Tiban Langit di Atas Tanah yang Tercemar

“Jangan menabur duri di jalan orang lain; suatu hari kamu mungkin berjalan tanpa alas kaki di jalan yang sama.”

“Hukum alam tidak akan pernah becanda. Jika kamu mempermainkan orang lain, bersiaplah dipermainkan oleh semesta.” — Anonim

.

Senja belum sepenuhnya hilang dari cakrawala ketika Saka menyalakan rokok ketiganya sore itu. Di pelataran rumah kayu tua peninggalan kakeknya, ia bersandar pada tiang bambu, mengamati langit yang mulai kelabu. Asap rokok melayang, mencari-cari celah di antara daun mangga yang pernah menjadi tempatnya memanjat waktu kecil—seolah-olah asap itu membawa kembali gumam yang lama ditinggalkan: nama-nama, janji-janji, dan sejumlah tanda tangan yang kini menua di benaknya.

Saka pernah dielu-elukan sebagai pemuda cerdas dari dusun Nglorog yang merantau ke Jakarta. Wajahnya pernah menghiasi majalah kampus, pidatonya pernah menggetarkan auditorium. Di koridor fakultas hukum, namanya disebut bersamaan dengan kata “harapan”. Di luar pagar kampus, hidup bergerak dengan bunyi klakson tol dan deru proyek properti. Saka melompat ke derasnya arus: kontrak pengadaan, konsultasi legal, lobi-lobi yang baunya seperti kopi robusta dan kertas baru. Ia menikahi Lastri, perempuan yang menatapnya seperti menatap peta masa depan: bersih, luas, dan penuh arah. Mereka membeli apartemen di Kuningan, mobil keluaran terbaru, dan menaruh impian di lemari kaca yang rapi—impian yang bertuliskan “kita”.

Lalu, satu nama menyeberang dari kebetulan ke kebiasaan: Panjer. Di kelompok makan siang orang-orang berdasi di Setiabudi, Panjer tertawa paling keras dan membayar paling lambat. Ia makelar proyek yang tahu siapa perlu apa, siapa bisa apa, dan di mana semua itu dapat ditempelkan agar tampak legal. Pertemuan pertama mereka tampak ringan: sebungkus rokok, sisa kopi dingin, dan empat angka yang dilingkari di kertas tisu. “Kamu idealis, Ka,” Panjer berkata sambil menggelitik udara, “tapi idealisme harus berteman dengan kenyataan. Hukum itu bukan malaikat. Ia juga manusia: bisa diajak bicara.”

Malam itu, Jakarta menurunkan gerimis, lampu-lampu gedung seperti sisik ikan yang dingin. Saka pulang, memandangi Lastri yang tertidur dengan buku di dada. Ia mengecup keningnya pelan. Lalu membuka laptop. Di layar, angka-angka seperti kotak-kotak puzzle. Tangannya mulai menyusun. Pertama pelan, lalu cekatan. Di tepi layar, prinsip-prinsip hukum yang dulu dihafalnya seperti pasal doa, kini beringsut ke luar bingkai. Di dalam bingkai tinggal tabel, nama-nama perusahaan cangkang, dan kalimat-kalimat efisien yang diketik tanpa keraguan.

Di suatu proyek jalan lingkar kota, Saka belajar menyulap anggaran menjadi cat air. Di proyek alat kesehatan, ia belajar mengubah hari menjadi malam. Panjer memperkenalkan Saka pada jejaring yang lebih sunyi: Umarmaya, konsultan yang licin seperti minyak; Jayeng, direktur BUMD yang gemar melukis infografik untuk memindahkan fokus; dan Muninggar, PR agency yang senyumnya mampu membuat konferensi pers terlihat seperti pesta ulang tahun. Nama-nama itu—dipinjam dari kisah dan masa, seperti bayangan Menak yang berjalan di aspal—beroperasi tanpa gelar, hanya dengan panggilan.

“Asal pintar, hukum bisa dikondisikan,” kata Panjer suatu malam setelah mereka menutup proyek fiktif bernilai miliaran. “Yang penting, kertasnya rapi.”

Kertas-kertas memang rapi. Tinta tanda tangan mereka seperti garis-garis rel kereta yang tak pernah berbelok. Saka tertawa, ringan. Dalam pandangannya, hukum bukan lagi penjaga keadilan, melainkan set kunci pintu yang bisa membeli pintu mana pun. Di rumah, Lastri mulai jarang membaca buku sebelum tidur; ia memotret sudut-sudut apartemen karena brand interior ingin menampilkan cerita rumah “pasangan muda sukses”. Di meja makan, percakapan kerap berhenti pada: “Nanti kita liburan ke Hokkaido, ya?” dan “Bayangkan, kalau kita punya rumah kedua di Uluwatu.”

Pada suatu malam, Saka pulang lebih awal. Televisi memutar berita tentang Supomo, petani dari Magetan yang tanahnya kena proyek ganti rugi. Nama Saka disebut sekilas, seperti bayangan burung lepas di kaca jendela: cepat, mengejutkan, lalu hilang. Ia mengambil remote, mengecilkan volume. Lastri menatapnya. “Itu… proyekmu?” tanyanya. Saka mengangguk pendek, lalu menyodorkan tiket pesawat ke Singapura untuk akhir pekan. Lastri tersenyum, ragu yang melayang di matanya jatuh ke karpet.

Namun hukum alam tak pernah tidur. Ia berjalan pelan, tapi pasti, seperti semut membawa gula. Di layar-layar ponsel, nama Saka mulai muncul di samping kata “dugaan”. Kertas-kertas yang rapi itu, rupanya, menyisakan jejak tinta yang tak bisa dihapus air mata. Umarmaya pindah kota tanpa pamit. Jayeng mendadak gemar naik gunung dan offline berbulan-bulan. Muninggar mengunggah foto sunset setiap hari, seolah senja mampu membersihkan semua caption. Dan Panjer—suatu siang—mengirimkan pesan tiga kata: “Sementara jangan kontak.”

“Kita harus pergi, Sa,” kata Lastri pada suatu malam yang lebih dingin daripada malam-malam lain. Tangannya gemetar memegang koper. “Ke mana?” tanya Saka. “Ke tempat yang tak mengenal masa lalu.” Mereka memesankan penerbangan pagi. Di bandara, kaca-kaca besar menampakkan wajah mereka seperti dua tokoh dalam lukisan yang terlalu disemir: halus tapi rapuh. Petugas datang. Borgol mengikat cerita mereka dengan satu klik yang lirih tapi pasti. Lastri menangis dalam diam. Saka menatap langit dari sela jendela kecil. “Apakah ini hukuman?” batinnya, “atau pengembalian barang yang tidak pernah menjadi milikku?”

Di pengadilan, kamera-kamera media berdiri seperti pagar. Saka duduk, menatap deretan kursi. Supomo ada di sana, dengan kemeja pinjaman dan sepatu yang terlalu longgar. Di telinga Saka, suara dosennya tiba-tiba hadir, mengutip pasal demi pasal. Tapi kalimat-kalimat itu kini hanya dahan kering. Ia dihukum. Tak panjang, kata hakim, karena ia mengembalikan sebagian. Tak pendek, karena ia mengetahui benar apa yang ia lakukan. Di balik jeruji, ia belajar menghitung bukan hanya uang: ia menghitung kemungkinan untuk menjadi manusia.

.

Setelah dua tahun, gerbang besi membuka. Udara di luar tercium seperti hal baru yang sudah lama. Jakarta masih Jakarta, tetapi apartemen Kuningan sudah punya nama lain di bel buzzer. Lastri sudah tidak menaruh buku di dada; kabar mengatakan ia sudah menikah lagi dengan seorang rekan kuliah yang dulu kalah saing. Saka pulang ke Nglorog, ke rumah kayu tua yang memayungi pohon mangga dan kebun singkong. Di sana, waktu berjalan dengan suara cacing dan rumput. Ia menanam, memelihara ayam, memperbaiki pagar dengan paku sisa. Ia melepas arloji mewahnya—menghadiahkannya pada anak tetangga untuk dijadikan mainan pesawat.

Anak-anak desa mulai datang sore-sore. “Pak, ajari kami membaca koran,” kata seorang bocah perempuan yang pipinya selalu bersih, Gendis namanya. Saka tertawa kecil. “Membaca koran gampang,” katanya, “yang sulit adalah membaca hati sendiri.” Ia membawa buku-buku tipis, mengajarkan tanda baca, lalu diam-diam mengajari mereka menandatangani nama sendiri agar kelak tak mudah ditipu oleh kertas.

Pagi-pagi, Saka menulis. Bukan legal opinion, melainkan catatan kecil: tentang korupsi yang bentuknya seperti air, selalu menemukan celah; tentang kota yang membangun jembatan tetapi melupakan tanah yang dilompati jembatan itu; tentang karma yang tidak menghitung hari di kalender, melainkan menghitung arah di kompas batin.

Nama-nama yang dulu jadi palang pintu kembali mengunjunginya dalam benak: Umarmaya—yang dulu mengajari Saka tertawa di sela pasal—ternyata jatuh sakit. Jayeng—yang selalu mengubah fokus—menghilang namanya dari tender, tetapi muncul di daftar tersangka kasus lain di kota lain. Muninggar—yang memoles berita hingga berkilau—berhenti memperbarui gale­ri senjanya. Saka menulis tentang mereka, bukan untuk balas dendam. Melainkan untuk mengingatkan dirinya, bila kelak godaan datang seperti suara tembang—ia harus menutup telinga dan menjejak tanah.

Setahun berlalu. Di pasar, orang-orang mulai memanggilnya lagi dengan nada yang biasa. “Mas Saka, singkongnya manis.” “Mas Saka, bibit ayamnya jadi.” Gendis makin rajin. Ia membawa buku kumal dan sebuah pena yang terlalu bagus untuk anak desa. “Boleh pinjam bukunya?” tanya Gendis. Saka mengangguk pelan. “Tapi kamu harus berjanji: ilmu tidak untuk menipu. Ilmu itu payung yang baik—bukan pisau kecil buat menggores orang lain.” Gendis mengangguk, matanya seperti menyimpan pagi.

Pada tahun keempat, Saka menerima pesan dari kampusnya dulu. “Datanglah,” begitu kalimatnya, “ceritakan yang pernah kamu lakukan, bukan untuk dibanggakan—untuk diperingatkan.” Banyak yang mencibir. “Apa pantas?” tanya seseorang di lini masa. Saka datang dengan kemeja yang tidak baru, berdiri di podium yang dulu memantulkan suaranya. “Saya bukan pahlawan,” ucapnya, “saya mantan penjahat yang sedang belajar menjadi manusia.” Mikrofon meredup, mahasiswa-mahasiswa menatap seperti dahan-dahan yang ingin tumbuh. Di akhir acara, seorang pemuda menghampirinya. “Saya hampir kehilangan rumah karena nama Bapak,” katanya, “tetapi hari ini saya merasa, Bapak sudah kembali pulang ke manusia.”

Sepulang dari kampus, Saka berdiri di depan rumah kayu. Senja sedang mengikat awan dengan benang oranye. Ia merasa sesuatu mengendap. Bukan rasa lega, bukan pula rasa bangga. Lebih seperti rasa ketika hujan pertama jatuh ke tanah yang lama kering—diam-diam, tetapi mengubah.

.

Di tahun ketujuh, Saka menerbitkan buku tipis: Tiban Langit. Di halaman awal ia menulis: “Tiban Langit adalah saat ketika langit jatuh ke dahi, bukan untuk memukul, tetapi untuk menempelkan cermin.” Ia mengisahkan bagaimana kekuasaan mengubah manusia menjadi siluet yang tidak mengenal diri, dan bagaimana hukum alam menampar dengan tangan yang tidak kelihatan. Ia cerita tentang Panjer—yang akhirnya membuat pernyataan di televisi dengan baju yang bukan miliknya. Tentang Umarmaya yang mengirim pesan malam-malam: “Kalau saja dulu kita berhenti.” Tentang Jayeng yang me­ninggalkan puncak gunung tetapi tidak pernah benar-benar turun. Tentang Muninggar yang menyadari: tanpa kebenaran, bahasa tak lebih dari lampion di siang hari.

Buku itu tidak bestseller. Tapi buku itu sampai ke meja orang-orang yang perlu. Seorang guru bahasa Indonesia di SMP kota menyalinnya ke papan tulis, memilih paragraf yang menulis ulang definisi sukses dalam dialek yang lebih jujur. Seorang pejabat muda membacanya di mobil dinas, lalu menolak sebuah amplop dengan kalimat yang baru didengar supirnya. Seorang jaksa menandai halaman terakhir dengan garis miring; malam itu ia pulang lebih cepat untuk makan bersama anaknya.

Saka menerima beberapa undangan. Ia datang, berbicara secukupnya, lalu kembali ke kebun. Ia tahu suaranya adalah suara yang sedang ia tebus, bukan suara yang boleh ia jual. Di atas meja kayu di beranda, secangkir teh selalu dibiarkan hangat sambil ia merangkai kata. Ia menulis pada Gendis, yang kini menjadi siswi SMA dengan rambut dikepang rapi dan nilai biologi bagus. “Nak,” tulis Saka, “teruslah belajar. Jangan ulangi kesalahan gurumu. Kalau jujur, semesta memeluk. Kalau jahat, semesta menggilas. Hukum alam tak pernah becanda.”

Pada suatu malam yang tenang, ketika jangkrik bersahut-sahutan seperti paduan suara kecil, Saka tertidur di kursi, buku terbuka di dada. Cangkir tehnya belum sempat diteguk. Di halaman terakhir, di bawah kalimat tentang cermin yang ditempelkan langit, ada satu paragraf singkat, ditulis tergesa tetapi bersih: “Aku memaafkan diriku bukan untuk melupakan, melainkan agar aku sanggup mengingat tanpa ingin mengulang.” Pagi menemukannya demikian. Penduduk desa berkumpul—tidak berisik. Mereka menurunkan tubuhnya pelan, seperti menurunkan peti berisi suara-suara yang sudah selesai.

.

Jakarta, bertahun kemudian, mengundang kembali ingatan. Di Kuningan, apartemen yang dulu dihuni Saka kini menjadi unit sewa harian. Seorang pasangan muda berhasil memotret sudut-sudutnya dan mendapatkan kontrak dengan brand interior. Mereka tidak tahu siapa yang pernah duduk di sofa itu memandangi tiket ke Singapura; tidak tahu wajah Lastri yang pernah tersenyum dengan ragu; tidak tahu suara televisi yang memutar nama Supomo dengan dingin. Di Setiabudi, kafe tempat Panjer menulis angka di tisu kini memajang poster “No Cash”. Barista dengan apron bersih menyebutkan satu-satu menu single origin—sebutan yang dulu terdengar seperti bahasa asing di telinga Saka.

Di Magetan, Supomo membangun rumah kecil. Ia menanam pohon jambu di halaman. Ia tidak menjadi kaya, tetapi hatinya tidak terburu-buru. Di rak kayu, ada buku tipis Tiban Langit. Halaman terakhirnya ditandai dengan lembar kupon minyak goreng. Supomo kadang membacanya sambil mengangguk. “Begitulah,” katanya pada istrinya, “langit tidak membalas, langit menata.”

Gendis, yang dulu meminjam buku dari Saka, kini duduk di bangku kuliah jurusan hukum di Surabaya. Ia belajar hukum sebagai payung, bukan sebagai pisau. Ia bekerja paruh waktu di klinik advokasi masyarakat, menulis draft gugatan untuk orang-orang yang biasanya kalah dalam antrean. Kadang, ketika menutup pintu ruang konsultasi, ia mendengar suara sersan hujan di atap dan mengingat kalimat Saka tentang payung. Ia menatap foto Saka yang pudar di layar ponselnya: wajah seorang lelaki yang tidak lagi muda, tetapi juga tidak lagi berbohong pada dirinya sendiri.

Pada suatu sidang, Gendis berhadapan dengan seorang pejabat yang pernah berteman dengan nama-nama lama: Umarmaya, Jayeng, Muninggar. Ia menatapnya, tidak dengan benci, melainkan dengan teliti. “Bapak,” ucapnya, “hukum tidak untuk dipindah-pindahkan seperti pot bunga. Ia harus berada di tempat yang memayungi semua.” Pejabat itu—barangkali sudah lelah dengan suara sendiri—menghela napas, lalu berkata: “Di usia saya, saya mulai lupa cara melihat. Tolong ajari saya.”

Setelah sidang, Gendis berjalan ke trotoar yang baru diperlebar. Pohon-pohon tabebuya sedang tidak berbunga, tetapi bayangnya menawan. Ia mengirim pesan ke nomor yang tak lagi aktif: “Pak Saka, hari ini saya berani. Terima kasih sudah menanam.” Pesan itu tentu tak terkirim, tetapi ia merasa suara semesta menjawab dari bawah tanah dan atas langit: “Yang kita tanam, suatu hari akan memayungi.”

.

Di desa, rumah kayu tua tetap berdiri. Tiang bambu yang dulu menyandarkan punggung Saka semakin mengilap oleh musim. Cucu-cucu tetangga berlarian, bermain petak umpet. Di dinding, sebuah kertas ditempel rapi. Tulisannya singkat:

“Jangan menukar terang dengan bayang. Bayang bisa panjang, tetapi tidak pernah menjadi matahari.”

Di bawahnya ada catatan kecil: “Dari Saka, untuk siapa pun yang memasuki rumah ini.”

Ketika malam mendekat, ketika orang-orang menyalakan lampu teras, langit berwarna biru tua yang seperti meletakkan tangan di kepala kampung. Di halaman itu, seorang anak—bukan Gendis, bukan pula Supomo—berhenti berlari. Ia membaca kalimat di dinding dengan suara keras, lalu tersenyum. Mungkin ia belum paham, mungkin ia hanya menyukai bunyi kalimatnya. Tapi semesta punya kebiasaan: menaruh benih di telinga, untuk kemudian tumbuh di hati pada waktunya.

Pada waktu lain, di kota yang selalu ingin cepat, orang-orang dewasa meneguk kopi, menutup laptop, memesan taksi daring. Mereka bercakap tentang target, tender, tenggat. Di tengah itu semua, ada satu kalimat yang kadang menembus percakapan seperti angin kecil dari pintu yang lupa ditutup: “Jangan menabur duri di jalan orang lain.” Tidak selalu terdengar, tidak selalu ditaati, tetapi ia berputar, mencari tanahnya. Dan di suatu malam, ketika seseorang hampir menekan “kirim” pada sebuah email yang bisa menjerat orang lain tanpa hak, kalimat itu—entah dari dinding kayu tua, entah dari halaman buku tipis, entah dari batin seorang lelaki yang sudah selesai—datang seperti lampu kuning di perempatan.

Orang itu menarik napas. Tidak jadi menekan. Ia bangkit, mematikan layar, dan menatap jendelanya sendiri. Di luar, langit tak jatuh. Tapi ada semacam cahaya yang terasa lebih dekat di dahi. Tiban Langit, mungkin bukan tentang jatuhnya langit, melainkan tentang naiknya kepala—agar kita melihat lebih jernih.

.

“Jangan mempermainkan orang lain jika kamu tak siap diperdaya oleh semesta. Sebab semesta mencatat segalanya, bahkan detak jantung yang menipu,” tulis Saka di halaman terakhirnya. Itu kalimat yang sering disalahpahami sebagai ancaman. Padahal bagi Saka, itu doa: semoga kita selalu diingatkan. Semoga kita selalu menunduk ketika harus menunduk, dan menegakkan punggung ketika harus menegakkan keadilan.

Di stasiun kota, kereta malam lewat. Lampu-lampunya memantul di kaca-kaca toko. Orang-orang pulang, orang-orang pergi. Di bangku panjang, seorang lelaki muda membuka buku Tiban Langit yang dipinjamnya dari perpustakaan. Ia membaca pelan, seperti orang yang pertama kali mengenal rasa pahit kopi dan ingin menghafalnya. Di halaman yang diberi tanda, ada nama-nama yang bagai bayangan kisah lama: Panjer, Umarmaya, Jayeng, Muninggar. Lelaki itu menutup buku, menatap refleksi wajahnya sendiri di jendela. Lalu ia tersenyum kecil, senyum orang yang baru saja diselamatkan dari keputusan yang buruk.

Kereta bergerak. Kota bergeser. Langit diam. Tanah, biarpun tercemar, tetap punya cara untuk menumbuhkan sesuatu yang bisa memayungi. Dalam doa yang tanpa suara, seseorang mengucap: “Terima kasih.” Dan semesta—yang tidak pernah becanda, yang selalu mendidik—mencatatnya, dengan sabar.

.

.

.

Jember, 24 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #UrbanStory #Karma #Antikorupsi #KehidupanKota #KelasMenengah #LiterasiHukum #InspirasiHidup

Leave a Reply