Tembang yang Tak Pernah Usai
“Menjadi pemimpin bukan soal paling jago, tapi soal paling sabar, paling mengerti, dan paling mampu menyalakan terang dalam gelap orang lain.”
.
Rumah yang tak terlihat kamera selalu punya bau: campuran deterjen murah, karbol yang menyengat, dan peluh yang tak diberi nama. Di hotel berlantai sembilan itu, di jantung kota yang sedang giat memoles diri dengan kafe-kafe berlampu kuning dan mural berswafoto, aroma semacam itu seperti latar belakang yang tak pernah mati; ada saat semua lampu promosi padam, saat semua postingan berhenti berdenyut.
Seperti pagi ini, ketika langit abu-abu menggantung serupa kain yang belum kering, Jayeng duduk sendirian di tepi rooftop. Dari sana, atap-atap genteng menapak hingga ke kaki pegunungan, kabut turun perlahan seperti napas orang yang menahan tangis. Dua tahun sudah ia memimpin hotel ini—hotel yang setia disebut orang “cukup nyaman” ketika bintang digital menumpuk dan kata-kata terlalu malas untuk jujur.
Ia menarik napas. Bukan dingin yang merambat, melainkan kalimat-kalimat yang beratnya sepadan dengan tangga darurat: “Jangan lelah menyalakan lampu, meski kau hanya punya korek sisa.” Ia mengulum senyum. Di dalam gedung, hari kerja menyusun langkahnya sendiri.
.
Di front office, Wulan menyembunyikan kelelahan di balik lipstik tipis. Rambutnya digulung seadanya. Malam sebelumnya, seorang tamu datang pukul dua dini hari, minta kamar dengan view paling bagus; laki-laki itu curiga pada semua hal, termasuk senyum. Wulan tak menjawab saat ditanya temannya soal lembur. Ia tahu ada waktu ketika kalimat hanya mengganggu jalan pulang.
Endang tergesa dari lift, sepatu wedges menimbulkan bunyi yang bersih. Ia terlambat. Anak lelakinya demam subuh tadi, dan motor yang biasa ia pacu ke sekolah basah kuyup karena hujan kecil yang malas berhenti. Endang meletakkan tas, merapikan blazer, dan memeriksa jadwal meeting yang dikirim via grup. “Maaf, aku lima belas menit,” katanya pada Wulan, lebih seperti doa daripada penjelasan.
Di basement, di ruang housekeeping yang sempit, Ronggo menyusun linen seperti menyusun nasib: mengikuti lipatan yang diajarkan, menekan sudut, berharap rapi adalah tiket untuk dipercaya. “Kamar dua-tujuh-lima kehabisan sarung bantal,” lapornya lewat HT. “Stok baru belum turun dari laundry.” Suaranya datar—datarnya orang yang sudah terlalu sering kecewa pada hal-hal yang lebih besar dari dirinya.
Wirya di pantry memeriksa daftar belanja. Dia dulu pemain band di kampus; kini ia memegang spatula seperti memegang gitar tanpa panggung. Ia menghitung porsi telur, menimbang roti, dan merencanakan kapan kopi harus diseduh agar aromanya tak keburu jemu. “Sarapan ramai,” katanya pada cook helper. “Yang cepat bukan cuma tangan, tapi juga hati.”
Jayeng turun dari rooftop tanpa suara. Ia mengawali hari dengan berjalan pelan, menyapa satpam di pintu putar, menepuk bahu teknisi yang menyiapkan genset, dan berhenti di meja resepsionis hanya untuk bertanya, “Kau sudah minum air?” Wulan mengangguk. Ada pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, tapi justru membuat seseorang merasa dianggap ada.
Di ruang kecil yang dulu gudang dan kini kantor, laporan menunggu: angka hunian, biaya listrik, komentar tamu yang menyebut sarapan “perlu variasi,” juga satu surel dari kantor pusat yang mengajak “berlari lebih cepat” dengan anggaran promosi “yang masih dalam pertimbangan.” Jayeng menatapnya, lalu menatap kalender meja: ada hari-hari yang merangkak, tetapi tetap sampai.
.
“Pak… saya capek,” suara Ronggo pecah ketika menaruh daftar linen dan keluhan di meja. “Saya kerja, tapi yang naik pangkat orang lain. Saya takut hidup saya akan berulang seperti ayah.”
Ayahnya—penjaga kebun di sebuah hotel yang telah lama berganti nama. Lelaki yang pandai menjaga rapi daun-daun, tapi tidak pernah sempat menjaga mimpinya sendiri.
Jayeng tak menjawab “Pak”-nya. Ia tidak memakai gelar dan tidak butuh dipanggil pangkat. Ia lebih suka namanya menjadi jembatan ke kalimat yang sebenarnya. “Kau sudah sarapan?” tanyanya.
“Belum,” jawab Ronggo, seperti anak kelas tiga yang lupa membawa buku tulis.
“Ayo. Kita makan di kantin,” kata Jayeng. “Nasi goreng di sana kadang terlalu manis, tapi pagi ini aku butuh sesuatu yang membuatku percaya pada akhir yang baik.”
Mereka duduk di kursi plastik, punggung membungkuk ke meja seperti dua orang yang baru selesai bertengkar dengan dunia. Nasi goreng datang; harum, tapi tidak menyombongkan diri. Teh manis mengepul, uapnya seperti gadis remaja yang baru selesai menari.
“Ayahku juga pernah jadi satpam,” ucap Jayeng, menyendok nasi perlahan. “Dia tidak pernah naik jabatan. Tapi dia naik cara memandang. Dia bilang, ‘Kalau kau berdiri di bawah pohon besar, jangan iri sama yang memetik buah; pastikan orang yang kehausan mendapat bayangan.’”
Ronggo menatap jendela, melihat pantulan dirinya—bukan laki-laki yang kalah, melainkan laki-laki yang tersenyum kecil pada luka-lukanya. “Saya takut, Mas. Saya bukan siapa-siapa.”
“Takut itu warisan,” balas Jayeng. “Tapi keberanian juga warisan, kalau kau memilih menurunkannya.”
Ia memindahkan gelas. “Kita mulai dari hal yang bisa diubah. Minggu ini, aku minta kau mentori dua staf baru. Bukan karena kau sempurna, tapi karena kau sudah kenyang salah. Orang yang kenyang salah akan lebih pelan menilai.”
Ronggo mengangguk—pelan sekali, seperti daun yang belajar mempercayai angin.
.
Sore itu, di ruang rapat yang dindingnya ditempeli poster promosi paket akhir pekan, Jayeng memanggil Endang dan Wirya. Ada proyek pelatihan kecil: hospitality dari hal-hal yang bisa disentuh. “Kita latih cara menyapa, cara memandang mata tamu tanpa melukai, cara memegang piring tanpa grogi,” katanya. “Kita latih cara meminta maaf yang tidak terdengar seperti alasan.”
“Kenapa saya?” tanya Endang, masih dengan resah yang belum sempat menepi.
“Karena kau pernah patah, dan orang yang pernah patah tahu cara memegang hati orang lain.”
“Kenapa bukan Ronggo?” tanya Wirya.
“Karena Ronggo sedang belajar menunduk untuk menjadi kuat,” jawab Jayeng. “Dan kalian sedang belajar berdiri untuk berani.”
Malam harinya, staf cleaning terlambat. Lantai lobi licin oleh jejak payung. Tanpa bicara, Jayeng mengambil mop dan mengeringkan satu per satu tapak yang ditinggalkan hujan. Endang melihatnya dari balik front desk, dadanya yang sejak pagi terasa sesak mendadak longgar. Ia ingin menangis, tapi menahan. Ada rasa syukur yang tak perlu saksi.
“Menjadi pemimpin bukan tentang mengatur, tapi tentang jadi orang pertama yang rela membersihkan lantai ketika yang lain jatuh.” Kalimat itu melintas seperti subtitle di layar hatinya.
.
Kota ini—yang para pengusaha menyebutnya “pasar berkembang”—mempunyai kebiasaan unik: ia tidak pernah tidur, hanya menutup mata. Jam sebelas malam, kafe-kafe menurunkan musik, tetapi lampu-lampu apartemen mewah baru menyala. Jalan protokol memantulkan cahaya kendaraan seperti sungai krom. Di kabin kecilnya, supir taksi online melawan kantuk dengan radio dangdut. Di atap, lampu-lampu slank menari pelan bersama angin yang gemar menyimpan rahasia.
Di jam-jam semacam itu, orang sering mendadak merasa tak berguna. Dan di jam-jam semacam itu pula, telepon front office berbunyi.
“Malam, kami minta maaf,” suara Wulan tertahan-tahan. “Ada tamu VVIP datang tanpa reservasi. Kamar belum siap. Restoran penuh. Listrik sempat drop. Semua panik.”
Jayeng sudah di lift sebelum Wulan menutup kalimatnya. Tidak ada strategi yang lebih cepat dari kaki yang bergerak.
Tamu itu datang dengan ekspresi orang yang harus selalu menang. Koper-koper bermerek, langkah kaki panjang, dan mata yang terbiasa memerintah. Ia menatap lobi seperti menatap anak magang yang salah ketik.
“Selamat malam,” sapa Jayeng—tenang, tanpa menunduk berlebihan, tanpa mengangkat dagu. “Saya Jayeng. Terima kasih sudah datang.”
“Ada kamar?” suaranya tidak bertanda tanya; ia lebih mirip hakim yang sudah punya putusan.
“Ada,” jawab Jayeng. “Beri kami delapan menit. Sambil menunggu, kami siapkan minuman hangat dan ruang tenang.”
Di belakang, ia menunjuk tanpa berteriak. Housekeeping bergerak seperti pasukan kecil yang mengerti peta. Wirya menyuruh helper mengiris buah lebih tipis agar cepat habis, bukan agar terlihat mewah. Wulan membenamkan lelahnya, mengganti dengan senyuman yang tidak palsu—bukan karena ia bahagia, tetapi karena ia memilih tidak menambahkan beban.
Listrik berkedip. Genset menyambut. Di sela-sela itu, Jayeng menenteng galon baru ke dispenser restoran. Seorang tamu memotret, mungkin untuk diunggah dengan caption: “Ada manajer yang mau angkat galon?” Ia tak peduli. Orang boleh menukar kerja dengan konten; ia menukar kerja dengan tenang.
Delapan menit lebih tiga puluh detik, kamar jadi. Tamu VVIP itu melangkah masuk tanpa “terima kasih.” Tak apa. Ada kata-kata yang jika dipaksa hadir akan terdengar seperti peluit sumbang.
Besok paginya, di meja kerjanya, ada secarik kertas tanpa nama. Tulisan tangan yang canggung: Pak Jayeng, kami tidak akan pernah bisa membalas, tapi kami belajar dari Anda. Terima kasih sudah memimpin dengan hati.
Ia mengusap kertas itu seperti mengusap kepala anak yang baru selesai lomba menggambar. Dipanaskannya air, diseduhnya kopi, lalu ditatapnya uap yang menulis nama-nama yang ingin ia jaga.
.
Jayeng diberi nama yang panjang oleh ibunya—Jayengrana—tetapi hidup kota membuat nama-nama memilih jalan pendek. Ia merangkum sejarah dalam dua suku kata: “Jai-yeng”, cukup untuk dipanggil orang yang tak punya waktu. Namun pada malam-malam yang sepi, ketika lift berhenti di lantai paling atas tanpa diminta, ia ingat bagaimana ibunya menuturkan kisah seorang yang gagah bukan pada baju besinya, melainkan pada cara ia menelan marah. “Lelaki yang kuat,” kata ibunya, “adalah lelaki yang berani berdamai dengan yang tidak bisa ia menangkan.”
Di dinding kecil kantornya, sebuah tulisan tangan milik Endang tergantung miring:
“Orang besar tak selalu ada di panggung. Kadang mereka berdiri di belakang layar, menyalakan lampu untuk orang lain bersinar.”
Kertas itu ringkih. Perekatnya sering lepas. Tapi selalu ada yang menempel ulang.
.
Pelan-pelan, perubahan menjalar seperti air yang mencari celah. Wulan, yang dulu kaku saat menatap mata tamu, mulai belajar memasang jeda sebelum bicara. “Selamat datang, apa ada yang bisa kami bantu?”—kalimat yang sama, tetapi kini diucapkan seperti mengembalikan seseorang ke tempat ia dianggap.
Endang—yang terbiasa memecahkan target dengan angka—mulai menyelipkan catatan kecil di grup: “Hari ini, satu tamu lansia tertawa ketika kita memanggil namanya dengan benar.” Wirya diam-diam mengubah resep bubur ayam agar lebih bersahabat dengan perut anak kecil, mengganti kaldu instan dengan rebusan tulang. “Mahal?” tanya helper. “Hemat di tempat yang tepat,” jawabnya.
Ronggo, yang dulu kuliah di fakultas kehidupan, memanggil dua staf baru. “Kalian ikut aku,” katanya tanpa gaya. Mereka menyamar sebagai tamu, latihan membuka pintu dengan satu tangan dan hati dengan tangan lainnya. “Kalau kalian pegang sprei,” ujar Ronggo, “ingat, ini nanti menyentuh kulit orang yang lelah. Jangan asal.”
Di grup WhatsApp, seseorang menulis: Kok kayaknya kita terlalu serius untuk hal-hal kecil? Jayeng membalas dengan satu kalimat: “Yang kecil itu justru berani menumpuk tanpa menunggu tepuk tangan.”
.
Sebulan setelah malam VVIP, kantor pusat tiba-tiba ingin membuat video promosi: “Behind the Smile.” Ada vendor kreatif, ada daftar shot list, ada rencana membeli musik latar yang “uplifting.” Mereka ingin merekam tawa, bukan payah. Mereka ingin melihat senyum, bukan kantung mata.
Jayeng mengajukan satu syarat: ruang perawatan pustaka—ruang kecil tempat sprei, handuk, dan bantal estafet—harus ikut diambil. “Di sana, keringat punya bahasa,” katanya. Vendor mengerut: “Kurang instagrammable.”
Sambil menunggu kru, hotel melanjutkan ritme: kamar disiapkan, sarapan digelar, check-in dilayani. Ketika kamera datang, hal-hal yang biasanya lincah menjadi ragu. Wulan yang biasanya luwes tiba-tiba gagap. Endang yang terbiasa menyapa lewat angka jadi kaku memegang clipboard. Wirya memegang sendok lebih lama dari biasa, seolah ada musik yang tak terdengar.
“Tenang,” kata Jayeng, “kita lakukan seperti biasa. Kamera bukan raja, kamera tamu.”
Kru pun merekam. Mereka melihat sesuatu yang perlahan-lahan menghangatkan layar: tangan yang mengelus pelan ujung sprei, jari yang menata sendok tanpa suara, mata yang menatap mata sambil mengembalikan kunci kamar. Mereka tidak menemukan drama; mereka menemukan pola.
Di ruang housekeeping, seorang staf paling pendiam—Anggini—menjahit ujung sarung bantal yang robek. “Kenapa tidak beli baru?” tanya kru. “Karena ini masih bisa jadi bantal tidur yang lembut,” jawabnya. Kamera jatuh cinta pada kejujuran yang ketus.
Sore itu, ketika shooting berakhir, vendor menahan Jayeng. “Narasi apa yang Bapak mau?” tanyanya, masih memanggil “Bapak” pada orang yang tak punya keinginan dipanggil begitu. Jayeng tersenyum. “Narasi yang tidak menyebut nama saya. Narasi yang menyebut nama-nama yang dibisikkan oleh karbol.”
Vendor terdiam, lalu mengangguk. Ada hal-hal yang tidak perlu dijelaskan dengan panjang.
.
Penghujung tahun, asosiasi perhotelan nasional—yang dulu seperti negeri yang jauh—mengumumkan daftar nominasi tahunan. Hotel kecil ini ada di salah satunya: “Best Team Culture.” Orang-orang di kantor pusat kaget, sebagian sinis: “Kalian bayar berapa?” Dunia moden memang pandai curiga sebelum mengucap selamat.
Malam penganugerahan dilaksanakan di hotel bintang lima di ibukota provinsi. Karpet merah, lampu kamera, dan pidato yang bulat-bulat. Tiket undangan datang, satu nama tertera.
Yang terjadi: di hari itu, Wulan minta cuti mendadak karena adiknya di kampung sakit—demam tinggi yang tak mau turun. Tidak ada orang yang bisa mengantar; bus penuh, travel tutup, dan ia takut pulang sendiri. Jayeng melihat undangan, melihat wajah Wulan, lalu mengambil kunci mobil hotel. “Kita ke terminal,” katanya. “Aku antar.”
“Lalu penghargaan?” tanya Endang.
“Penghargaan bisa menunggu. Adik orang tua tidak,” Jayeng menatapnya.
Mobil bergerak sebelum matahari sempurna naik. Jalanan dilalui pelan, bukan karena macet, tapi karena ada orang yang sedang belajar melepaskan rasa bersalah. Di terminal, Wulan menunduk terlalu lama saat mengucap terima kasih. “Kau tidak perlu merasa berutang,” kata Jayeng. “Kau cukup pulang.”
Malamnya, nama hotel kecil itu dipanggil. Orang-orang bersorak. Di panggung, lampu menyala, musik mengiringi, kamera berputar. Yang berjalan menerima piagam bukan Jayeng. Endang berdiri, tangan gemetar. Di mikrofon, ia berkata pelan, nyaris tidak didengar: “Kami tidak besar. Kami belajar berterima kasih pada yang kecil.” Kamera tidak tahu harus fokus ke mana. Tepuk tangan datang tertahan, lalu deras.
Jayeng menutup ponsel di rumah kontrakannya yang sunyi. Ia membuka jendela, membiarkan suara-suara kota bertamu. Dalam cahaya neon yang kehilangan ambisi, ia menyeduh teh dan menatap uapnya yang menari pelan. Ia tidak sedih. Ia hanya berada di tempat yang seharusnya, sebagaimana lampu lorong tahu kapan menyala.
.
“Kita akan membuat program beasiswa kecil,” katanya dalam rapat minggu berikutnya. “Bukan untuk kuliah, kita belum sanggup. Untuk kursus bahasa Inggris dasar, customer care, dan finansial keluarga. Tiga bulan, bergilir.”
“Dananya dari mana?” tanya Wirya.
“Dari kita semua,” jawabnya. “Dari uang lembur yang mau diringankan, dari vendor yang mau menyumbang pelan, dari hotel yang mau menghapus satu kali photo booth untuk pesta akhir tahun.”
“Kenapa semua terasa berat?” gumam seseorang.
“Karena yang bermakna memang selalu menolak untuk ringan,” ujar Jayeng. “Yang ringan, biar jadi udara: kita hirup, lalu lupa.”
Program dimulai kecil. Dua staf mengikuti kursus bahasa di malam hari, mengorbankan jam nonton sinetron yang biasanya bikin lupa diri. Seorang cashier belajar menulis laporan pengeluaran pribadi. “Supaya gajimu tidak lebih cepat dari umurmu,” canda Jayeng. Mereka tertawa—bukan karena lucu, tapi karena lega.
.
Pada hari-hari yang tak berwarna, Jayeng suka menyelinap ke masjid kecil di ujung jalan, atau duduk di bangku halte sambil menghitung bus yang lewat. Ia mengingat nama-nama yang pernah dibacakan ibunya: Umarmaya, Umarmadi, Kelaswara—tokoh-tokoh yang hidup di tembang dan bernafas di tutur. Dalam bayangannya, mereka bukan lagi pahlawan yang gagah; mereka seperti Wulan yang lembur, seperti Endang yang mendua antara rumah dan kantor, seperti Ronggo yang takut jadi ayahnya. Menjadi pahlawan di kota ini, ia menggumam, bukan soal menebas naga. Melainkan soal menahan diri agar tidak menjadi naga.
Di dinding kantor kecilnya, ia tempel satu kalimat baru:
“Kadang kita bertemu orang yang tidak butuh dipimpin, tetapi hanya butuh dimengerti.”
Ia membacanya setiap kali suara HT lebih ribut dari pikiran sendiri.
.
Suatu sore yang terlalu terang, seorang tamu muda—anak konglomerat yang wajahnya bersanding dengan akun-akun gosip—memecah cermin kamar. Ia marah karena room service datang tujuh menit terlambat. “Aku bayar, maka aku berhak,” katanya di koridor, suaranya menampar udara.
Ronggo berdiri di belakang, siap meminta maaf, siap menjadi kambing hitam. Jayeng datang, tidak membawa walkie, tidak membawa manajemen. Ia hanya membawa satu kalimat: “Kami salah. Dan kami ingin memperbaikinya.”
Tamu itu menatap, heran pada orang yang tidak cari alibi. “Kau tidak mau jelaskan kenapa?”
“Kami akan jelaskan kalau itu membuat Anda tenang. Tapi lebih penting dari itu, kami ingin Anda merasa berarti.” Ia berhenti, lalu menyodorkan tawaran paling sederhana: “Maukah Anda berjalan sebentar, menarik napas? Saya akan menemani.”
Anehnya, tamu itu ikut. Mereka bergerak di lorong-lorong yang menelan jejak langkah. Di jendela kecil di ujung, kota menggelap perlahan seperti mata yang bersiap tidur. “Aku… sering diminta sabar saat kecil,” ujar tamu itu mendadak. “Tapi tidak ada yang mengajari caranya.”
Jayeng menepuk punggungnya pelan. “Sabar bukan menunggu tanpa marah. Sabar itu menunda marah agar kita tidak melukai orang yang salah.”
Keesokan harinya, tamu itu check-out. Di meja front office, ia menitipkan satu kartu kecil untuk staf: Terima kasih sudah mengajari sabar tanpa membuatku merasa bodoh. Wulan menyimpannya di laci, seperti menyimpan cuaca baik.
.
Musim berganti. COVID tinggal kabar di arsip, tapi efeknya masih merayap di harga-harga dan rencana-rencana yang tak jadi. Kota terus membangun: mal baru, taman yang lebih rapi, jembatan yang jadi latar foto pernikahan. Di hotel kecil ini, sesuatu yang tidak bisa diunggah pelan-pelan menebal: rasa menjadi rumah.
Seseorang mengutarakan ide membuat “buku tamu staf”—bukan untuk tamu, melainkan untuk karyawan. Isinya catatan kecil tentang hari yang membaik. Hari ini aku minta maaf duluan. Hari ini aku belajar bilang “terima kasih” pada diri sendiri. Hari ini aku gagal, tapi aku tidak menyalahkan siapa-siapa.
Buku itu cepat penuh. Endang, yang menulis paling rapi, menutupnya dengan satu kalimat: “Kita tidak sedang membangun hotel, kita sedang membangun manusia.” Mereka tertawa, malu pada kalimat sendiri yang terdengar terlalu besar, tetapi lalu tenang karena tahu tidak ada yang bercanda.
.
Pada suatu subuh yang jauh di kemudian hari, kota berkabut seperti pertama kali Jayeng duduk di rooftop. Tangan-tangan di hotel sibuk seperti biasa; orang datang, orang pergi. Hanya bedanya, suara orang-orang di dalamnya lebih pelan, bukan karena lemah, melainkan karena sudah tahu kapan harus menutup mulut.
Di meja kerja Jayeng, ada foto kecil: bukan panggung penghargaan, bukan gala dinner. Foto itu menampilkan lobi pada malam hujan—lantainya basah, seorang lelaki mengepel tanpa menoleh kamera. Di pojok foto, ada tangan seorang perempuan yang nyaris tak terlihat, memegang tissue untuk menutup tumpahan kecil. Mereka tidak punya nama di foto, tetapi semua orang di hotel tahu siapa.
Di bawah foto, tulisan tangan yang sama dari berbulan-bulan lalu kini ditemani satu kutipan baru—dibubuhkan oleh Wulan, hurufnya miring:
“Tembang kepemimpinan yang paling merdu bukan yang dinyanyikan di panggung besar, melainkan yang dibisikkan kepada diri sendiri saat tidak ada yang menonton.”
Jayeng menyandarkan punggung. Di luar, matahari belum memutuskan apakah ia akan muncul. Di dalam, lampu-lampu koridor menyala, kecil, setia—seperti orang-orang yang tak pernah masuk kamera, tapi selalu memeluk pekerjaan dengan kedua tangan.
Ia mengingat sesuatu yang dulu ia ucapkan pada Ronggo: keberanian adalah warisan. Hari itu, ia menambahkan: begitu pula kelembutan.
Dan tembang—tembang itu—ternyata memang tak pernah usai. Ia mengalun di antara laci kasir dan panci bubur, di sela bel pintu dan printer struk, di napas yang ditahan dan dikeluarkan pelan. Ia hidup bukan karena dihafal, melainkan karena dijalani.
.
.
Jember, 16 Juli 2025
.
.
#CerpenKompas #SastraUrban #KepemimpinanHumanis #HospitalityID #KotaKita #EmpatiDiKerja #MenakAdaptasi #TembangHarian #CeritaHotel #TeamCulture
.
Quotes sisipan dari tembang hari-hari:
-
“Kita tak selalu bisa mengubah hasil, tapi kita selalu bisa memilih cara—dan cara yang lembut tak pernah salah alamat.”
-
“Yang setia pada kecil, pada akhirnya dipercaya untuk menjaga besar.”
-
“Jadilah lantai yang bersih: tak terlihat, tapi setiap langkah merasa ditopang.”
-
“Ketika lelah menagih pengakuan, istirahatlah di tempat yang namanya ‘cukup.’”
-
“Kita tumbuh bukan saat dipuji, melainkan saat berani memperbaiki tanpa disuruh.”