Ketika Kabut Menghalangi Langkah

“Kadang-kadang, kabut bukan datang untuk menyesatkan arah, melainkan untuk memintamu berjalan lebih pelan agar tak melewatkan suara hatimu sendiri.”

.

Bandung menahan hujan pagi itu. Langit memucat, seakan baru saja ditarik dari mimpi buruk. Kabut merayap dari lembah Dago, menyusup lewat celah-celah jendela, menempel di kulit dengan dingin yang pelan-pelan merayap ke tulang. Di lantai dua sebuah ruko kreatif di Jalan Trunojoyo, lampu-lampu panjang menyala dengan warna kuning yang tak mampu mengusir suram.

Nayla duduk di hadapan spreadsheet yang nyaris selesai tetapi selalu terasa kurang satu angka. Kopinya sudah dingin sejak telat subuh—ia tak lagi ingat kapan terakhir meneguk. Notifikasi ponselnya bergetar, memantik kilasan cemas yang selalu muncul belakangan ini.

Budget-nya belum kamu masukin, Nay?
Pengirimnya: Raga.

Sederhana, tapi tajam seperti ujung penggaris besi. Nayla memejam, menahan dorongan untuk membalas saat itu juga. Ia ingin jujur pada diri sendiri—bahwa masalahnya bukan angka, bukan baris keempat kolom F, bukan margin yang belum disepakati klien. Masalahnya adalah cara mereka berdua membaca hidup: dia pakai sistem, Raga pakai rasa. Dua bahasa yang berdekatan tetapi tak selalu saling menerjemah.

Di seberang kota, Raga menyeka uap di kaca etalase kedai kecilnya di Jalan Cihapit. Ia menatap roti-roti yang baru keluar dari oven, merekah cantik seperti senyum yang baru dipelajari kembali. Wajahnya kelelahan, tapi matanya tak kehilangan cahaya yang membuat orang lain rela berbaris sejak pagi. “Roti Ranggalawe”—begitu namanya—sebuah penghormatan jenaka pada kisah lama yang sering didongengkan ibunya, kisah orang-orang yang gagah tetapi rapuh, keras kepala tetapi setia pada janji perut orang banyak.

Raga melirik jam, menghela napas, lalu kembali mengetik.

Malam ini kita ketemu? Aku pengin rapihin hal-hal yang belum sempat kita bilang. Aku tahu caraku bikin kamu lelah. Tapi aku tidak ingin berhenti di sini.

Pesan itu tak terkirim. Ia hapus, mengubah kalimat, menulis lagi, menghapus lagi. Pada akhirnya, ia menekan layar dan pesan yang lebih dingin meluncur: Budget-nya belum kamu masukin, Nay?

.

Nayla mengenal Raga lima tahun lalu di sebuah workshop branding yang dipenuhi orang-orang yang percaya hidup bisa diperbaiki dengan kanvas moodboard, kopi hitam, dan laju wacana. Raga datang terlambat, menenteng kotak roti berbau mentega yang menolak diam. Di sela presentasi, Raga menyodorkan roti yang renyah itu kepadanya dan berbisik, “Kadang, ide harus dikunyah dulu sebelum ditulis.”

Ia tertawa. Dari tawa itulah, beberapa tahun kemudian, mereka membangun sebuah proyek kolaborasi: menyatukan desain dan rasa—desain yang bisa disantap, rasa yang bisa dibaca. Ide mereka adalah sebuah festival kecil yang bergerak dari satu kafe ke kafe lain, merayakan cerita lewat roti, menggambar ulang kota lewat peta selera. Mereka menyebutnya “Kabut & Krumbs”—karena hidup sering terasa seperti remahan yang berserak setelah badai.

Di papan tulis kantor Nayla, panah-panah hitam menghubungkan tanggal, biaya, vendor, dan target impresi. Di saku apron Raga, catatan kecil bertuliskan: cokelat–pedas–asam, tiga nada untuk tanggal tujuh. Mereka mendekat dari arah yang berbeda menuju titik yang sama. Mula-mula lucu. Lalu meletihkan.

“Nay, kenapa sih harus rapi banget? Gak bisa improvisasi sedikit?” suara Raga pecah seperti gula kaca dalam panggangan.

“Aku gak bisa asal taruh angka, Ga. Klien butuh kejelasan,” jawab Nayla, pelan tapi tegas.

“Aku gak nyaman dihitung terus. Aku kerja pakai rasa. Kamu tahu itu.”

“Dan aku kerja pakai sistem,” katanya, menahan getar.

Keheningan setelah itu seperti kabut di lembah—tebal, dingin, dan tak menyisakan jarak yang memadai untuk melihat mata satu sama lain. Lalu telepon terputus. Tanpa pamit.

Sejak hari itu, Nayla tak lagi mengejar kabar. Ia mulai bangun dengan kepala berat, membiarkan notifikasi menumpuk, dan menunda tugas-tugas yang biasanya ia buru seperti kucing mengejar cahaya. Ia melihat Bandung dari jendela apartemennya di Setiabudi: mobil-mobil merayap, orang-orang bernafas lewat masker, kabut menggulung seperti selimut pada bayi yang tak direncanakan. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya diam.

Di malam masuk Jumat, kabut turun lebih awal. Hawa dingin menggeret orang-orang untuk pulang cepat. Tetapi ada juga yang memilih tetap berjalan, mencari hangat di antara lampu-lampu. Raga sendirian di dapur, menimbang tepung seperti menakar ulang kata-kata. Ia teringat cerita ibunya tentang Adipati yang pandai berhitung tetapi sulit menakar kehilangan, tentang Siti yang memilih bertahan di tempat yang dianggap orang lain sunyi. Nama-nama itu menempel di lidahnya seperti gula yang tak larut sempurna—ada manis yang menahan pahitnya penyesalan.

Ia memberanikan diri.

Mau ketemu? Aku tahu kita kacau. Tapi aku butuh kamu, bahkan saat aku belum tahu cara menyesuaikan diriku.

Tak lama, pesan itu dibaca. Tak langsung dibalas. Tapi Raga memutuskan tetap menuju kedai kopi di sudut Jalan Banda—tempat mereka pertama kali merumuskan “Kabut & Krumbs.” Ia memesan dua cangkir latte, membiarkan uapnya membentuk garis-garis tipis pada udara, seperti kalimat yang malu-malu.

Nayla datang lima belas menit kemudian, mengenakan jaket abu-abu yang dulu sering ia pinjamkan pada Raga saat hujan tiba-tiba mengguyur. Wajahnya terlihat lelah, tapi sorot matanya tak hilang.

“Aku tahu kamu butuh struktur. Dan aku tahu aku ini seperti badai,” Raga memulai, suaranya menyentuh meja.

“Aku gak minta kamu berubah jadi spreadsheet, Ga. Aku cuma pengin kamu hadir penuh. Kita gak bisa jalan bareng kalau kamu terus kabur dengan insting, sementara aku menyeret logikaku sendirian,” kata Nayla.

“Aku pikir cukup hadir karena kita saling sayang. Ternyata itu gak cukup ya?”

“Sayang tanpa niat menjaga, cuma bikin lelah.”

Mereka terdiam lama. Di luar, motor berlalu dengan cericit rem yang membuat malam seperti kaset usang. Di dalam, jam dinding bergerak tanpa suara. Keheningan yang ini tidak dingin—hanya memberi ruang. Seperti kabut yang mengundang orang untuk menyalakan lampu.

“Aku akan belajar, Nay. Pelan-pelan. Kalau kamu masih mau jalan bareng.”

“Aku juga akan belajar, Ga. Bahwa hidup gak harus selalu rapi. Tapi tetap harus punya arah.”

Raga mengangguk. Di matanya ada sesuatu yang dulu sering muncul saat ia menata loyang di pagi pertama membuka kedai—campuran takut dan harap. Di mata Nayla ada kilat yang biasa terlihat ketika ia mempresentasikan ide—campuran cemas dan teguh. Mereka sama-sama tahu, selesai berbicara tak berarti segala sesuatunya akan mudah. Tetapi minimal kini mereka berdiri di sisi jalan yang sama.

.

Proyek “Kabut & Krumbs” kembali bergerak. Tidak secepat sebelumnya, tidak seramai gumaman media sosial yang sempat memblow-up video resep roti pedas-asam Raga. Tetapi lebih jujur. Mereka menulis ulang kontrak kerja tim kecilnya, menata ulang pembagian peran. Nayla tak lagi memburu angka dengan gigi terkatup; ia menambahkan ruang kosong pada timeline untuk sesuatu bernama “napas.” Raga tak lagi mengandalkan semua pada suasana hati; ia belajar melihat angka sebagai peta, bukan borgol.

Mereka memulai dari halaman kecil di Taman Film. Menyusun kertas kraft di atas meja, menaruh roti-rote kecil dengan nama-nama jenaka: Sragen Sunyi, Depok Dingin, Lombok Lelah. Semua nama membawa cerita: ada yang lahir dari kenangan tentang perjalanan murah naik bus, ada yang lahir dari kabar berita tentang orang-orang yang tetap membuka warung di hari-hari sulit. Di papan tulis kecil, Nayla menulis: Kabut tak selalu menyesatkan—kadang ia mengajari kita menyalakan lampu dari dalam.

Orang-orang datang, beberapa hanya menatap, beberapa mengunyah perlahan, beberapa berfoto. Ada seorang perempuan paruh baya yang menitikkan air mata saat melihat nama Sragen Sunyi; katanya, suaminya dulu pedagang bakso di Sragen yang tak suka kemarahan, lalu meninggal diam-diam seperti hujan singkat. Ada anak muda yang bertanya kenapa roti Depok Dingin rasanya lebih pedas di ujung, Raga menjelaskan tentang lada yang terlambat pecah di lidah. Nayla mengangguk, menambahkan satu kalimat di feed: Rasa adalah waktu yang bisa dimakan.

Di tengah semua itu, kabut Bandung tiba-tiba turun lebih tebal. Lampu-lampu taman memancang lingkar cahaya kecil yang menampar gelap. Seseorang menyodorkan mikrofon pada Nayla, memintanya berbicara. Ia menatap Raga. Raga mengangguk.

“Kita merayakan remahan,” kata Nayla, “remahan yang sering dianggap sisa, padahal ia tanda pernah ada roti. Kita merayakan kabut, yang sering disalahpahami sebagai tersesat, padahal ia jeda untuk menata ulang langkah. Hidup bukan only about siapa yang benar dan siapa yang rapi, tapi siapa yang tetap tinggal saat semuanya kabur.”

Di belakang kerumunan, seorang lelaki muda berdiri mematung. Namanya Adipati—bukan pejabat, bukan bangsawan, hanya nama yang diberikan bapaknya yang pencinta wayang. Ia baru saja pulang dari Jakarta setelah di-PHK diam-diam, seperti banyak orang yang ruangan kerjanya menyusut tanpa suara. Ia menatap roti-roti dan orang-orang yang menepuk bahu satu sama lain—hal yang tak ia dapatkan saat memasukkan kotak-kotak barangnya dari perusahaan ke bagasi ojol.

Setelah acara, ia menghampiri Raga. “Mas,” katanya, terengah, “Aku bukan siapa-siapa. Tapi roti yang pedas di ujung itu… rasanya kayak tanggal terakhir aku di kantor.”

Raga menatapnya lama. “Kamu makan pelan-pelan?” tanyanya.

“Iya.”

“Rasa pedasnya datang belakangan, ya?”

Adipati mengangguk. “Di lidah, rasanya telat. Di hidup, rasanya keburu.”

Nayla mendekat, tersenyum. Ia menawari Adipati sepotong roti lain, Malang Menyala, yang ditaburi serbuk gula tipis seperti embun yang terlambat. “Tidak semua telat itu salah waktu,” ucapnya. “Kadang, telat adalah tepat asalkan kau bersedia tinggal sedikit lebih lama.”

Adipati menunduk. Ia tidak menangis. Tetapi napasnya lebih panjang saat mengucapkan terima kasih.

.

Minggu-minggu berikutnya, “Kabut & Krumbs” menjadi lintasan kecil yang pelan-pelan disukai. Mereka pindah dari taman ke biblioteka publik, dari kafe ke teras musala yang lapang di pinggir kota, dari Bandung ke Jakarta pada suatu Sabtu yang panas. Mereka membawa kabut ke kota yang jarang berkabut—Jakarta—yang lebih kenal debu, asap, dan berita yang tidak mau diam.

Di Jakarta, mereka bertemu Siti, seorang relawan yang mengelola dapur umum di rumah-rumah susun. Namanya sederhana, tetapi tangannya cekatan memindah-mindah panci, memecah telur, memunguti emosi makan siang orang banyak. Siti memperkenalkan Nayla dan Raga pada lorong-lorong yang belum masuk peta, pada anak-anak yang belajar matematika memakai potongan roti, pada bapak-bapak yang terus memeriksa layar gawai untuk notifikasi pekerjaan yang tak lagi datang. Di sana, kabut bukan awan; kabut adalah tunggu.

“Di sini,” kata Siti, “orang makan supaya kuat menunggu, bukan sekadar kenyang. Menunggu panggilan kerja, menunggu kabar dari kampung, menunggu anak pulang sekolah. Menunggu itu berat. Tapi kalau ada roti, rasanya lebih ringan sedikit.”

Raga mengangguk, mengukur ulang tepung, menambah air, mengurangi garam. Nayla menempelkan kertas di dinding: Menunggu adalah kerja yang tak pernah diakui jam hadirnya.

Pada suatu siang yang terik, di halaman rumah susun, Adipati muncul lagi. Ia kini bekerja sementara sebagai kurir lepas, mengantarkan barang dengan motor yang mesinnya tua. Ia menaruh helmnya di meja dan menatap roti-roti yang disusun Siti seperti huruf-huruf yang mengantarkan kabar baik. “Aku pinjam sebentar napas kalian,” katanya.

Nayla mengajak Adipati duduk. Di hadapan mereka, kabut tidak turun. Tapi suara burung dari antena TV tetangga terdengar seperti hal-hal yang tetap hidup meski tak disuruh. Anak-anak berbaris menunggu roti, ibu-ibu menyeka keringat, seorang remaja memainkan gitar bekas. Raga menaruh selembar kertas di meja: diagram kecil tentang anggaran, rute, jadwal, stok bahan. “Aku belajar menghitung,” katanya pada Nayla, setengah bangga.

Nayla menepuk bahunya. “Aku belajar melepas sedikit,” jawabnya.

Mereka tertawa. Tawa itu tidak seperti awalnya—lebih tenang, tidak takut pada diam. Di tengan tawa, sebuah pesan masuk ke ponsel Nayla: klien besar dari Jakarta menanyakan kapan presentasi final. Ia menatap Raga, ragu sejenak. Raga mengangguk, “Pergi. Aku bereskan di sini. Kita akhiri hari bersama.”

Presentasi final malam itu berjalan tanpa drama. Nayla menjelaskan angka-angka dengan bahasa yang sederhana. Ia tak lagi mencoba membuat segalanya tampak sempurna; ia menaruh ruang untuk hal-hal yang manusia. “Kabut,” katanya pada slide terakhir, “membuat orang menyalakan lampu. Dan di banyak situasi, lampu itu bukan di luar, melainkan di dalam.”

Salah satu petinggi klien—lelaki yang senyumnya ragu-ragu—mendekatinya setelah rapat. “Presentasi Anda terasa seperti… roti hangat,” ucapnya canggung. Nayla tertawa, menunduk. Dalam hati, ia mengucap terima kasih pada Raga yang mengajarinya bahasa baru untuk menjelaskan hal lama.

Ketika turun ke lobi, hujan memulai orkestra. Jakarta, yang jarang memberi kabut, hari itu menghadiahi Nayla hujan. Di bawah kanopi, Raga menunggunya. Ia basah, tapi mata itu—mata anak yang selalu percaya roti pertama hari itu akan laku—tetap menyala.

“Bagaimana?” tanya Raga.

“Lampu dalamnya menyala,” jawab Nayla.

Mereka berjalan menuju halte TransJakarta, melompat genangan, tertawa saat sepatu mereka menyerah pada natura kota. Di belakang mereka, layar-layar terus menampilkan berita; di depan mereka, neon-neon iklan menjeritkan diskon. Di sela-sela semua itu, ada tangan yang saling menggenggam lebih erat dari biasanya—sebagai kompas sederhana ketika kabut bukan di mata, melainkan di hati.

.

Tidak semua hari menjadi puisi. Ada pagi ketika adonan bantat, ada sore ketika Nayla salah hitung, ada malam ketika ego meminta haknya. Pernah sekali, di Surabaya, mereka bertengkar soal peta rute yang mendadak ngaco karena panitia lokal lupa menutup jalan. Suara membentak, pintu dibanting, pesan-pesan yang seharusnya disimpan. Mereka berpisah malam itu, tinggal di kamar yang berbeda di penginapan murah—kota seakan mengulang pelajaran lama: mencintai berarti berulang-ulang memilih untuk kembali.

Di pagi berikutnya, Siti menelpon. “Di sini roti kalian ditunggu.”

Nayla menatap jendela, mencari kabut yang tak ada. Raga menatap meja kerja, menimbang lagi tepung yang semalam ia abaikan. Mereka berjalan ke tempat acara seperti orang-orang yang memahami bahwa menyelesaikan yang tertunda sering lebih penting daripada menyelesaikan yang benar. Di sana, anak-anak sudah berbaris, ibu-ibu memegang kupon, seorang bapak menanyakan resep untuk gigi yang tinggal separuh.

Raga menaruh roti pertama di tangan anak pertama. Nayla menulis lagi di papan: Hidup tidak memilih siapa yang dihampiri kabut—kitalah yang memilih menyalakan lampu atau menarik selimut.

Setelah acara selesai, mereka duduk di trotoar, menatap lalu-lalang yang tidak pernah kehabisan nadi. Raga meraih tangan Nayla. “Maaf,” katanya.

“Maaf,” balas Nayla.

Mereka tertawa saat menyadari kebodohan siapa yang meminta maaf duluan. Kadang, cinta memang lucu karena sederhana.

.

Pada malam yang lain, di kereta kembali ke Bandung, Adipati masuk gerbong terakhir dengan jaket yang masih basah oleh sisa hujan Jakarta. Ia melihat Nayla dan Raga duduk saling bersandar, buku kecil di tangan Nayla, kantong roti di pangkuan Raga. Ia ingin menyapa, tetapi takut mengganggu. Ia memutuskan duduk dua bangku di belakang, menatap punggung dua orang yang sedang belajar menjalani hidup tanpa klaim paham.

Ia membuka ponsel dan menulis catatan: Kabut tak selalu datang dari langit. Kadang, kabut datang dari kepalamu sendiri. Dan sialnya, kepalamu ikut dibawa ke mana pun kamu pergi.

Kereta melaju, kabut memeluk jalur rel yang dingin, kota-kota di luar jendela mengedip pelan seperti bintang yang turun ke tanah. Di dalam gerbong, orang-orang tertidur saling percaya pada laju yang tak mereka lihat. Nayla menutup bukunya, menatap jendela yang memantulkan versi samar wajahnya. Raga mendekat, berbisik, “Besok, kita bikin roti yang namanya Semarang Senyap, ya?”

“Kenapa?”

“Karena di sana, diam menandakan banyak yang sedang berjuang.”

“Setuju,” kata Nayla.

Ia membuka halaman belakang jurnalnya dan menulis: Cinta bukan tentang siapa yang paling benar, siapa yang paling rapi, siapa yang paling romantis. Cinta adalah siapa yang tetap tinggal saat semuanya terasa kabur—dan berani menyalakan lampu bersama.

Kereta memasuki kota, lampu-lampu peron menyambut seperti mata-mata kecil yang penuh harap. Kabut tidak menyingkir sepenuhnya, tapi langkah mereka tidak lagi ragu-ragu.

.

Di akhir rangkaian “Kabut & Krumbs” tahun itu, mereka kembali ke Bandung untuk menutup musim. Di bawah payung kain putih, di halaman sebuah perpustakaan kecil, orang-orang berkumpul, beberapa sudah akrab, beberapa baru. Raga menyajikan roti terakhir malam itu: Bandung Berhenti. Bentuknya sederhana, rasanya ringan, diciptakan untuk orang-orang yang butuh jeda.

Nayla membaca kutipan di atas pembukaan, suaranya mantap:

“Beberapa luka tidak berdarah. Tapi tetap nyeri. Dan kita hanya perlu duduk diam, sampai hati kita pulih dengan caranya sendiri.”

Ia menatap wajah-wajah di hadapannya: ada Siti yang datang jauh-jauh, ada Adipati yang kini membawa sekantong kecil roti untuk ibunya di kampung, ada orang-orang yang ia tak kenal tetapi ia sayangi karena mereka sama-sama manusia. Ia menutup naskah, menghela napas, kemudian memegang tangan Raga.

“Kabut,” katanya, “akan tetap datang. Tetapi kita bisa belajar berjalan pelan. Kita bisa belajar saling menggenggam. Kita bisa menamai remahan agar tak lagi merasa seperti sisa. Kita bisa memaafkan telat yang sebenarnya adalah tepat.”

Raga mengangguk, matanya basah. “Terima kasih,” katanya—pada Nayla, pada roti, pada kota, pada kabut yang mengajari mereka menyalakan lampu dari dalam. Orang-orang bertepuk tangan. Malam memeluk mereka seperti selimut yang baru dijemur: hangat, bersih, masuk ke tulang.

Dan di antara tepuk tangan itu, di sela aroma mentega dan kertas kraft, kabut turun sekali lagi. Kali ini, tak menakutkan. Ia menjadi latar bagi langkah-langkah yang tak lagi mencari-cari, melainkan tahu bahwa tujuan bukan hanya alamat—tujuan adalah cara berjalan.

.

.

.

Jember, 3 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KetikaKabutMenghalangiLangkah #CintaDewasa #Bandung #Jakarta #Kabut #Roti #Kreativitas #Healing #CeritaUrban
.

Insight & Refleksi untuk Pembaca

  • Hubungan bukan kompetisi ritme, tapi upaya saling mendengar dan menyesuaikan langkah.

  • Tidak apa-apa mengambil waktu diam, bila itu membantu kita merapikan batin.

  • Komunikasi yang tulus seringkali datang bukan saat marah, tapi saat rindu mulai berbicara.

  • Cinta dewasa bukan tentang menyamakan cara, tapi menyamakan arah.

Leave a Reply