Rahasia di Balik Dinding Rumah Kami

“Setiap anak lahir membawa takdirnya sendiri.
Tapi hanya cinta yang membuat mereka bisa saling memahami, meski tak selalu mudah.”

.

Kota Kencana berubah pelan-pelan menjadi peta kaca dan baja. Di kanan-kiri jalan arteri, deretan kafe ber-AC berkilau menunggu pelanggan yang memilih senyap daripada percakapan di rumah. Mal malam memantulkan lampu-lampu di kaca mobil, dan plang “cluster eksklusif” tumbuh seperti jamur setelah hujan. Namun di sudut sebuah kampung tua yang menyelinap ke dalam peta kota modern, rumah kami tetap berdiri—berdinding putih yang catnya terkelupas seperti kulit luka yang sedang belajar sembuh, atap genteng merah yang memudarkan masa kecil, serta teras kecil yang menampung suara angin dan cerita.

Dari luar, rumah itu tampak biasa. Bagi kami, rumah itu laci rahasia tempat segala luka dan sayang diletakkan: tak rapi—tapi tak ada yang hilang. Ayah seorang insinyur sipil yang sudah lama beralih jadi kontraktor, dengan kemeja lengan pendek yang menyisakan garis matahari di kulitnya. Ibu pengacara korporasi yang menua anggun dalam disiplin jam-jam rapat lintas zona waktu. Gaji mereka cukup untuk tinggal di apartemen premium dengan akses langsung ke mal; namun mereka memilih bertahan di rumah lawas peninggalan mbah Kakung—dengan alasan yang kelak kutahu bukan hanya sentimental, melainkan sebuah janji.

Aku Jayengrana, tujuh belas tahun saat kisah ini bermula: lulus SMA dari sekolah swasta yang siswanya sudah fasih bercakap tentang beasiswa luar negeri dan valedictorian. Orang bilang aku keras kepala. Sebenarnya aku hanya takut semuanya berantakan jika tidak ada yang mengikat. Di bawahku, Ratu Pembayun, lima belas tahun, lembut seperti doa yang ditulis di belakang buku catatan. Retna Muninggar tiga belas, mata besarnya menampung hujan maupun matahari; ia jernih. Dan si bungsu, Pangeran Singa Barong, sepuluh tahun: diam, tegak, menatap lama sebelum bicara, seolah kata-katanya dihitung ketat—bukan karena pelit, melainkan karena takut menyakiti.

Di lingkungan kami, anak-anak tetangga sudah akrab dengan les coding, sewa sepeda listrik, dan langganan film premium. Kami pun tidak asing dengan semua itu. Namun bila malam turun, jendela-jendela rumah di kampung tua memancarkan hal lain yang tak dijual online: wangi kayu, dengus napas orang yang lelah tapi ingin didengar, panci yang masih mau sabar menunggu bubur mengental. Ada kewajaran yang bikin tentram.

.

Hari Hujan dan Bolu Pisang

Hujan di Kota Kencana jarang setengah hati. Sore itu, air turun tebal seperti tirai teater. Ayah dan ibu bergegas ke rumah mbah Kakung di seberang kota—katanya atap usang bocor parah. Kami berempat tinggal di rumah.

Aku mengerjakan tugas fisika di meja belajar ruang tengah. Pembayun, dengan cerutu rambut yang disanggul asal, mencoba resep bolu pisang dari YouTube. Retna duduk bersila membaca cerita klasik. Singa Barong di pojok ruang tamu, menekuri buku sejarah tentang kerajaan-kerajaan Nusantara.

“Aku bikin bolu ya,” seru Pembayun.
“Jangan bikin dapur kayak kapal pecah,” sahutku refleks.

Retna menoleh, menatapku seperti musim dingin yang bersiap jadi semi. “Mas…”

Aku menggoyangkan bahu, pura-pura sibuk. Akhirnya kupaksakan senyum. “Maaf ya, Pembayun.”
“Iya, Mas.” Suaranya pelan, bukan karena takut, melainkan karena ia memilih setiap kata yang tak melukai.

Sore melarut. Aroma gula dan pisang matang mengisi rumah. Ketika bolu keluar dari oven, bawahnya sedikit hitam. Kami makan juga, meniup panas yang menggigit lidah—dan tertawa karena rasa hangus bisa terasa seperti kenangan: pahit yang mengajarkan sabar.

Telepon dari ibu datang setelah Isya. “Besok kita bersihkan gudang ya. Banyak barang lama.”
“Biar aku bagi tugas,” aku cepat-cepat.
“Jayengrana…” Suara ibu menurun. “Belajarlah mendengar.”
Kalimat itu meletakkan kaca bening di depanku: memantulkan wajah anak muda yang sibuk benar menjadi komando, padahal tak ada perang.

Malam itu, saat menyimpan piring, kudengar Pembayun menangis pelan di dapur. Retna memeluknya. Aku hendak melangkah, tapi langkahku mengeras di lantai. Di ruang tamu, Singa Barong menyeduh teh rempah. Ia tidak menawariku apa pun. Ia hanya meletakkan cangkir di kamar ayah—padahal ayah tak ada—seolah-olah ia sedang merawat kekosongan dengan lembut. Dan entah kenapa, kosong itu terasa kenyang.

“Kelembutan adalah bahasa yang dipahami luka, sebelum luka punya kata.”

.

Dinding yang Bicara

Gudang kami menyimpan abad dalam kardus-kardus: kaset pita, foto Polaroid, trofi plastik, baju sekolah ibu, payung patah yang entah mengapa disimpan. Pagi itu, hujan berhenti tapi langit masih seperti kertas yang belum jadi. Ayah baru pulang dari rumah mbah, berjalan sedikit terpincang karena ngilu yang kadang mengunjungi lututnya.

“Kita rombak sekalian,” kata ayah, setengah bercanda. “Arsitek di rumah sendiri.”

Kami menggergaji papan, menyingkirkan jaring laba-laba, dan mengetuk dinding bagian belakang gudang yang menggelembung catnya. “Ini lembab,” kata ayah. Ia meminjam palu dan mengetuk pelan. Suara hampa—ada ruang di baliknya. Ayah menatapku. “Boleh?”

Aku mengangguk. Kami membongkar secuil plester. Dari celah itu, sesuatu mengintip: sebuah kotak kayu, separuh terbenam dalam debu dan hening.

Tangan ayah bergetar ketika menariknya keluar. Di atasnya terukir huruf-huruf yang pernah kulihat di buku tulis ibu: nama kami, berderet, dengan tahun-tahun menyusul seperti nafas.

“Kita buka sama-sama,” suara ayah serak.

Kami duduk di lantai. Tutup kotak dibuka. Di dalamnya: beberapa foto, sepucuk surat panjang, dan kaset mini lama yang dulu lebih sering menjadi hiasan daripada alat rekam. Di antara foto-foto, ada satu yang membuat udara bergerak lambat: seorang perempuan muda, menggendong bayi yang matanya… mata itu kita kenal—mata Singa Barong.

Ayah menutup wajah dengan telapak tangan. Ibu menunduk. Ruang itu menegang seperti benang layang-layang yang tertarik angin.

“Aku dan ibumu ingin bercerita saat kamu tujuh belas, Jay,” kata ayah pelan. “Tapi hidup selalu mengundang tunda. Dan kami pengecut. Dinding ini menyimpan janji kami—agar rahasia tidak jadi dosa.”

Ibu menghela napas panjang yang seperti pulang dari perjalanan jauh. “Singa Barong adalah anak dari sahabat ayahmu—dari seorang perempuan baik bernama Nadira. Nadira meninggal saat gempa di Lombok, 2018. Ayahnya menghilang dari pemberitaan dan—” suaranya retak—“Nadira pernah titip surat pada Ayahmu, bertahun-tahun sebelum itu, kalau hal buruk terjadi padanya.”

Ayah menambahkan, air mata yang bukan gaya hidup menetes tanpa malu. “Kami menemukannya. Anaknya masih merah. Tidak ada keluarga yang bisa dihubungi. Kami mengambilnya—bukan sebagai amal—tapi sebagai ikatan. Kami takut memberitahu kalian waktu itu. Kami takut membuatmu merasa tergeser, Jay. Kami menyimpan surat dan foto-foto di balik dinding, berharap suatu hari kita cukup berani.”

Singa Barong menatap kotak, lalu menatap kami. Tenang, tapi mata itu basah. “Aku… anak kalian,” katanya lebih seperti bertanya.

Ibu meraih tangannya. “Kamu anak kami.”
Ayah mengangguk, memegang bahuku. “Kalian semua anak kami.”

Keheningan merayap masuk, bukan sebagai musuh, melainkan kursi kosong yang akhirnya diakui keberadaannya. Aku merasa dinding rumah ini—yang kusangka hanya semen dan cat—ternyata berdenyut seperti dada yang menyimpan rahasia lama.

Dalam surat Nadira yang dibacakan ibu, ada potongan kalimat yang menempel di dadaku:

“Jika anakku tiba di pangkuanmu, ajari dia bahwa darah adalah jalan pulang, tetapi kasih sayang adalah rumahnya.”

Aku menatap Singa Barong. Seluruh masa kecilku melintas cepat: bagaimana ia selalu memeriksa suhu air mandi untuk kami, bagaimana ia menata sepatu setelah semua orang tertidur, bagaimana ia belajar mengikat tali tanpa diminta. Pada hari ulang tahunku ia pernah menulis kartu ucapan: “Mas, semoga tidak pernah kehabisan kata ‘maaf’ dan ‘terima kasih’.” Aku dulu menertawakan kalimat kekanak-kanakan itu. Kini, kata-kata itu jadi kompas.

“Cinta tidak membuat kita memiliki. Cinta hanya mengizinkan kita menjaga.”

.

Kota Kencana dan Keluarga di Tengah Suara

Kabar tentang rahasia keluarga bisa meledakkan ricuh jika disiram oleh kata orang. Kota Kencana bukan kota kecil, tapi gosip menemukan jalannya seperti air mencari retakan.

Ibu, dengan naluri pengacaranya, mengajukan solusi yang terdengar seperti rapat pemegang saham. “Kita tetapkan protokol.”
“Protokol?” Retna mengangkat alis.
Ibu tersenyum lelah. “Agar tidak ada yang terluka oleh ketidaksengajaan. Kita akan punya ‘malam dengar’ setiap Rabu: semua orang boleh bicara tanpa disela. Kita buat kode—kalau ada emosi meledak, siapa pun boleh teriak ‘biru!’ lalu semua berhenti bicara, minum air, tarik napas, dan menunda.”

Ayah menambahkan, “Kita juga perlu konselor keluarga. Aku tahu seorang psikolog komunitas di puskesmas kecamatan—ia biasa datang ke kampung ini.”

Aku menatap mereka: kelas menengah ke atas yang mengerti betapa mahalnya waras. Rasanya janggal sekaligus melegakan.

Rabu pertama, kami duduk melingkar di ruang tengah. Televisi dimatikan, ponsel diletakkan di kotak rotan. Lampu diganti dari putih ke kuning. Retna memegang timer dapur. “Lima menit per orang. Yang lain hanya mendengar.”

Aku bicara duluan. Kupikir akan mulus, tapi suara tercekat di tenggorokan. “Aku… marah. Aku marah karena kalian menunda bercerita.” Napas. “Tapi aku juga malu karena marahku ini kecil dibanding nyawa yang diambil gempa.” Aku menoleh ke Singa Barong. “Dan aku bodoh karena pernah menyamakan pendiam dengan sombong.”

Pembayun memegang lututnya sendiri. “Aku takut jadi beban. Aku selalu merasa salah. Tapi malam ini… aku ingin bilang, aku juga punya marah. Pada Mas. Pada orang-orang yang bilang aku lambat. Maaf kalau ini terdengar egois.”

Retna tersenyum. “Tidak egois. Jujur.”
Singa Barong mengangkat tangan pelan. “Giliran aku? Aku… sering berpura-pura tidak apa-apa. Karena kalau aku mulai bicara, aku takut menangis. Dan… aku sering menempelkan telinga ke dinding kamar ini. Kadang kurasa dinding bicara. Mungkin dia menyimpan sesuatu. Ternyata, benar.”

Kami tertawa di antara air mata. Dinding yang dibongkar di gudang seolah menyisakan jantung rumah yang berdetak lebih keras.

“Kejujuran bukan pisau, ia adalah kunci yang membuka pintu-pintu yang kerap kita kunci sendiri.”

Psikolog puskesmas, Bu Tisna, datang pada Sabtu sore. Tanpakaian mahal, tanpa istilah asing yang sulit dicerna. Ia duduk di lantai, menerima teh dari Pembayun, dan mulai membagi lembar kerja yang tampak sederhana: roda emosi, daftar kebutuhan dasar, panduan “Aku merasa… karena… aku berharap…”. Ia meminta kami menempelkan kertas-kertas itu di pintu kulkas. “Keluarga itu seperti kota. Ada jalan tol, ada gang sempit, ada lampu merah. Kita belajar membaca rambu, agar tidak sering tabrakan.”

Sesi-sesi itu membuat rumah lebih sunyi dalam cara yang baik. Sunyi bukan lagi tanda dingin, melainkan ruang tempat makna turun.

.

Kelas Menengah yang Selalu Ingin Selesai

Kehidupan kami tidak kreatif dari utang, tetapi tidak kebal dari cemas. Tetangga depan rumah, seorang pengusaha ritel, pindah ke klaster baru dengan pagar tinggi. Grup arisan ibu beralih pertemuan ke kafe hotel. Di sekolah, teman-temanku mengukur masa depan dari rapor dan ranking. Kota Kencana mendorong orang bergerak makin cepat. Sementara kami belajar melambat.

Aku memutuskan mengambil jurusan pendidikan. “Guru?” Tanya teman-teman dengan kening berkerut, seolah aku memilih langit mendung. “Kenapa bukan teknik seperti Ayah?”
“Karena aku ingin mengajar diriku sendiri,” kataku—kalimat yang terdengar sok, tapi di rumah terasa benar.

Pembayun, yang sering menganggap dirinya gagal, diterima magang di PAUD kampung sebelah. Ia pulang dengan cerita tentang anak yang belajar menyebut warna, tentang sepatu kecil yang perlu diikat pelan. “Aku merasa berguna,” katanya, dan itu membuat seluruh ruang tamu seakan bertambah terang.

Retna, dengan beningnya, bergabung dengan komunitas konseling remaja di gereja. Ia mendengarkan curhat anak-anak SMA yang kelelahan mengejar citra. “Banyak yang tidak butuh jawaban,” kata Retna. “Mereka butuh ditemani saat pertanyaan menua.”

Singa Barong tumbuh mengakrabi buku-buku perawatan. Ia betah di rumah sakit. Wajahnya lembut ketika memegang tangan orang yang menahan nyeri. Aku pernah melihatnya duduk di lorong IGD, membacakan puisi pelan pada seorang kakek yang sesaknya kambuh—bukan untuk menyembuhkan, melainkan untuk menemani.

“Ada cinta yang tak suka panggung. Ia bekerja dalam sunyi, tapi menyelamatkan kita dari tenggelam.”

.

Ibu, Ayah, dan Harga Berani

Suatu malam, Ibu pulang lebih cepat dari biasa. Ia menatap kami dan berkata, “Besok kita akan pindah sementara ke apartemen dekat kantor. Rumah ini akan direnovasi total. Tapi—” ia menahan napas, “—sebagian dinding belakang akan kita simpan. Kita minta tukang memotongnya rapi. Kita pindahkan ke ruang keluarga. Aku ingin kita tetap duduk di hadapan dinding itu, agar kita ingat: yang menyatukan kita bukan marmer atau parket, melainkan kejujuran.”

Ayah menambahkan, “Dan kita akan mengadopsi resmi Singa Barong—birokrasinya banyak, tapi kita hadapi. Kita tak lagi sembunyi di balik dinding.”

Hari-hari berikutnya adalah rapat dengan notaris, kunjungan dinas sosial, stempel-stempel yang bau tintanya membekas di jari. Ibu, yang terbiasa mengurus perjanjian konsorsium miliaran, kali ini menangis di depan petugas administrasi yang berkata, “Selamat, Bu. Keluarganya lengkap.” Tangis ibu bukan karena lega semata, tetapi karena sebuah lingkaran menemukan ujungnya.

Renovasi berjalan bersamaan. Tukang memotong dinding lama dengan hati-hati. Potongan itu—dengan bekas cat terkelupas dan goresan kecil—dibingkai seperti karya seni dan dipasang di ruang keluarga. Di bawahnya, kotak kayu tempat kami menemukan surat Nadira diletakkan di rak. Ada yang bilang estetika kami aneh. Tetapi tamu yang duduk di sana selalu pulang dengan rasa ingin memeluk keluarganya sendiri.

“Rumah bukan alamat di KTP. Rumah adalah tempat kebenaran boleh pulang tanpa diusir.”

.

Banjir yang Mengajar

Kota Kencana, seperti kota-kota lain yang memaksa diri jadi modern, tak selalu siap dengan air. Banjir datang malam tahun baru ketika semua orang sibuk mencari kembang api. Air naik diam-diam ke teras. Ayah bangun, menutup stop kontak. Ibu mengevakuasi dokumen dalam map plastik. Aku, Retna, dan Pembayun memindahkan buku-buku ke atas meja. Singa Barong memanggul dinding kenangan? Tidak, dinding itu terpasang kuat. Tetapi ia menutupinya dengan plastik, seolah takut cerita kami ikut basah.

Air surut esoknya, menyisakan lumpur di sela-sela ubin. Kami menggosok lantai bersama. Tetangga sebelah, Pak Lurah, datang membawa makanan. “Bencana itu meratakan,” katanya. “Tapi cinta membangun kembali.” Klise? Mungkin. Tapi pagi itu, kalimat itu menjadi sapu.

Di grup warga, ada saran pindah saja, rumah tua menyulitkan. Tapi Ayah mengangkat foto dinding. “Kalau pindah, apa kita bisa membawa ini serta kewajaran yang dititipkannya?” Kami diam. Keputusan tidak sederhana. Namun rumah itu—dengan segala remuk yang diisinya dengan perbaikan—telah mengajari kami nama lain dari bahagia: tetap.

.

Surat-Surat Baru

Setelah pengesahan adopsi, Singa Barong menulis surat sendiri—ditujukan pada Nadira. Ia membacanya pada kami, suaranya stabil namun membuat dinding seperti bernapas.

“Ibu Nadira, terima kasih. Aku tumbuh baik. Aku punya kakak-kakak yang cerewet dan penyayang. Aku belajar merawat orang seperti Ibu merawat aku di foto itu. Aku tidak akan mencari siapa yang tidak ingin ditemukan, tetapi jika suatu hari darah memanggil, aku akan datang bukan untuk meminta sesuatu, melainkan untuk menghaturkan terima kasih.”

Kami mendengarkan surat itu seperti mendengarkan doa yang tidak memaksa Tuhan mengubah apa pun, melainkan mengubah cara memandang.

“Memaafkan adalah cara kita menutup pintu masa lalu tanpa mengunci jendela masa depan.”

.

Waktu yang Berjalan dengan Pelan

Tahun-tahun bergeser. Kota Kencana menambah satu lagi jalur MRT; kafe-kafe berganti interior tiap musim. Kami tidak lagi tinggal seluruhnya di rumah lawas; renovasi membuatnya lebih terang tanpa menghapus kusam yang jujur. Ayah akhirnya pensiun dari proyek besar, lebih sering mengawasi pembangunan sumur resapan di kampung. Ibu menolak jabatan partner yang memintanya mengorbankan malam Rabu. “Maaf,” katanya pada kantor. “Aku sudah punya rapat yang tak boleh kutinggalkan.”

Aku lulus dan mengajar. Kelas pertamaku membuatku gemetar seperti pengantin baru—bukan takut, melainkan terlalu bahagia untuk tenang. Pembayun—ia dipanggil “Bu Guru Bayun” oleh anak-anak PAUD yang memeluknya seperti karamel di roti. Retna meneruskan studi konseling keluarga. Dan Singa Barong, seperti yang pernah kukira, lebih cocok merawat senja. Ia bekerja sebagai perawat paliatif. “Aku tidak menyelamatkan nyawa,” katanya. “Aku menenangkan perjalanan.” Itu kalimat paling dewasa yang pernah kudengar dari anak yang dulu takut menangis.

Setiap pekan, kami tetap berkumpul di ruang keluarga. Dinding lawas menatap kami, menyimpan semacam aura yang tak bisa didefinisikan. Di hadapannya, kami bercerita tentang tawa dan kekalahan, tentang gaji dan sayur asem yang terlalu asin, tentang pasien yang pergi dengan tenang, tentang anak yang berhasil menyebut “ungu” setelah sebulan hanya mengenal “biru”. Terkadang kami menyalakan kaset mini peninggalan dinding itu: rekaman suara Nadira menggumamkan nina bobo—berderak, samar, namun cukup untuk menambal malam-malam yang pecah.

“Kita tidak selalu menang melawan hidup. Tapi kita bisa menang dalam cara saling menggenggam.”

.

Kepada Kota, Kepada Keluarga

Ada momen-momen kecil yang menggambar ulang peta. Suatu sore, setelah matahari turun, kota menyalakan lampu-lampu di jalan layang. Di teras, aku bertanya pada Ayah: “Apa yang paling Ayah sesali?”

Ayah tersenyum, garis-garis di wajahnya seperti peta sungai. “Menunda. Menunda bercerita, menunda berani, menunda meminta maaf. Hidup itu seperti bangunan. Kalau kita menunda memperbaiki retak kecil, ia jadi patah besar.”
“Dan apa yang Ayah syukuri?”
“Ibumu,” katanya, lalu menatap dinding. “Dan dinding yang tidak hancur ketika kami memakunya dengan rahasia.”

Ibu, yang mendengar dari balik pintu, keluar membawa empat cangkir teh. “Rabu malam, aturanku berlaku,” katanya. “Siapapun boleh bicara duluan.”

Aku menatap saudara-saudaraku. Pembayun tersenyum, Retna mengangguk, Singa Barong meletakkan ponselnya—ia baru saja menerima pesan dari keluarga pasien yang meninggal dengan tenang sore tadi: “Terima kasih, Dek. Pelukanmu seperti doa.”

Di malam-malam seperti itu, aku paham mengapa kami bertahan. Bukan karena rumah ini nyaman—yang memang nyaman—melainkan karena ia mengajarkan kami perbedaan antara kuat dan keras, antara jujur dan kejam, antara pendiam dan peduli.

“Keluarga bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling berniat memperbaiki.”

.

Pelangi di Dinding

Orang-orang datang dan pergi dalam hidup kita; beberapa meninggalkan jejak, beberapa meninggalkan bekas, beberapa meninggalkan jalan. Dinding rumah kami menyimpan semuanya. Dan kami memilih untuk tidak mengecatnya seluruhnya—kami membiarkan beberapa goresan tetap tampak, sebagai peringatan sekaligus perayaan.

Suatu hari Minggu, anak-anak PAUD yang diajar Pembayun datang berkunjung. Mereka menempelkan stiker warna-warni di bawah bingkai dinding. “Pelangi!” teriak mereka. Singa Barong tertawa, Retna memotret, Ayah dan Ibu berdiri berdekatan seperti dua kutub yang tidak lagi saling menarik menjauh.

Aku menulis kalimat di bawah stiker-stiker itu, dengan spidol yang baunya membuat mata sedikit panas:

“Kita mungkin dilahirkan membawa warna yang berbeda.
Tapi cinta adalah kuas yang membuat lukisan keluarga menjadi karya yang utuh.”

Kota Kencana akan terus menambah gedung, menambah jalan, menambah lampu. Tetapi di sudut kampung tua, di rumah berdinding putih yang tak lagi sepenuhnya putih, kami belajar menambah hal lain: keberanian untuk memeluk, kesediaan untuk mendengar, dan kebiasaan untuk pulang.

Jika suatu hari kamu lewat dan melihat rumah dengan dinding yang dibingkai seperti galeri, berhentilah sebentar. Duduklah di teras. Dengarkan lampu tua yang bergoyang pelan. Barangkali kamu akan mendengar sesuatu—bukan suara dinding, melainkan suaramu sendiri, yang akhirnya berani.

“Rahasia paling berat bukan untuk disembunyikan, melainkan untuk disampaikan dengan kasih.”

.

.

.

Jember, 13 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #Keluarga #UrbanLife #KompasMingguStyle #Adopsi #Rekonsiliasi #MenakAdaptasi #KotaKencana #CeritaMengharubiru #LiterasiEmosi

Leave a Reply