau ikat rambut.” Arga menggendong, menenangkan dengan suara rendah yang ia sendiri heran darimana datangnya: senandung tanpa lagu. Bayi itu diam. Ibu itu menatap Arga seperti menatap mata air di tengah kemarau. “Terima kasih,” katanya. Arga mengangguk. Ada kegembiraan yang tidak memerlukan selfie.

.

Pada suatu malam yang dihalau listrik padam, kota menjadi desa sementara. Orang-orang keluar ke lorong, menyalakan lilin, menatap langit yang tiba-tiba diingat. Arga duduk di ambang pintu. Raga datang membawa cerita. “Ada lowongan di tempat lama kita,” katanya. “Gaji bagus, kursi empuk, AC dingin, dan rapat belum tentu berkurang.” Arga tertawa. “Aku tahu aku akan kalah di hal-hal yang perlu huru-hara,” jawabnya. “Tapi aku menang di hal-hal yang membutuhkan sunyi.”

Raga menghela napas, lalu berkata, setengah berkelakar: “Kamu ini kayak Wiraraja—tak punya istana, tapi orang-orang selalu pulang ke halamanmu.” Arga menatap lilin. “Aku hanya ingin jadi halaman yang tidak menuntut tamu menanggalkan sepatunya,” katanya. “Kotor juga tak apa, selama pulang.”

Dalam kegelapan yang baik itu, batin terasa seperti kolam yang tidak perlu dijaga lagi dari badai. Di situ Arga mendengar suaranya sendiri membisikkan kalimat yang nanti ia tulis di jurnal: “Kesempurnaan batin adalah saat kamu tidak lagi butuh banyak kata, karena hatimu sudah menjelaskan semuanya.”

.

Pagi-pagi sekali, Jakarta kembali menjadi serangkaian kemungkinan. Arga menaikkan rolling door warung yang ia sewa sempit di samping bengkel. Ia menamainya “Dapur Tenang.” Menunya sederhana: bubur ayam tanpa bising topping, mi kuah dengan sayur yang tidak terlalu kenyal, teh panas yang tidak terburu-buru dingin. Di dinding warung, Arga menempelkan beberapa kalimat yang ia kumpulkan dari jalan, dari posko banjir, dari musholla Cirebon, dari mulut ibunya, dari tawa Ragapati:

  • “Hidup yang baik adalah hidup yang tidak mengubah orang lain menjadi musuh imajiner.”

  • “Kita pulang bukan ketika sampai di rumah, melainkan ketika hati mengendurkan tinjunya.”

  • “Diam tidak selalu setuju; kadang ia sedang merawat sesuatu yang tak bisa tumbuh di keributan.”

Orang-orang datang. Ada sopir ojek yang ingin menghangatkan sendinya, ada petugas kebersihan yang ingin menaruh lelahnya di kursi tanpa takut diusir, ada pegawai kelurahan yang mampir diam-diam untuk melepas dasi sebentar. Di sudut, Arga menyimpan rak kecil berisi buku. Toko Cempa menitip beberapa judul tanpa menuntut persentase. “Biar buku ketemu orangnya,” kata Cempa saat mengantar kardus.

Suatu sore, seorang remaja datang dan duduk. Wajahnya datar, matanya seperti pintu yang sudah lama dipaksa terbuka paksa. Ia memesan mie, lalu memandangi asapnya. “Mas,” katanya tiba-tiba, “aku rasa aku benci sama semua orang.” Arga menaruh air panas kedua, membiarkan mie itu matang lebih lambat. “Kalau begitu,” jawabnya pelan, “kita mulai dari membenci lebih sedikit hari ini. Besok coba benci lebih sedikit lagi. Sampai suatu hari kamu kehabisan alasan untuk benci.”

Remaja itu tidak tersenyum, tetapi ia datang lagi besoknya. Dan besoknya. Sesekali ia membantu mencuci piring. Ia memperkenalkan namanya: Tole. “Bukan karena Joko Tole,” katanya cepat-cepat. “Karena ini nama bapakku memberi—supaya aku kuat.” Arga mengangguk. Dalam hati ia tahu, setiap nama adalah doa yang terus menerus diulang semesta.

.

Di pemakaman, Arga menatap nisan Kemala yang rapi. Rumputnya dipangkas Cempa seminggu lalu, katanya, karena kesibukan Arga yang tak lagi punya hari Minggu. Ia duduk. Tak ada kata-kata. Hanya ingatan tentang tangan ibunya yang dulu senang menepuk bahunya, tak pernah memaksa untuk “tegar”, cukup “hadir”. Angin mengusap, suara doa dari tenda pemakaman seberang bercampur dengan gemerisik daun.

“Bu,” bisik Arga, “aku tidak lagi menangis karena takut. Aku masih menangis—tapi aku tahu untuk apa air mata ini jatuh.” Ia tersenyum. Kesedihan tak lagi menenggelamkannya; ia menjadi sungai kecil yang mengantar bunga-bunga ke laut, bukan badai yang merusak perahu.

Di jalan pulang, ia menatap cermin spion angkot. Wajahnya bukan wajah pemenang lomba apa pun. Tapi garis-garisnya bercerita bahwa ia tidak lagi berkelahi melawan dirinya sendiri.

.

Suatu malam Jumat, di Dapur Tenang, Raga membaca pesan dari gawai: Kucing bernama Kunyit ditemukan. Ia mengangkat kepala, menahan tawa yang terlalu hangat. “Ga,” katanya, “lihat ini. Anak posko banjir itu DM aku. Kunyit pulang.”

Arga menatap foto kucing keras kepala itu, tertidur di atas karung beras. “Biasanya,” katanya, “yang pulang adalah yang namanya kita panggil dengan kasih.”

“Termasuk kita sendiri?” tanya Raga.

Arga mengangsurkan cangkir teh. “Termasuk batin kita sendiri,” jawabnya.

Di luar, kota tetaplah kota—penuh kemacetan, cicilan, rencana yang akan patah di tikungan. Tetapi ada tempat-tempat kecil yang menenangkan: musholla catnya mengelupas, posko banjir yang berubah jadi balai pertemuan, toko buku Cempa yang sepi tapi tak sendirian, dan warung Arga yang menguapkan kuah hangat bersama kalimat-kalimat yang tidak ingin menjadi poster.

Arga menutup warung malam itu. Di buku catatan, ia menulis satu baris yang cukup: “Tanda hatinya sudah damai: ia berhenti mengejar tepuk tangan, dan mulai mengejar kejujuran.” Kemudian ia menambahkan satu kalimat lagi, semacam simpul bagi hari-hari yang akan datang: “Aku tidak sempurna, tapi aku pulang.”

Dan jika kau bertanya siapa Arga, mungkin ia adalah aku dan kamu—yang belajar diam tanpa membatu, pergi tanpa benci, kembali tanpa malu. Yang belajar melihat saudara pada siapa saja, termasuk pada diri sendiri yang dulu sering kita pandangi dengan curiga. Yang tak lagi menanti kota menjadi lembut untuk kemudian berbahagia; yang memilih menjadi lembut agar kota punya alasan untuk tidak terlalu kejam.

Pada akhirnya, kisah-kisah Menak yang datang dalam wujud Ragapati, Cempa, Tole, dan Wiraraja, menjelma etika harian: keberanian tanpa keras kepala, keteguhan tanpa pamer luka, dan kesetiaan tanpa pengumuman. Di sela bising dan sunyi, Arga mengerti: kesempurnaan batin bukan ketika hidup berhenti menguji, melainkan ketika hati berhenti menghindar dari ujian.

Di ambang pintu, sebelum lampu dimatikan, ia mengucapkan doa pendek yang sederhana—bukan minta dunia menjadi mudah, tapi minta dadanya luas. Itulah tanda yang paling ia kenali dari kedamaian: bukan keberhasilan bertahan tanpa air mata, melainkan kemampuan tersenyum setelahnya.

.

.

.

Jember 6 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #KisahUrban #DamaiBatin #DiamYangMenyembuhkan #MenakMadura #HumanInterest #Jakarta #Ketenangan #PulangkepadaDiri

.

Quotes dari cerpen:

  • “Keheningan adalah guru yang tak pernah memamerkan ijazah.”

  • “Kita pulang bukan ketika sampai di rumah, melainkan ketika hati mengendurkan tinjunya.”

  • “Diam tidak selalu setuju; kadang ia sedang merawat sesuatu yang tak bisa tumbuh di keributan.”

  • “Tanda hatinya sudah damai: ia berhenti mengejar tepuk tangan, dan mulai mengejar kejujuran.”

Leave a Reply