Rumah yang Tak Lagi Pulang

“Rumah bukan hanya tempat berteduh dari hujan; ia adalah tempat di mana hati diizinkan berhenti menjadi prajurit.”

.

Kita sering lupa, rumah bukan sekadar tempat tinggal… tapi tempat di mana jiwa kita pulang. Kalau rumah saja sudah tidak aman, ke mana lagi hati harus berteduh?

Langit sore di Jember menggantung serupa kain abu-abu yang tak selesai dijemur. Asap tipis dari tukang sate di ujung gang merayap sampai jendela, menorehkan gurih yang akrab, seakrab kenangan pada hal-hal kecil yang dulu membahagiakan. Pintu rumah kayu itu terdengar berderit ketika Bima mendorongnya pelan. Aroma tumisan sawi dan irisan bawang merah menyergap, semestinya membikin hangat. Tapi tak ada pelukan yang menunggu di ambang. Tak ada senyum yang menyalakan lampu di matanya.

Di dapur, Arimbi berdiri membelakangi. Uap nasi naik dari penanak, menempel di rambutnya yang diikat asal. Televisi di ruang tengah mendecit, menyisakan suara penyiar berita yang terasa jauh, seperti seseorang yang memanggil dari tepi hari yang ramai.

“Mas udah makan di luar?” suara Arimbi, pelan, nyaris seperti berbisik kepada panci.

Bima hanya mengangguk. Ia menaruh tas kerja di kursi, lalu duduk di sofa. Punggungnya meluruh, wajahnya retak oleh lelah yang biasa. Jempolnya meluncur otomatis ke layar ponsel—scrolling, menumpuk hal yang tak perlu. Pagi tadi, saat Arimbi menyetrika kemeja biru laut sambil menahan denyut di pelipis, ia cuma sempat berkata: “Pakai ini aja, udah disetrika.” Tanpa menoleh, tanpa bertanya bagaimana tidur Bima semalam, tanpa sapa yang memeluk.

“Yang membuat luka kadang bukan peristiwa besar, tapi sikap kecil yang diulang setiap hari.”

.

Di rumah kecil di kawasan Kaliwates itu, suara-suara jarang bertemu. Semua seperti ditaruh dalam kotak—rapi, aman, tapi jauh. Pagi sibuk, siang terpecah, malam menunda. Bima pulang makin malam belakangan ini. Di kantornya, ia sedang memimpin pitching untuk proyek perbaikan drainase kota; jadwal rapatnya padat, wajahnya dipinjam oleh banyak kepentingan. Di luar rumah, Bima dikenal ramah, telaten, dan cepat menolong. Ia hafal anak-anak magang per bagian, tahu siapa yang ibunya sakit, siapa yang sedang menabung buat kuliah. Di luar rumah, ia diteriaki “keren” oleh rekan kerja—sosok yang tangguh, solutif, panutan.

Di rumah, ia sering kehabisan kata sabar setelah habis-habisan memakainya di luar. Alamat pulang menjadi koordinat yang akrab sekaligus asing.

Malam itu, Arimbi memberanikan diri duduk di sebelah Bima. Ia menatap meja kecil yang bernoda kopi. “Mas… boleh aku bicara sebentar?”

Bima tidak mengangkat kepala. “Sebentar ya. Aku lagi baca laporan. Besok ada pitching tender,” katanya, setengah berbisik, setengah memohon dimengerti. Jempolnya masih bergerak; grup kantor tak pernah benar-benar tidur.

Arimbi menarik napas. Bukan pertama. Bukan kedua. Bukan ketiga. Dalam kamus harinya, “sebentar” adalah pintu yang terlihat terbuka, tapi selotnya dikunci dari dalam. “Mas… terakhir kali kita ngobrol, bukan soal tagihan atau sekolah Dira, itu kapan ya?”

Bima diam. Ujung matanya masih di layar. Orang yang pandai memimpin forum, ternyata tidak selalu siap dipimpin menuju percakapan sunyi.

“Kenapa sih kamu selalu cari masalah?” suaranya melesak, lebih dingin dari niatnya.

Arimbi berdiri. Ada letih yang menua di matanya. “Aku cuma pengin didengar. Aku nggak marah. Aku cuma… lelah.”

.

Dira, anak semata wayang mereka, kelas empat SD, belakangan lebih sering memilih diam. Ia tak lagi berlari ketika mendengar pintu terbuka. Tak lagi bercerita tentang PR kelompok atau lagu baru yang diputar kakak kelas di lapangan. Tablet menjadi temannya, bukan karena ia jatuh cinta pada layar, tapi karena tak ada orang yang benar-benar menaruh telinga dengan sepenuh hati.

Suatu malam, Arimbi mendapati kertas catatan kecil di kamar Dira. Tulisan tangan mungilnya melompat-lompat, kata-kata seperti sedang belajar beranjak dewasa terlalu cepat.

“Kalau aku cerita, kamu dengar nggak? Atau malah main HP lagi? Atau jawab ‘nanti, Nak’? Atau cuma angguk dan pergi?”

Arimbi memeluk Dira. Tubuh kecil itu wangi sabun dan buku. Dalam pelukan itu, Arimbi menangis tanpa suara—yang terisak bukan karena marah kepada Bima, tapi karena ia takut telah mewariskan sunyi kepada anaknya.

“Anak belajar cara mencinta dari cara orangtuanya saling menyapa.”

.

Pagi lain datang dengan rencana kecil yang tumbang. Bima terbiasa kopi pahit tanpa gula setiap pagi. Di hari-hari yang baik, Arimbi menyiapkan sebelum subuh. Tapi pagi itu, kepala Arimbi seperti digenggam seseorang; migrain tidak sopan mengetuk. Ia menatap penanak nasi, mengukur tenaga yang hanya secuil. Kopi terlupa. Detik-detik berlari.

Bima menangkap kosong di meja. “Ya ampun, Rim! Susah banget ya bikin kopi? Tiap pagi selalu lupa!” Bentaknya meluncur, refleks yang terlalu mudah menampar.

Arimbi diam. Ia meraih cangkir kosong, bibirnya bergerak, “Maaf.” Tapi air matanya jatuh duluan, satu, dua, lalu banyak. Tangannya gemetar saat menuang air panas. Di permukaan cangkir, ia melihat pantulan dirinya—seseorang yang mencoba menjadi segalanya: istri, ibu, akuntan rumah tangga, juru masak, pembersih jejak, penenang badai, guru les… dan hari ini, target bentakan.

“Yang kamu marahi itu bukan pembantu, Mas… tapi aku. Istrimu. Manusia juga.”

Kalimat itu tidak keluar dari bibirnya. Ia menelannya, bersama kopi yang terlalu pahit.

.

Di grup arisan kompleks, berita berputar seperti angin: tetangga yang bercerai, tetangga yang kembali rujuk, tetangga yang memindah rumah. Di negara yang ramai ini, rumah tangga bisa mati pelan-pelan, tanpa sirene. Ada yang mengira itu takdir, padahal sering kali ia hasil dari hal-hal kecil yang disengaja: memilih tak mendengar, memilih tak hadir, memilih menunda.

Arimbi bertemu Ayu—sahabat lamanya, yang kini dipanggil semua orang di kompleks sebagai Ninggar karena tulisan-tulisannya kerap muncul di surat kabar lokal, prihatin dan tajam. Mereka duduk di kafe kecil di dekat kampus, wajan martabak berdenting, lalu-lalang mahasiswa menumpuk hari sore.

“Yu… aku kayak bukan istri. Aku pembantu, babysitter, tukang masak, penanggung jawab keuangan, guru les. Semua jadi satu. Tapi nggak ada suami…,” katanya, suaranya terjal itu akhirnya pecah.

Ninggar menggenggam tangannya. “Rim, kamu harus bicara. Bukan minta diladeni, tapi minta dianggap manusia. Kalau kamu nggak bersuara, yang kamu lindungi bukan rumah—tapi ilusi tentang rumah.”

“Aku takut bikin rumah ini retak.”

“Rim, retak terjadi bukan karena bicara, tapi karena terlalu lama diam.”

Di meja sebelah, sepasang muda-mudi tertawa, memotret kopi, memotret tawa, memotret ilusi yang juga perlu. Jember di luar jendela bergerak: Trans Jember lewat, ojek daring berhenti, poster kegiatan seni di alun-alun menua ditelan terik. Di dadanya, Arimbi merasa sesuatu mengeras menjadi keberanian.

.

Malam itu, ketika Dira tertidur bergulung dengan selimut bergambar tokoh kesayangannya, Arimbi mengambil kertas dan pulpen. Ia tidak hendak mencatat belanja atau membuat jadwal posyandu. Ia hendak menulis surat—sebuah jembatan yang hendak ia bangun di atas sungai sunyi.

Bima,

Aku nggak minta kemewahan. Aku nggak minta liburan atau perhiasan. Aku hanya ingin didengar, dihargai, dipeluk. Diperlakukan sebagai pasangan, bukan pelayan. Kalau rumah ini tak lagi hangat, bukan karena orang ketiga. Tapi karena kita lupa jadi orang pertama yang saling mencintai.

Aku letih menjadi kuat sendirian. Aku ingin lemah di pelukan yang aman. Aku ingin ketawa yang tidak diatur jamnya. Aku ingin kamu pulang bukan sekadar membawa badan, tapi juga hati.

Kalau kamu mau, mari belajar ulang. Kalau kamu nggak mau, ajari aku cara bertahan tanpa menghilangkan diriku.

—Arimbi

Ia menaruh surat itu di atas bantal, rapi, seperti menaruh harapan. Tidak ada drama. Tidak ada ancaman. Hanya sebuah ajakan yang jujur.

Bima menemukannya ketika hendak tidur. Ia duduk. Lampu kamar terasa terlalu terang. Ia membaca perlahan, seolah setiap huruf adalah anak tangga yang menuntunnya turun ke dasar dirinya. Ada bagian dirinya yang ingin membantah—bahwa ia capek, bahwa ia juga butuh dimengerti, bahwa ia sedang berjuang untuk masa depan mereka. Tetapi huruf-huruf itu sederhana dan telanjang. Tidak ada tuding. Hanya cermin.

Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Bima menangis. Diam-diam. Lama. Air mata yang asing, tapi akhirnya pulang.

“Ketika seseorang menuliskan lukanya, ia tidak sedang menyalahkan; ia sedang mengetuk pintu yang lama kita biarkan terkunci.”

.

Keesokan harinya, Bima bangun lebih awal. Ia berdiri di dapur, canggung seperti anak magang pada hari pertama. Ia menakar kopi, salah satu hal paling sederhana yang selama ini ia titipkan pada tangan Arimbi. Uap naik mengaburkan kacamatanya. Sambil menunggu tetesan terakhir, ia menengok ke ruang tengah—Dira terbaring miring, rambut menutup sebagian wajah.

Bima mendekat, merapikan rambut anaknya. “Maaf ya, Nak, belakangan Ayah sering nggak dengar,” gumamnya, nyaris tak terdengar.

Pagi itu, mereka sarapan bersama. Tidak ada musik, tidak ada televisi. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring, dan gumam Dira tentang tugas menanam kacang hijau di gelas plastik. Bima mendengar sampai habis, bertanya apa perbedaan biji yang kena matahari dan yang tidak. Dira terkejut dulu, lalu senyum tumbuh, seolah bibirnya menemukan kembali cara membuka.

Di kantor, Bima mulai menata ulang kebiasaan. Ia membuat aturan kecil untuk dirinya: tidak membawa ponsel ke meja makan; menutup laptop pukul sembilan malam; menunda balas pesan rekan kerja saat jam keluarga kecuali kegawatdaruratan. Rekan-rekan awalnya protes—Maya dan Madi, dua kolega paling dekat—mengetik di grup: “Bos, kok slow response?” Bima menjawab: “Aku lagi belajar jadi cepat di rumah.” Mereka tertawa. Di balik tawa itu, ada hormat yang lain: kepada seseorang yang berani menyusun ulang prioritas.

Perubahan tidak seketika. Adakalanya Bima tergelincir—mengangkat telepon saat makan malam karena atasan menelepon, memicingkan mata saat Dira menumpahkan sop, melesat menjawab email di Minggu pagi. Tapi setiap kali itu terjadi, ia ingat surat di atas bantal. Ia ingat dingin di kopi pagi itu. Ia ingat wajah Arimbi yang menua oleh sunyi.

“Kadang kita nggak butuh janji besar. Cukup bukti kecil, tapi konsisten.”

.

Tiga bulan berlalu seperti menyeberangi jembatan yang dikerjakan sedikit demi sedikit setiap sore. Rumah kecil itu tidak berubah menjadi istana. Atapnya tetap berderit jika hujan lebat. Catnya masih memudar di dekat kusen. Tapi ada musik baru di sana—suara orang yang saling memanggil dengan hangat.

Malam-malam mereka kini punya ritus: makan tanpa gawai, lima belas menit bercerita tanpa interupsi, siapa pun yang bicara orang lain mendengar. Minggu pagi mereka ke pasar; Dira senang menawar tempe mendoan, Arimbi memegang daftar belanja, Bima—yang dulu hanya menunggu di motor—kini ikut memilih cabai, salah mengira tomat yang baik, tertawa saat ditertawakan. Kadang sore mereka duduk di alun-alun, memandangi lampu-lampu yang menyala satu per satu, seperti bintang yang turun ke kota.

Bima belajar kata-kata pendek yang dulu jarang ia pakai: “Maaf,” “Terima kasih,” “Kamu capek?” Arimbi belajar menerima tanpa mengurut-urut masa lalu—karena menerima itu tidak sama dengan melupakan, tapi memilih menaruh luka di tempat yang lebih teduh.

Di meja belajar, Dira kembali menulis. Puisi barunya lebih ringan:

“Kalau aku cerita, kamu dengar. Kalau aku diam, kamu tanya. Rumah kita sekarang seperti selimut: hangat walau sederhana.”

.

Nmun hidup, sebagaimana kota yang tak pernah selesai, selalu punya tikungan. Suatu malam, telepon Bima berdering terus. Proyek mereka bermasalah: curah hujan tinggi membuat sebagian galian longsor. Di layar, nama atasan berkedip-kedip seperti lampu darurat. Bima menatap piring, menatap mata Arimbi, menatap Dira.

“Pergi,” kata Arimbi pelan, seolah membaca gelisah. “Tapi pulang.”

Bima mengangguk. Di halaman, rintik sudah turun. Ia meraih jas hujan yang bau matahari. Di atas motor, ia teringat kalimat Ninggar yang pernah didengar Arimbi: “Retak terjadi bukan karena bicara, tapi karena terlalu lama diam.” Malam itu, ia menyusuri jalan-jalan Jember yang licin: Trunojoyo yang becek, Gajah Mada yang macet, depan Lippo yang lampunya ramai. Ia bekerja sampai larut, kaki belepotan tanah, telapak tangan perih. Pukul dua lewat sedikit, ia kembali. Rumah gelap. Ia membuka pintu perlahan.

Di meja makan, segelas air hangat dan catatan ditemuinya.

“Yang penting bukan kamu selalu di sini, tapi kamu selalu kembali. —A.”

Ia tersenyum. Di ruang tamu, ia melihat tiga bantal disusun rapi—tempat tempur mereka bertiga saat menonton kartun akhir pekan, tempat wajah-wajah meringkuk dalam tawa yang ditahan agar tetangga tidak terganggu. Ia merapikan kursi, mematikan lampu, lalu menyelinap ke kamar. Dalam gelap, ia berbisik, “Terima kasih, Rim.”

Arimbi menggumam setengah sadar, “Sama-sama, Mas.”

.

Suatu Sabtu, mereka bertiga pergi menghadiri pameran foto di pendapa kabupaten. Dinding-dinding dipenuhi gambar rumah-rumah dari berbagai sudut kota: rumah dengan cat mengelupas, rumah dengan halaman sempit, rumah dengan kursi rotan tua. Di salah satu foto, tertera caption: “Rumah adalah tempat di mana kita berani menjadi paling tidak sempurna.” Dira membaca keras-keras, lalu menoleh ke ayah ibunya. “Berarti kalau aku salah, tetap boleh pulang?”

Bima memeluk bahu Dira. “Itu yang paling boleh.”

Sore itu, mereka menyeberang ke alun-alun. Pengamen menyanyikan lagu lawas yang tahu cara melubangi umur. Angin membawa serabut kapas pohon randu. Di bangku semen yang dingin, Bima menatap wajah Arimbi yang tertawa karena ulah Dira memakan cilok terlalu cepat. Ia mengingat hari-hari yang hampir memutuskan garis yang kini mereka jahit lagi. Ia berharap, semoga ia tidak lupa lagi.

“Jangan jadi orang paling sopan di luar rumah, tapi paling kejam di dalamnya.”

.

Di sebuah malam yang lain, telepon bergetar: kabar dari Maya—rekan kerja Bima yang sedang bercerai. “Mas, aku capek. Di luar aku kuat. Di rumah aku nggak diakui.” Bima mengetik panjang, menghapus, mengetik ulang. Lalu ia menulis: “Aku paham seujung kuku. Aku pernah hampir sampai sana. Mau cerita? Bukan buat dicari salahnya, tapi buat dibagi bebannya.” Di sebelahnya, Arimbi membaca sekilas, mengangguk. “Orang yang sembuh, bisa menuntun orang lain menemukan pintu,” katanya.

Bima menoleh, tersenyum. Ia teringat dua nama yang belakangan sering disebut Arimbi dalam cerita—Ninggar yang tegas, Madi yang lucu—dua orang sahabat yang seperti Umar Maya dan Umar Madi dalam kisah-kisah lama yang pernah ia dengar dari kakeknya: sahabat yang tidak selalu sependapat, tapi selalu setia menambal perahu.

Kota pelan-pelan menutup matanya. Di kejauhan, kereta melintas, menabuh jarak. Di dekat, suara es batu ditumbuk dari warung ronde. Di rumah itu, mereka berbaring berdampingan. Tidak ada kata-kata besar. Hanya satu kalimat yang jadi kompas: pulang.

“Peluklah sebelum semuanya terlambat. Ucapkan maaf sebelum luka membatu. Ucapkan terima kasih sebelum semua yang kamu anggap biasa… pergi.”

.

Banyak orang ingin kisahnya jadi buku, padahal buku tidak selalu menyelamatkan. Ada yang ingin rumahnya tampak cantik di layar, padahal layar tidak selalu jujur tentang hangat. Bima dan Arimbi tidak berubah menjadi tokoh sempurna. Mereka masih bertengkar tentang siapa yang lupa menutup kulkas, mereka masih kesal kalau tetangga menaruh sepeda di depan pagar mereka. Tapi mereka tidak lagi saling mengalahkan untuk menang sendiri. Mereka mengerti, menang bersama lebih menyenangkan.

Rumah itu tidak bertambah luas, tapi terasa lega. Hiduplah di kota yang kerap berjalan lebih cepat dari jantung, mereka memilih memperlambat langkah ketika melintas di depan satu sama lain. Karena mereka akhirnya tahu: rumah bukan tempat paling rapi; rumah adalah tempat paling berani mencintai.

Dan surga—kalau kata itu terlalu besar—mungkin tidak turun dari langit. Ia tumbuh dari kebiasaan kecil yang ditanam di dapur, di ruang tamu, di halaman sempit. Dari secangkir kopi yang tidak lagi pahit sendirian. Dari cara menutup ponsel sepuluh menit lebih awal. Dari cara mengucap “terima kasih” kepada seseorang yang selama ini kita kira tidak perlu diberi.

Rumahku surgaku? Pertanyaan itu perlahan berubah tanda baca. Dari tanya yang menyakitkan menjadi seru yang pelan. Rumahku surgaku! Bukan karena tidak ada luka, tapi karena di sinilah luka disembuhkan tanpa takut dihakimi.

Dan besok, ketika langit Jember kembali meletakkan abu-abunya, Bima membuka pintu yang sama, dengan hati yang lain. Di dapur, Arimbi menoleh. Di ruang tengah, Dira berlari memeluk. Panci masih berdegup, TV masih cerewet, ponsel masih menggoda. Tapi yang utama sudah dipulangkan ke tempatnya.

Pulang. Pulih. Pelan-pelan. Bersama.

.

.

.

Jember, 28 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #Keluarga #Rumah #Relasi #Healing #Jember #KisahUrban #Literasi #EmotionalWriting

.

Kutipan-Kutipan dari Cerita

  • “Yang membuat luka kadang bukan peristiwa besar, tapi sikap kecil yang diulang setiap hari.”

  • “Anak belajar cara mencinta dari cara orangtuanya saling menyapa.”

  • “Ketika seseorang menuliskan lukanya, ia tidak sedang menyalahkan; ia sedang mengetuk pintu yang lama kita biarkan terkunci.”

  • “Kadang kita nggak butuh janji besar. Cukup bukti kecil, tapi konsisten.”

  • “Jangan jadi orang paling sopan di luar rumah, tapi paling kejam di dalamnya.”

  • “Rumah bukan tempat paling rapi; rumah adalah tempat paling berani mencintai.”

Leave a Reply