Saat Bahumu Jadi Tempat Pulang
“Ada orang yang datang bukan untuk mengubah nasibmu, melainkan menenangkan napasmu. Ia duduk tak jauh darimu, mendengar tanpa menggurui, dan kau tiba-tiba ingat: pulang bukanlah alamat; pulang adalah bahu yang mengerti gelombangmu.”
.
Kaca Yang Disapu Hujan
Jakarta, pukul 20.43. Lampu-lampu Kemang memantul di aspal basah seperti serpih bintang yang jatuh ke jalan. Di kafe bernuansa kayu tua, musik jazz mengalun pelan dari speaker yang sesekali berderit—seakan jarum piringan hitam tergelincir ke masa lalu. Di sudut, Wiramenggala menatap kopi hitamnya yang tinggal setengah dan sudah kehilangan uap. Ponsel ia letakkan terbalik—bukan untuk memberi jeda pada dunia, melainkan untuk menyelamatkan dirinya dari ambruk oleh kabar-kabar yang tak ia minta.
Ibunya wafat dua bulan lalu. Sesudahnya, retakan berderet seperti rambut pada kaca depan mobil—mulai kecil, menjalar tanpa sapa, lalu tiba-tiba semuanya pecah. Sekartaji—yang biasa ia panggil Sekar—pergi dengan tatapan yang tidak marah, tetapi letih. Lima tahun habis, canggung mencari simpul, dan Wiramenggala hanya punya sunyi yang bising di dalam kepala.
Di kaca jendela, hujan menggores garis-garis tipis, menggambar peta yang tak menunjukkan rumah mana pun. Itulah saat pintu kafe berdering dan seorang perempuan masuk: ranselnya lusuh, sweater abu-abu, rambut sebahu digeraikan karena gerimis menolak ditertibkan payung. Ia memesan teh panas, memilih meja yang menghadap jendela, dan berdiam lama, seperti menunggu sesuatu yang bukan manusia.
Wiramenggala tidak ingin bicara. Ia hanya ingin hadir—bersama seseorang yang mengerti bahwa diam pun punya diksi.
Ia memanggil pelayan. “Mas, tolong satu kopi lagi. Untuk Mbak di sana.”
Pelayan mengangguk. Ketika kopi datang ke meja perempuan itu, ia menoleh, tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat.
“Terima kasih untuk kopinya,” suaranya lembut, seperti tisu yang mengusap lensa. “Boleh saya duduk di sini?”
“Silakan,” jawab Wiramenggala. “Saya Wiramenggala.”
“Rengganis,” katanya, menjabat tangan tanpa canggung.
Di antara mereka, hening memanjang. Musik mengisi ruang-ruang yang kata tak mampu jangkau.
“Kadang, diam itu cukup, ya?” Rengganis menatap hujan, bukan dirinya.
Wiramenggala mengangguk. Lalu, bagai pintu geser yang menemukan rel, kalimat-kalimatnya bergerak. Ia bercerita: tentang ibunya, kesalahpahaman soal warisan dengan adiknya, tentang Sekar yang memilih selamat untuk dirinya sendiri, tentang pagi-pagi yang terasa seperti menyeberangi jalan ramai tanpa lampu merah.
Rengganis mendengar—tanpa saran, tanpa mata iba, tanpa janji memperbaiki apa pun. Ada tatapan teduh yang seperti mengatakan: “Lanjutkan. Aku di sini.”
Malam itu, bukan kopi yang menghangatkannya. Kehadiranlah yang menyalakan kompor kecil di balik dadanya.
.
Kota Yang Selalu Berangkat
Esoknya, Jakarta berangkat lebih cepat daripada jam dinding. Wiramenggala masuk kantor di SCBD dengan langkah yang masih mencari nada. Pekerjaannya di konsultan komunikasi mengharuskannya rapi, tangkas, dan tampak selalu siap. Namun rapat berdurasi sejam sering kali terasa seperti memindahkan batu menggunakan sendok teh.
Di meja kerjanya, ia menyalakan komputer, menghela napas, dan membuka dokumen presentasi: “Rejuvenasi Brand untuk Klien F&B: Klana Group.” Nama itu menggelitik ingatan. Klana—dalam cerita Panji—adalah batas antara hasrat dan penyamaran, tokoh yang kerap dilabeli antagonis tapi sejatinya tak sederhana. Di Jakarta hari ini, Klana adalah jejaring restoran milik Pragalba, seorang pengusaha yang percaya bahwa menggoreng isu lebih cepat mengundang tamu daripada menggoreng tempe.
Wiramenggala seharusnya lihai memintal narasi. Hanya saja, sejak ibunya pergi, setiap kalimat terasa seperti menggulung benang kusut dengan ujung yang tak ketemu. Di sela kebingungan, sebuah chat masuk.
Rengganis: “Kalau sempat, mampir Gramedia Grand Indonesia jam 7? Aku lagi cari buku peta lama. Indah sekali kalau peta bukan untuk menunjuk jalan pulang.”
Ia membaca dua kali. Peta yang bukan untuk pulang? Aneh. Menggoda.
Pukul 19.04, di lorong buku yang sunyi, mereka bertemu lagi, seperti tak pernah berjanji tetapi diatur oleh jam yang sama. Rengganis memegang atlas tua bergambar Jawa-Madura—garis-garis pantai seperti benang yang ditarik jarum.
“Kau suka peta?” tanya Wiramenggala.
“Aku suka kemungkinan. Peta memberitahuku ada jalan yang belum kucoba. Kadang, pulang perlu memutar.”
Malam itu mereka berjalan sampai halaman mall. Jakarta seperti panggung yang lampunya tak pernah 100% padam. Rengganis bercerita, bukan tentang dirinya, melainkan tentang hal-hal kecil yang membuatnya betah: penjual klepon di pojok Taman Suropati, tukang ketik tua di Pasar Baru, aroma kertas tua yang mengajari sabar.
“Kenapa kau bertahan di kota seberisik ini?” tanya Wiramenggala.
“Karena di kota berisik, luka lebih mudah larut,” jawabnya. “Di desa, sepi terlalu jujur.”
Jawaban itu meresap seperti teh ke gula. Manisnya datang belakangan, setelah panasnya turun.
.
Nama-Nama Dari Hikayat
Sabtu siang, Rengganis mengajak Wiramenggala ke sebuah pameran arsip fotografi di Museum Nasional. Katalog menyebut kuratornya: Anggraeni Puspita. Di dinding, foto-foto kota sejak era trem listrik: orang-orang berjalan dalam setelan jas putih, perempuan-perempuan dengan payung kain, anak-anak berlari mengejar bayangan kereta. Ada satu foto bertuliskan “Pasar Baru, 1938”—seorang tukang potret memegang papan nama: Studio Panji.
“Panji itu nama yang selalu kembali,” gumam Rengganis. “Dalam kisah Menak, ia menyamar, mencari Sekartaji, bertarung dengan dirinya sendiri. Di kota, kita juga begitu: menyamar jadi profesional, menyamar jadi bahagia, menyamar jadi lupa.”
Wiramenggala menatap fotonya lama. Ia seperti melihat dirinya berdiri di pinggir bingkai: rapi, tepat, namun batinnya selalu condong ke luar gambar.
Mereka keluar ke halaman museum yang masih basah sisa hujan. Rengganis membeli dua es mambo di gerobak. “Kau pasti jarang makan ini,” katanya. “Kelas menengah atas lebih sering memesan gelato rasa single origin. Padahal es mambo rasa sirup merah juga bisa menenangkan.”
Wiramenggala tertawa pertama kali setelah sekian lama. Ia merasa lucu, tapi juga malu, karena menyadari betapa banyaknya hal sederhana yang ia singkirkan demi citra yang ia kira penting.
“Kenapa kau baik padaku?” tanya Wiramenggala, lebih pada dirinya sendiri.
“Aku pernah diselamatkan oleh seseorang yang duduk dan mendengariku. Namanya Jagapati—teman lama dari komunitas baca. Ia bilang, ‘Kalau kau tak kuat berdiri, pinjam dulu bahuku. Nanti kalau sudah bisa berjalan, kembalikan dengan meminjamkan bahumu ke orang lain.’ Sejak itu, aku latihan meminjamkan bahu.”
Wiramenggala diam. Ada sesuatu yang masuk ke dadanya tanpa mengetuk: haru yang tidak memaksa. Ia ingin memeluk kata-kata itu, menaruhnya di saku celana, dan membawanya ke mana-mana.
.
Cara-Cara Kecil Untuk Tetap Manusia
Pelan-pelan, hidupnya bergerak. Ia tak lagi menyentuh ponsel saat bangun—kebiasaan yang ia ubah setelah Rengganis berkata, “Jangan biarkan tanganmu mendahului nafasmu.” Ia kembali menulis di catatan digital—bukan untuk publikasi, melainkan untuk membasuh kepalanya. Setiap malam ada tiga kalimat: satu tentang hal yang membuatnya tersenyum, satu tentang hal yang ia syukuri, satu tentang hal yang bisa ia perbaiki besok.
Ia mendatangi kembali adiknya, Panoleh, yang sejak kematian ibu lebih sering bicara melalui pengacara. Di meja makan kecil, di antara semangkuk sayur asem dan ayam goreng, mereka mengurai benang kusut yang menjerat. Bukan perkara aset semata, melainkan rasa tidak dilihat: Panoleh merasa dianggap anak bungsu yang selalu terakhir, sementara Wiramenggala merasa tertimpa semua tanggung jawab. Mereka menangis—dua lelaki di usia tiga puluh yang baru belajar menyebut “maaf” dengan cara dewasa.
“Ma,” kata Wiramenggala pada foto di rak buku malam itu, “kami berusaha, Ma. Maaf baru tiba setelah hujan—tapi tetap tiba.”
Di kantor, ia mengubah strategi presentasi untuk Klana Group. Alih-alih kampanye sensasional yang memancing klik, ia menawarkan program beasiswa kuliner untuk anak-anak SMK di pinggiran kota, kelas nutrisi gratis untuk ibu-ibu di rusun, dan kolaborasi dengan UMKM bumbu. “Reputasi,” katanya pada Pragalba di ruang rapat, “bukan soal bunyi, melainkan gema. Kita perlu perbuatan yang menggaung lama setelah kampanye bubar.”
Pragalba menatapnya, bibirnya miring—setengah skeptis, setengah tertarik. “Kau yakin itu menguntungkan?”
“Komunitas yang merasa dilibatkan tidak sekadar beli; mereka membela.” Suaranya tenang, bukan karena berani, melainkan karena ia akhirnya berdiri di wilayah yang ia percaya.
Pragalba mengangguk, pelan. “Coba.”
Wiramenggala keluar dari ruang rapat dengan langkah yang berbeda. Jiwa profesionalnya—yang lama bersembunyi di balik target dan tagihan—seperti menemukan punggungnya sendiri.
.
Bahu Yang Menjadi Alamat
Kedekatan dengan Rengganis tetap seperti jalur bus antarkota: jadwalnya tak tertulis, tapi pasti lewat. Mereka kadang bertemu di taman kota, menatap anjing-anjing yang berlarian; kadang di toko buku, bertukar rekomendasi novel; kadang di warung tenda, berbagi sambal yang terlalu pedas untuk dikatakan sopan.
Suatu malam, mereka duduk di bangku panjang di tepi Kali Krukut yang mulai dibersihkan. Lampu-lampu seusai hujan memantulkan kota yang baru mandi. Rengganis meletakkan kepala di punggung bangku, menatap langit.
“Kalau kau diundang kembali ke masa lalu, kau mau?” tanya Rengganis.
“Untuk apa?”
“Untuk mengucapkan sesuatu yang dulu kau tahan.”
Wiramenggala berpikir. “Mungkin aku ingin mengatakan pada diriku sendiri: ‘Bolehkah kau lelah tanpa merasa bersalah?’ Lalu aku akan duduk, menunggu diriku selesai menangis. Sesederhana itu.”
“Indah,” kata Rengganis. “Kau akhirnya tidak ingin mengganti masa lalu, hanya ingin memberi ruang.”
Malam itu, Wiramenggala menggenggam gelas plastik berisi cokelat panas yang sudah dingin, dan menyadari betapa banyak hal bertahan bukan karena sempurna, melainkan karena diberi tempat untuk tidak sempurna.
Di perjalanan pulang, ia mendapat pesan dari Sekar. Singkat: “Aku dengar ibumu meninggal, maaf aku tidak sempat datang. Semoga kau baik.” Ia menatap layar lama, lalu menjawab dengan tenang: “Terima kasih. Aku belajar baik.” Ia tidak menambahkan apa pun, tidak membukakan pintu pada percakapan lama. Bukan karena benci, melainkan karena ia telah memaafkan dan memutuskan tidak kembali.
.
Surat Yang Tidak Dikirim
Beberapa minggu kemudian, Rengganis mengajak Wiramenggala ke Pasar Mayestik. “Kita cari kain,” katanya. “Aku ingin belajar menjahit sederhana. Ibu pernah bilang, ‘Kalau kau bisa memperbaiki sobek kecil, kau tak perlu sering membeli yang baru.’”
Di tengah gulungan kain, di antara penjual yang memanggil-manggil pelanggan, Rengganis memilih katun bergaris biru. “Ini untuk rok,” ujarnya. “Biar langkahku terlihat teratur, meski jarakku tidak selalu lurus.”
Mereka makan siang di warung soto yang uapnya menari. Rengganis mengambil buku catatan kecil, menulis sesuatu sebentar, lalu menutupnya. Wiramenggala melirik.
“Aku suka menulis surat yang tidak kukirim,” kata Rengganis. “Kadang berat di hati hengkang begitu saja saat kalimat menemukan pintunya.”
“Kau menulis pada siapa?”
“Pada diriku yang lupa. Pada orang tua yang sudah jauh. Pada orang-orang yang tidak sempat kudengarkan ketika mereka sebenarnya memanggil. Dan pada yang datang sebentar tapi mengubah cara aku duduk di bangku.”
Wiramenggala tersenyum. “Apa ada surat untukku?”
Rengganis menggeleng, pipinya semburat. “Tidak. Untukmu cukup bahu.”
Mereka tertawa, canggung dan hangat. Ada sesuatu yang tidak perlu diucapkan karena sudah lebih dulu dimengerti oleh tubuh.
.
Kota Yang Mengajari Pulang
Program Klana Group berjalan. Kelas nutrisi di rusun ramai, anak-anak SMK mencatat resep sambil sesekali memotret, dan UMKM bumbu mendapat ruang di menu restoran. Pragalba—yang mulanya ragu—mendapati bahwa kebaikan, jika dikelola dengan benar, adalah strategi bisnis yang paling murah promosi tapi paling mahal ditinggalkan.
Dalam satu sesi, seorang ibu bercerita tentang anaknya yang susah makan sayur. Seorang chef dari Klana mengajari membuat sup bayam dengan telur orak-arik dan bawang putih goreng. Anak itu, yang dibawa ibunya ke kelas, menelan sendok pertama dengan hati-hati, lalu mengangguk. Momen itu sederhana, tetapi bagi Wiramenggala terasa seperti membubuhkan tanda tangan di sebuah perjanjian yang sudah lama ingin ia setujui: bahwa pekerjaannya boleh jadi alat untuk membuat hidup orang lain sedikit lebih ringan.
Di rumah, ia menata ulang kamar ibunya. Bukan untuk menghapus jejak, melainkan merawatnya. Ia menyimpan baju-baju yang masih harum sabun, membagikan sebagian kepada tetangga yang membutuhkan, menaruh foto keluarga di dinding. Di bawah bingkai, ia menempelkan selembar kertas bertuliskan: “Kita tidak melupakan dengan membuang. Kita mengingat dengan merapikan.”
Ia mengirim foto kamar itu ke Panoleh. Adiknya membalas dengan emoji yang biasanya ia hindari karena malu: wajah menitikkan air mata. “Makasih, Mas,” tulis Panoleh. “Aku datang malam Minggu, ya. Kita makan sop iga di tempat favorit Ibu.”
Wiramenggala memeluk layar ponsel dalam hati. Bahunya tidak sendirian lagi.
.
Bahu Yang Berangkat
Pagi yang lain, pesan dari Rengganis tiba.
“Aku harus ke luar kota, mungkin lama. Ada kerja lapangan di Pulau Madura untuk proyek arsip cerita rakyat. Aku tahu kau sudah bisa berjalan. Kalau tersandung, berhentilah dulu; duduk juga termasuk cara bergerak. Doakan jalanku.”
Ia membaca pelan, kata demi kata, seperti menghitung garis di telapak tangan. Ada sedih yang rapi, tidak merusak, tapi tetap menggoyang. Ia mengetik balasan:
“Terima kasih karena hadir seperti sore: tidak silau, tapi menenangkan. Jalanmu selamat. Peta mana pun akan mengantarmu pulang ke dirimu sendiri.”
Malam itu, Wiramenggala pergi ke taman tempat mereka biasa duduk. Ia membawa buku catatan dan menulis surat yang tidak ia kirim:
“Rengganis,
Terima kasih telah mengajarkanku bahwa pulang bukan jalan tunggal, melainkan cara memeluk langkah sendiri. Jika suatu hari kau lelah, duduklah di bangku mana pun di kota mana pun; kau akan menemukanku di sana—mungkin bukan aku, tetapi seseorang yang belajar meminjamkan bahu darimu. Kita tak selalu punya rumah di alamat yang sama, tapi kita selalu punya alamat di hati yang diistirahatkan.”
Ia menutup buku, menarik napas panjang, dan—untuk pertama kalinya sejak lama—menatap masa depan tanpa ingin menawar-nawar lagi.
.
Definisi Baru Tentang Pulang
Waktu bergerak tanpa perlu dikawal. Wiramenggala menemukan ritmenya: bangun, menjerang air, menulis tiga kalimat, bekerja dengan niat yang lebih bersuara, pulang dengan hati yang tidak lagi mendahului kaki. Sesekali, ia menerima kabar dari Rengganis: foto jembatan Suramadu di senja, potret pasar ikan Pamekasan, selembar kertas berisi transkripsi cerita rakyat tentang seorang perempuan yang menyeberangi laut dengan tenang karena ia percaya pada genggaman tangannya sendiri.
Di SCBD, ia berjalan melewati kolam pantul gedung kantor—pantulan langit bergerak di permukaan air yang tenang. Ia berhenti, melihat bayangannya, dan untuk pertama kalinya tidak ingin mengubah apa pun pada wajah yang kembali ia kenal.
Pada sore yang teduh, ia mengetik satu kalimat untuk menutup catatan hari itu:
“Tak semua pertemuan harus berujung kepemilikan; beberapa cukup menjadi bahu, lalu pergi, meninggalkan kita yang lebih kuat dan lebih tahu cara pulang.”
Ia menutup laptop, mematikan lampu kamar, dan merasakan keheningan yang tidak mengancam. Di ambang tidur, ia membayangkan Rengganis sedang duduk di kapal penyeberangan, menatap air yang memantulkan kota-kota, dan tahu, sebagaimana ia tahu, bahwa beberapa orang datang agar kita ingat: ketika dunia melelahkan, ada bahu—kadang bahu orang lain, kadang bahu sendiri—yang menunggu kita untuk kembali.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, kata “pulang” tidak lagi membuat dadanya sempit. Kata itu justru menambah ruang.
.
“Tak semua pertemuan harus berujung pada kepemilikan. Ada yang cukup menjadi bahu sejenak, lalu pergi, meninggalkan kita yang lebih kuat dari sebelumnya.”
.
.
.
Jember, 3 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KisahUrban #Rengganis #Wiramenggala #MenakMadura #Empati #Healing #Jakarta #KelasMenengah #CeritaPendek