Tegar: Lelaki Biasa Tapi Tidak Biasa

“Kekuatan sejati bukan tentang seberapa keras kamu bersuara, tetapi seberapa tenang kamu tetap bertahan ketika dunia tak memperhatikanmu.”
— NamakuBrandku

.

Senja jatuh pelan di sela gedung-gedung yang memantulkan warna tembaga. Di lantai dua puluh satu, jendela kantor memantulkan bayangan seorang lelaki yang merapikan meja tanpa membuat suara. Namanya Tegar. Orang-orang hanya melihatnya sebagai operator kreatif di sebuah agensi digital—seseorang yang selalu datang tepat waktu, menutup rapat laptop sebelum pulang, dan sesekali menolong siapa pun yang kesulitan meng-export file di menit terakhir. Tidak ada yang menandai kalender saat ia pulang paling akhir. Tidak ada yang melukis langit oranye hari itu. Tapi Tegar menaruh langit itu di dadanya, diam-diam.

Ia turun ke basement, meraba kantong celana memastikan karcis parkir masih ada, lalu menatap setir tanpa menyalakan mesin. Hening yang gantung. Hari ini berat—bukan karena pekerjaan yang menumpuk, melainkan karena diam merambat sampai ke tulang. Ada rapat yang membuatnya tersenyap, ada kalimat yang membuatnya ingin menghapus namanya dari setiap presentasi.

Di lift tadi, Adipati menepuk bahu. “Deck kita untuk klien kota sudah oke. Besok jam sembilan final ya, Teg.”

Tegar hanya mengangguk. Di layar, sepanjang siang barusan, ia merapikan narasi kampanye untuk “penataan kawasan” yang semua orang tahu artinya: penggusuran. Foto-foto sebelum-sesudah, kata-kata seperti “kota lebih rapi,” “akses ekonomi meningkat,” “relokasi layak”—semuanya bagus di slide. Tetapi di kepala Tegar, terputar wajah-wajah yang ia lihat sepekan ini: pedagang kecil di tepi kali yang senyumnya miring, anak yang melambaikan tangan pada truk pengangkut puing. Ada nama-nama: Wirya si tukang fotokopi, Rukmini yang jualan lontong sayur, Jayeng yang tiap malam menjaga pos ronda. Mereka bukan data. Mereka manusia.

Ia menyalakan mesin. Jalanan mengalir seperti arus yang hafal rumahnya. Di lampu merah, seorang pengemudi ojek online—Umar—mengetuk jendela, menawarkan jas hujan karena awan tampak menggulung. Tegar menggeleng, mengangkat telapak tangan dengan senyum kecil. Umar tertawa, melesat ketika lampu berubah hijau. Hujan turun tiga menit kemudian, persis seperti tawa yang baru menuaikin.

.

Apartemen studio Tegar berada di pinggir jalur MRT, tak jauh dari stasiun yang nama peronnya dihafal anak-anak sekolah. Setiap malam, suara kereta serupa detak jam yang tak bisa dilihat. Ia melepas sepatu, menggantung kemeja, menyalakan lampu gantung yang kuning temaram. Dapur mungil menguar aroma kopi hitam. Ia duduk di kursi dekat jendela, menarik sebuah buku catatan tua dari laci. Sampulnya sudah koyak di sudut. Milik almarhum ayahnya, yang sejak dulu menyelipkan kalimat-kalimat pendek seperti paku kecil yang menahan atap ketika angin datang.

Jangan hidup untuk dipuji orang. Hidup saja. Pujian bukan matahari. Bertahanlah, bahkan ketika tak ada yang bertepuk tangan.

Kalimat itu seperti sumbu. Tegar menatap lama, dan malam pun memanjang.

Ayahnya meninggal dua tahun setelah pandemi, tepat ketika nafasku—begitulah Tegar menyebut ayahnya di kepala—mulai normal. Tunangan pergi menjelang hari pernikahan; alasan yang tertulis hanya, “Kita ingin hal yang berbeda.” Tegar tidak mengejar. Ibunya pindah ke kampung di Jember, ingin dekat dengan kebun kecil warisan kakek, menanam cabai dan melupakan ingatan. Dua adik—Rukmini dan Kadirun—masih kuliah. Biaya hidup bergerak seperti angka di aplikasi e-wallet: naik diam-diam. Tegar pernah dipecat saat pandemi. Pernah melamar puluhan pekerjaan dan ditanya, “Apa Anda bisa bekerja di bawah tekanan?” Ia ingin menjawab, “Tekanan seperti apa? Listrik mati? Tagihan menumpuk? Napas ayah memendek? Saya sudah pernah.” Tapi ia hanya tertawa kecil dan berkata, “Saya terbiasa.”

Orang melihat Tegar seperti baris-baris rapi pada invoice: benar, presisi, tak menuntut. Mereka tidak melihat kaki-kaki yang berdenyut karena berdiri di KRL dua jam. Tidak mendengar dengung motor ojek Subuh yang mengantar brosur klien, atau suara call yang tiba-tiba memanggil pada Sabtu sore—ketika sup ayam baru mengangkat uap di dapur.

.

Besoknya, kantor. Neon putih, gantungan tanda pengenal, botol minum yang sama setiap hari. Siti dari tim riset datang dari lapangan—rambutnya basah oleh gerimis yang belum lelah. Ia meletakkan map lusuh di meja Tegar. “Ini catatan dari bantaran kali. Banyak ibu-ibu yang minta waktu tambahan. Katanya, anak-anak masih ujian. Kalau bisa, jangan minggu ini.”

Tegar membuka map, menatap catatan yang miring. Nama-nama kembali berdatangan: Sumiati, Ranum, Laila. Siti menatapnya, tatapannya jujur seperti hujan yang tidak bisa disuap. “Teg, tolong, kalau bisa kita usulkan timeline yang manusiawi. Data memang data, tapi kita juga kerja untuk orang.”

Ia mengangguk. “Aku coba masukin opsi.”

Siang hari, rapat. Di ruang kaca, Adipati memutar slide. “Narasi inti: masa depan kota. Visual: before-after tegas. PR: kerjasama influencer. Tegar, bagian copy kamu bagus, rapi. Cuma, jangan ada kata ‘tunda’. Klien maunya decisive.”

Tegar menatap layar. Di slide ke-23, ia menyelipkan satu halaman: “Transisi manusiawi: jeda dua minggu untuk keluarga dengan anak ujian.” Font-nya satu poin lebih kecil, seolah berusaha bersembunyi. Adipati menghentikan pointer. Alisnya bergerak sedikit. “Ini… lucu juga, tapi kita lihat dulu.”

Seusai rapat, semua berserak. Tegar mendengar potongan obrolan di koridor.

“Gila, pressing banget timeline-nya.”

“Namanya juga proyek kota. Yang penting KPI.”

“Habis presentasi kita makan mi Aceh yuk?”

Tegar menahan napas. Dunia berjalan dengan pola yang bisa dihafal: rapat, revisi, deadline, unggahan, report. Lalu rapat lagi. Di luar jendela, langit tersapu hujan. Kota seperti menelan ludahnya sendiri.

Sore hari, sebuah direct message masuk ke media sosial agensi. Akun tidak dikenal mengirim video singkat: tenda-tenda biru yang mendadak dilipat oleh petugas. Seorang anak memeluk bantal. Suara orang dewasa memanggil: “Rukmini! Kadirun! Kumpulkan baju!” Nama-nama itu mengiris Tegar dari dalam, seolah semesta sengaja memilih kata-kata yang paling dekat dengan rumahnya.

Ia menutup tab cepat, menahan sesuatu yang naik ke tenggorokan. Tangannya meraih mouse, lalu meletakkannya lagi. Sudut matanya menangkap pantulan wajah sendiri di layar yang gelap: lelaki biasa, bola mata cokelat, rambut pendek yang lupa disisir. Tetapi ada sesuatu di sana—keteguhan yang bukan tempatnya dipamerkan.

.

Malam. KRL dari Sudirman ke Lebak Bulus penuh dengan tubuh-tubuh yang ingin pulang. Tegar berdiri, tangan memegang handgrip. Di sampingnya, seorang perempuan merapikan jilbab yang basah: Siti. Mereka saling menyadari, saling mengangguk. “Capek?” tanya Siti.

“Lumayan.”

“Kalau capek, tidur. Kalau sedih, menulis,” kata Siti, setengah bercanda.

“Kalau marah?”

“Temui manusia lain. Marahmu akan malu.”

Kereta melambat di stasiun. Pintu terbuka. Arus orang mengalir. Mereka turun bersama. Di peron, lampu-lampu panjang menatap mereka seperti mata ikan di pasar malam. Siti mengangkat mapnya. “Besok aku ke lokasi lagi. Kamu mau ikut? Biar lihat sendiri.”

Tegar ragu. Ia agen kata. Ia juru rapi. Ia bukan aktivis. Tapi ada sesuatu yang mengangkat kakinya. “Besok pagi, jam berapa?”

“Subuh.”

“Aku datang.”

.

Pagi belum sempat menamai dirinya ketika mereka tiba di tepi kali. Bau lumpur, aroma mi instan yang direbus cepat, dengung generator kecil. Anak-anak menyikat gigi sambil bercermin di panci. Seorang lelaki—Wirya—memperkenalkan diri sebagai tukang fotokopi yang kiosnya persis di mulut gang. “Mesin saya dibawa ke kontrakan teman. Tapi kertas basah semua,” katanya sambil tertawa pendek, tawa yang terdengar seperti kunci yang tak pas di lubang.

Rukmini—bukan adik Tegar, tetapi seorang penjahit—menunjuk meteran kain yang tersisa. “Mesin jahitnya diangkut duluan, Mas. Katanya nanti ditaruh di gudang. Saya menunggu kabar.” Sementara itu, Jayeng—yang menjaga pos ronda—membetulkan peci, berkata, “Kalau katanya mau ditata, ya monggo. Tapi kasih kami alamat sementara yang dekat sekolah. Anak-anak lagi ujian. Masa pindah sekarang?”

Tegar menyimpan semua kalimat itu di kepalanya seperti memasukkan fragmen kaca ke dalam kantong. Sakit, tetapi perlu. Siti menatapnya, bertanya tanpa suara: Kamu dengar?

Ia mengangguk. “Aku dengar.”

Dan ketika mendengar, sesuatu di dalamnya berpindah tempat.

.

Siang itu, di kantor, Tegar menulis ulang copy presentasi. Tidak heroik, tidak berapi-api. Ia hanya mengganti kata “optimalisasi aset” menjadi “menjaga nafkah yang sudah ada.” Ia menambahkan kalimat pendek, tidak menonjol, tetapi keras kepala: “Progres bukan tentang merapikan peta tanpa menyisakan manusia.” Ia menautkan video singkat (yang sudah ia minta izin) ke lampiran internal only. Lalu ia menyusun empat skenario alternatif—satu di antaranya mengajukan jeda dua minggu dengan dukungan logistik: tenda belajar darurat, wifi portabel, dan kompor bersama. Ia mengukur setiap kata seperti menimbang gula di sendok: jangan terlalu banyak, jangan terlalu sedikit.

Sore, Adipati mampir ke mejanya. “Kamu ubah banyak, ya.”

“Sedikit,” jawab Tegar.

“Sedikit yang panjang,” Adipati menyeringai. “Sudahlah, kita lihat besok. Kamu siap presentasi kalau aku lempar ke kamu?”

Tegar menatap layar, lalu menatap Adipati. “Kalau dilempar ke aku, aku akan bilang kita butuh jeda untuk keluarga yang anaknya ujian. Cuma dua minggu.”

Adipati menghela napas, menimbang antara bawahan yang keras kepala dan klien yang tidak suka kata “tunda”. Akhirnya ia mengangguk. “Kalau situasi mengizinkan.”

.

Malam. Hujan menderas. Tegar pulang, menyeduh kopi hitam, membuka buku catatan ayahnya, tetapi tidak menulis. Ia hanya menatap halaman kosong. Di kaca jendela, refleksi kota bertumpuk—lampu merah, lampu biru, lampu kuning, seperti bintang-bintang yang lupa pulang. Ia mengeluarkan dompet, membuka bagian yang jarang dibuka: ada foto kecil—ayah duduk di kursi plastik, tersenyum. Di balik foto, tulisan tangan yang sudah pudar: “Kalau tidak ada yang memelukmu, peluklah dirimu sendiri. Tanganmu tidak kurang panjang untuk itu.

Tegar tertawa kecil. Tertawa yang membuat tenggorokannya hangat. Ia memeluk dirinya sendiri—kaku, kikuk, tetapi nyata. Lalu ia menulis surat untuk dirinya, seperti yang pernah ia lakukan malam-malam lalu—namun kali ini lebih panjang.

Tegar,
Kalau besok kata-katamu kalah, itu bukan berarti kamu kalah. Kalah bukan tujuan. Kalah adalah ruang hening untuk menata ulang niat. Kamu sudah berjalan sejauh ini, tidak untuk berhenti karena satu pintu tertutup. Ingat, kamu pernah kehabisan ongkos dan tetap sampai. Kamu pernah ditinggal dan tetap sampai. Kamu pernah kehilangan ayah dan tetap sampai. Jadi kalau esok kamu kembali sendiri ke apartemen ini, duduk di bawah lampu kecil, menyeduh kopi pahit—itu berarti kamu masih sampai. Dan itu cukup.

Ia menutup buku. Hujan juga menutup malam.

.

Pagi presentasi. Ruangan dingin, layar besar, pointer merah. Tamu dari pihak kota datang—Wirya yang lain, bukan tukang fotokopi—bersama dua staf. Adipati membuka dengan tenang. Angka-angka, grafik, prediksi engagement. Lalu giliran Tegar tanpa ritual. Ia berdiri, suaranya datar, tidak dramatis.

“Kami percaya kota tak hanya tentang bangunan, tapi tentang orang yang menghidupinya,” katanya. Slide berganti: foto tangan yang menjemur seragam sekolah di tali rafia. “Karena itu, kami mengusulkan fase transisi manusiawi selama dua minggu—khusus keluarga dengan anak yang sedang ujian. Kami siapkan paket komunikasi yang tidak mempermalukan, dan dukungan logistik agar mereka tetap bisa belajar.”

Salah satu tamu menyilangkan tangan. “Dua minggu? Target Pak Pimpinan sudah mepet.”

“Dua minggu adalah investasi reputasi,” jawab Tegar. “Saat kota minta pengertian, kota juga memberi pengertian. Itu akan terekam lebih lama dari gedung-gedung baru.”

Ruangan senyap. Adipati menatapnya, bukan menegur, lebih seperti menakar. Siti, yang duduk di belakang, menatap lantai, lalu sedikit menegakkan punggungnya—gerak tubuh yang kedengaran seperti bisik: lanjutkan.

Tamu lain berdehem. “Baiklah. Kita dibahas lagi internal. Narasi sisanya oke.”

Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada kejatuhan drama. Hanya kalimat netral yang menggantung seperti jam dinding. Rapat selesai. Mereka saling berjabat tangan. Pintu tertutup.

Adipati menaruh pointer di meja, menghela napas. “Kamu tahu risikonya, kan?”

Tegar mengangguk. “Tahu.”

“Dan kamu memilih tetap bilang?”

Tegar mengangguk lagi. “Iya.”

Adipati menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum samar, senyum yang tidak memutuskan. “Oke, kita tunggu kabar mereka.”

.

Di luar, hujan reda. Trotoar memantulkan langit. Siti berjalan di samping Tegar. “Terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Untuk bilang dengan tenang.” Siti menatap jalan. “Kamu tahu, banyak orang baik, tapi jarang yang mau memikul kalimatnya sendiri.”

Tegar tidak menjawab. Mereka berdiri di tepi zebra cross, menunggu lampu pejalan kaki berubah hijau. Di seberang, Umar si ojek berhenti, melambai dengan helm terangkat. “Bang Tegar! Mau kemana?”

“Ke stasiun,” balas Tegar.

“Naik saya aja!”

Tegar menoleh Siti. “Naik ojek?”

Siti tertawa. “Naik hati juga boleh.”

Mereka bertiga tertawa—tawa ringan yang memecahkan sesuatu yang beku.

.

Berita datang dua hari kemudian: fase transisi disetujui, meski bukan dua minggu, melainkan sepuluh hari. Bukan kemenangan. Bukan kekalahan. Hanya jalan yang sedikit diperlebar. Tim kantor merayakannya dengan pesan singkat di group chat: GG, tim!. Adipati menuliskan thumbs up. Siti mengirim foto anak-anak yang belajar di tenda biru dengan tulisan Terima kasih yang goyah.

Tegar membaca semuanya, lalu mematikan ponsel. Ia berdiri di dekat jendela, menatap kereta yang melintas. Di bawah sana, kota tetap riuh. Di atas sini, hatinya tidak meledak. Ia hanya merasa—bagaimana menyebutnya—ringan yang tidak riuh. Seperti seseorang merapikan bantal sebelum tidur.

Malamnya, ia pulang lebih awal dari biasanya. Di warteg langganan, Rukmini—pemiliknya, bukan adik—menyapanya. “Mas Tegar, tambah perkedel?”

“Tiga.”

“Banyak amat.”

“Untuk besok.” Ia tersenyum. “Saya mau ke Jember akhir pekan ini.”

“Jauh amat,” kata Rukmini. “Ada apa?”

“Menengok ibu.”

Rukmini mengangguk-angguk. “Titip salam buat ibu. Bilang dari Rukmini warteg, yang kuah sotonya suka kepedesan.”

Tegar tertawa. “Siap.”

.

Kereta malam ke timur bergerak seperti doa panjang. Di kompartemen, lampu remang-redup. Tegar menatap gelap di luar, bayangan sawah berkelebat seperti kilasan. Ia mengingat kota yang baru ia tinggalkan, bersama semua huruf yang ia susun untuk menahan manusia dari gelombang tergesa. Ia tidak yakin apa-apa akan berubah cepat. Tetapi ia tahu, tenang bukan berarti kalah. Tenang adalah cara menempatkan batu pertama pada pondasi yang tidak akan diberitakan.

Paginya, udara Jember menggambar embun di kaca angkot. Ibu menyambut di teras. Wajahnya keriput seperti peta sungai, tetapi matanya bening. Mereka tidak saling memeluk lama—tidak terbiasa—tetapi tangan mereka saling menepuk punggung, ritme yang cuma dimengerti keluarga.

“Kamu kurusan,” komentar ibu.

“Banyak pikiran,” jawab Tegar sejujur pagi.

“Pikiran diseduh saja, jangan ditelan mentah-mentah,” kata ibu. Kalimat itu terdengar seperti quote di poster, tetapi keluar dari bibir yang setiap hari bicara pada cabai dan tanah.

Di meja, Ibu membuka kaleng biskuit bekas yang kini diisi kertas-kertas lama. “Ini catatan bapakmu. Dia titip kamu untuk kuat dengan cara yang tidak bising.” Ibu mengeluarkan selembar kertas kecil. Tulisan tangan yang mirip garis pantai: tidak lurus, tetapi sampai. “Kau bukan pohon tertinggi, Tegarku. Kau akar yang tak terlihat, tetapi menahan tanah agar tidak longsor.

Ada sesuatu yang patah dan menyatu kembali di dada Tegar. Ia mengangguk, menunduk, lalu tertawa tanpa suara. “Baik, Pak,” katanya pada udara.

.

Kembali ke kota, pekerjaan tidak berkurang. Klien lain menanyakan campaign hari Kemerdekaan, brand kuliner ingin repositioning, proyek pendidikan butuh landing page. Hidup seperti biasanya: brief, deadline, deck. Tetapi setelah hari itu, Tegar punya kebiasaan baru: pada jam paling sunyi, ia menulis satu paragraf untuk orang asing—tanpa menyebut nama, tanpa mengharap balasan—lalu menaruhnya di folder bernama “Surat yang Tidak Dikirim.” Isinya macam-macam: untuk Umar yang tetap ramah meski hujan, untuk Adipati yang belajar mendengar, untuk Siti yang tatapannya menolong kalimat orang lain agar tidak jatuh.

Sebagian malam, ia mengetik satu baris di ponsel, lalu menghapusnya sebelum terkirim:

Tak semua luka butuh pelaku untuk sembuh; kadang kita memegang sendiri perbannya.

Ia tersenyum. Kalimat itu seperti mengantar dirinya pulang.

.

Suatu sore, setelah rapat yang melelahkan, seseorang dari tim berkata lirih, mungkin ingin terdengar kasual padahal serius: “Gue suka kerja bareng lo, Teg. Tenang banget, tapi selalu kelar.”

Ucapan itu kecil, seukuran koin. Tetapi di hati Tegar, suara itu jatuh seperti hujan pertama yang aromanya membuat tanah hidup kembali. Ia tidak menodong dunia untuk mengerti. Ia hanya mengambil yang diberikan: pengakuan kecil. Lalu melanjutkan hidup.

Pada kalender, tidak ada penanda untuk kekuatan yang tidak heboh. Tidak ada panggung untuk ketabahan yang memilih jalan tenang. Tetapi siapa bilang hidup harus selalu disorot?

Ada lelaki—biasa, tapi tidak biasa—yang setiap hari bangun, membuat kopi, naik KRL, menulis kata, menyusun kalimat, memindahkan batu. Ada lelaki yang mengantongi foto ayahnya di dompet dan kalimat-kalimat seperti obor kecil di malam yang panjang. Ada lelaki yang tidak pernah menulis status tentang sabarnya, tidak pernah mengunggah reels tentang lukanya, tetapi selalu menyisihkan sedikit uang untuk dikirim ke kampung, membayar kuliah adik-adik, dan sesekali membeli jas hujan lebih untuk pengemudi yang ia temui di perempatan.

Kalau kau mencarinya, kau jarang menemukannya di panggung. Ia lebih sering berdiri di pinggir, memastikan kabel-kabel rapi, slide tidak salah font, dan pintu tertutup pelan agar tidak mengejutkan siapa pun yang sedang berpikir. Namanya Tegar. Ia memutuskan hari ini untuk tetap tinggal ketika orang lain pergi. Ia menolak sinis ketika sinis adalah mata uang paling laku. Ia menunda marah agar marah tidak menunda kebaikan.

Dan malam-malam, di bawah lampu kuning yang membuat ruangan terasa lebih ramah, ia berbisik pada dirinya sendiri:

Aku masih di sini. Aku belum selesai. Dan itu sudah cukup hebat.

Tak ada ending besar. Tidak ada kembang api. Hanya ada kota yang terus bergerak, suara kereta yang datang dan pergi, dan seorang lelaki yang—meski tidak diingat siapa-siapa—mengikat hari-harinya dengan benang tenang. Benang yang, tanpa suara, menahan banyak hal agar tidak putus.

.

.

.

Jember 5 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

.

#Tegar #LelakiBiasaTapiTidakBiasa #KisahKota #Keteguhan #Empati #KompasMingguStyle #NamakuBrandku #CerpenIndonesia

Leave a Reply