Warna yang Tak Lagi Diam

“Jangan terus-terusan menormalisasi ‘yang waras ngalah’. Sekali-sekali jadilah orang yang ‘nggak waras’ dan speak up. Kadang kita perlu menerjemahkan warna pada mereka yang hanya melihat abu-abu.”

.

Langit belum sepenuhnya biru ketika Wiratmaja membuka jendela kecil di lantai enam belas apartemen mungilnya. Jakarta masih menggigil di sela embun dan asap knalpot yang mulai menebal. Kereta melintas jauh—seperti garis pensil yang digoreskan buru-buru di tepi kertas pagi. Di meja kayu dekat jendela, segelas kopi hitam mengepul pelan, seperti menyimpan rahasia. Post-it kuning terpampang diam-diam, tulisannya sederhana tapi tegas: “Berani bicara.”

Hari itu, untuk pertama kalinya, Wiratmaja menyeduh kopi dengan tangan yang sedikit gemetar.

Ia tahu, warna hidupnya akan berubah hari ini.

.

Mantra yang Diwariskan

Sejak kecil, Wiratmaja hidup dalam mantera ibunya, Nyai Kanthi: “Nak, sing waras ngalah. Lebih baik kita disalahkan daripada harus menyalahi nurani.” Mantera itu menempel seperti garis tangan. Ia tumbuh menjadi orang yang menenangkan ruangan, merapikan konflik, mengalah demi harmoni. Di kampus, ketika teman-temannya memprotes nilai yang tidak adil, ia justru menulis puisi di halaman belakang buku catatan, mencoba mengekalkan marah tanpa membakarnya di udara.

Kebiasaan itu terbawa ke kantor.

Keraton Rasa Creative Studio—kantor konsultan branding di Jakarta Selatan—tumbuh cepat, berpindah dari ruko tiga lantai ke gedung kaca yang memantulkan awan. Di dinding ada mural berwarna, di langit-langit lampu industrial, di pantry kopi single origin, di timeline proyek tenggat yang menempel seperti stiker penolak tidur.

Namun di balik rupa estetiknya, mengendap budaya kuno: diam itu emas untuk yang lemah, mikrofon untuk yang kuat. Ada aturan tak tertulis: Siapa yang bicara, dibenci. Siapa yang diam, aman. Siapa yang mengalir, selamat.

Wiratmaja memilih aman. Ia diam ketika karyanya difotokopi tanpa kredit. Diam saat jam lemburnya tak tercatat. Diam ketika rapat jam sembilan malam disebut ritual kolaborasi padahal semua orang lelah. Diam, karena ia percaya diam adalah bentuk kasih sayang pada tim—sebuah pagar agar api tak membesar.

Sampai sebuah proyek membuka celah pagar itu.

.

Nama yang Dicuri

Proyek “Metaswara 2025” mendarat seperti pesawat besar di landasan sempit. Klien luar negeri, tempo cepat, nilai kontrak miliaran. Semua tim diturunkan. Wiratmaja jadi konseptor visual dan penulis narasi inti. Ia menyusun palet warna, membangun story arc dari riset konsumen, menyisipkan puisi pendek sebagai jeda emosional di antara data. Malam-malamnya berbau tinta printer dan cahaya layar. Pagi-paginya dipaku oleh adrenaline dan doa.

Di meja seberang, Jokotole—UI/UX lead yang jenaka dan tajam—sesekali menyodorkan roti tawar, “Makan, Matja. Otakmu butuh karbo.” Mereka sering bercanda menyebut diri sebagai pembatik digital: menganyam motif-motif makna di kain tak terlihat.

Selesai. Semua dirapikan dalam master file. Seperti biasa, berkas dikirim ke Maktal Satrawijaya, orang strategis yang pandai merangkum, luwes bicara, dan sangat kenal seluk-beluk manajemen. “Santai aja, Matja,” katanya sembari menepuk bahu, “Kita satu tim.”

Wiratmaja percaya. Iman kecilnya pada kerja sama masih utuh.

Hari presentasi. Ruang rapat dingin, layar 80 inci menyala. Direktur, partner luar negeri, Ki Jatmiko sang CEO, beberapa manajer. Slide pertama muncul:

“Ide dan Desain: Maktal Satrawijaya.”

Langit-langit seperti merendah. Slide bergulir: layout, palet tone, ilustrasi yang dipadu dengan puisi, transisi yang dirancang untuk menahan napas sebelum angka-angka penting. Semua itu—ia kenal dari ujung piksel ke ujung piksel—lahir dari malam-malamnya. Tapi namanya tak ada. Bahkan di slide cadangan pun tidak.

Maktal bicara lancar, memetik tepuk tangan. Beberapa orang mengangguk, beberapa menatap kagum. Wiratmaja menelan ludah. Di tenggorokannya ada kerikil yang rasanya persis seperti kata “diambil”.

Tak ada yang menoleh padanya.

Di telinganya, suara ibunya berbisik: “Sing waras ngalah.”
Di dada, suara lain menggemuruh: “Kalau kau terus diam, itu bukan waras. Itu mengkhianati dirimu sendiri.”

.

Malam yang Panjang

Pulang naik Transjakarta, ia menempelkan kening ke jendela. Lampu-lampu kota berlari seperti kalung cahaya yang putus. Peta batinnya berwarna kelabu. Amarah, kecewa, takut—tiga warna yang berkelahi di ruang sempit.

Di rumah, pukul 22.46, ia membuka laptop. Bukan untuk memaki, melainkan merapikan bukti. Version history Google Drive, metadata file, timestamp revisi, chat ringkas di grup kecil, jejak Figma yang menyimpan siapa menyentuh apa. Semua disejajarkan. Ia menulis kronologi ringkas, padat tapi manusiawi—lebih seperti pernyataan cinta pada integritas daripada gugatan dingin.

Di akhir, ia menulis:

“Saya terlalu lama diam, meyakini diam sebagai kebijaksanaan. Tapi kali ini, diam tidak melindungi siapa pun. Saya bersuara bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk menghormati kerja—dan menjaga kita semua agar tahu warna masing-masing.”

Pukul 23.58, ia menekan Send. Jantungnya menandai detik itu seperti lonceng di menara kecil.

.

Ledakan yang Tenang

Pagi berikutnya, kantor mendidih. Email itu beredar dengan kecepatan yang biasanya hanya dimiliki gosip. HR memanggil, legal menyusun notula, manajemen rapat. Maktal mengelak—“Ini kerja tim”—lalu menyebut miskomunikasi. Tapi data menatap balik seperti cermin yang tak bisa ditawar.

Di rapat internal, Ki Jatmiko menghela napas, menatap satu-satu. “Kalau benar begini, bukan hanya nama yang dicuri. Harga diri kantor juga dipotong.” Keputusan jatuh: peringatan keras untuk Maktal, SOP kredit kerja diperbarui, semua output wajib menyertakan attribution matrix. Nama Wiratmaja direstorasi dalam dokumen resmi klien.

Tapi yang lebih penting adalah yang terjadi di koridor sempit, di pantry kopi, di pojok tangga darurat. Bisik-bisik baru lahir:

“Jadi memang bisa ya ngomong yang benar tanpa meledakkan meja?”
“Matja berani. Elegan lagi.”
“Kayaknya aku juga harus belajar menyimpan bukti kerja.”

Warna mulai merembes dari satu dinding ke dinding lain.

.

Warna yang Menular

Perubahan tak datang meledak, melainkan meresap seperti air. Beberapa orang mulai menyuarakan ide tanpa takut terlihat too much. Ada usulan guideline lembur: jelas, manusiawi, bisa dipantau. Ada yang mengusulkan office hour untuk mentoring. HR—atas dorongan Jokotole—mengundang konselor datang dua kali sebulan, terselip dalam program wellbeing yang awalnya cuma jargon.

Di papan pengumuman, seseorang menempelkan puisi tanpa nama:

“Warna-warni muncul karena ada yang berani
Dan diam tak selamanya berarti.”

Wiratmaja tidak tiba-tiba jadi pahlawan. Ia tetap orang yang berangkat pagi, pulang malam, memeriksa kerning dan kontras dengan telaten. Tapi caranya menatap dunia berubah: tidak lagi meminta izin kepada ketakutan. Ia mulai memprakarsai sesi singkat bernama “Bicara Baik-Baik” setiap Rabu sore, setengah jam untuk menyuarakan hal-hal kecil yang selama ini ditelan. Dua aturan: hormat dan konkret. Tiga hasil setelah tiga minggu: lebih jernih, lebih ringan, lebih hidup.

Sore itu, selepas sesi, Salsabila—anak baru yang sering gugup bicara—mendekat, “Mas… makasih. Saya kira di kantor itu cuma ada dua warna: hitam dan putih. Ternyata ada langit di antaranya.” Senyumnya gugup, tapi matanya mantap.

Warna menyebar lewat kalimat sesingkat itu.

.

Pekat yang Menyala

Suatu pagi, kabar buruk mampir: klien utama memotong bujet campaign karena resesi. Kantor berdenyut tegang. Di grup manajemen, ada wacana memindahkan beban kerja junior ke intern untuk memangkas biaya—praktik lama yang sering dibiarkan karena toh semua belajar. Wiratmaja membaca naskah kebijakan versi awal dan merasakan getar lama: Abu-abu yang pura-pura tak bersalah.

Sesi Bicara Baik-Baik hari itu berubah jadi forum serius. Jokotole mengajukan simulasi: redistribusi beban kerja berdasarkan kapasitas, bukan jenjang. Salsabila berani menyodorkan data burnout minimal yang ia kumpulkan dari literatur dan survei internal kecil-kecilan. Wiratmaja menambahkan: mentoring jam kerja disubstitusikan dengan learning credit—jam yang diakui sebagai kontribusi, bukan sisa waktu sesudah lembur.

Ki Jatmiko datang diam-diam, duduk di belakang, lalu di akhir mengangguk. Kebijakan direvisi. Bukan sempurna, tapi arahnya berubah. Kantor selamat dari keputusan gegabah yang bisa merusak moral untuk jangka panjang.

Warna bukan hanya indah; ia juga menyelamatkan.

.

Kanthi dan Sawah yang Tenang

Sebulan sesudah Metaswara, Wiratmaja pulang ke Wonosobo. Di beranda kayu, Nyai Kanthi menata teh tubruk dan pisang goreng. Sawah menua jadi hijau tua; angin membawa bunyi-bunyi kecil yang menenangkan.

“Kowe kok katon beda, Le,” ucap Nyai Kanthi, memerhatikan sorot mata anaknya. “Ana sing owah.”
“Aku isih nyimpen wejangan Ibu,” jawab Wiratmaja, “tapi aku ngerti yen ngalah ana watesé. Kadhang, waras kuwi ya ngomong.”
Nyai Kanthi tersenyum—senyum yang sudah lama menyimpan letih—“Ngalah sing bener kuwi milih perang sing pantes diperangi.”

Di kamarnya, ia menemukan buku gambar masa kecil. Di sampul belakang, ada coretan: “Aku ingin menjadi tukang warna.” Ia tertawa kecil. Ternyata ia sudah lama tahu siapa dirinya—baru saja berani mengakuinya.

Malam itu, ia menulis untuk dirinya sendiri:

“Yang waras tahu kapan bicara, kapan mendengar. Yang jujur tidak berteriak untuk menang, tetapi bersuara untuk menerangi.”

Post-it kuning baru ditempel di cermin: “Jaga seimbang: hormat dan tegas.”

.

Abu-Abu yang Diajak Berbicara

Kota tidak berubah hanya karena satu orang bersuara. Esoknya, konflik baru datang dengan bentuk lain. Sebuah proyek dari perusahaan realty premium menghendaki branding yang glamor meski data riset menunjukkan konsumen ingin sincere luxury—mewah yang hangat, bukan megah yang dingin. Tim digoda bonus, manajemen tergoda gengsi.

Di rapat, Wiratmaja menatap presentasi creative proposal yang mulai melenceng dari temuan. Di ujung meja, Maktal—yang kini seperti orang belajar berjalan lagi—mengerling gelisah. Semua menunggu ke arah CEO: mau ke mana kompas ini?

Wiratmaja mengangkat tangan. “Kalau kita menulis narasi yang tidak setia pada riset, kita sedang menggambar pelangi di langit malam—orang akan takjub sebentar, lalu kecewa. Kita bisa mewah tanpa berbohong. Sincere luxury itu justru kekuatan kita untuk jangka panjang.”

Ruang rapat hening. Lalu Ki Jatmiko bertanya pada klien, “Apakah Anda mencari yang bersinar hari ini, atau yang bertahan lima tahun?”
Klien menatap satu-satu, lalu tertawa pendek, “Baiklah. Mari ke sincere luxury.”

Warna, ternyata bukan hanya perkara estetika. Ia adalah kejujuran yang bisa dipertanggungjawabkan.

.

Skenario Praktis: Dari Luka ke Pola

Banyak orang memuji keberanian Wiratmaja. Tapi ia diam-diam tahu keberanian itu bukan karunia dadakan. Ia adalah pola yang pelan-pelan dipahat. Ia menuliskan—untuk dirinya dan siapa pun yang butuh—empat langkah sederhana yang ia pelajari dari luka:

  1. Simak
    Bedakan rasa sakit karena ego tersentuh dan rasa sakit karena nilai dilanggar. Yang pertama perlu dirangkul, yang kedua perlu diurus.

  2. Saksi
    Simpan jejak kerja dengan tertib: versi file, catatan rapat, keputusan kecil. Bukan untuk menuduh, melainkan untuk menerangi.

  3. Sebut
    Bicara dengan bahasa yang menghormati orang dan memperjelas masalah. Nyatakan harapan, tawarkan jalan tengah yang adil.

  4. Seimbangkan
    Setelah keputusan diambil, kembali bekerja dengan integritas. Jangan jadikan keberanian sebagai panggung, tapi sebagai kebiasaan.

Pola ini ia bawa ke sesi Bicara Baik-Baik. Ia ajak tim latihan mengucapkan kritik tanpa menelanjangi, mengusulkan perubahan tanpa merendahkan, memuji dengan spesifik, meminta maaf tanpa syarat. Hasilnya tidak selalu mulus; manusia tetap manusia. Tapi kantor punya otot baru: otot untuk mendengar dan didengar.

.

Maktal yang Belajar Warna

Suatu siang, Maktal mendatangi meja Wiratmaja. Tangannya membawa dua gelas es kopi susu. “Boleh duduk?”
“Tentu.”
“Aku salah.” Maktal menatap meja, bukan mata. “Kalau kamu pilih diam, aku menang. Tapi kamu pilih benar, kita semua selamat.” Ia mengeluarkan flashdisk. “Ini template kredit kerja yang dulu kupakai asal-asalan. Takutnya kelewat. Aku perbarui. Pakai saja, namamu sudah di atas.”

Wiratmaja menerima, ringan. “Kita sama-sama belajar. Kita ingin kantor ini tahan lama, kan?”

Mereka tertawa kecil—tawa dua orang yang mulai memahami bahwa integritas bukan milik orang saleh saja, melainkan keahlian yang dilatih.

.

Warna yang Tak Lagi Diam

Malam Jumat, selepas hujan, kota seperti mengenakan jaket baru. Lampu-lampu memantul di jalan basah, MRT menghela napas panjang, warung tenda mengepulkan aroma sedap. Di sudut apartemen, Wiratmaja menulis surat pada dirinya lima tahun ke depan:

“Jangan lupa: keberanian bukan untuk menaklukkan orang, melainkan untuk membela pengertian. Kalau nanti kau lelah, istirahatlah. Kalau nanti kau takut, gandenglah data dan empati. Dan kalau nanti kau ingin diam, pastikan diam itu merawat, bukan mematikan.”

Ia menutup laptop. Meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Menatap langit yang pelan-pelan menggelap. Di kaca, pantulan dirinya tampak getir sekaligus utuh. Warna-warna di belakangnya tidak lagi diam.

Di bawah jendela, klakson menyalak, ojek melintas, sepasang anak muda bertengkar lalu tertawa. Jakarta, dengan semua gaduhnya, terasa lebih bisa ditinggali ketika seseorang memilih bicara benar—dan orang lain belajar mendengarnya.

.

Epilog di Papan Tulis

Senin pagi berikutnya, di whiteboard pantry, ada tulisan spidol hitam yang entah milik siapa:

“Ngene: warna akan terus jadi abu-abu jika tak ada satu pun yang berani menyuarakan merah, biru, atau kuning.”

Seseorang menambahkan garis kecil di bawahnya, seperti tangan yang tak sabar ingin ikut menulis. Jokotole memotret, mengirim ke grup kantor. Reaksi beruntun: emoji hati, jempol, api, dan satu kalimat dari Salsabila: “Mari jaga agar warna ini tetap hidup.”

Wiratmaja menatap tulisan itu cukup lama. Lalu, tanpa banyak kata, ia membuatkan kopi untuk tiga orang pertama yang datang ke pantry. “Pagi,” sapanya. “Kita mulai lagi, ya.”

Dan warna, seperti biasa, bekerja pelan. Tapi pasti.

.

.

.

Jember, 7 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#WarnaYangTakLagiDiam #SpeakUpElegan #IntegritasKerja #BudayaKantor #JakartaStory #SincereLuxury #KerjaSehat #LeadershipHarian #CerpenKompasVibes

.

Kutipan-kutipan dari Cerita

  • “Diam yang benar itu merawat. Diam yang salah itu mematikan.”

  • “Keberanian bukan untuk menaklukkan orang, melainkan untuk membela pengertian.”

  • “Kita bisa mewah tanpa berbohong—sincere luxury bertahan lebih lama daripada gemerlap yang cepat pudar.”

Leave a Reply