Piring yang Menyalakan Harapan

“Makan bukan sekadar soal perut; ia adalah cara paling sunyi sebuah bangsa menjaga harga diri anak-anaknya, agar besok bisa berdiri lebih tegak daripada hari ini.”

.

Malam turun di Gang Nangka seperti tirai yang berat. Sisa hujan masih menempel di dinding-dinding lembap, menimbulkan aroma tanah yang bercampur dengan wangi mi instan dari warung pojok. Di ujung gang, lampu jalan berpendar kuning, seperti mata tua yang menolak tidur. Dari sana, Potre melangkah pelan, sandal jepitnya menampar aspal dingin, membawa sebungkus beras dua liter di dekapannya, erat—seolah memeluk besok.

Di rumah kecil berdinding seng yang miring pada satu sisi, tiga anaknya menunggu: Tole, Adi, dan Maya. Tole baru kelas lima, matanya selalu sigap seperti anak kucing yang belajar memahami arah angin. Adi lebih kecil, suaranya tinggi, tertawa sering kali terlalu cepat. Sedang Maya, yang paling kecil, masih mengeja dunia sambil menggenggam boneka kain bermata dua kancing.

“Berasnya cukup sampai Minggu,” gumam Potre, lebih kepada dirinya sendiri. Di kompor butut, panci memantulkan wajahnya yang basah. Ia meniup api, menakar air, memasukkan segenggam daun kelor dari tetangga. “Bumbu garamnya nanti saja,” katanya, “kita hemat.”

Tole mengangguk. “Besok aku makan di sekolah, Bu. Katanya Program Makan Bergizi Gratis mulai lancar.”

Kata-kata itu melompat seperti kucing ke atas pangkuan Potre—hangat, namun juga menggores. Gratis terdengar seperti kabar baik dan tatapan miring pada saat yang sama. Di gang ini, gratis adalah kabar paling meriah, sekaligus alasan orang-orang diam-diam saling mengukur isi dapur.

“Kalau benar,” jawab Potre, “makanlah yang kenyang. Jangan ragu nambah. Kamu perlu lari kencang di lapangan, perlu angka bagus di buku. Adik-adikmu butuh kakak yang tetap tersenyum.”

Malam mengendap. Televisi tetangga menyiarkan pidato panjang dari istana; suara yang berwibawa menembus bilik-bilik, menabrak hidup-hidup yang rapuh. “Tidak boleh ada anak Indonesia yang belajar dengan perut lapar.” Tole memejam, mengulang kalimat itu di dalam kepala seperti ayat yang dihafalkan: tidak boleh. Tidak boleh. Tidak boleh.

.

Pagi datang dengan udara beraroma logam. Surabaya, kota yang terbiasa dengan deru kendaraan, selalu bangun lebih awal dari peluh manusia. Di halaman sekolah, spanduk baru terbentang: Makan Bergizi Gratis. Ada gambar sayur, telur, dan buah. Di bawahnya, bahu-bahu kecil berbaris rapi, mata menatap panci besar yang mengepulkan uap.

“Anak-anak, cuci tangan dahulu,” kata Bu Anik, guru yang selalu memakai kerudung polos dan senyum sedikit miring. “Baru ambil porsi kalian.”

Tole menatap sendok besar yang mencedok nasi ke piringnya: sewarna hujan yang baru reda. Ada sayur bening berisi wortel, ada seiris telur rebus. Di ujung meja, jeruk manis berguling perlahan, tertahan oleh pinggiran nampan. Adi, di TK, mendapat bubur kacang hijau yang masih panas. Maya digendong kader posyandu kelurahan—Madi—yang datang membantu. Madi bertubuh kurus, suaranya datar, tapi matanya jernih seperti air yang tidak ingin menipu siapa pun.

“Pelan-pelan, Maya,” kata Madi, “rasanya manis. Kalau terlalu cepat, lidahmu terbakar.”

Potre berdiri di ambang pagar, mengintip dari kejauhan. Ada getar di dadanya yang tak bisa dijelaskan; semacam rasa terima kasih yang takut bersuara. Ia membayangkan dapur kelurahan yang beberapa hari terakhir tak pernah sepi: ibu-ibu PKK dengan kain celemek, panci besar, catatan bahan baku, daftar alergi, dan poster yang menempel di dinding mengenai empat sehat lima sempurna versi baru. Di sana ada Maya kecil yang menghafal bentuk-bentuk sayur, ada Adi yang menyebut namanya sendiri pelan-pelan, ada Tole yang diam-diam menambah sendok terakhir karena ingat lari paginya belum kuat.

.

Kota mengajar orang untuk cepat memercayai kabar dan lebih cepat lagi untuk meragukannya. Di warung kopi milik Pak Umar—orang-orang memanggilnya Umar Maya, karena istrinya bernama Maya juga—berita selalu datang lebih dahulu daripada koran. Seseorang berkata ada dapur kelurahan di kecamatan sebelah yang tersendat logistik; nasi terpaksa matang terlambat, anak-anak menunggu, beberapa mengeluh mual. Seseorang lagi menyelipkan isu alat makan impor yang halal-haramnya dipertanyakan. Seorang bapak berbatik menyalakan rokok: dana besar selalu mengundang tangan-tangan yang terlalu cepat menghitung.

“Ah, program besar memang begitu,” kata Umar Maya, mengelap meja. “Orang lapar tak bisa menunggu. Tapi orang lapar juga tak pantas jadi bahan main-main angka.”

Potre mengaduk kopi, menatap permukaannya yang digempur gelembung kecil. Ia tahu kabar buruk akan selalu menemukan telinga. Namun ia juga tahu: sejak dapur kelurahan dibuka, senyum anak-anaknya lebih lama diam di bibir.

“Tole jadi lebih kuat larinya,” katanya pelan. “Adi tidak lagi pusing di kelas. Maya tak rewel tidur.”

Umar mengangguk. “Kalau begitu, kau pegang itu erat-erat. Yang baik harus diselamatkan dari gosip. Yang kurang—kita rapatkan sendoknya.”

Malam itu rapat warga digelar di aula kelurahan. Kursi plastik berderet, bau cat lama bercampur wangi minyak kayu putih. Hadir juga perawat puskesmas, ketua RT, beberapa pemuda karang taruna. Madi membawa map besar berisi SOP kebersihan: suhu makanan, cara menyimpan, cara mencatat asal bahan—semua diterangkan seterang lampu neon di langit-langit.

“Kita tidak boleh menganggap enteng mulut kecil yang menyuap,” katanya. “Mulut kecil itu masa depan. Jika ada yang sakit, kita harus tahu letaknya di mana: di bahan, di cara masak, di distribusi, atau di asal kabar.”

Ada yang menyela, suaranya agak tinggi: “Dan dana? Bagaimana dana? Tidak ada yang menguap di jalan?”

Madi menatapnya, tenang. “Kita minta laporan harian. Buka untuk warga. Kita pakai pangan lokal. Sayur dari kebun RW, ikan dari pasar pagi. Jika ada keraguan, kita cek bersama. Jangan biarkan gosip jadi gizi.”

Rapat usai saat jam dinding menabrak angka sembilan. Di luar, hujan kembali jatuh; kali ini seperti air mata yang lupa sebabnya. Potre pulang sambil menggandeng tangan Maya, sementara Tole dan Adi berjalan berpayung daun pisang. Di tengah jalan, Tole menoleh ke langit: “Bu, kalau hujan turun begini, dapur besok bisa masak?”

“Bisa,” jawab Potre. “Karena hujan hanya menambah alasan untuk hangat.”

.

Hari-hari berikutnya memadat seperti nasi di piring yang ditanak cepat. Dapur kelurahan bekerja sebelum ayam jantan ingat berkokok. Ada giliran belanja, giliran menyiang, giliran mencuci. Ada panci yang berkerut karena api terlalu galak, ada sendok yang patah tapi kemudian disambung dengan lakban. Ada daftar nama anak-anak yang alergi udang, yang tidak tahan santan, yang sedang diare. Di dinding, poster baru: “Makanlah dengan syukur. Cuci tangan sebelum makan. Ucapkan terima kasih sesudahnya.”

Tole mulai terbiasa menunggu giliran tanpa resah. Ia tahu, menunggu kadang-kadang adalah bentuk paling halus dari saling menjaga. Di sekolah, nilai matematikanya perlahan naik. Ia tak lagi memandangi jam di dinding sambil membayangkan lauk. Ia menghafal rumus pecahan, menulisnya di buku dengan huruf yang mendadak rapi.

Namun kota, seperti yang selalu diceritakan orang-orang tua, tak pernah benar-benar tidur. Di toko kelontong Bu Koneng—yang meminjam namanya dari legenda, tapi tetap menagih utang dengan serius—ada ibu yang berbisik, “Anak-anakku malu kalau makan di sini, Bu. Katanya itu khusus orang miskin.”

Bu Koneng menatap tajam; kantong plastik di tangannya berhenti bergerak. “Bilang pada anak-anakmu,” ucapnya, “ini bukan sedekah. Ini janji negara yang semestinya sudah lama. Kau malu pada hakmu? Untuk anak, kita tegas. Untuk lapar, kita keras kepala.”

Kata-kata seperti itu, jika sampai ke telinga yang benar, bisa menegakkan tulang punggung. Malamnya, ibu itu mengetuk rumah Potre, meminta maaf, meminjam piring lebih besar untuk esok hari. “Biar anakku belajar kenyang tanpa rasa bersalah,” katanya. Potre tersenyum, mencari piring paling baik yang dimilikinya, mengelapnya hingga bersih. Diberikannya piring itu dengan tatapan yang membuat malam di gang sedikit lebih terang.

.

Suatu siang yang lembap, berita buruk benar-benar datang. Seorang anak di kelurahan sebelah sakit perut setelah makan. Grup WhatsApp menjadi pasar. Gambar-gambar tak jelas asalnya tersebar lebih cepat daripada ambulans. Kata keracunan melesat di antara tanda seru dan emotikon marah. Dapur-dapur menahan nafas.

Madi bergerak, tanpa lebih dulu menyalakan sirene dramanya. Ia mengambil sampel makanan, menandai waktu masak, suhu panci, catatan belanja. Ia datangi pasar, menemui pedagang sayur, mencatat nomor petani yang memasok, memeriksa air bersih. Di kantor kelurahan, ia mengetik laporan yang panjangnya mengalahkan jarak antara sabar dan panik.

Tole dan Adi menatap panci kosong siang itu; distribusi tertunda dua jam. Perut mereka memang memprotes, tapi mata mereka menyaksikan orang-orang yang bekerja dengan cemas rapi. Dan cemas yang rapi—di kota seumuran Surabaya—adalah tanda baik: orang belajar takut pada hal yang tepat.

Sore hari, kabar pembeda datang: anak itu ternyata juga makan bakso tusuk di pinggir jalan yang keranjangnya tak tertutup. Dapur kelurahan menerima teguran untuk lebih cepat menyajikan, lebih teliti menutup panci. Pedagang bakso tertibkan; diberi pelajaran higienitas, diberi kain penutup, diberi kesempatan kedua.

Malam itu, kota seperti menghela nafas. Madi berjalan pulang melewati deretan jemuran yang tak kering-kering, menatap lampu-lampu balkon yang menatap balik. Potre menunggu di depan rumah, mengangkat gelas berisi teh panas. “Terima kasih,” katanya.

“Terima kasih untuk apa?” tanya Madi.

“Untuk menjaga doa orang yang tak punya banyak kata.”

Madi tak menjawab. Ia menyeruput teh. Dari jauh, azan magrib menggulung perlahan, menempel pada kulit kota.

.

Bulan berikutnya, dapur kelurahan menjadi semacam rumah kedua. Di sana, Potre merasa memiliki ruang untuk berguna tanpa perlu menanyakan syarat. Ia belajar membuat daftar belanja yang tidak mudah dikorupsi oleh diri sendiri: harga-harga ditulis dengan tinta biru, totalnya dengan hitam, catatan kecurigaan dengan merah. Ia menempelkan papan tulis kecil di dinding: “Hari ini: sayur lodeh, telur rebus, tempe bacem, buah pepaya.” Anak-anak menghafal menu—cara paling riang memahami konsep gizi seimbang tanpa ceramah.

Tole ikut membantu mengantarkan porsi ke pos RW yang jauh dari aula. Di jalan, ia bertemu Mita—teman kelas yang sering mengejek. “Wah, pahlawan nasi gratis,” kata Mita, tertawa kecil.

Tole berhenti. Ia ingat saran Bu Anik: jika ada ejekan, jangan balas dengan ejekan. Jadikan kalimatmu seperti air yang tahu jalan pulang. Ia menatap Mita sambil menahan senyum. “Aku memang pahlawan nasi, Mit. Soalnya kalau perut kenyang, matematika jadi teman. Kamu mau ikut? Kita butuh pahlawan buah.”

Mita terdiam. Dua detik kesunyian terasa seperti separuh abad. “Boleh,” akhirnya ia berkata. “Tapi aku pilih jeruk. Apel mahal.”

“Kita beli pepaya saja,” jawab Tole. “Yang jatuh dari pohon tetangga tadi pagi.”

Keduanya tertawa. Di atas kepala mereka, awan mulai bergerak ke timur, seperti seseorang yang akhirnya tahu arah.

.

Suatu sore yang lebih damai daripada biasa, kelurahan mengadakan tasyakuran kecil. Kursi-kursi disusun setengah lingkaran, anak-anak duduk di lantai dengan kaki bersilang. Ada panji-panji kecil yang dibuat dari gabus memajang gambar piring bergizi: nasi, lauk, sayur, buah, dan air putih. Ketua RW berbicara—lebih pelan daripada biasanya—tentang angka gizi buruk yang menurun, tentang anak-anak yang kehadirannya di sekolah meningkat, tentang nilai rapor yang mulai bergeser naik satu-demi-satu.

“Ini bukan mujizat,” katanya. “Ini kebiasaan baik yang dipaksa jadi sistem. Kita jagai agar tetap manusiawi.”

Madi kemudian tampil, membawa kotak kecil. “Aku tidak pandai pidato,” ucapnya. “Tapi ada yang ingin kubagikan.” Dari dalam kotak ia mengeluarkan sendok kayu, satu per satu, hasil kerja pemuda karang taruna yang mencoba usaha mikro. Di gagang sendok itu, diukir kata-kata sederhana: “Sehat—Syukur—Seimbang”. Anak-anak menyambutnya seperti mainan baru, padahal itu hanyalah alat makan. Namun alat makan yang diberi makna memang bisa menjadi bendera.

Potre pulang malam itu dengan langkah ringan. Ia memeriksa isi dapur: beras tinggal seperempat kaleng biskuit bekas, minyak masih seujung botol, garam cukup. Ia menanak nasi sedikit, menumis kangkung dengan bawang putih, menyisakan sebagian untuk besok. Tole duduk di kursi plastik, membuka buku PR. Adi membuat rumah dari kardus bekas. Maya menidurkan boneka kainnya, menutupi kedua mata kancing itu dengan telapak tangan kecil.

“Bu,” panggil Tole, “kenapa namaku Tole?”

Potre menatapnya, tersenyum. “Karena dulu, ketika kau lahir, listrik mati. Malam gelap sekali. Bapakmu bilang, namai anak ini dengan nama yang kuat, yang bisa menyalakan dirinya sendiri seperti legenda Joko Tole di cerita orang Madura. Biar ia tak ketergantung pada lampu. Biar kalau dunia redup, dia belajar menyala dari dalam.”

Tole mengangguk, menatap halaman buku yang tiba-tiba terang. “Kalau begitu, aku ingin menyalakan yang lain juga.”

“Mulailah dari piringmu,” kata Potre. “Hargai apa yang ada di sana. Lalu bagi senyummu pada siapa pun yang menunggu giliran.”

.

Tak ada program yang tak lelah. Dan kota yang selalu bergerak sering lupa memandangi wajah-wajah yang menyiapkan gerak itu. Dapur kelurahan suatu hari kehabisan gas. Besoknya, pemasok sayur telat karena truknya bocor ban. Lusa, hujan terlalu deras, distribusi tersendat. Setiap kali ada gangguan, ada kata-kata yang ingin tumbuh menjadi sinisme. Setiap kali pula, selalu ada tangan yang menolak membiarkannya dewasa.

Uang memang besar. Tetapi lebih besar daripada uang adalah kegigihan para ibu-ibu yang tak mau anak-anak di kota ini kembali mengantuk karena lapar. Mereka mengikat rambut, menggulung lengan baju, menyalakan kompor, mencicil doa: satu untuk setiap cawan sup, satu untuk setiap suap nasi.

Madi jatuh sakit setelah berhari-hari kurang tidur. Di puskesmas, perawat lain menggantikannya. Potre datang membawa bubur ayam hangat, meletakkannya di meja kecil.

“Kau seperti ibuku,” kata Madi sambil tertawa kecil.

“Tidak,” jawab Potre. “Aku hanya ingin menambal lubang yang dibikin hujan.”

“Lubang apa?”

“Lubang di hari—kalau tidak kita tambal, anak-anak akan jatuh di sana.”

Madi menatap jendela. Di luar, anak-anak berbaris, piring di tangan. Langkah mereka membuat lantai terasa seperti drum kecil yang diisi gembira. Ia tahu, sebentar lagi harus kembali berdiri. Tapi untuk saat ini, ia mengizinkan tubuhnya duduk lebih lama, menerima garam pada buburnya, dan rasa syukur pada bibirnya.

.

Bulan berganti. Di rapor Tole, angka-angka beranjak. Di buku catatan Potre, daftar belanja menjadi lebih rapi. Adi mulai kehilangan kebiasaan menidurkan perutnya dengan air putih. Maya bisa menyebut nama-nama sayur tanpa terbata. Di papan pengumuman kelurahan, grafik kecil menampilkan absensi sekolah naik, keluhan pusing turun. Orang-orang tidak semua percaya pada grafik; tetapi mereka percaya pada warna pipi anak-anak yang berubah.

Suatu sore, Tole pulang membawa kabar.

“Bu, aku terpilih mewakili sekolah untuk lomba lari jarak 800 meter.”

Potre memeluknya. “Kau akan berlari untuk siapa?”

“Tole menatap jendela: gang, langit, atap seng, jemuran handuk, suara penjual bakso, peluit satpam. “Untuk kita. Untuk panci yang bangun lebih dulu daripada matahari.”

Hari lomba, lapangan kota penuh teriakan. Tole berdiri di garis start. Kakinya tak panjang, nafasnya belum panjang, tetapi di dadanya ada halaman-halaman yang pernah ia makan: sayur bening, tempe, bubur kacang, jeruk. Peluit melengking. Ia berlari, bukan untuk menjadi juara kota, melainkan untuk mengajari tubuhnya bahwa harapan punya detak. Putaran pertama, ia menahan. Putaran kedua, ia ingat tawa Adi. Putaran ketiga, ia ingat tangan Maya di pipinya. Putaran terakhir, ia ingat kata-kata ibunya—menyalakan dari dalam.

Ia finis di urutan dua. Tidak ada medali emas, tapi ada mata Potre yang berkaca-kaca dan tangan Madi yang menepuk bahunya. Di podium sederhana, Tole menunduk, memegang pita perak. “Apa rasanya?” tanya Mita, yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya, membawa jeruk dalam plastik kresek.

“Rasanya seperti nasi hangat setelah hujan,” jawab Tole.

Mita tertawa. “Aneh sekali—tapi aku mengerti.”

.

Di Gang Nangka, malam kembali turun. Kota menguap, bersiap tidur, sabuk jalan menelan sisa-sisa lampu. Potre menuliskan sesuatu di buku yang selalu disimpan di laci—buku yang hanya ia dan Tuhan yang membacanya:

“Anak-anakku kenyang hari ini. Tuhan, biarkan kata ‘gratis’ tidak memperkecil hati mereka. Biarkan kata itu menjadi jembatan yang mengantar mereka pada kata-kata lain: gigih, jujur, peduli. Jika suatu hari nanti dapur kami kembali sepi, ajari kami cara menanak harapan. Jika suatu hari program ini diganti nama, digeser anggarannya, diguncang politiknya, jangan biarkan piring anak-anak kembali kosong.”

Lampu padam. Suara hujan sekali lagi mengusap atap. Di suatu tempat, di gedung tinggi dengan pendingin ruangan terlalu dingin, orang-orang membahas angka-angka baru. Di gang ini, orang-orang membahas besok: siapa yang belanja, siapa yang mencuci, siapa yang mengantar, siapa yang menenangkan.

Dan di tengah semuanya, ada anak bernama Tole yang menyimpan sendok kayu dengan ukiran Sehat—Syukur—Seimbang di bawah bantalnya. Ia percaya benda-benda pun bisa menjadi doa jika seseorang memeluknya dengan cukup sabar.

.

Pagi lain datang. Spanduk di sekolah sudah agak pudar warnanya, tetapi huruf-hurufnya tetap tegak: Makan Bergizi Gratis. Di bawahnya, barisan piring bergerak seperti gelombang kecil di pantai yang tahu kapan harus pecah. Tole dan Adi mendorong troli kecil, Maya menggenggam buah pepaya yang hampir sebesar wajahnya. Potre mengenakan celemek dengan noda minyak yang tidak mau pergi: tanda ia telah berdiri di sisi api.

Suara bel berbunyi. Anak-anak masuk kelas, perut mereka mengeluarkan bahasa yang sama: tenang. Di papan tulis, pecahan-pecahan menyatu menjadi bilangan bulat. Di buku menulis, huruf-huruf yang semula tampak seperti semut yang bubar, kini berbaris seperti upacara bendera.

“Bu,” kata Tole pada Bu Anik ketika pelajaran usai, “mengapa makanan bisa membuat angka-angka menjadi masuk akal?”

Bu Anik tersenyum. “Karena lapar adalah jarak paling jauh antara pikiran dan kertas. Makan adalah jembatan.”

Tole menyalin kalimat itu ke catatan kecilnya. Ia ingin kelak, jika sudah besar, kalimat itu dibingkai di rumah yang jendelanya lebih lebar daripada sekarang.

.

Di warung kopi Umar Maya, gelas-gelas kembali beradu pelan. Kabar baru datang, kabar lama dicuci ulang. “Anggaran tahun depan meningkat,” seseorang berkata. “UMKM dilibatkan,” sambung yang lain. “Tetap waspada,” tukas Umar, “karena tangan yang tergoda selalu tumbuh di tempat yang sama.”

“Lalu apa yang kita lakukan?” tanya seseorang.

“Hal yang bisa kita pegang,” jawab Umar. “Jaga dapur. Jaga mulut. Jaga catatan. Kalau ada yang salah, perbaiki. Kalau ada yang benar, jangan malu memuji.”

Potre mengangkat cangkirnya. Di permukaan kopi, wajahnya pecah-pecah menjadi bulatan kecil. Ia tertawa pelan, menyadari betapa seringnya ia tak menyukai wajahnya sendiri, betapa sering ia melupakan bahwa wajah itu adalah peta yang menemani anak-anaknya pulang.

“Tole sebentar lagi lomba lagi,” katanya.

“Doa kita tetap sama,” ujar Umar. “Bukan untuk emas. Tapi untuk napasnya yang tidak putus.”

.

Malam terakhir pada musim hujan, gang tiba-tiba terang. Karang taruna menggantungkan lampu-lampu bekas Natal, menulis Terima Kasih Dapur Kita pada kain spanduk yang tidak rata. Anak-anak bernyanyi, suara mereka patah-patah tapi jujur. Tole membacakan puisi di depan mikrofon yang suaranya serak:

“Jika makan adalah doa,
maka sendok adalah salam;
mulut kecil yang menyuap
adalah mata air yang baru lahir.
Kami belajar berterima kasih
pada nasi yang tetap putih
meski dimasak dalam panci tua—
karena kami tahu,
putihnya bukan dari pabrik,
melainkan dari tangan yang tak mau menyerah.”

Orang-orang bertepuk tangan. Madi menunduk, menelan sesuatu yang bukan air mata. Potre memeluk Maya, pipinya menempel pada rambut anak itu, wangi bayi yang belum mau pergi.

Lampu-lampu perlahan padam. Namun di hati gang ini, sesuatu tetap menyala: kesadaran bahwa kehangatan tidak lahir dari satu kompor saja, melainkan dari banyak tangan yang rela menahan panas.

Esok hari, spanduk mungkin dilepas. Program bisa berganti nama. Buletin baru akan dicetak. Tetapi di buku catatan Potre, di sendok kayu Tole, di tawa Adi, di mata Maya—dan di panci yang setiap subuh kembali menunggu api—ada jejak yang tak mudah dihapus: bahwa bangsa ini pernah—dan masih—belajar menyuapi anaknya sendiri.

Dan pelajaran paling sukar itu, seperti semua pelajaran yang baik, dimulai dari sebuah kalimat sederhana yang akhirnya mereka percayai: Tidak boleh ada anak yang lapar di sekolah.

.

.

.

Jember, 13 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#MakanBergiziGratis #GenerasiEmas2045 #GiziAnak #DapurKelurahan #CerpenKompas #SastraKota #UMKMLokal #AntiStunting

Leave a Reply