Pisau dalam Diam
“Tidak ada yang lebih sunyi daripada seseorang yang menunggu dipeluk, sementara tangannya sendiri sibuk menahan darah dari luka yang lama.”
.
Cahaya Dari Jendela Kota
Jakarta, selepas hujan, seperti kertas foto yang baru diangkat dari cairan kimia: mengilap, baunya tajam, dan setiap garisnya terlihat lebih kontras dari biasanya. Air menitik dari kabel-kabel listrik, menyiapkan pantul cahaya yang panjang di aspal. Di kaca kafe Menteng, lampu-lampu kendaraan meregang jadi garis yang tergesa. Wira duduk sendirian menghadap jendela. Cangkir kopinya sudah dingin; di permukaannya ada bekas bibir yang tidak ingin ia hapus. Seakan bekas itu adalah tanda bahwa ia masih ada.
Ia menulis sesuatu di punggung struk kafe, dengan tulisan tangan seadanya: “Jalan yang sama bisa membawa pulang, bisa juga memulangkan.” Lalu disobek, dilipat dua, dan disimpan di dompet. Kebiasaan kecil yang ia pakai untuk menahan pecahnya kepala: menulis kalimat pendek, semacam gelang karet di pikiran yang akan memantul saat hati menegang.
Di luar jendela, sepasang kekasih berpayung satu. Wira menurunkan pandangannya. Ia mengingat Ratna dan kilau di mata perempuan itu saat pertama kali menyapanya di lobi gedung tempat mereka ikut lokakarya penulisan proyek sosial. Ratna—bak neon signage di mulut gang: kecil, tapi mampu mengundang semua mata untuk menoleh.
.
Asal Muasal Sebuah Takut
Sebelum Ratna, ada seseorang lain—Adaninggar, orang-orang memanggilnya Ning. Pada suatu masa yang sekarang terasa seperti milik orang lain, Wira dan Ning menyusun mimpi di kamar kos beratap seng dekat stasiun. Mereka menabung dari honor menulis advertorial dan mengajar les kilat di kafe: mengajarkan struktur esai pada anak SMA yang hanya ingin lulus. Ning menyukai kota karena katanya kota membuatnya percaya bahwa semua orang punya kesempatan jika sanggup menunggu lampu hijau.
Tetapi lampu hijau tak selalu untuk semua orang. Ning memilih lampu yang lain—lebih terang, lebih cepat—dan meninggalkan Wira duduk di tangga beton rumah kos saat suara azan melintas seperti burung yang terlambat pulang. Tak ada pertengkaran besar, hanya serangkaian hal kecil yang menumpuk: janji yang tidak ditepati, pesan yang dibaca tanpa balasan, tatap yang mengembara saat makan malam di warung ayam serundeng. Wira tidak marah. Ia hanya belajar diam—diam yang lama-kelamaan menjadi daging lain di tubuhnya, tumbuh tanpa ia sadari, sampai-sampai ia lupa seperti apa rasanya berbicara jujur sambil menatap mata seseorang.
Sejak itu ia takut pada hal-hal sederhana: nada getar notifikasi, langkah kaki yang menjauh, dan kalimat “Nanti kita bahas, ya.” Ia menyamarkan takutnya dengan kerja lebih lama, menulis lebih banyak, mengambil proyek desain profil perusahaan kecil di Kramat. Dan di sela-sela, ia berdoa sekenanya: semoga suatu saat ada seseorang yang datang bukan untuk menguliti, melainkan menutup luka itu seperti seorang ibu menutup selimut ke tubuh anaknya yang demam.
.
Ratna, Kota, dan Belati Halus
Ratna hadir di saat Wira sudah berhenti berharap. Perempuan itu membawa tawa yang hangat, dan kegemaran melihat langit dari sudut-sudut tak biasa: dari balkon kantor, dari atap parkir mal, dari jembatan penyeberangan. “Kau pernah menghitung berapa warna senja di Jakarta?” tanya Ratna suatu kali. “Hampir selalu jingga, tapi setiap hari ada sedih yang berbeda di dalamnya.”
Mereka berbagi alamat kenangan: halte KRL di mana Ratna dulu menunggu ibunya pulang dari toko roti; kios fotokopi tempat Wira dulu menggandakan puisi untuk ditempel di tiang listrik; gang kecil menuju warung ketoprak yang selalu memutar lagu dangdut lawas. Ada kemesraan liris, ada pengakuan yang lirih, ada tawa yang membuat wajah Wira kembali muda.
Namun kota punya cara sendiri menguji orang. Ratna menyukai perjalanan singkat, kejutan-kejutan kecil, dan kerumitan yang membuatnya merasa hidup. Wira mencintai keteraturan, keheningan pukul dua, dan ritual kecil seperti melipat serbet dua kali sebelum dimasukkan ke laci. Perbedaan itu mula-mula seperti aksen dalam percakapan—menambah rasa—hingga pelan-pelan tumbuh jadi belati yang tak terlihat.
“Kenapa kau selalu diam kalau aku marah?” Ratna menatap Wira di trotoar Sabang yang ramai. Kejadian kecil: pesanan makanan terlambat, lalu ada pesan masuk dari kenalan lama Wira yang memuji tulisannya. Ratna tersenyum kecut, menganggap Wira menikmati perhatian lain. Wira, yang sebetulnya panik, tidak menemukan kata untuk menjelaskan bahwa perhatian itu adalah hal paling menakutkan baginya.
“Aku tidak diam,” jawab Wira waktu itu. “Aku mencoba tidak menambah api.”
“Diam itu juga pisau,” balas Ratna. “Pisau yang membuat orang mengiris dirinya sendiri.”
Lalu Ratna berbalik dan berjalan cepat. Wira mengejarnya, terhenti oleh lampu merah pejalan kaki. Ada momen kecil yang tidak terlupakan: bayangan Ratna memanjang ke arah utara, menempel pada kaki-kaki orang asing. Tatkala lampu berubah, Ratna sudah hilang. Dan Wira kembali berdiri seperti yang dulu-dulu: sendirian, memegang kata-kata yang tidak sempat dikeluarkan.
.
Umbul-Umbul di Tengah Angin
Hari-hari berubah jadi kalender tanpa tanda. Wira membenamkan dirinya pada proyek desain untuk sebuah komunitas pemuda yang membuat perpustakaan mini di gang padat penduduk. Di gang itu, ia berkenalan dengan dua pemuda keturunan Madura yang juga relawan: Umar Maya dan Umar Madi. Dua sahabat yang selalu datang berpasangan, seperti umbul-umbul di tengah angin. Umar Maya cekatan dan banyak bicara; Umar Madi pendiam, tapi sekali tertawa bisa membuat gang terdengar seperti alun-alun.
“Mas Wira,” kata Umar Maya, “cinta itu soal keberanian memulai percakapan yang terhambat.”
“Kalau percakapan sudah terlalu sering tertunda?” tanya Wira.
“Berarti bukan percakapan, tapi permakluman,” sela Umar Madi. “Dan permakluman lama-lama bisa menggerogoti harga diri.”
Mereka tertawa setelahnya, membicarakan hal-hal konyol seperti siapa yang paling pandai memasak soto daging. Tetapi kalimat-kalimat sederhana itu diam-diam mengendap di kepala Wira. Di perpustakaan gang itulah Wira melihat babak-babak kecil yang membuatnya rindu pada rumah yang tidak pernah ia punya: seorang ibu muda membaca buku bergambar dengan anaknya, seorang kakek menceritakan ulang kisah Menak Jayengrana melawan Adaninggar dengan versi yang lebih riang, dan sebuah poster bertuliskan: “Kota bisa keras, maka libatkan kata-kata yang lembut.”
Poster itu, Wira pikir, seharusnya juga menempel di hatinya.
.
Ayah, Ibu, dan Kaki-Kaki yang Berhenti
Suatu malam, Wira menerima telepon dari panti jompo tempat ayahnya tinggal di Bekasi. Ayahnya jatuh di kamar mandi; tidak parah, tetapi perlu ditemani. Wira menumpang ojek daring menembus hujan. Di panti itu, kamar-kamarnya rapi, namun sunyi. Ayahnya—yang dulu seorang sopir bus antarkota—tertidur dengan nafas berat. Wira mengusap dahi yang mulai dingin. Ia ingat masa kecil saat ayah pulang membawa oleh-oleh kacang rebus dan cerita panjang tentang jalan yang tak habis-habis.
“Laki-laki itu,” kata ibunya dahulu, “tak selalu bisa berkata-kata. Kelak kau mengerti, Nak. Ada cinta yang ditunjukkan dengan menyetel alarm demi mengingatkanmu minum obat.”
Ibunya sudah lama pergi karena penyakit yang datang seperti maling di senja hari. Sejak itu, ayahnya menjadi lelaki yang suka menatap jalanan tanpa suara. Wira baru menyadari, sebagian cara ia ireguler pada dunia adalah warisan dari ayahnya: kasih yang canggung, peduli yang tertunda, sayang yang tidak berbunga kata.
Di ruang panti itu, Wira menulis lagi: “Aku bisa mencintaimu seperti ayahku—mengganti lampu di kamar mandi, mengecek ban sepeda, mengingatkan jadwal imunisasi. Tetapi, maukah kau mencintaiku seperti ibuku? Menutupkan selimut tanpa kusuruh, memijat kaki yang nyeri, memeluk tanpa bertanya siapa salah.”
Ia sadar, kalimat itu bukan tuntutan. Itu semacam doa.
.
Museum Senyap dan Surat Tak Bertanda
Ratna mengajak Wira bertemu di sebuah museum kota. Mereka berjalan melalui lorong panjang yang menyimpan potret hitam-putih—kota ini, puluhan tahun lalu. Di satu gambar, seorang perempuan berkerudung berdiri di halte trem dengan wajah yang setengah gusar. Di gambar lain, dua lelaki bertukar koran di bawah jembatan, seolah kertas-kertas itu adalah rahasia negara.
“Aku lelah,” kata Ratna di depan foto pasar yang porak-poranda setelah kebakaran. “Aku hanya ingin dicintai tanpa harus menduga-duga kapan pisau akan datang.”
Wira menatapnya. “Aku tidak membawa pisau, Ratna.”
“Diammu itu, Wira. Diammu seperti pisau lipat. Tidak terlihat, tapi terasa di kulit.” Ratna menghela napas, melirik ke arah pengunjung lain. “Aku tahu kau pernah terluka. Tapi aku bukan ruang tunggu untuk luka lama.”
Kalimat terakhir itu seperti palu mengetuk paku terakhir di peti. Wira menelan kata-kata yang ingin ia keluarkan—tentang kecemasan yang membuatnya lamban, tentang ketakutan ditinggal yang membuatnya selalu mencari pegangan. Tapi ia tahu, percakapan itu sudah condong ke jurang. Mereka berpisah di halaman museum. Ratna menyebrangi jalan—melambai sebentar tanpa senyum—sementara Wira memilih duduk di bangku panjang menatap air mancur yang jatuh tanpa ragu.
Malamnya, ia menulis surat. Tidak disebutkan nama; hanya kalimat-kalimat yang ia inginkan sampai. Ia menyelipkannya di bawah pintu kantor Ratna, tempat Ratna mengajar anak-anak muda menulis kisah. Dalam surat itu, Wira menulis:
“Kau benar: aku bukan hanya lelaki, aku juga luka. Tapi luka ini belajar berjalan, belajar menyeberang saat lampu menurun, belajar menunggu baso yang terlalu panas. Aku ingin mencintaimu seperti ayahku mencintai ibuku: dengan canggung namun setia. Apakah kau bisa membalas seperti ibuku mencintai ayahku: dengan sabar namun tegas?”
Ia menutup surat itu dengan sebuah kalimat dari poster perpustakaan di gang: “Kota bisa keras, maka libatkan kata-kata yang lembut.”
Jawaban tidak pernah datang.
.
Pawai Sunyi dan Papan Nama yang Dipindah
Musim berganti. Papan reklame di tepi jalan diganti produk baru. Proyek peninggian trotoar berpindah ke sisi lain. Di podcast yang ia dengarkan saat begadang, Wira mendengar wawancara dengan seorang penulis tua yang menyimpulkan: “Kota tidak pernah membaik; yang membaik adalah harapan kita menghadapinya.” Kalimat itu mengandung lelah yang renyah.
Wira menyelesaikan proyek perpustakaan gang. Pada acara peresmian yang sederhana, Umar Maya membacakan cerita rakyat Menak Jayengrana yang berhasil memenangkan hati Adaninggar bukan dengan pedang, tetapi dengan keberanian mengaku takut. Anak-anak kecil bertepuk tangan. Umar Madi menepuk bahu Wira: “Kau juga Jayengrana, Mas, hanya saja pedangmu kau simpan di tempat yang salah: di mulut yang terlampau hati-hati.”
Wira tertawa, sedikit pahit. Dalam hati ia mengaku: ia menaruh pedang itu di lubuk yang membuatnya sering telat menusuk perkara yang perlu diputus.
Selepas acara, ia melintas di depan gedung tempat Ratna bekerja. Papan nama kecil di depan ruangannya dipindahkan. Seseorang bilang Ratna mengambil kesempatan mengajar di kota lain. Kota yang senjanya mungkin lebih tenang, atau hanya berbeda sedihnya. Wira berdiri cukup lama di koridor sepi itu. Tidak ada lagi sesuatu yang bisa ditunggu dari sana. Tiba-tiba ia merasa—bukan marah, bukan sedih—melainkan semacam kelapangan yang tawarnya menenangkan.
.
Jalan Pulang yang Baru
Wira memutuskan untuk pindah kamar kos. Ia memilih kamar kecil di Tebet yang jendelanya menghadap sungai yang baru direstorasi. Di pagi hari, suara pekerja menyapu daun kering menambah pola ritme di telinganya. Ia memulai kebiasaan baru: berjalan kaki menyusuri trotoar yang ditanam pohon trembesi, menegur penjual nasi uduk, mengamati mural yang dibuat anak-anak muda tentang harapan pada kota. Ia kembali menulis bukan sebagai obat, melainkan sebagai cara bernapas.
Di sebuah sore, Wira berpapasan dengan seorang perempuan yang memilih buku di kios loak. Perempuan itu bernama Maya—bukan Umar Maya, tetapi Maya yang lain—yang menyukai buku-buku resep karena baginya memasak adalah cara menjahit memori. Mereka mengobrol tentang bumbu yang membuat sayur asam memanggil masa kecil, tentang kue orang Ambon yang memakai kenari, tentang es krim rasa rujak. Percakapan mereka bergerak pelan, tanpa janji untuk besok, tapi meninggalkan kesan bahwa dunia tidak seramai kelihatannya.
Malamnya, Wira menulis catatan baru di dinding kamarnya:
“Bukan untuk melupakan, melainkan untuk mengingat dengan cara yang tidak melukai.”
Ia sadar, yang berubah bukan kota, bukan Ratna, bukan bekas luka Ning. Yang berubah adalah cara ia memegang pisau—tidak lagi menujukan ke dirinya, tidak pula ke orang lain, melainkan diletakkan di dapur, dipakai seperlunya, dibersihkan, lalu disarungkan kembali.
.
Surat yang Akhirnya Datang
Beberapa pekan setelah itu, sebuah email masuk dengan subjek sederhana: “Maaf dan Terima Kasih.” Dari Ratna. Ia menulis dari kota barunya yang banyak angin. Ratna menceritakan hal-hal kecil: pekerjaannya, apartemen mungil dengan jendela lebar, kafenya yang menghidangkan kopi dengan metode tuang manual. Di bagian akhir, Ratna menulis:
“Wira, aku minta maaf karena sering mendorongmu tepat ke tempat kau paling takut. Aku baru mengerti setelah menulis esai untuk kelas sendiri: ternyata aku juga memanggul pisau warisan—ketakutan ditinggalkan yang akhirnya meninggalkan duluan. Aku berterima kasih karena diam-mu menyelamatkanku dari kata-kata yang bisa lebih tajam dari belati.”
Wira membaca email itu beberapa kali. Tidak ada ajakan bertemu, tidak ada sisa-sisa pancing harapan. Hanya pengakuan dan doa. Dan itu cukup. Ia membalas singkat: “Terima kasih sudah menulis. Semoga kau berbahagia, Ratna. Kota mana pun akan baik selama kita bersedia menatapnya dari jendela yang tepat.”
Ia menutup laptop, menatap jendela. Di luar, lampu-lampu jalan mengilap seperti sisik ikan di air. Suara ojek daring bergantian, klakson bersahut-sahutan, tapi tidak lagi memekakkan. Di dadanya ada ruang yang dulu dipenuhi jerit, kini terisi napas panjang.
.
Menata Kembali Kamar Dalam
Di Tebet, Wira menata ulang kamarnya seperti menata ulang kepalanya. Ia membeli rak buku bekas, menempelkan peta kecil jalur MRT, menggantung foto lama ayah-ibunya yang tersenyum di depan bus antarkota. Ia menyusun peralatan kecil: obeng, selotip, benang putih. Di meja kerja, ia menaruh sebuah kotak kecil berisi kertas-kertas kalimat yang pernah ditulisnya di struk dan punggung tiket. Di kotak itu, ia menemukan sobekan tertua: “Jalan yang sama bisa membawa pulang, bisa juga memulangkan.” Ia tersenyum: kalimat itu masih berlaku, namun kini ia memilih pulang.
Umar Maya dan Umar Madi sesekali datang, membawa kabar dari perpustakaan gang. Anak-anak belajar lebih rajin; ada yang sekarang berani membaca keras. “Kelak ada pencerita hebat dari gang kita,” ujar Umar Madi. Wira menatap wajah mereka yang lelah tetapi berbinar—sepasang sahabat yang mengajarinya bahwa gagah tidak selalu berarti keras, bahwa tawa juga senjata.
Maya, teman baru dari kios loak, menitipkan sepiring kue pisang kukus di depan pintu kamar Wira dengan catatan: “Setiap gula punya takaran. Bahkan pahit pun butuh komposisi.” Mereka bertukar resep, lalu bertukar cerita. Tidak ada jaminan untuk hari esok, tetapi Wira belajar bahwa kehangatan seringkali lahir dari hal setakar tepung—bukan dari janji yang berkilau.
.
Kota yang Diterima
Malam bertambah tua. Wira menulis paragraf terakhir di catatan hariannya:
“Kota ini memberiku cermin: jalan dengan marka yang kadang pudar, jembatan yang harus diperbaiki, lampu yang kadang menyala kadang padam. Aku juga begitu. Tetapi seperti kota, aku tidak berhenti. Aku tidak sempurna, namun aku hadir. Luka tidak lagi menjadi identitasku, melainkan museum kecil di sudut hati—boleh dikunjungi, tidak perlu ditinggali.”
Ia menatap jendela. Ada pasangan yang baru turun dari ojek, saling menunduk ke ponsel lalu tertawa. Ada penjual martabak yang menutup dagangan dengan berhitung cermat. Ada kucing loreng yang menyeberang tanpa memperdulikan lampu. Dan ada Wira, yang akhirnya tahu: pulang bukan berarti kembali ke orang, melainkan kembali ke cara mencintai diri—agar jika suatu kali seseorang datang, ia tidak lagi meminta untuk diselamatkan, melainkan menawarkan tempat aman untuk bernafas bersama.
Sebelum tidur, ia menempelkan selembar kertas di dinding, di atas meja kerja. Tulisan tangan yang rapi, bukan di punggung struk, bukan di tiket yang akan hilang:
“Ingat, nona: laki-laki bisa mencintaimu seperti ayahmu—dengan menyiapkan payung, memperbaiki engsel, menunggu di depan pintu. Tetapi bisakah kau mencintainya seperti ibumu—dengan menidurkan cemasnya, mengusap demamnya, mengizinkannya diam tanpa merasa ditolak? Jika jawabannya ya, mari kita bicarakan sisa-sisa hidup ini. Pelan-pelan, tanpa pisau.”
Lampu dipadamkan. Hujan kembali datang, rintik yang sabar. Di kamar kecil itu, di sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur, Wira tersenyum untuk pertama kali tanpa rasa bersalah. Ia tahu: ada luka yang tidak sempat sembuh, tetapi tidak lagi membusuk. Ada cinta yang belum bertemu, tetapi tidak lagi menakutkan. Ada jalan yang sama, yang kini benar-benar membawa pulang.
“Ada luka yang tidak bisa diobati dengan pelukan. Ada kelelahan yang tidak bisa dihapus dengan janji. Dan ada cinta yang tak sempat diselamatkan oleh ketulusan.”
.
.
.
Jember, 23 September 2025
.
.
#CerpenSastra #KompasMingguStyle #CintaPerkotaan #LukaHati #JakartaHujan #MenakMadura #CeritaEmosional #LiterasiKota
.
Kutipan Tambahan
-
“Cinta yang dewasa adalah kemampuan menahan pisau saat marah, dan meletakkannya kembali ke dapur saat reda.”
-
“Kota mengajarkan kita, bahwa keramaian tak pernah menenangkan; yang menenangkan adalah orang yang mau duduk dan mendengarkan.”
-
“Setiap orang memanggul warisan: ada yang pisau, ada yang selimut. Pilihlah yang hendak kau berikan.”