Sepiring Harapan Setangkup Kehidupan
“Kadang-kadang, yang menyelamatkan kita bukanlah sepiring nasi, melainkan cara seseorang menaruhnya di tangan kita—tanpa syarat, tanpa pamrih.”
.
Pagi di Surabaya datang seperti pintu kaca yang dibuka dari dalam: ada suara rem sepeda, ada pedagang sayur memanggil namanya sendiri, ada anak-anak menyeberang sambil berlari kecil. Di Jl. Ngagel Madya, bekas gedung radio yang lama diam seperti memori yang disimpan di laci terdalam, sebuah tenda putih berdiri di sisi trotoar. Di bawahnya, meja-meja lipat, panci-panci besar, dan wajah-wajah yang belum sepenuhnya lepas dari sisa kantuk.
Aku—orang-orang memanggilku Rangga—menarik napas pelan. Uap tipis dari nasi baru matang merayap seperti doa yang tidak berani lantang. Di hadapanku, Maya memeriksa daftar belanjaan di ponselnya, sementara Juna merapikan garis antrean dengan tali kecil berwarna oranye. Rengganis datang membawa termos air minum dan senyum yang tidak pernah gagal menghangatkan siapa pun yang kebetulan memandang.
“Seratus lima puluh porsi,” kata Maya. “Standar, ya? Nasi, tumis sayur, ayam suwir, sambal sedikit, dan teh manis.”
Aku mengangguk. Di kepala, angka-angka berderap seperti pasukan kecil: berapa rupiah minyak goreng, berapa banyak tempe sepotong, berapa menit yang tersisa sebelum jam sebelas. Kami menyebut hari ini—seperti semua hari kerja yang lain—Makan Gratis. Tidak ada nama organisasi yang dielu-elukan di terpal, tidak ada spanduk besar, hanya tulisan kecil di papan: “Silakan ambil. Santai saja.”
Program itu berawal dari sebuah obrolan di angkringan, di malam yang menetes pelan di bibir gelas kopi. Waktu itu, Saka—teman kami yang selalu merasa dunia bisa dibetulkan dengan sekrup dan kesabaran—berkata, “Kalau lapar itu bunyinya halus, kita sering tak mendengar.” Sejak itu, kami belajar memasang telinga lain: telinga untuk bunyi perut yang malu, untuk napas orang yang menahan rasa pusing karena belum makan, untuk langkah-langkah yang melambat di siang hari yang panjang.
.
Di tenda, panci sayur bayam siap. Ada potongan labu kuning yang berdenyut kuning terang. Maya menaruh label kecil: “Sayur: rendah garam, tinggi sayang.” Ia tertawa pada kelucuannya sendiri. Aku membalas dengan senyum. Di ujung, Rengganis mengambil tisu, menata sendok, menanyakan kabar pada langit Surabaya yang belum terlalu panas.
Jam sebelas kurang sepuluh menit, orang-orang mulai datang. Seorang driver ojol menepikan motornya. Seorang satpam dari ruko seberang yang matanya selalu letih. Dua pekerja bangunan yang bajunya serbuk semen. Seorang nenek bertubuh kecil yang memegang tas kain. Dan anak laki-laki dengan kaki telanjang, bertopi lusuh, yang datang sendirian.
“Selamat siang,” sapaku. “Silakan antre. Nanti dapat nasi, lauk, sayur, minum. Gratis.”
Anak itu—ia kelak memperkenalkan diri sebagai Ari—mengangguk tanpa suara. Ada sesuatu dalam matanya: cekung, tapi ada nyala yang kecil. Kelak aku tahu, nyala itu berasal dari seorang ibu yang menyetrika pakaian tetangga di gang sempit, dan ayah yang entah bekerja di mana, yang pulang seperti kalender yang terlepas dari paku.
Kami membagi porsi satu per satu, dengan sendok yang suaranya ringan terhadap piring kertas. Kami menjaga porsi sama rata; kami tidak ingin ada yang merasa lebih sedikit dari yang lain. Di belakang, Juna mencatat angka pada papan tulis kecil, seperti menghitung denyut nadi tenda ini. Sebelas lewat lima: dua puluh porsi. Sebelas lewat dua belas: tiga puluh lima. Sebelas lewat dua puluh delapan: lima puluh.
Di sela-sela itu, Maya menghampiri seorang perempuan muda yang menahan tangis. “Gak apa-apa,” katanya pelan. “Makan dulu. Sisanya nanti gampang.” Perempuan itu Dara, kasir minimarket yang semalam dimarahi pelanggan karena kode promo yang macet. “Saya cuma… capek.” Ia menunduk. Maya menyodorkan teh hangat. “Teh manis itu surat singkat dari tubuh untuk hati,” katanya, entah kepada siapa.
Ada juga Bima, anak magang bengkel yang selalu minta sambal lebih. “Biar semangat,” katanya. Juna melotot pura-pura. “Sambal tidak mengubah nasibmu kalau kamu masih telat datang magang.” Bima tertawa. Tenda kami, dengan segala kesederhanaannya, adalah tempat orang-orang memberi alasan untuk tersenyum sebentar.
.
Tapi tidak semua hari kemurahan hati terasa ringan. Suatu Selasa, pemasok beras kami telat datang; truknya kena razia karena dokumen yang tidak lengkap. Kami panik. Di dapur kecil milik Bu Narsa—perempuan yang mengajar kami membedakan bau minyak bersih dan minyak capek—kami berdiri melingkar. “Kita punya apa?” tanyaku.
“Mi kering, tempe, telur,” jawab Bu Narsa.
“Bisa jadi mi goreng tempe telur,” sahut Maya.
“Air minum cukup?” tanya Juna.
“Cukup, tapi kita butuh waktu.”
Waktu. Di jam seperti ini, waktu selalu sukar. Dalam dua jam, ratusan perut akan mengetuk. Setelah setengah jam debat kecil yang jujur dan agak panik, kami memutuskan: menu berubah. Mi goreng tempe telur, jumlah disesuaikan, tambah irisan kol dan wortel agar tetap ada sayur. Kami tidak ingin mengalah pada keterbatasan, tapi kami juga tahu, kalah dan mengalah itu beda.
Kami bekerja lebih cepat dari biasanya. Keringat terasa asin, tangan kami terasa seperti waktu yang ditipiskan. Ketika jam sepuluh lewat lima puluh kami selesai, ada rasa lega yang terlalu letih untuk bersorak. Di tenda, antrean sudah rapi. Juna mengangkat jempol. “Ini baru pasukan darurat.”
Waktu bagi kami adalah pisau yang tajam. Di hari lain, hujan datang seperti seseorang yang mengetuk pintu tanpa menunggu jawaban. Tenda menetes di dua titik. Kami memindahkan meja, mengganti kardus, menaruh panci di kursi supaya tak kena cipratan. Orang-orang tetap datang. Nenek kecil itu—yang kelak kami tahu namanya Sari—berkata, “Hujan itu cuma air. Laparku lebih bernama.”
Di hari lain, seorang donatur yang selama ini diam-diam membayar sebagian biaya minyak goreng tiba-tiba menghilang. Nomornya tidak bisa dihubungi. Kami duduk di bawah neon bengkel dekat tenda, menghitung ulang. Saka menggaruk kepala. “Kita tidak berhak marah. Dunia tidak berutang pada rencana kita.” Maya menatapku. “Tapi kita juga tidak harus menyerah.” Besoknya, Rengganis membuat tulisan pendek di media sosial: “Jika rezekimu ingin bergerak, mari kita berikan jalan.” Ada beberapa yang menyahut. Seorang pengusaha toko plastik memberi diskon besar untuk wadah makanan. Seorang mahasiswa desain grafis menawarkan poster digital gratis. Seorang ibu pembuat kue basah mengirim dua baki nagasari. Kami belajar lagi: kebaikan punya cara sendiri untuk pulang.
.
Menjelang bulan ketujuh, kami mulai mencatat lebih rapi. Kami mulai menghitung kalori kasar di setiap lauk, menimbang ulang porsi sayur. Kami mulai membagi peran: Juna mengatur logistika, Maya mengelola komunikasi, aku mengurus dana, Saka mengerjakan dapur dan transportasi. Kami menyambung program ini ke kegiatan lain: cek gula darah sederhana bekerja sama dengan klinik kecil di gang, pemeriksaan mata oleh mahasiswa tingkat akhir yang meminjam alat dari kampus, pembagian vitamin hasil patungan dua karyawan toko obat. Di pinggir jalan, di bawah tenda putih, kota seperti tercecer rumah sakit kecil dengan stetes harapan.
Orang-orang yang dulu datang sekadar untuk makan kini kembali dengan cara lain. Bima yang dulu meminta sambal lebih kini membawa dua botol air galon sekali seminggu. Dara yang dulu menangis kini menjadi relawan yang paling rajin mengingatkan kami tentang cuci tangan. “Kebersihan itu bukan hanya soal memegang sendok yang benar,” katanya. “Itu juga cara kita memegang martabat orang lain.” Ari, anak bertopi lusuh itu, kini datang dengan adiknya, Alya, yang belajar menyusun piring kertas tanpa menyobeknya. “Biar aku bantu,” katanya, matanya sudah tidak terlalu cekung. Kami mengajari mereka cara mengantre, cara mengucapkan terima kasih, cara tidak perlu malu menerima bantuan.
Di sebuah siang yang sangat terang, Sari—nenek bertubuh kecil—datang lebih awal. Ia membawa tiga batang daun pandan yang harum. “Buat besok, kalau mau masak nasi uduk,” katanya. Aku terkekeh. “Nenek, nasi uduk itu kerja besar.” Ia menatap lurus. “Hidup ini juga.” Kalimat itu tinggal dan menetap, seperti doa yang jatuh di ubun-ubun.
.
Tapi kota tidak selalu menjadi panggung untuk kemenangan kecil. Suatu Jumat, seorang pria muda datang dengan langkah yang terlalu cepat. Bajunya basah oleh keringat, matanya gelisah. “Boleh nambah?” tanyanya dengan suara terlalu rendah. “Saya harus bawa buat adik, dia di rumah.” Juna menatapku. Aturan kami sederhana: satu porsi satu orang. Kami menjaga itu agar cukup untuk semua. Tapi di hadapan kami, ada kebutuhan yang berbentuk manusia.
Aku mengajak pria itu menepi. “Siapa namamu?”
“Kusuma.”
“Adikmu sakit?”
“Dia belajar. Kami… ya… kami lagi kenceng.” Ia menurunkan pandangan, kata-katanya seperti batu kecil di mulut.
Aku menatap antrean. Masih panjang. Persediaan menipis. “Ambillah dua porsi,” kataku pelan. “Tapi kamu bantu saya. Setelah ini, tolong antar lima porsi ke gang belakang. Ada dua lansia yang tak kuat jalan dan satu ibu hamil. Saya tulis alamatnya.” Kusuma menatapku, kali ini matanya penuh air. “Saya… saya bisa.”
Dia kembali dengan langkah yang berubah. Tangan yang menerima kini belajar menjadi tangan yang mengantar. Hari itu, aku memahami: aturan dibuat untuk keadilan, dan keadilan lahir dari kebijaksanaan yang tajam namun lembut.
.
Kabar tentang tenda kami menyebar. Bukan karena poster, bukan karena siaran radio, tapi karena cerita yang saling mengait, seperti sapu lidi yang kuat justru karena dikumpulkan. Seorang guru SD datang bersama tiga muridnya. Ia ingin menunjukkan bagaimana rasa terima kasih bisa juga dipelajari di luar buku pelajaran. Seorang pak ogah dari perempatan dekat situ berkali-kali membantu kami mengatur motor. Seorang petugas kebersihan mengajarkan kami cara melipat kantong sampah agar tidak mudah robek. Kota, lewat tenda ini, memperkenalkan dirinya satu per satu, tanpa make-up, tanpa naskah.
Suatu sore, saat matahari sudah condong dan kami tinggal menutup panci, Ari mendekat. Ia berdiri agak jauh, kemudian mengulurkan sesuatu. Sebuah kelereng dengan serat hijau di dalamnya, mengilap di matahari. “Buat Kakak,” katanya. “Biar Kakak selalu ingat warna sayur.” Aku tertawa, lalu terdiam. Kelereng itu kecil sekali di tanganku, tetapi beratnya seperti memindahkan kompas di dadaku. Ada hadiah-hadiah yang tak bisa ditolak, bukan karena harganya, melainkan karena niat yang menuntun.
Malamnya, saat kami debrief di grup pesan singkat, Maya mengirim foto jepretan kamera ponselnya: tanganku menggenggam kelereng hijau. “Judulnya?” tanya Juna.
Maya mengetik, “Sepiring Kota, Setangkup Harapan.”
Saka mengirim emoji api. Aku mengirim titik tiga kali. Ada hal-hal yang tidak perlu diperlama kata-katanya.
.
Di bulan ke delapan, kami mulai bermimpi lebih berisik. Kami ingin menambah titik distribusi di dekat terminal. Kami ingin 100.000 porsi dalam setahun, bukan untuk mengejar angka, melainkan untuk memperluas lingkar orang-orang yang merasa diingat. Kami bertemu kelurahan, mengurus izin. Kami belajar bahasa formulir yang kaku, bahasa anggaran yang dingin, bahasa kerja gotong-royong yang—anehnya—hangat. Ada hari ketika semuanya tampak berjalan di tempat; ada pegawai yang memintal kami ke ruangan lain, ada tanda tangan yang harus diulang karena salah tanggal. “Kesabaran adalah lauk yang tak pernah basi,” kata Bu Narsa. Kami menertawakan kalimat itu sambil memotong bawang merah.
Di sela-sela kesibukan itu, muncul pertanyaan yang memukul dari dalam: “Sampai kapan?” Saka menanyakannya di malam paling diam. Aku tak segera punya jawaban. “Selama lapar belum bisa tuntas menjadi bab terakhir,” kataku akhirnya. “Selama kota masih punya pintu yang tertutup dari dalam.” Saka mengangguk. “Berarti lama.”
“Berarti lama,” sahutku, kali ini dengan napas panjang.
.
Titik balik itu datang bukan sebagai guntur. Ia datang sebagai kabar pendek: Ari mendapat beasiswa makan siang dari sekolahnya—program baru, katanya, hasil kerja sama sekolah dengan puskesmas dan karang taruna. Aku membaca pesannya berulang kali. Dunia yang kecil di tenda kami seperti tiba-tiba mendapat cermin yang lebih besar. Lain hari, Dara mengabari melalui pesan suara kalau ia diterima kerja sebagai kasir di toko yang lebih besar, dengan jam kerja lebih manusiawi. “Aku belajar cara bicara sama orang dari tenda ini,” katanya. “Belajar mengatur napas sebelum mengucapkan maaf.”
Lalu ada Sari. Ia tidak lagi datang. Bukan karena lupa. Rengganis menemukan kabar, ia pulang ke kampungnya di Jember, tinggal bersama keponakannya. “Kalau kamu ke sana, singgah,” pesan terakhirnya pada Maya, tertulis di kertas kecil berbau pandan. Di ujung tulisan, ia menggambar daun kecil.
Walau begitu, duka tetap punya kursinya sendiri. Di suatu sore, seorang bapak ambruk di ujung tenda. Kami panik. Gula darahnya turun drastis. Seorang mahasiswa yang sedang praktik membantu. Kami mengangkatkan kaki bapak itu, memberi air manis. Ia selamat. Tetapi malam itu, sepulang debrief, aku menangis di kamar mandi rumah kontrakanku yang dindingnya memerangkap suara. Bukan karena takut—meski memang ada takut—melainkan karena persis di situ, aku merasa betapa rapuhnya kami. Dan betapa semestinya tenda seperti ini ada lebih banyak: tidak tergantung pada rangkaian nama di grup WhatsApp, tapi menjadi kebijakan yang diandalkan, menjadi yang normal ketimbang yang luar biasa.
Aku menulis kalimat panjang di buku catatan:
“Yang kita lakukan mungkin hanya setetes. Tapi jika hujan pernah membuat kota tenggelam, maka setetes juga, jika sabar, bisa menjadi sungai.”
.
Di penghujung tahun, tenda kami menjadi semacam alamat. Petugas kebersihan kota mengatur rute mereka agar tidak menumpuk di jam pembagian. Pak RT sesekali datang, sekadar berdiri dan bertanya, “Apa yang bisa saya bantu?” Di timeline media sosial kami, ada orang-orang yang sebelumnya tak pernah mampir kini meninggalkan komentar: “Terima kasih sudah mengingat kota kami.” Poster digital karya mahasiswa desain itu menyebar; bukan untuk mengundang pujian, melainkan untuk mengundang partisipasi.
Kami membuat monitoring sederhana: papan tulis berisi tanggal, jumlah porsi, menu, catatan singkat. Ada hari dengan catatan “ramai, hujan.” Ada yang ditulis “tenang, minyak habis.” Ada juga yang ditulis “banyak senyum.” Papan itu memantulkan sesuatu yang lebih dari angka; ia memantulkan denyut.
Suatu siang, seorang anak perempuan—Alya—menempelkan stiker kecil di sudut papan: gambar sepatu kecil yang dikelilingi bintang. “Biar papan ini punya langit,” katanya. Kami tertawa. Dan di tertawa itu, kami merasa tidak sendiri.
.
Lalu datang undangan: sebuah forum kecil di balai kelurahan, topiknya kolaborasi sosial. Kami hadir bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai tetangga yang ingin berbagi cara. Aku diminta bicara lima menit. Ruangan itu wangi cat baru dan kopi sachet. Orang-orang duduk saling menyamping, ada yang menatap layar ponsel, ada yang mencatat rapi.
Aku memulai:
“Assalamu’alaikum. Selamat siang. Salam sejahtera. Nama saya Rangga. Saya tidak membawa cerita besar. Yang kami lakukan hanya memindahkan sedikit kehormatan ke tangan-tangan yang sedang lelah.”
Aku bercerita tentang tenda, tentang hujan yang menetes di dua titik, tentang truk beras yang telat, tentang nasi uduk yang menjadi kerja besar seperti hidup itu sendiri. Tentang aturan yang dilunakkan oleh kebijaksanaan, tentang satu porsi yang berubah menjadi lima ketika Kusuma datang dengan gelisahnya. Tentang daun pandan Sari, tentang kelereng hijau Ari. Tentang angka yang memang penting—seratus tiga puluh hingga seratus lima puluh—tetapi lebih penting dari itu adalah nama-nama yang datang: bukan sebagai penerima, melainkan sebagai manusia.
Di akhir, aku berkata, “Kami selalu membuka dua sisi panci ini: satu sisi untuk kenyang, satu sisi untuk dihargai. Kalau dua sisi itu bertemu, kota menjadi tempat pulang.”
Ruangan hening sekejap, lalu tepuk tangan tumbuh dari satu sudut ke sudut lain. Setelah itu, bukan dana yang langsung datang, melainkan orang-orang: pengurus karang taruna menawarkan titik di dekat lapangan, UKM katering menawarkan rotasi dapur, posyandu menawarkan jadwal cek berat badan balita yang bisa disandingkan. Aku pulang malam itu dengan kelereng hijau di saku celana, terasa menggelinding pelan setiap aku menuruni trotoar.
.
Malam-malam tertentu, aku terjaga dan mendengar kota menguap. Aku memikirkan skala: bagaimana tenda kecil di Ngagel bisa tumbuh menjadi peta yang bersinar di beberapa titik, seperti rasi bintang yang bisa menuntun seseorang pulang. Lalu aku ingat kalimat Bu Narsa: “Kesabaran adalah lauk yang tak pernah basi.” Aku tersenyum. Mungkin tugas kita bukan menjadikan tenda ini berita utama, tetapi membiarkannya bekerja—tepat waktu, konsisten, jujur pada keterbatasan, tetap kreatif di sela-sela.
Esoknya, matahari datang lagi, membawa debu kecil yang menari di udara. Kami membentangkan tenda. Kami menyapa. Kami mencatat. Kami merapikan lagi tali oranye. Ari datang lebih dulu, menyeret tas sekolah. “Kak,” katanya, “hari ini aku ujian. Doakan ya.”
“Kamu yang doakan kami,” sahutku. “Supaya kami tetap kuat mengaduk sayur.”
Ia tertawa, menepuk-nepuk meja seperti drummer yang sedang gugup. Lalu ia pergi dengan sepotong ayam suwir yang tidak terlalu pedas, sesuai permintaannya.
Jam sebelas tepat, panci-panci kembali berbicara. Kota kembali menyuapkan dirinya pada warganya, lewat tangan-tangan yang biasa saja. Dan biasa itu, jika dilakukan dengan hormat, bisa terasa seperti cahaya.
.
Sore itu, ketika matahari menggelinding turun seperti kelereng oranye di tepi gedung, aku menulis di papan kecil di sudut tenda—sekadar catatan untuk kami sendiri:
“Dari niat kecil menjadi manfaat besar. Dari satu porsi menjadi satu pelukan. Dari lapar menjadi jalan pulang.”
Maya menambahkan: “Kalau esok tak mudah, kita tetap datang.”
Juna menggambar sendok dan hati.
Saka, yang jarang menulis, menambahkan satu kata: “Terus.”
Kami pulang saat langit mulai berwarna ungu. Di jalan, aku melewati lampu merah yang panjang. Di seberang, ada laki-laki menjual balon karakter. Angin menepuk-nepuk pinggiranku. Di saku, kelereng hijau itu masih ada. Kubayangkan suatu hari, ketika tenda tak lagi perlu berdiri karena kota sudah hafal cara saling menyuapi dengan martabat. Tapi sampai hari itu datang, kami tahu tempat kami: di antara panci, sendok, nasi hangat, dan nama-nama yang kami sebut satu-satu.
Sebab di dunia yang sering menyeragamkan, kami memilih menyamakan rasa tanpa menghapuskan nama. Dan di kota yang sering terburu-buru, kami belajar mengunyah perlahan—supaya harapan benar-benar sempat dirasakan sebelum ditelan.
.
Keesokan harinya, jam sebelas kurang sepuluh, antrean sudah terbentuk. Di ujung, Ari melambai. “Kak, aku bawa sesuatu,” katanya. Ia mengeluarkan dua lembar kertas: satu berisi gambar tenda putih dengan tulisan kecil “Silakan ambil. Santai saja.”, satu lagi adalah nilai ujiannya. Di bawahnya, ada tanda tangan gurunya.
“Ini hadiah, Kak,” katanya. “Biar tenda kita punya langit yang lebih luas.”
Aku terdiam. Maya meraih gambar itu, menempelkannya di papan monitoring. Di sudut, stiker sepatu kecil milik Alya tetap mengilap. Rengganis menaruh daun pandan di dekat panci nasi. Juna mengetuk sendok ke bibir panci dua kali, tanda bahwa pembagian dimulai.
Di luar tenda, Surabaya melanjutkan kesibukannya. Di dalam tenda, kami melanjutkan cara kami mencintai.
Dan tiba-tiba, segalanya terasa cukup.
.
.
.
Jember, 1 Oktober 2025
.
.
#MakanGratis #Surabaya #WeServe #SolidaritasKota #Relawan #Harapan #KetahananPangan #CerpenIndonesia #UrbanStory #Kemanusiaan