Sepotong Langit di Meja Kopi

“Ada pertemuan yang tidak ditakdirkan untuk menjadi perjalanan. Tapi cukup untuk menjadi alasan kita bertumbuh.” — Catatan Hati yang Tidak Lagi Sama

.

Meja Nomor Tujuh

Hujan sore itu berhenti persis ketika jam dinding di kedai kecil bilangan Blok M berdetak ke angka empat. Sisa gerimis menempel di kaca jendela, seperti bintik-bintik cat pada mural setengah pudar di gang seberang. Pintu kayu yang selalu mengerang pendek tiap didorong itu membuka jalan bagi Zea. Rambutnya basah di ujung, payungnya meneteskan air ke lantai ubin yang mengilap, dan langkahnya, entah kenapa, tampak lebih mantap dari seminggu lalu.

“Seperti biasa, Zea?” Barista berkacamata—orang yang selalu menatap seakan mengerti, tanpa ikut campur—membungkuk kecil. Namanya Wirun, tapi pelanggan memanggilnya Wiro.

“Seperti biasa,” jawab Zea.

Hot latte tanpa gula telah menunggu sebelum ia duduk. Zea memilih meja nomor tujuh: meja kecil dekat jendela, menatap ke jalan Melawai yang tak pernah kehabisan gerak. Di bawah sinar lampu kuning yang sengaja dikurangkan—agar senja menjadi bagian interior—ia membuka buku catatan saku. Dari saku belakang buku itu, selembar polaroid terlipat rapi. Di foto, seorang lelaki bermata jernih berdiri di sampingnya. Latar: mural Kemang yang catnya mengelupas, menampakkan tembok yang memar oleh waktu.

Arka.

Ia menarik napas pelan. Bukan untuk mengundang rindu—rindu adalah tamu yang selalu menurut jika dipanggil—melainkan untuk mengundang keberanian. Seperti menenggak air putih sebelum menelan obat pahit.

Hari ini, ia ingin menulis sepotong kalimat yang selama dua tahun ditundanya.

.

Dua Tahun Lalu (Sekar dan Panji)

Mereka bertemu di pameran seni jalanan di belakang Pasar Santa. Jakarta pada hari itu mengendus udara lembap, bau cat akrilik, rokok kretek, dan nasi uduk yang baru dibuka dari bungkusnya. Arka—yang kemudian ia panggil Panji—membidik kamera film tuanya. Zea lewat—kelak dia memanggil dirinya Sekar, bukan untuk menjadi tokoh siapa-siapa, melainkan untuk mengenang wangi sabar yang tak perlu diceritakan.

Klik.

“Motret saya?” tanya Zea, separuh menggoda.

Arka tersenyum kikuk. “Maaf. Ekspresimu bagus.”

“Bagusnya yang bikin senang atau bikin takut?”

“Bikin percaya.”

Mereka tertawa, bukan karena lucu, melainkan karena ada sesuatu di antara mereka yang baru saja dinyalakan: lampu kecil di gang panjang. Akun Instagram bertukar, kopi disepakati, lalu jam-jam berikutnya mengalir seperti sungai yang tahu kemana harus pulang.

Tidak ada kata jadian. Tidak ada panggilan sayang. Namun setiap kali Zea duduk di belakang motornya melewati Antasari ke arah Kemang, ia merasa seperti selembar kain yang dipaparkan matahari—kering, hangat, dan jujur.

“Aku nggak butuh status,” kata Zea suatu malam, di trotoar Senopati yang riuh. “Aku cuma butuh kita konsisten.”

Arka mengangguk. “Konsisten itu seperti lampu dapur. Tidak glamor, tapi rumah ambruk kalau ia mati.”

.

Tanda-Tanda yang Tak Terbaca

Perubahan tidak mengetuk. Ia berdiri di teras, menunggu kita sadar bahwa udara jadi lebih dingin. Di bulan ketujuh, Arka mulai sulit dibaca. “Proyek,” katanya. “Liputan.” “Pitching untuk pameran.” “Mentor di Kebayoran.” Jam obrolan menciut. Tawa jadi hemat. Foto-foto di feed bertambah, namun pesan Zea sering tak terbaca. Di setiap jeda, Zea belajar meracik kopi sendiri, menyiram lidah mertua, dan menyalakan musik pelan sebelum tidur.

Suatu malam, Jakarta terdengar seperti radio tua. Zea menatap ponsel dengan layar yang tidak beri kabar. Pukul satu, dua, tiga. Pada pukul yang ke sekian, ia menjalankan ritual kecil: mematikan data, mematikan lampu, mematikan ekspektasi.

Seminggu kemudian, satu pesan datang—tanpa salam, tanpa penutup, tanpa titik.

Jangan tunggu aku, Zea. Aku nggak tahu aku ini siapa sekarang

Kalimat menggantung seperti lampu halte yang kabelnya longgar. Zea menatap kosong ke langit-langit kamar kosnya di Melawai. Bukan tangis yang ia pilih malam itu. Ia memilih duduk, menyalakan air, menyeduh kopi instan, dan menuliskan sepuluh kata yang menyelamatkannya dari melempar ponsel ke tembok: AKU TAK WAJIB MEMAHAMI SEMUA YANG MEMILIH PERGI.

.

Mengendapkan Luka

Zea belajar bahwa luka tidak selalu berdarah. Kadang ia berupa embun; tidak melukai, namun mengaburkan. Ia membaca buku kecil tentang batas sehat, menggantungkan catatan di cermin: “Jangan membakar dirimu untuk menghangatkan orang lain.” Di dahi harinya, ia menempelkan sun block kebenaran: bahwa yang mencintai tidak selalu tinggal, yang pergi tidak selalu jahat, dan yang rapuh tidak selalu pantas dipaksa kuat.

Ia pergi ke Ubud sepekan. Pagi-pagi yoga, siang menulis di kafe, sore berjalan tanpa tujuan. Instruktur yoga berkata, “Terimalah ruang kosong di tubuhmu.” Zea tertawa dalam hati: ruang kosongku bahkan punya nama. Ia menarik napas dalam-dalam. Untuk pertama kali, ia membayangkan masa depan tanpa Arka. Bukan masa depan yang bahagia atau sedih, melainkan masa depan yang netral—seperti kertas kosong yang menunggu pena.

Sepulangnya, ia memulai blog kecil bertajuk “Kota, Kopi, dan Kita.” Ia menulis tentang penjual lontong sayur di pojok yang selalu hafal berita terbaru, tentang anak-anak skateboard di parkiran Senayan, tentang bapak-bapak yang main catur di trotoar Fatmawati. Di setiap tulisan, ia sisipkan pitutur yang ia ciptakan sendiri: “Jangan bernegosiasi dengan nilai yang menyelamatkanmu.”

Pembacanya tidak banyak. Tapi setiap komentar yang masuk terasa seperti seseorang menepuk bahunya dengan cara yang benar.

.

Sore yang Ditulis Ulang

Sore itu, ia datang ke kedai seperti ke kantor. Meja tujuh, laptop, catatan saku, hot latte. Ia hendak menulis esai tentang “menamatkan yang tak bisa diselesaikan.” Pintu berdenting. Seseorang masuk. Rambut lebih pendek, jaket kulit yang sama, langkah masih tenang—tenang yang dulu ia sukai, tenang yang belakangan ia curigai.

Arka.

Ia berhenti dua meja dari pintu, memandang Zea, lalu melangkah. “Boleh duduk?”

“Silakan.”

Wiro mengirim dua latte tanpa diminta. Sunyi bergeser tempat: dari ruang ke dada.

“Aku minta maaf,” kata Arka. Kalimat sederhana yang butuh dua tahun untuk lahir.

Zea menatap busa kopi yang mengempis. “Waktu sudah mengucapkannya untukmu.”

“Aku jatuh waktu itu,” kata Arka, pelan. “Gelapnya nggak bisa aku jelasin. Aku masuk terapi di Kebayoran. Aku takut kamu ikut retak kalau tetap di dekatku. Aku lari. Caraku salah.”

Zea mengangguk. Bukan sebagai restu, melainkan sebagai cara untuk menyelesaikan pelajaran. “Kau menolong dirimu. Itu benar. Yang salah adalah caramu menutup pintu tanpa pamit—membiarkanku menjadi orang lain agar tidak marah.”

Arka menunduk. “Aku menanggungnya. Tapi—apa kabarmu, Sekar?”

Ia memanggilnya dengan nama yang dulu mereka sepakati, nama yang dicomot dari kisah yang lebih tua dari kota. Zea menahan diri untuk tidak tersenyum. “Aku belajar duduk dengan tenang meski kursi sebelah kosong.”

.

Mengingat Kota (Dan Diri)

Mereka bercerita, bukan untuk kembali, melainkan untuk memahami. Zea bercerita tentang Ubud, tentang menolak proyek yang menguras jiwa, tentang halaman blog yang mulai dibaca orang-orang yang tak dikenalnya. Arka bercerita tentang ayahnya yang mulai menua, tentang belajar menamai rasa—cemas, gentar, curiga pada diri—dan tidak lagi menindih semuanya dengan lari.

“Kupikir kehilanganmu hukuman,” kata Arka. “Ternyata penunjuk arah.”

“Kau tahu, Panji,” kata Zea, “di kisah-kisah lama, orang yang kembali tidak selalu diterima, tapi selalu diberi air minum.”

Wiro datang membawa dua gelas air putih. “Gratis,” katanya, “untuk orang yang pulang ke dirinya.”

Arka tertawa pelan. “Boleh aku memotret?”

“Sekali saja.”

Klik. Cahaya sore menangkap garis pipi Zea, menangkap napas yang tidak lagi dikejar.

Arka berdiri. “Terima kasih karena dulu pernah jadi rumah.”

“Terima kasih karena mengajarkan langit,” sahut Zea. “Aku melanjutkan balkonnya sendiri.”

Tak ada pelukan. Tak ada janji. Pintu berdenting. Arka pergi seperti seseorang yang menutup bab dengan benar. Zea menatap kursi kosong itu. Kosong tidak lagi menakutkan jika kita tahu cara duduk dengan baik di hadapannya.

.

Rengganis dan Kabar Burung

Seminggu kemudian, Zea menerima pesan dari nomor tak dikenal.

Aku Rengganis. Ibunya Arka. Boleh bertemu? Aku ingin mengembalikan sesuatu.

Nama itu—Rengganis—menggemakan kisah-kisah lama yang mereka pernah mainkan: Sekar, Panji, Rengganis; nama-nama yang seperti daun kering, bunyinya renyah ketika diinjak.

Mereka bertemu di taman kecil Kebayoran. Rengganis datang membawa kotak sepatu berisi surat-surat lama, beberapa di antaranya tak pernah dikirim. “Arka menulis ketika terapinya sulit,” kata Rengganis. “Ia tidak berani mengirim. Ia suruh aku simpan. Kalau suatu hari bertemu kamu, kembalikan.”

Zea menatap amplop yang ditulis dengan tangan. Di setiap surat, ada keringat yang sudah menjadi garam. Ia membaca sebagian di bangku taman itu—surat-surat yang bercerita tentang kegelapan yang merayap, tentang malu pada diri sendiri, tentang rasa ingin menyembunyikan orang yang disayang dari reruntuhan.

“Aku tidak mau menyalahkan siapa pun,” kata Rengganis. “Aku cuma ingin bilang: terima kasih karena pernah menyayangi anakku dengan cara yang tidak membuatnya kecil.”

Zea menutup kotak itu. “Aku tidak akan menyimpan semuanya,” ucapnya. “Sebagian akan kubakar—bukan karena benci, tapi karena ada hal-hal yang harus dihangatkan untuk terakhir kali.” Rengganis mengangguk, matanya basah. Ada bahasa yang tidak butuh kata: bahasa perempuan yang pernah menahan dunia agar rumah tidak roboh.

.

Pameran Kecil di Gang Kecil

Beberapa bulan kemudian, di sebuah ruang komunitas di gang kecil belakang Bulungan, Arka menggelar pameran. Bukan pameran yang dihadiri koran besar; hanya teman, tetangga, anak-anak magang, dan beberapa orang yang menganggap foto sebagai cara mengingat yang jujur. Zea datang paling akhir, berdiri paling belakang. Ia membaca caption yang pendek-pendek, seperti doa yang takut berisik.

Satu foto membuatnya berhenti lama: sepasang kursi di depan jendela. Cahaya sore membelah kursi-kursi itu menjadi dua kotak. Caption-nya hanya berbunyi: “Dua Kursi Mempelajari Sunyi.”

Arka melihatnya dari jauh. Mereka mengangguk—salam yang cukup untuk dua orang yang memilih menjadi baik pada versi diri yang berbeda. Zea pulang membawa satu kartu pos dari meja kasir. Di belakangnya, Arka menulis kalimat yang tidak ia ucapkan waktu itu: “Terima kasih karena tidak menertawakan aku ketika aku belajar berjalan.”

Zea menyelipkan kartu itu di buku catatan, sebelah selembar polaroid lama. Keduanya tidak menumpuk; mereka berdampingan—masa lalu yang berjeda, masa kini yang berjalan.

.

Mati Lampu

Jakarta mati lampu pada suatu malam Juli. Kedai tutup lebih awal. Wiro mengantar beberapa pelanggan sampai halte. Zea berjalan kaki menyusuri Melawai. Langit di atasnya gelap, tanpa bintang—kota menuntut semua cahaya untuk dirinya. Karena tidak ada listrik, orang-orang keluar, duduk di trotoar, mengobrol. Seorang ibu menyuapi anaknya dalam cahaya ponsel. Seorang bapak menyalakan radio kecil.

Di perempatan, seorang remaja menangis. Motornya mogok, ban belakang kempis. “Kamu tinggal di mana?” tanya Zea.

“Pondok Pinang.”

Zea menatap jalan. “Kita dorong sampai pompa.” Tanpa memikirkan baju putihnya yang akan bernoda, Zea menolong mendorong motor sampai ketemu bengkel darurat. Remaja itu berkali-kali mengucap terima kasih. “Saya Zea,” kata Zea pada akhirnya. “Kalau suatu hari kamu melihat orang duduk sendirian di kedai kopi dan tampak baik-baik saja, jangan ganggu. Tapi kalau ia tampak patah, hentikan langkahmu sebentar.”

Malam itu, Zea pulang dengan punggung lengket dan hati yang ringan. Dalam gelap tanpa listrik, ia mengerti metafora yang selama ini ia tulis: kita tidak bisa membawa pulang langit, bahkan ketika ia penuh bintang; kita hanya bisa membawa sepotong—cukup untuk mengingat arah saat kota kembali padam.

.

Surat yang Tak Dikirim (Dan Tidak Perlu)

Di kamarnya, Zea menuliskan sesuatu yang tidak akan ia kirim:

Panji, aku tidak rindu. Aku ingat. Perbedaannya tipis tapi penting. Rindu menuntut; ingat memeluk dari jauh. Aku ingin kamu bahagia—bahagia yang sehat, yang diukur bukan dari seberapa keras kamu tertawa, melainkan seberapa konsisten kamu memaafkan dirimu saat salah.

Ia menutup buku. Di meja, kotak sepatu pemberian Rengganis tergeletak. Zea mengambil tiga surat, membacanya terakhir kali, lalu membakarnya di atas wajan bekas yang dipakai ayah kos untuk menggoreng pisang. Bau kertas terbakar mengingatkannya pada sate di pinggir jalan; sebuah perayaan kecil untuk hal-hal yang harus dikembalikan ke udara.

“Ada yang harus hengkang agar ruang lain bernafas,” gumamnya. Api mengecil. Sunyi menipis.

.

Pagi, Kereta, dan Orang-Orang yang Tidak Kita Kenal

Pagi berikutnya, Zea naik MRT dari Blok M ke Istora. Di gerbong, ia memperhatikan wajah-wajah yang diulang setiap hari: pekerja kantoran dengan kartu akses di saku, perempuan muda dengan earphone, bapak-bapak yang mengantuk. Ia berpikir: mereka semua punya seseorang yang datang dan tidak jadi tinggal. Mereka semua membawa sepotong langit di saku—kita tidak tahu bentuknya.

Di halte GBK, ia turun. Udara pagi seperti kain basah yang baru diperas: segar dan menetes. Ia berlari kecil, berhenti di bawah kanopi pohon, dan menulis satu kalimat untuk blog:

“Yang menguatkan kita bukan penjelasan mengapa seseorang pergi, melainkan kesanggupan untuk tidak melempari diri sendiri dengan batu yang sama.”

Kalimat itu mendapat puluhan tanda suka. Ada seorang pembaca—akun bernama Kertala—menulis komentar: “Terima kasih. Kalimatmu membuatku berani berjalan masuk ke kantor hari ini.” Zea tersenyum. Barangkali inilah yang ia cari: bukan keramaian, melainkan satu orang yang mengaku tertolong.

.

Ulang Tahun Kedai

Kedai merayakan ulang tahun kelima. Wiro menempelkan foto-foto di dinding: tangan yang mengaduk kopi, wajah-wajah pelanggan, kursi-kursi kosong, jendela berembun. Di tengahnya, sebuah foto ukuran besar: Zea duduk di meja tujuh, menatap jendela. Caption kecil: “Sepotong Langit di Meja Kopi.”

“Kenapa ‘sepotong langit’?” tanya seorang pengunjung.

“Karena langit penuh tidak bisa kita bawa pulang,” jawab Wiro. “Yang bisa dibawa hanya potongannya—cukup untuk mengingat arah.”

Arka datang menjelang malam, membawa kue cokelat. Mereka berdua berdiri di depan foto itu seperti dua orang yang menatap dan saling memahami tanpa perlu membicarakan. “Terima kasih,” kata Arka pada Wiro. “Terima kasih,” kata Zea pada Wiro. Dua terima kasih yang bercampur di udara, menjadi sesuatu yang tidak perlu dibedakan kepemilikannya.

.

Telepon yang Tidak Dibunyikan

Hidup cenderung berisik tanpa diminta. Zea memilih ketenangan secara aktif: menyalakan ponsel dengan mode diam setelah jam sembilan malam, menghapus aplikasi yang menyedot jedanya, mengatur ulang meja kerja. Suatu malam, ponselnya bergetar—nama Arka muncul. Ia menatap layar selama tiga detik, menghitung sampai lima, lalu menggeser ke kiri: mute tiga jam.

Tidak semua pintu yang diketuk harus dibuka. Kadang sopan santun terbaik adalah tidak menambah ruangan agar tidak sesak. Pagi harinya, Zea membalas singkat: “Semoga harimu baik.” Arka menjawab: “Terima kasih. Begitu juga kamu.”

Tidak ada yang perlu ditambahkan.

.

Hal-Hal Kecil yang Mengubah Besar

Zea membeli radio kecil, karena ia ingin tetap tahu jam ketika listrik padam. Ia menaruh pot kaktus di meja nomor tujuh—Wiro mengizinkan, dengan catatan disiram sendiri. Ia bergabung sebagai relawan di perpustakaan mini di Tanah Abang, membaca cerita untuk anak-anak setiap Sabtu. Anak-anak tertawa ketika ia mengganti nama tokoh jadi Sekar dan Panji. “Kak, kenapa namanya itu?” tanya seorang anak.

“Karena itu nama yang baik untuk dua orang yang belajar berani,” jawab Zea.

Di rumah, ia meletakkan foto lama di laci—bukan lagi di buku catatan. Di blog, ia menulis tentang “hak kita untuk menutup halaman tanpa membenci isi bukunya.” Tulisan itu dibuat orang-orang sebagai tautan yang mereka kirim diam-diam ke teman-teman yang patah. Zea tidak melihat jumlah bagikan. Ia hanya mengukur keberhasilan dari seberapa damai ia tidur malam itu.

.

Pertemuan yang Tidak Harus Menjadi Apa-Apa

Di suatu siang, Zea dan Arka berpapasan di perempatan kecil dekat Bulungan. Lampu merah memaksa semua orang berhenti. Mereka berdiri hanya dua meter, di bawah terik yang membuat aspal berkilat.

“Bagaimana?” tanya Arka.

“Baik,” jawab Zea.

“Kamu terlihat mantap.”

“Kamu terlihat hidup.”

Lampu hijau menyala. Mereka berjalan ke arah berlawanan. Zea menoleh sebentar, Arka menoleh sekilas. Tidak ada pergelangan tangan yang ditarik, tidak ada kalimat ‘sebentar’ yang diucapkan terburu-buru. Mereka melanjutkan perjalanan yang tak bersentuhan namun tidak saling mendoakan buruk. Ternyata, beberapa hal memang selesai dengan cara demikian: orang-orang mengangguk pada arah hidup masing-masing, lalu melangkah.

.

Sepotong Langit, Sepotong Kita

Malam itu, Zea menutup laptop di kedai. Ia menatap jendela. Langit Jakarta jarang biru bersih, tapi malam ini tidak hitam pekat; ada abu-abu yang jujur, ada bintik kecil yang mungkin bintang atau mungkin lampu pesawat. Cukup. Ia tidak membutuhkan konstelasi lengkap untuk menenangkan hati. Satu titik pun bisa menjadi penanda.

Ia menulis paragraf final untuk blognya:

Ada pertemuan yang tidak harus dimiliki, cukup dikenang. Ada luka yang tidak harus dibalas, cukup dimengerti. Ada cinta yang tidak harus selesai bahagia, cukup untuk menjadikan kita manusia yang lebih bijak. Dan ada meja yang tidak perlu diisi dua cangkir lagi—karena satu cangkir pun bisa penuh jika kita tahu cara meneguk dengan sabar.

Wiro meniup lilin kecil di meja kasir. “Tutup,” katanya.

“Besok?” tanya Zea.

“Besok,” jawab Wiro. “Kursi tujuh menunggu.”

Zea mengangguk. Ia menyampirkan tas, merapatkan jaket, dan melangkah ke luar. Udara malam menyambut seperti halaman kosong yang tidak lagi menakutkan.

Di sudut jalan, seorang pedagang sate membakar arang. Asapnya naik, memotong langit menjadi potongan-potongan kecil yang berbeda ketebalan. Zea tersenyum. Ia tahu: kita tidak pernah membawa pulang langit. Yang kita bawa adalah sepotong—cukup untuk mengingat arah, cukup untuk menyalakan lampu kecil di dalam dada, cukup untuk pulang ke diri.

.

.

.

Lanjut Part 2: Surat yang Tidak Pernah Sampai

.

.

.

Jember, 4 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KompasMingguVibes #MejaNomorTujuh #SepotongLangit #Melepaskan #UrbanLove #JakartaHujan #SekarPanji #KedaiKopi #KesehatanMental

Leave a Reply