Senandung yang Tak Pernah Usai
“Beberapa cinta tidak lahir dari genggaman. Ia tumbuh dalam doa dan diam. Ia hidup sebagai roh yang tak pernah lelah menunggu.”
.
Langit Magelang Setelah Hujan
Magelang basah oleh gerimis sore. Kabut tipis menggantung di perbukitan, memeluk pelan tanah-tanah sunyi di sekitar Bukit Rhema, di mana siluet Gereja Ayam berdiri seperti mimpi yang belum selesai. Suara serangga sore berdesir lirih, seirama napas hutan yang baru selesai berdoa.
Duduk di bangku kayu ujung sayap gereja, seorang pria berusia enam puluh-an bernama Rayya Ardanta memejamkan mata. Napasnya tenang, tetapi pelupuk sesekali bergetar oleh gelombang kenangan. Ia menunggu senja, seperti yang ia lakukan tiap bulan Juli. Tapi yang ia tunggu bukanlah matahari.
Yang ia tunggu adalah bayangan seorang perempuan yang dulu mencintainya dengan tenang: Galasih Laradira.
.
Rayya dan Galasih: Nama-nama yang Diciptakan Takdir
Rayya artinya aroma—wangi kehidupan yang tenang. Ardanta adalah kesungguhan yang membara namun tidak mencolok. Nama itu seperti dirinya: laki-laki bersahaja yang tidak melawan arus, hanya menerima dan merawat yang datang. Di Jakarta, ia pernah menjadi arsitek yang merancang hotel, galeri, dan rumah-rumah kaca yang menyimpan senja. Proyeknya di Kemang dikenal karena koridor panjang dengan jendela-jendela yang membuat cahaya siang jatuh lembut seperti garam halus di atas meja kayu.
Galasih Laradira, namanya seindah puisi tua. “Galasih” ialah lautan kasih; “Laradira” berasal dari lara dan dira—kesedihan dan jiwa. Sejak kecil, Galasih dilahirkan dalam kesedihan yang ia jinakkan. Bukan dengan melawan, melainkan dengan menerangi. Ia seorang kurator di Yogyakarta, mengelola ruang seni kecil di Prawirodirjan, menyandingkan foto-foto hitam putih dengan gerabah sederhana. “Karya yang baik seperti sayur bening,” selorohnya suatu hari. “Sederhana, namun menyehatkan rasa.”
Mereka bertemu dalam sesi meditasi lintas iman di Bukit Rhema, belasan tahun silam. Bukan saling pandang yang membuat mereka jatuh cinta, melainkan saling diam. Di antara napas yang diserut pelan dan doa yang tak menyebut nama, mereka saling mengenali seperti dua nada yang menyadari ritme yang sama.
.
Cinta yang Tak Butuh Suara
Mereka tidak pernah pacaran. Tidak pernah memeluk. Bahkan tidak pernah bersentuhan tangan. Namun semua orang yang bersinggungan dengan hidup mereka tahu: setiap langkah Rayya dan Galasih saling terarah.
Suatu sore, di bibir sayap gereja yang dipahat seolah hendak terbang, Galasih menatap hamparan ladang. “Kalau nanti aku tiada,” katanya, “kamu duduk di sini. Aku akan menjadi suara angin yang menyentuh tengkukmu.”
Rayya tersenyum tipis. “Bila kau angin, aku daun,” balasnya. “Kita tetap bicara meski tak terlihat.”
Galasih mengidap satu penyakit yang pelan-pelan mencuri keberanian tubuhnya. Ia tahu waktunya terbatas, tapi menolak dikasihani. “Jangan jadikan aku proyek amal,” katanya. “Cukuplah jadikan aku tempatmu belajar melepaskan.”
Maka ia memilih pergi perlahan—dengan tenang dan tanpa perpisahan dramatis.
.
Apartemen Senyap di Jakarta
Di Jakarta, Rayya tinggal di apartemen yang memandang lingkar Cawang seperti garis hidup yang tak berhenti. Malam-malam ia bekerja di meja panjang, memahat maket kota dalam miniatur: taman kecil di sela beton, jalur sepeda yang tidak hanya lelucon, ruang komunal tempat orang menukar salad dengan cerita dan kopi dengan pelukan. Ia menamai proyek impiannya “Senandung Kota”.
Di rak buku, ada kamera film warisan dari ayahnya. Di sampingnya, sebuah kotak kayu berukir bunga melati, milik Galasih—dititipkan sebelum perempuan itu menghilang dari pertemuan-pertemuan kecil mereka. Rayya tidak pernah berani membukanya. Ia takut pada yang belum selesai.
Malam tertentu, kota seperti terlalu terang hingga tak lagi tampak. Dari balkon, Rayya memandang garis tol yang memantulkan cahaya lampu. “Hidup seperti ini,” gumamnya, “berjalan cepat agar luka tak menyusul.” Ia tersenyum getir. Luka, nyatanya, selalu punya cara menemukan alamat.
.
Surat-surat yang Tak Pernah Dikirim
Beberapa bulan setelah pemakaman sederhana—yang tanpa karangan bunga, hanya daun-daun yang jatuh dan angin yang mengucap amin—Rayya memberanikan diri membuka kotak kayu itu. Di dalamnya, sepuluh surat terikat pita biru. Kertasnya wangi, seolah hutan menyusup ke dalam huruf-huruf.
Ia tidak langsung membacanya. Ia menyimpannya bertahun-tahun, seperti menyimpan wangi yang tak ingin lekas hilang. Namun pada suatu musim kemarau, saat sinar mentari membakar perlahan dinding batu Bukit Rhema, ia mendengar musik dari ponsel peziarah muda—lagu lawas yang dulu mereka bisikkan di sela meditasi: “Kirimkan Aku Padamu.” Bukan kebetulan, pikirnya. Mungkin ini cara semesta mengetuk.
Malam itu, di kamar apartemen, ia membuka surat pertama.
“Rayya, aku tahu kamu tidak suka kehilangan. Tapi ketahuilah, aku tidak pernah benar-benar pergi. Aku hanya pindah rumah—dari tubuh ke udara.”
“Terima kasih sudah tidak pernah memaksaku bicara. Kamu membaca hatiku bahkan saat aku diam.”
Kata-kata itu seperti kabut: dingin, tapi tidak bisa ditolak. Rayya menangis. Diam-diam. Dalam.
.
Kota dan Orang-orang yang Menunggu
Pagi berikutnya, ia naik Kereta Taksaka ke Yogyakarta. Ia ingin menapaki kembali jejak yang sempat ia tinggalkan demi kerja dan keterbiasaan. Di sepanjang rel, padi mengangguk seperti jamaah yang sepakat pada doa yang sama. Di stasiun Tugu, ia menolak taksi daring dan memilih berjalan. Persimpangan kecil, penjual bubur sumsum di pojok gang, seorang anak meniup balon sabun—semua terasa seperti rumah.
Ia mendatangi ruang seni yang dulu dikelola Galasih. Di dinding, terpasang foto-foto Magelang selepas hujan: sepatu basah, payung ditutup tergesa, wajah perempuan paruh baya yang menyeka pipi sambil tertawa—kebahagiaan yang tak perlu alasan. Pengelola baru ruang itu, seorang pemuda bernama Wirasaba, menyambutnya. “Mbak Galasih selalu bilang,” ujar Wirasaba, “ruang ini untuk orang-orang yang tak tahu hendak menangis di mana.”
Rayya mengangguk. Di meja resepsionis, ada buku tamu. Di halaman pertama, tulisan tangan Galasih:
“Seni adalah cara menata ulang rasa sakit agar bisa dititipkan pada keindahan.”
.
Nama-nama dari Hikayat
Hubungan Rayya dan Galasih seperti cerita lama yang menyelinap di kota. Mereka menyukai kisah-kisah Menak dan Panji, memungut nama-nama yang lembut: Asmara, Kirana, Anggraeni, Wiraraja, Tole. Mereka tidak memakai gelar, sebab mereka percaya cinta tak butuh pangkat. “Nama adalah doa,” kata Galasih. “Tapi doa bisa kita ubah menjadi perbuatan.”
Dalam perjalanan pulang, Rayya mampir ke Surabaya, memenuhi janji makan siang bersama kawan lama, Asmara—seorang desainer yang gemar mengarsip aroma kota. “Kau masih rajin ke bukit itu?” tanya Asmara.
“Setiap Juli.”
Asmara menatap cermin kafe yang memantulkan lalu lintas Basuki Rahmat. “Kau bukan satu-satunya yang menunggu. Kota pun kerap menunggu kita menjadi manusia.”
.
Anak yang Membawa Angin
Di Magelang, saat kembali ke Bukit Rhema, Rayya bertemu seorang anak laki-laki bernama Tole yang suka berlarian membawa kincir angin. Tole tinggal bersama ibunya yang berjualan rengginang di kaki bukit. “Kincir ini meniru angin,” kata Tole, “supaya kita tidak lupa bahwa sesuatu bisa bergerak tanpa terlihat.”
Rayya mengadopsi kalimat itu untuk proyek “Senandung Kota”-nya. Ia mengajukan ide tempat sunyi di tengah kota—“Kamar Hening”, ruang kecil di taman publik untuk siapa saja yang ingin menata napas. Pemerintah kota awalnya ragu. “Kota butuh acara, bukan hening,” kata seorang pejabat.
Rayya tidak mendebat. Ia menyiapkan presentasi yang penuh data: tingkat stres pekerja kota, korelasi ruang sunyi dan produktivitas, kisah-kisah taman kecil di Tokyo dan Copenhagen yang menurunkan angka konflik lingkungan. Ketika presentasi selesai, ruangan senyap. Lalu seseorang bertepuk tangan: Kirana, pengusaha buku dan kawan lama Galasih, yang kebetulan menjadi donatur salah satu program ruang publik. “Mari kita mulai satu kamar,” ujarnya. “Biar kota belajar bernapas.”
.
Surat Kedua: Melanjutkan Hari
Di apartemen Jakarta, malam yang lain, Rayya membuka surat kedua.
“Bila esok kamu bangun sebelum matahari, izinkan tubuhmu ke dapur. Masaklah air, dengarkan bunyinya.”
“Kita sering lupa: air yang bernyanyi sebelum mendidih adalah tanda semua akan baik-baik saja.”
Rayya menatap teko di rak dapurnya. Ia belum pernah memerhatikan bahwa sunyi memiliki suara. Semenjak itu ia bangun lebih pagi, menyeduh teh melati, membiarkan air mengajari ketenangan. Di sela denging ketel, ia membaca ulang sketsa “Kamar Hening”. Di catatan pinggir, ia menulis: “Hening bukan pelarian; hening adalah pelabuhan.”
.
Pelabuhan Hati
Kabar “Kamar Hening” menyebar di media sosial. Orang-orang kota yang terbiasa rapat maraton dan pesan yang selalu terdiri dari dua tanda seru! mendadak ingin mampir. Seorang barista bernama Wiraraja mengusulkan menyediakan kopi tubruk gratis tiap Senin pagi. “Aroma kopi bisa jadi jembatan,” katanya. “Dari kepala ke dada.”
Di pembukaan kamar pertama di taman Menteng, seorang ibu muda duduk di bangku, memeluk tasnya erat-erat lalu menangis tanpa suara. Seorang kakek bercerita tentang istrinya yang lupa pulang. Seorang mahasiswa menulis kalimat yang membuat orang asing di sebelahnya mengangguk: “Aku menaruh marah di sini agar tidak kubawa pulang.”
Rayya berdiri agak jauh, memandang tanpa mengatur. Ia ingat surat ketiga yang baru saja ia baca malam sebelumnya.
“Cinta bukan tentang memiliki, Rayya. Cinta adalah keberanian untuk menjadi rumah yang tidak memaksa siapa pun tinggal.”
.
Kabar dari Prawirodirjan
Suatu siang di Yogyakarta, pameran untuk mengenang Galasih dibuka. Kuratornya Anggraeni—sepupu Galasih—yang sejak dulu mengagumi cara Galasih menata benda-benda dengan sabar. Ruang itu dipenuhi foto-foto tangga, jendela, dan kursi kosong. “Kursi kosong adalah pengingat,” tulis Anggraeni di katalog. “Bahwa yang kita cintai tak pernah benar-benar hilang; ia berubah menjadi tempat.”
Rayya duduk di sudut, membaca katalog itu pelan. Di bawah meja resepsionis, ia menemukan sebuah amplop kecil bertulis tangan: Untuk Rayya. Di dalamnya, ada potongan peta kertas dengan lingkaran tinta: Sayap Doa. Di belakang peta, dua kalimat:
“Jangan hanya menunggu, Rayya. Temani.”
“Jaga agar kehilangan tidak merasa sendirian.”
.
Sayap Doa Galasih
Maka lahirlah sudut kecil di Bukit Rhema bernama “Sayap Doa Galasih.” Siapa pun boleh duduk, menulis surat untuk seseorang yang tak bisa lagi ditemui—orang tua, kekasih, sahabat, bahkan diri sendiri yang pernah tersesat. Ada kotak surat dari kayu jati. Setiap akhir bulan, surat-surat itu tidak dibakar, tidak pula dipamerkan; mereka dibiarkan berada, menjadi museum sunyi yang hanya didatangi angin.
Tole menjadi relawan kecil, meminjamkan kincirnya untuk menghibur anak-anak. Wirasaba sesekali datang membawa gitar. Kirana mengirim buku tulis bergaris dengan sampul warna daun teh. Orang-orang datang, duduk, menulis, dan pergi. Namun ada yang tinggal: rasa lega yang tak perlu diceritakan.
Rayya duduk sebagai penjaga yang tak menyebut diri penjaga. Di sebelahnya, kursi kosong yang selalu terasa penuh. Kadang-kadang, saat angin lewat, bulu kuduknya merinding seperti seseorang menyapa. “Aku ada di sini,” bisik angin. “Aku tidak pernah lelah menunggu.”
.
Surat Keempat hingga Kesembilan: Menjahit Hari
Ia membaca surat-surat berikutnya tidak berurutan—seperti menonton film yang adegannya kita pilih sendiri. Ada surat yang berisi resep sup bayam bening. Ada yang berisi peta kecil kios es potong favorit mereka di Kotabaru. Ada yang hanya berisi satu kalimat: “Jangan memaafkan terlalu cepat, tapi jangan menunda memeluk.”
Dalam surat keenam, Galasih menulis tentang Waktu:
“Waktu itu kain, Rayya. Kita boleh mengguntingnya untuk dijahit menjadi pakaian yang pas. Jangan biarkan orang lain memilih gunting untukmu.”
Dalam surat kedelapan, ada daftar tempat sunyi di kota besar: mushola di lantai parkir, tangga darurat di gedung bioskop, bangku dekat taman pembibitan. “Pergilah ke sana saat dunia berisik,” tulisnya, “dan titipkan kepenatanmu pada titik-titik yang tak membutuhkan pengakuan.”
Surat kesembilan hanya menyimpan selembar foto polaroid: bayangan dua orang pada dinding, yang satu menggandeng bayangan yang lain tanpa menyentuh. Di belakang foto, kalimat yang memantul lama di kepala Rayya:
“Kita memang tidak pernah saling memiliki. Tapi aku tahu, dalam hidupmu, aku adalah kata yang tak pernah kamu hapus.”
.
Surat Kesepuluh
Ia menunda-nunda surat terakhir, seperti menunda malam ketika tahu besok akan ada keberangkatan. Sampai suatu malam, mimpinya memanggil. Ia berada di padang rumput luas; di depan, Galasih duduk membelakangi, rambutnya tertiup pelan.
“Kenapa kamu belum membaca surat terakhir?” tanya Galasih, tanpa menoleh.
“Karena aku takut tak lagi mendengarmu setelah itu,” jawab Rayya.
Galasih tersenyum; ia tidak perlu menoleh agar senyumnya terang. “Justru setelah surat terakhir, kamu akan benar-benar mendengarku. Aku tak lagi di luar dirimu. Aku ada dalam setiap hembusan napasmu.”
Rayya terbangun dengan air mata yang tidak membuatnya lemah. Ia membuka surat itu di meja kerjanya, ditemani denging ketel yang menyiapkan air untuk teh.
“Rayya, jangan hanya hidup di masa lalu. Cinta kita bukan untuk diratapi, melainkan untuk diwariskan.”
“Bukit Rhema bukan tempat perpisahan, melainkan pelabuhan. Jadikan ia tempat orang-orang menambat lelah, lalu kembali pulang dengan dada yang lebih lapang.”
“Temani mereka yang kehilangan. Ajari kota untuk bernapas. Bila kau ragu, dengarkan air.”
Ia menutup surat, mengusap wajah, dan tersenyum. Di luar jendela, Jakarta belum tidur; tapi di dalam dadanya, satu kota kecil baru saja menyala—kota yang memiliki kamar-kamar hening, bangku-bangku kosong yang tak lagi menakutkan, dan ruang doa yang tidak menghakimi.
.
Kota yang Belajar Bernapas
“Kamar Hening” pertama di Menteng menumbuhkan yang kedua di Surabaya, dekat Taman Bungkul. Lalu menyusul di Bandung, Semarang, Denpasar. Orang-orang menamai ruangan itu dengan nama mereka sendiri: “Pondok Diam”, “Ruang Tarik Napas”, “Pelukan Udara”. Para pekerja kantoran datang sebelum jam rapat. Para siswa mampir selepas sekolah. Para ibu menyusui duduk dengan tenang sambil mendengar air menari di dispenser.
Di sebuah kota pelabuhan, seorang pelaut menulis di kertas kecil: “Aku memaafkan gelombang.” Di kota lain, seorang sopir taksi menulis: “Aku memaafkan diriku yang cepat marah.” Kata-kata sederhana, tetapi seperti kunci yang membuka pintu yang selama ini terkunci dari dalam.
Rayya terkadang diundang bicara di forum urban. Ia tidak mengangkat nada, tidak memamerkan gelar, tidak membawa maket besar. Ia hanya membawa ketel kecil. Di panggung, ia menyalakan kompor portabel, menunggu air bergelora. Lalu ia berkata, “Dengar.” Ruangan akan diam. Air bernyanyi. Dan orang-orang kota, untuk sesaat, menjadi alami kembali.
.
Angin yang Memikul Nama
Suatu Juli, di Bukit Rhema, angin memikul wangi pandan dari dapur kecil di bawah bukit. Tole yang kini remaja membawa serta kincir barunya; warnanya biru laut. Ia duduk di sebelah Rayya. “Pak,” katanya tanpa gelisah, “apakah kelak saya akan lupa pada kincir ini?”
“Boleh lupa pada benda,” jawab Rayya, “asal ingat pada gerak yang ia ajarkan.”
“Gerak yang tak terlihat?”
Rayya mengangguk. “Seperti doa yang tak bersuara.”
Dari kejauhan, barisan pohon menunduk. Matahari tergelincir. Seekor burung memotong langit, dan dalam potongan itu, Rayya merasa ada sesuatu yang tak lagi mengganggu; ada yang telah kembali pada tempatnya.
Ia menoleh pada kursi kosong di sampingnya. “Aku baik-baik saja,” katanya pelan. “Tapi aku tetap merindumu.”
Angin menjawab dengan cara yang selalu sama: merindingkan bulu di tengkuknya, mengirim sehelai daun jatuh tepat di pangkuannya. Daun itu bundar, pinggirnya gerigi. Ia menyelipkannya di dalam surat kesepuluh, menutup kotak kayu, lalu berdiri.
“Galasih,” bisiknya, “aku pulang ke kota. Masih ada orang-orang yang harus kuajak bernapas.”
Ia melangkah menuruni bukit, dan senja mengikutinya seperti sahabat yang sabar.
.
Senandung yang Tak Pernah Usai
Beberapa bulan kemudian, di sebuah taman kota, seorang perempuan muda berhenti di depan “Kamar Hening”. Ia baru saja kehilangan yang tidak bisa ia namai. Di meja kecil, ia menemukan pulpen dan kertas. Tangannya gemetar, tetapi ia menulis juga:
“Terima kasih sudah tidak memaksaku kuat hari ini.”
“Aku akan belajar bernapas besok.”
Ketika ia menaruh kertas di kotak kayu, seorang lelaki tua dengan rambut perak melewatinya. Lelaki itu tersenyum singkat—senyum yang mengakui duka tanpa mengorek luka. Perempuan itu membalas, lalu menatap ketel kecil di sudut ruangan. Suara air meletup halus.
“Airnya bernyanyi,” gumamnya.
“Ya,” kata lelaki itu. “Itulah lagu paling jujur di kota.”
Di luar, lalu-lintas bergerak. Di dalam, dada yang tadi berat berubah sedikit ringan. Benar kata seseorang yang pernah ia baca kutipannya di tembok ruang seni: “Seni adalah cara menata ulang rasa sakit agar bisa dititipkan pada keindahan.” Ia tidak tahu siapa yang menulisnya. Tetapi ia percaya, ada sekumpulan orang yang merawat kota agar manusia tidak lupa menjadi manusia.
Dan di antara semua yang bergerak dan tak terlihat, senandung itu terus berlangsung—tak pernah usai.
.
.
.
Jember, 19 Juli 2025
.
.
#SenandungYangTakPernahUsai #CintaDiam #RuangHening #Magelang #GerejaAyam #UrbanIndonesia #CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #JeffreyWibisonoV #KisahEmosional
.
Kutipan Relate
-
“Beberapa cinta tidak lahir dari genggaman. Ia tumbuh dalam doa dan diam. Ia hidup sebagai roh yang tak pernah lelah menunggu.”
-
“Hening bukan pelarian; hening adalah pelabuhan.”
-
“Kita memang tidak pernah saling memiliki. Tapi aku tahu, dalam hidupmu, aku adalah kata yang tak pernah kamu hapus.”