Tumbuh yang Menumbuhkan
“Menjadi pemimpin berarti siap tidak disukai: bukan demi kesombongan, melainkan demi pertumbuhan yang menumbuhkan. Integritas adalah kompasnya; tim adalah jalannya.”
.
Di langit Jakarta yang pucat—pagi setengah basah, setengah bising—Jayeng menatap layar ponselnya yang dibungkus karet bening. Notifikasi rapat, angka cashflow, chat dari investor, pesan suara dari ibunya di Malang, dan tautan kelas daring untuk putrinya yang kelas delapan di sekolah bertaraf internasional—semua berebut ruang seperti kendaraan di simpang Kuningan yang lirih namun keras kepala.
Jayeng—nama pendek dari Jayengrana—lahir di sebuah gang dekat Pasar Klojen, Malang. Ia datang ke Jakarta membawa dua koper: satu berisi baju, satu berisi ide yang dikerjakan bertahun-tahun—platform hospitality-tech yang menghubungkan hotel-hotel independen dengan jaringan pemasaran digital. Di awal, ia menawari para pemilik hotel kecil di kota-kota sekunder: Jember, Banyuwangi, Salatiga. Visi yang disusun di kamar kos, berkembang menjadi kantor dengan empat puluh orang karyawan yang setia menunggu arah.
Di rumahnya di Kemang, Ragnar—anjing pomerian milik putrinya—menyalak pelan. “Ayah, nanti siang aku ada latihan orkes di sekolah, jam dua,” suara Kinan—Kencana Retna dalam akta lahir—meluncur dari tangga. Ia memeluk biola dengan hati-hati, seperti merangkum waktu. Ibunya, Maya Umar, sudah menyiapkan bekal: sandwich ayam panggang, potongan pir, dan sebotol air infused dengan irisan stroberi.
“Baik. Ayah jemput sepulang meeting,” kata Jayeng.
Maya tersenyum tipis. Di antara mereka ada udara yang selalu rapih: percakapan tentang jadwal, tentang gaji asisten rumah tangga, tentang cicilan KPR rumah kedua yang akan dijadikan rumah sewa premium di Seminyak, tentang rencana Kinan melanjutkan sekolah musik ke Melbourne. Mata Maya selalu menyimpan hujan yang tidak jadi turun. Ia baru saja menutup butik rancangannya di Senopati—jualan tidak sepenuh 2019, dan ia memutuskan beralih menjadi konsultan brand untuk UMKM fesyen di Surabaya, bekerja jarak jauh dengan tim kecil.
“Bekalmu untuk rapat?” tanya Maya.
“Integritas,” jawab Jayeng, setengah bercanda, setengah berdoa.
.
Perusahaan Jayeng, LarasStay, sedang menggenggam persimpangan. Dua tahun terakhir, grafik pendapatan naik seperti garis yang menemukan alasan. Investor baru—Wira Laga—datang membawa logat Batak yang bersuara seperti mesin, namun pikirannya jernih. Di tangan Wira ada dana lanjutan seri B, namun juga syarat yang membuat tulang belakang Jayeng kaku: pivot ke segmen properti mewah dengan cara agresif, mengurangi tim support untuk hotel kecil, fokus hanya pada yang margin-nya besar.
“Bisnis harus tajam, Jayeng. Landep ora natoni, pinter ora kuminter,” kata Wira, meminjam pepatah Jawa yang pernah ia baca di poster LinkedIn. “Kita masuk ke jaringan vila-vila 15 juta per malam. Jangan buang waktu memelihara pelanggan yang bayar 500 ribu.”
Jayeng menatap grafik di layar monitor ruang rapat, sejenak melihat refleksi wajahnya sendiri di permukaan kaca. “Tapi LarasStay dibangun dari hotel-hotel independen daerah. Mereka menaruh percaya saat tidak ada yang percaya. Mereka bukan angka cadangan; mereka akar. Tanpa akar, pohon tumbang ditiup promosi.”
“Integritas itu bagus untuk pidato,” sahut Wira. “Namun tim butuh gaji, investor butuh exit. Pragmatisme yang beradab. Pilih.”
Jayeng diam. Diam yang berat seperti batu di mulut sungai. Ia tahu, keputusan hari ini akan mengukir perut jalan esok. Harga kepemimpinan bukan soal popularitas; ia menghafal itu sejak ikut rapat osis di SMA Negeri 3 Malang. Tapi harga yang mahal tetap mahal ketika harus dibayar dengan wajah-wajah yang ia kenal: staf dukungan yang membantu hotel keluarga di Jember menata kanal pemesanan, analis muda yang pulang malam demi menulis SOP housekeeping untuk sebuah losmen di Situbondo, sales yang mengajari pemilik homestay membuat foto kamar yang manusiawi.
“Berikan aku dua minggu,” kata Jayeng akhirnya. “Izinkan aku menulis rencana yang masih memegang akar, namun menjulang. Kita gandeng properti mewah, tetapi tidak menutup pintu hotel kecil. Kita kembangkan dua jalur pendapatan. Banter ora nglancangi: ngebut, tapi tidak serampangan.”
Wira memijat pangkal hidung. “Dua minggu.”
.
Di malam yang jatuh seperti tirai berat, Jayeng menggulung lengan kemeja. Di meja makan, laptop terbuka, spreadsheet menatapnya seperti kolam tanpa permukaan. Maya mendekat membawa teh melati.
“Kamu terlihat seperti orang yang menawar badai,” kata Maya.
“Bukankah setiap rapat adalah prakiraan cuaca?” Jayeng tersenyum lelah. “Aku diminta pilih satu sayap: margin atau loyalitas.”
Maya duduk di samping, menatap layar. “Apa kamu ingat kenapa kita pindah ke Jakarta? Bukan karena uang—kamu selalu bisa hidup cukuplah sebagai manajer hotel di Batu. Kita pindah karena kamu ingin menjadi jembatan, bukan sekadar toko.”
“Jembatan pun butuh tiang pancang.”
“Dan tiang pancangmu—maafkan aku—adalah keyakinan bahwa menumbuhkan orang lain adalah bagian dari bertumbuh.” Maya memegang jemari suaminya. “Harga menjadi pemimpin adalah sunyi, Jayeng. Tapi sunyi yang jernih.”
Jayeng mengangguk. “Besok aku berangkat ke Jember. Ada pemilik hotel yang perlu bertemu—mereka sedang bingung karena distribusi online kembali berubah. Aku ingin mendengar langsung sebelum menyusun rencana.”
“Pulanglah sebentar ke Malang. Temui Ibu.”
Jayeng terpejam. Pesan suara Ibu belum sempat ia buka. Dalam suaranya selalu ada aroma daun jambu dan dupa—campuran masa kecil yang disetrika rapi.
.
Kota Jember menyambut dengan langit rendah. Dari stasiun, Jayeng menumpang taksi daring menuju hotel yang menjadi salah satu klien pertama LarasStay. Lobby berbau kopi baru digiling. Manajer hotel—Sangga—menyongsong dengan wajah separuh letih separuh teguh.
“Mas Jayeng,” katanya, “foto Google kami tiba-tiba dibanjiri ulasan soal sarapan. Ada yang menyarankan memperpanjang jam, ada yang komplain soal sabun sementara. Aku tahu ini bagian dari proses, tapi timku kelelahan.”
Jayeng mendengarkan, mencatat satu per satu tanpa menggurui. Ia berdiri di sudut restoran, melihat seorang tamu memotret piringnya, melihat seorang ibu muda menenangkan balita yang rewel karena roti habis. Ia lalu mengajak Sangga duduk di teras, memesan kopi—bukan untuk gaya-gayaan, tetapi untuk menyamakan napas.
“Pertahankan yang sederhana tapi pasti,” kata Jayeng pelan. “Sarapan bukan sekadar menu; ia ritus. Tamu datang untuk merasa diurus. Kita tidak boleh pura-pura mewah dan kehilangan tulus.” Ia merinci: perapihan alur ambil piring, tanda kecil tentang habisnya makanan berikut perkiraan waktu isi ulang, pelatihan singkat untuk menyapa dengan mata, bukan hanya kata. Ia menjanjikan template jawaban review yang simpatik namun jujur, bukan salinan gips.
Sangga mengangguk-angguk. “Mas Jayeng, kamu ini…,” ia berhenti, memilih kata, “menjaga kami agar tetap manusia.”
Jayeng menunduk. Ada sesuatu di wajahnya yang tidak ingin terlihat hebat, hanya ingin tepat.
Malamnya di kamar hotel, ia membuka pesan suara Ibu. Terdengar napas kecil, kemudian suara yang menua seperti kain batik yang mulai kusam namun kian berharga.
“Eng, Ibu tadi beres-beres almari. Ketemu buku gambar kamu kelas tiga SD. Ada tulisan: Kalau besar mau jadi orang yang menolong orang bekerja lebih baik. Ibu tidak mengerti apa itu pekerjaannya, tapi mungkin sekarang kamu sedang di situ. Jangan lupa makan, jangan lupa istirahat. Kalau pulang, Ibu siapkan sayur lodeh.”
Air mata Jayeng jatuh tanpa suara. Ia mematikan lampu, membiarkan gelap bekerja.
.
Di Malang, rumah Ibu seperti miniatur waktu. Dindingnya masih tergantung foto ayah yang berpakaian dinas pegawai pengairan, matanya menatap sawah yang kini sudah menjadi perumahan. Ibu mengelus punggung Jayeng seolah menepuk bayangan anak kecil yang berlari-lari di lorong masa lalu.
“Ibu,” kata Jayeng, “kalau aku memilih membuat beberapa orang marah demi menjaga banyak orang tetap tumbuh, apakah itu benar?”
Ibu tertawa kecil. “Kamu datang membawa pertanyaan sebesar kota, berharap dijawab di meja makan. Dasar anak.” Ia menuangkan sayur lodeh. “Dengarkan ini. Orang tua dulu bilang: leres ora keno kleru, bener ora keno salah. Tapi hidup tidak selalu memberikan kemewahan ‘hanya benar’. Kadang kamu harus memilih ‘benar yang bikin kamu dibenci sebentar, agar banyak orang tidak dirugikan selamanya’.”
Jayeng diam. Ibu menambahkan: “Tapi pastikan kamu tidak mencuri harga diri orang. Kalau harus memangkas, lakukan dengan duduk berhadapan, bukan dari balik email.”
Jayeng memeluk Ibu. Di peluk itu ada doa-doa yang tak perlu kalimat.
.
Dua minggu kemudian, Jayeng kembali ke ruang rapat yang dingin seperti ruang tunggu klinik. Wira sudah menunggu, bersama dua partner lain. Slide presentasi menampilkan dua jalur seperti sungai bercabang.
“Model A: Arjuna,” kata Jayeng—mencuri nama dari wayang yang ia dengar sejak kecil. “Masuk ke segmen mewah, margin besar, kontrak panjang. Namun sebagian profit disisihkan untuk dana pengembangan ‘inkubator hotel independen’. Dana ini membiayai tim kecil yang melatih operasi, pemasaran digital, dan standar layanan hotel non-korporat. Kita jadikan mereka supplier network untuk paket pengalaman lokal bagi tamu-tamu vila mewah—tur kopi Jember, jelajah batik Lasem, kuliner Malang di malam hari. Revenue tidak hanya dari kamar, tapi dari pengalaman yang kurasi oleh jaringan akar rumput.”
“Model B: Werkudara,” lanjutnya, “membesarkan tulang punggung yang ada. Kita efisiensikan dukungan dasar dengan automasi: dashboard ulasan, template respons, modul edukasi berbayar dari para praktisi—Maya memimpin kurikulumnya. Pendapatan dari langganan. Tim tetap, tapi peran bergeser menjadi pelatih.”
Wira menyilangkan tangan. “Bagus di kertas. Tapi bagaimana dengan burn rate?”
Jayeng menahan napas, lalu menayangkan slide berikut: proyeksi konservatif, porsi investasi, titik impas per jalur, skenario terburuk. Ia tidak mengubah realitas menjadi optimisme palsu. Ia menunjukkan lokasi-lokasi yang menjadi peluang: Seminyak, Ubud, Labuan Bajo—di tiap tempat ada mitra independen yang siap dilatih.
“Yang ingin aku pertahankan bukan romantisme,” katanya. “Yang ingin aku jaga adalah ekosistem. Kita masuk ke mewah, tapi kita bawa serta para kecil. Ini bukan amal; ini strategi diferensiasi. Tamu vila mewah sudah bosan dengan tur yang ditulis oleh agen besar. Mereka mencari authenticity with integrity—dan integritas hanya mungkin ketika keuntungan juga dibagi ke pembuat pengalaman.”
Ruang rapat sunyi. Wira menatap satu per satu slide, kemudian memandangi Jayeng lama-lama. “Berarti kamu tidak akan memotong separuh tim dukungan?”
“Aku akan merombak mereka menjadi coaches,” jawab Jayeng. “Sebagian akan pindah peran. Bukan tanpa luka; tapi lukanya punya obat: reskilling, upskilling. Aku sendiri akan turun mengajar modul hospitality setiap Jumat, online. Maya mengkurasi kelasnya. Kita kenakan biaya murah untuk mitra kecil, mahal untuk vila mewah—subsidi silang.”
Wira bersandar. “Ini keputusan yang membuatmu tidak populer di forum investor.”
“Pemimpin tidak selalu ditugaskan untuk disukai,” kata Jayeng pelan, “tapi untuk melangkah bersama tim dan komunitas. Fokusku bukan hanya tumbuh, tetapi menumbuhkan.”
Wira menatapnya lebih lama, lalu—tak diduga—tersenyum. “Kamu keras kepala dengan cara yang sehat. Baik. Tiga bulan. Buktikan.”
.
Tiga bulan berubah menjadi buku harian yang isinya keringat, gulir chat Telegram, dan hari-hari di mana Jayeng menjemput Kinan sambil memikirkan cara menurunkan churn rate. Setiap Jumat malam, kelas daring digelar: Front Office Empathy 101, Housekeeping Storytelling, Menyusun Template Jawaban Review yang Manusiawi, Mengukur Rasa, Bukan Hanya Angka. Maya mengundang praktisi—Sangga dari Jember jadi pembicara: “Sarapan sebagai Ritus”—wajahnya tampak di layar-layar laptop para pemilik hotel kecil yang menonton di warung kopi.
Di Seminyak, Jayeng mengetuk pintu vila mewah milik kolega lama. “Aku tawarkan paket ‘Luxury with Local Heart’,” katanya. “Chef untuk makan malam adalah ibu-ibu komunitas kuliner yang kami kurasi, namun standar kebersihan diaudit oleh tim kita. Tour guide-nya adalah guru geografi yang libur mengajar. Kita pastikan insentifnya adil.”
Malam yang lain, Jayeng duduk di balkon, Ragnar meringkuk di kakinya. Kinan memainkan Meditation from Thais; melodi melayang ke langit Jakarta. “Ayah,” kata Kinan, “di sekolah aku belajar tentang servant leadership. Guru bilang, pemimpin paling depan yang mengambil risiko, paling belakang saat menerima pujian. Kamu melakukan itu?”
Jayeng tertawa kecil. “Ayah sedang belajar.”
“Kalau ada teman ayah yang marah karena ayah tidak mengikuti maunya, apakah itu salah?”
“Tidak semua marah berasal dari benci. Kadang mereka marah karena takut. Tugas pemimpin menenangkan takut, bukan menambahnya.”
Kinan mengangguk, lalu berkata pelan, “Aku bangga.”
Kalimat itu mendarat di dada Jayeng seperti daun jatuh yang entah bagaimana menenangkan tanah.
.
Namun badai tidak bubar hanya karena rencana terlihat mulus. Di bulan keempat, salah satu investor minor mengirim email bernada dingin: menuduh Jayeng menghambur-hamburkan uang untuk “program pengasuhan kecil” yang tak menjanjikan return. Di media sosial, sebuah akun anonim menulis thread panjang: “CEO idealis yang lebih cocok jadi motivator.”
Jayeng menutup ponsel, memandangi tangannya yang bergetar ringan. Ia ingat ucapan Ibu: jangan mencuri harga diri orang. Ia membalas email dengan data apa adanya, mengundang diskusi terbuka. Akun anonim tak ia jawab; ia justru mengunggah video dua menit menyorot showcase program: pemilik losmen di Banyuwangi yang kini mendapatkan kontrak private dinner untuk tamu vila, satu keluarga petani kopi di Jember yang menjadi destinasi farm visit—pendapatan anaknya kini cukup untuk kuliah di politeknik pariwisata.
Komentar terbagi, seperti selalu. Tapi di kantor, tim menyaksikan video itu dengan mata yang memantulkan alasan berangkat pagi.
Maya memeluknya malam itu. “Kamu sedang membayar harga yang pantas,” katanya. “Kita tidak sedang cari suka; kita sedang mencari arah.”
.
Di rapat kuartalan, Wira meletakkan dua lembar kertas di meja: satu laporan keuangan, satu analisis dampak program. Angka tidak meledak, tapi juga tidak merah. Pertumbuhan 12%. Margin tetap sehat, burn rate terkelola. Lembar kedua menceritakan sesuatu yang lebih sukar diukur: tingkat retensi mitra 95%; rujukan organik naik 40%; Net Promoter Score tamu vila yang membeli paket “Luxury with Local Heart” mencapai 81.
“Tidak spektakuler,” kata Wira, “tapi mengandung masa depan. Kamu menang bukan karena berlari paling cepat, Jayeng, tetapi karena membawa banyak orang berlari bersama.” Ia menoleh pada partner lain. “Kita lanjutkan strategi dua jalur. Tambahkan impact clause: 2% keuntungan dialokasikan untuk inkubator mitra kecil.”
Jayeng melepaskan napas yang selama ini ia simpan. Seperti seseorang yang turun dari feri setelah menyeberang badai: kaki masih goyang, tapi daratan ada.
.
Suatu Minggu sore, keluarga kecil itu pergi ke museum di Jakarta Pusat. Kinan menunjuk poster pameran tentang kota-kota di Jawa yang berubah. Malang, Surabaya, Semarang: semuanya memperlihatkan foto dulu dan kini. Di depan panel “Malang”, Jayeng memotret wajah Kinan yang memantulkan lampu-lampu hangat.
“Ayah,” Kinan bertanya, “kapan terakhir kamu benar-benar merasa disukai orang?”
Jayeng berpikir. “Mungkin waktu SMA, ketika aku ketua panitia pensi dan semua orang memuji. Tapi rasa itu seperti gula kapas: manis sebentar, cepat hilang. Yang lebih lama adalah rasa berguna.”
“Berarti yang penting bukan disukai?”
“Yang penting bermakna—dan kalau bisa: adil.”
Maya menyelipkan tangannya ke lengan Jayeng. “Kadang adil berarti menegur saat semua orang ingin dimanjakan. Kadang adil berarti menunda pujian demi memberi ruang orang lain tampak.”
Mereka berjalan keluar museum. Langit Jakarta memerah seperti luka yang disembuhkan pelan-pelan.
.
Suatu malam, telepon dari Ibu datang. “Eng,” suara Ibu berat, “tetangga kita—Pak Samin—rumahnya kebanjiran. Dia malu minta tolong. Bisakah kamu kirim sesuatu?”
Jayeng menutup laptopnya. “Tentu, Bu. Besok aku urus.”
Ia menatap Maya yang sedang merapikan moodboard untuk kelas UMKM besok. “Aku pernah percaya pertolongan yang tulus datang dari orang yang hidup cukup,” katanya. “Sekarang aku belajar: pertolongan yang tepat justru datang dari orang yang mau membagi kuasa.”
Maya mengangguk. “Karena kuasa yang tidak dibagi, membusuk.”
Kalimat itu bergantung di udara, seperti lampu jalan yang menuntun langkah.
.
Ketika kelas Jumat malam berikutnya berakhir, komentar berdatangan. “Terima kasih, Mas,” tulis seorang pemilik homestay di Temanggung, “panduan ‘menjawab ulasan dengan hati’ membuat kami tidak lagi takut buka Google Review.” Seorang staf housekeeping dari Lombok mengirim foto: daftar kecil di pantry bertuliskan “Layanan dimulai dari mata yang hangat.”
Jayeng membaca semuanya, kemudian menutup laptop. Ragnar menguap, menempatkan kepalanya di telapak kaki Jayeng. Kinan memain-mainkan nada pendek dari Praeludium karya Bach. Maya menatap mereka, lalu berkata: “Besok kita ke Malang, ya. Ibu ingin jajan rawon.”
Jayeng mengangguk. “Aku rindu jalan Ijen yang ditanami pohon trembesi.”
Di kepala, ia menuliskan kalimat untuk tim yang akan ia sampaikan Senin pagi: “Kita tidak sempurna. Tapi kita memilih menjadi yang bertanggung jawab. Kita tumbuh, dan menumbuhkan.” Ia tahu tak semua orang akan bertepuk tangan. Ia juga tahu, ada pekerja yang mungkin memilih pergi karena ritme baru ini tidak serasi dengan keinginannya. Semua itu adalah bagian dari biaya yang harus dibayar ketika menolak menjadi manis palsu.
Di kaca jendela, bayangan malam memantulkan tiga wajah: seorang pria, seorang perempuan, seorang remaja. Kota sedang merebah—tetapi di dalam rumah, ada kerja yang lebih halus daripada rapat: menjadi keluarga yang saling menjaga integritas satu sama lain.
Jayeng menatap langit. Ia tidak lagi menginginkan hujan cepat. Ia menginginkan hujan yang tahu kapan harus turun.
.
Keesokan paginya, di tol menuju Malang, mobil mereka seperti meluncur di atas garis waktu. Maya bersandar, membaca artikel tentang “ekonomi berkeadilan dalam pariwisata”. Kinan mendengarkan rekaman orkes. Jayeng menatap jauh—mengukur jarak antara keputusan dan akibat.
Di rest area, ia melihat sebuah keluarga lain: ayah memutuskan rasa malu, memeluk anaknya di depan kedai tahu petis; ibu tersenyum dengan mata yang letih namun lega. Hidup selalu berputar antara disukai dan dibutuhkan.
Sebelum masuk kembali ke mobil, Jayeng mengetik pesan untuk tim:
**“Kawan-kawan,
Terima kasih sudah berjalan bersama pada jalan yang tidak selalu disukai. Kita memilih jadi pemimpin pada bidang kita masing-masing: front office, housekeeping, sales, teknisi. Pemimpin berarti siap tidak disukai untuk sementara—demi bertumbuh dan menumbuhkan. Jangan takut pada sunyi, selama ia jernih.
Salam,
J.”**
Ia menekan kirim, lalu menyalakan mesin. Jalan panjang menunggu; cuaca bisa berubah. Tapi arah sudah satu: terus melaju, tanpa meninggalkan siapa pun yang mau belajar berlari.
.
.
.
Malang, 21 Oktober 2025
.
.
#LeadershipWithIntegrity #HospitalityIndonesia #GrowAndMakeGrow #UrbanStory #KelasMenengah #UMKMNaikKelas #EkosistemPariwisata #CerpenIndonesia #Mentorship
.
Kutipan yang Menyertai Cerita
-
“Pemimpin sejati tidak menumpuk pujian, ia menyalurkannya.”
-
“Harga disukai itu murah; harga bermakna itu mahal. Pilih yang bisa dibayar oleh hatimu.”
-
“Berkembang adalah kerja arah; menumbuhkan adalah kerja jiwa.”
-
“Keputusan yang jujur sering membuatmu sepi. Di sanalah integritas diuji.”