Pintu yang Menjaga Dada

“Menghargai diri sendiri bukan berarti meninggi. Itu cara paling rendah hati untuk menjaga apa yang tak terlihat: martabat, batas, dan napas.”

.

Hujan datang seperti kabar yang tak diminta: deras, terburu, dan meyakinkan. Lampu-lampu jalan memantul pada aspal licin, menyalakan kilau yang mirip sisik ikan. Samid berdiri di ambang pintu warung kopi Belakang Sarinah, menatap genangan yang menggigilkan betis orang-orang yang berlari sambil menutup kepala dengan map, tas, atau telapak tangan.
Di ponselnya, notifikasi rapat barusan masih mengambang di layar: “Terima kasih semua—presentasi Aria memukau. Kita pakai deck itu untuk tender final.”
Deck itu? Samid menyusun datanya tiga bulan. Aria memakainya pagi ini dengan mengganti sampul dan menaruh namanya di pojok bawah. Semua tertawa, berdekap, dan memanggil Aria “penyelamat”. Nama Samid tidak disebut. Lagi.

Ia menutup jaket, merapatkan ritsleting seperti seseorang yang menutup diri dari angin tajam. Di bangku dekat jendela, sepasang anak muda selfie, mengangkat cangkir cappuccino ke kamera dan menulis caption di layar: #workhardplayhard. Samid menghela napas pendek. Bukan pada mereka lelahnya, melainkan pada dirinya sendiri yang terlalu lama menyamakan “diakui” dengan “dihargai”.

Di Madura—kampungnya—bapaknya sering berkata, *“Ajhingng diri sakalethi”—ajining diri saka lathi—*harga dirimu pada lisanmu dan caramu menaruh diri. Di Jakarta, sebaliknya tampak berlaku: harga ditentukan oleh siapa yang paling keras bersuara, paling cepat hadir di foto, paling rajin menepuk punggung.

Samid meraih ransel. Ia tahu, malam ini ia tidak akan datang ke pesta yang memajang kemenangan orang lain di atas jerihnya. Kali ini ia memilih tidak datang meski di-tag berkali-kali di story rekan-rekannya.

.

Di lift kantor siang tadi, Aria menepuk bahu. “Mid, maaf ya baru bilang. Aku pakai deck-mu karena waktunya mepet. Kamu sibuk, kan? Tapi besok-besok kita bareng.”

“Besok-besok,” ulang Samid. Kata yang licin seperti sabun; memutihkan luka tapi tak menyembuhkannya.

Lift berhenti di lobi. Mereka berpisah tanpa menoleh.

.

Samid tinggal di kamar kontrakan lantai tiga, gang sempit di Tanah Abang. Dari jendela ia bisa melihat punggung gedung-gedung besar—seolah ia selalu di belakang panggung, mendengar sorak, tidak pernah masuk sorotan. Di dinding tergantung foto ibunya di Pamekasan, berkerudung hijau muda, senyum yang membuat semua luka terasa punya alasan untuk sembuh.

Ia menyalakan lampu kuning yang canggung, membuka laptop, lalu menatap folder berjudul: “Sabrang.” Sebuah projek kecil yang ia tangani di sela-sela gila kerja: pendampingan digital untuk warung soto, kedai kopi, dan bengkel sederhana di kampung-kampung. Nama “Sabrang” ia pilih dari kata seberang—menyilang batas. Ia ingin sesuatu yang tidak hanya memajang diri, tapi mengangkat yang tersembunyi.

Pagi tadi ia hampir membatalkan semua. Setelah kejadian presentasi, ia merasa Sabrang hanyalah pelarian cengeng. Tapi hujan malam—yang membasuh poster fashion raksasa sampai jadi dalmatian hitam-putih—mengingatkannya pada janji yang ia tulis di buku catatannya: “Kalau tidak dihargai, jaga jarak. Kalau tidak diajak, jangan memaksa diri datang. Kalau diajak terlambat, tersenyum dan menolak.”

Kata-kata itu bukan nasihat motivator, melainkan pagar agar dirinya tak kembali diinjak.

.

Suatu malam lain, di halte Dukuh Atas, Samid bertemu Nursiyam—teman SMP yang dulu duduk sebangku—kini menjadi mitra ojek daring. Jaketnya basah, helm menggantung di siku, senyumnya tetap ringan.
“Koen, Mid?” sapanya setengah Madura.
“Piye kabarmu, Yam?”
“Lancar. Rejeki wis ana sing ngatur. Iki Jakarta, rek. Saben dina kudu waras.”

Mereka duduk memandangi arus kendaraan. Nursiyam bercerita tentang penumpang yang marah-marah karena jalan dialihkan, tentang bonus aplikasi yang seperti janji kembang tebu—manis di bibir, hilang di akhir bulan.
“Tapi, benak, aku isih milih hormat karo awak dhewe,” kata Nursiyam. “Lek pelanggan ngina, tak antarke tekan tujuan, tak ucap mator sakalangkong, terus tak blok. Ora kabeh duwek kudu tak lebokno sak jiwaku.”
Samid tertawa pendek. “Kowe kok bisa enteng ngene.”
“Sing berat itu ndangakno bathin, Mid. Nek dudu rejekiku, tak lepas. Liyane: njogo wateh.”

Malam itu, di antara klakson dan bau hujan, Samid belajar ulang tentang batas—bahwa tidak semua yang hilang perlu dikejar, dan tidak semua yang datang perlu disambut.

.

Besoknya, di kantor, Aria mengirim pesan: “Bro, party malam ini. Maaf undangannya telat. Dateng ya! Kita bagi-bagi angpau project!”
Samid menatap layar sebentar. Jempolnya mengetik: “Terima kasih. Aku izin tidak bisa. Lain waktu saja.”
Ia menaruh ponsel telentang. Ada rasa ringan di dada, seperti seseorang yang akhirnya melepas sepatu kekecilan.

Di meja, tim HR mengedarkan kertas evaluasi. Kolom “kolaborasi” diisi manajer: “Cukup. Perlu lebih proaktif merangkul tim.” Kolom “kepemimpinan” diberi centang kuning: “Potensial, namun terlalu pendiam.”
Samid tersenyum. Pendiam menurut mereka adalah tidak ikut pesta, tidak menggosok punggung yang sama, tidak meminjami nama untuk menyelamatkan yang abai. Ia memilih menulis satu kalimat kecil di catatan akhir: “Saya akan lebih tegas menjaga waktu dan fokus.”

Malam hari ia menaiki bus ke arah Slipi, membawa kamera pinjaman. Ada seorang pemilik warung soto, Mak Syarifah—nama yang ia pinjam dari cerita Menak, Syarifah Ambami—yang baru ia bantu membuatkan akun media sosial. Warung itu masuk gang kecil dekat pabrik roti, meja plastik mengilap, panci besar menguapkan bau rempah.
“Samid, foto sop buntutku cepet, nak,” katanya.
Ia memotret, memberi saran angle, menulis caption seadanya: “Soto daging rebus sepenuh hati. Datanglah selagi hangat.”

Besoknya, postingan itu viral kecil-kecilan karena dibagikan anak-anak kos. Penjualan Mak Syarifah naik dua kali lipat. Ia mengirim pesan suara ke Samid dengan nada terisak: “Nak, sampean tak doakno terus. Terima kasih wis ngangkat warunge oreng tuo iki.”
Samid menatap atap bus ketika mendengarnya—langit malam menyala oleh reklame minuman energi. Inilah jenis tepuk tangan yang ia cari: doa yang tak dipasang di layar, tapi memantul tenang di rongga dada.

.

Aria mulai kesal. Suatu siang, ia menuduh Samid tidak menaruh tim sebagai prioritas.
“Kita butuh kamu approach klien bareng aku,” kata Aria, menahan kecewa yang ia bungkus dengan wibawa. “Kamu malah sibuk di luar. Tahu nggak, aku sampai dimarahin direktur karena kamu nggak ikut presentasi.”
“Bukankah deck-mu sudah cukup?” tanya Samid.
Aria diam sebentar. “Kamu kok nyindir?”
“Aku menjelaskan,” kata Samid datar. “Aku tidak lagi mengejar pintu yang tidak ingin kubuka.”

Itu kalimat yang ia pelajari dari ibunya: Lek oreng montek, jak ngeni jendela; nek jendela torakon, montekah atap. Jika orang menutup pintu, cari jendela; tapi jika jendela pun dibeton, jangan memanjat atap—pulanglah pada halaman sendiri.

.

Pesta kantor berlangsung tanpa Samid. Foto-fotonya ramai. Aria memegang dummy cheque, semua mengangkat gelas plastik berlabel sponsor. Ada caption: “Family that wins together.”
Samid mematikan ponsel. Ia sudah berjanji pada dirinya: yang mengundang terlambat, ia tolak dengan senyum.

Ia memilih pergi ke RS Pelni menjenguk Nursiyam yang kecelakaan kecil—terserempet mobil saat mengantar penumpang mabuk. Di ruang perawatan, Nursiyam meringis, lututnya diperban.
“Untung ora parah,” katanya. “Kau ya, Mid, nek nganggur sakjane iso dadi PR rumah sakit. Sosokmu adem.”
Samid tertawa. “Aku sing butuh diobati.”
“Obatmu gampang,” jawab Nursiyam. “Ngerti wates. Wong nganggone sampean nek ngono, tinggal no.”

Kalimat itu ibarat paku menegakkan kayu goyah di dalam diri.

Esoknya, Samid mengirim email ke direktur: permohonan ibadah cuti tiga hari. Ia ingin puasa gawai, puasa rapat, puasa basa-basi. Direktur mengizinkan, mungkin karena pikirnya “yang pendiam ini tak akan ke mana-mana.” Di luar kantor—yang hangat oleh AC dan dingin oleh persaingan—Jakarta bergerak seperti spidol yang hampir habis: garisnya putus-putus tapi tetap memaksa menulis.

.

Hari pertama cuti, Samid naik KRL ke Bogor, lalu angkot ke Cibinong. Ia mendatangi Pak Kasman—kenalan Mak Syarifah—yang memiliki bengkel sepeda. Bengkel itu gelap, lampu neon berkedip, sepeda-sepeda tua menggantung seperti kerangka ikan.
“Mas Samid iki sing bantu warung Syarifah viral kuwi?” tanya Pak Kasman, kebahagiaan di suaranya.
“Bukan viral, Pak,” jawabnya. “Cuma cerita yang tepat, waktu yang pas.”
“Aku kepengin uga, Mas. Paling ora, pelangganku ngerti nek bengkel iki isih urip.”

Samid menyalakan kamera. Ia memotret tangan Pak Kasman yang penuh kapalan, minyak yang menghitamkan kuku, mata yang berkaca ketika menceritakan sepeda anaknya yang ia perbaiki dulu mengantar sekolah. Ia menulis: “Di bengkel ini, roda-rodamu tak hanya berputar—tapi pulang.” Postingan itu sederhana, tak tembus apa-apa, tapi pelanggan mulai datang dengan wajah ramah.

Di perjalanan pulang, bus berhenti karena razia. Malam turun seperti tirai. Samid melihat dirinya di jendela: sosok yang tak lagi memaksa orang lain melihat. Ia malah melihat dirinya sendiri, jernih.

.

Hari kedua, ia hujani pesan tak penting dari Aria: “Bro, deadline majalah. Kamu cover aku ya.”
Samid mengetik ringkas: “Tidak.”
Aria memanggil. Tidak diangkat.
Ia menuliskan satu kalimat di buku catatan: “Jika dipakai, tegakkan pagar.” Lalu menambah satu lagi: “Jika dilecehkan, melangkahlah dengan kepala tegak.”

Hari ketiga, ia mendapat email dari seorang manajer brand minuman rempah di Bandung. Mereka melihat hasil kerja Samid untuk Mak Syarifah, ingin kerja sama program UMKM. “Kami butuh orang yang menulis dengan hati, bukan portofolio penuh sorak,” tulis manajer itu.
Samid menutup mata. Ada rasa hangat yang pelan, seperti teh jahe yang mengusir dingin.

.

Sore yang lain, ketika cuti usai, ia kembali ke kantor. Di ruang rapat, direktur membahas tender final. Presentasi Aria memenangkan penghargaan internal, tetapi tendernya kalah dari agensi lain.
“Kenapa?” tanya direktur.
“Klien bilang presentasi kita bagus tapi tidak menyentuh lapangan,” jawab staf.
Direktur menatap ruangan. “Kita terlalu sibuk memotret diri.”

Samid menatap mejanya. Di atasnya ada amplop cokelat. Surat perpanjangan kontrak—atau pemutusan? Ternyata, sebuah penawaran mutasi ke divisi baru yang jauh dari sorotan, dengan gaji sama.
Ia mendadak tenang. Ketika diremehkan, biarkan hasil yang bicara; ketika dilupakan, belajarlah melupakan; ketika dipanggil terlambat, datanglah pada pekerjaan yang memanggil lebih awal—hatimu sendiri.

Ia menulis email jawaban: “Terima kasih untuk kesempatan. Dengan hormat, saya mengundurkan diri.”

.

Malam itu ia naik travel menuju Surabaya; dari sana, bus menuju Pamekasan. Jalanan membentang seperti kalimat panjang tanpa koma. Di kursi sebelah, ada seorang perempuan muda membawa kardus berisi kerupuk. Namanya Siti Zubaedah—Samid tersenyum karena nama itu mengingatkannya pada cerita Menak; Zubaedah yang tabah. Ia baru kembali dari menjadi karyawan ritel, memutuskan pulang untuk membantu ibunya berjualan.
“Kenapa pulang?” tanya Zubaedah.
“Karena sudah waktunya percaya pada langkah sendiri,” jawab Samid.
“Takut?”
“Takut itu biasa. Yang penting jangan menggadaikan diri.”
Perempuan itu mengangguk. Bus melaju menembus garis-garis lampu jalan, seperti tombak-tombak kecil yang menyibak gelap.

.

Di Pamekasan, Samid menyatu dengan ritme yang lebih bersahaja. Pagi menyapu halaman, sore mengeringkan karung jagung, malam menabuh kentongan jarak jauh. Dia menyewa ruang kecil dekat alun-alun, menaruh meja, dua kursi, layar proyektor, dan papan tulis yang ia beli bekas. Di kaca depan ia tempel tulisan tangan: SABRANG—Cerita, Foto, dan Jejak Digital untuk Usaha Kecil.

Hari pertama tak ada yang datang. Hari kedua, dua orang. Hari ketiga, Mak Syarifah menjenguk sambil membawa panci kecil berisi gulai.
“Lek kau rindu tepuk tangan, dengarkan sendok yang membentur piring,” kata Mak Syarifah sambil tertawa. “Itu tepuk tangan yang membuat perut kenyang.”
Samid makan sambil menahan haru. Di ruangan sempit itu, ia merasa sesuatu tumbuh: bukan karier, melainkan akar.

Dia juga mengajak Nursiyam—yang sudah sembuh—untuk bergabung menjadi kurir konten: mengambil gambar, mengantar brosur, menemani sesi pelatihan. Nursiyam menolak gaji tinggi.
“Cukup disamakan bensin lan lauk,” katanya. “Sing penting, awake dhewe sedekah ilmu.”

Seminggu kemudian, program Buka Pintu dimulai: pelatihan gratis setiap malam Jumat untuk anak muda kampung mengajar orang tua mereka memakai ponsel untuk promosi. Samid mengundang lima peserta; yang datang dua puluh. Ia mengajarkan cara memotret produk di meja kayu, menulis kalimat yang tidak menghiba, memasang peta di Google.
Ia berkata di depan papan tulis, “Kalau ada yang meremehkanmu, jangan debat. Tulislah sesuatu yang membuat pembaca kembali. Biar tulisan yang menjawab.”

Di hari keempat, terjadi sesuatu yang tidak ia sangka. Sebuah media lokal menulis tentang Sabrang. Judulnya: “Dari Gang Jakarta ke Gang Pamekasan: Konten yang Menggandakan Pelanggan.” Telepon berdering. DM masuk. Orang-orang minta slot pelatihan.

Aria mengirim pesan: “Bro, proud of you. Kalau kamu di Jakarta, kita collab lagi ya.”
Samid memandangi pesan itu lama. Akhirnya ia balas: “Terima kasih. Jaga diri baik-baik.”
Ia menaruh ponsel. Ada segaris damai: memaafkan tanpa kembali, melambaikan tangan tanpa berpaling.

.

Beberapa bulan berlalu. Sabrang bukan lagi ruang kecil dengan cat putih mengelupas. Seorang perupa lokal menyumbang mural di dinding: perahu-perahu kertas diseret tali oleh tangan-tangan kecil. Di bawahnya tertulis: “Supaya tidak tenggelam, belajar saling menarik tanpa mencekik.”
Nursiyam menambahkan rak untuk memajang produk peserta: kerupuk lorjuk, batik tulis, sambal terasi, kopi sangrai. Di setiap produk, Samid menaruh kartu cerita satu paragraf: siapa pemiliknya, bagaimana ia meramu, mengapa membeli berarti menambah napas untuk keluarga lain.

Suatu petang, seorang lelaki paruh baya datang. Mengaku bernama Wirawangsa—nama yang diambil Samid dari adaptasi tokoh Menak, Umar Wirawangsa—kini menjadi manajer CSR perusahaan rokok di Surabaya. Mereka ingin membiayai kelas-kelas Sabrang ke kecamatan lain.
“Kami melihat dampaknya nyata,” kata Wirawangsa. “Tidak banyak program yang melatih orang hingga bisa jalan sendiri. Biasanya habis acara, hilang.”
Samid mengangguk. “Kalau boleh, kami tetap memegang kurikulum sendiri,” katanya hati-hati.
“Tentu. Kami cuma memfasilitasi. Kamu yang mengajar.”

Ia pulang malam itu dengan perasaan kagok: bahagia yang belum percaya. Di teras rumah, ibunya menunggu dengan selimut dan gelas wedang.
“Lek rejeki panjenengan bersih, bakal mator sakalangkong,” ucap Ibu. “Sing penting, aja lali wates.”
“Wates?”
“Batas. Orang yang menghormatimu akan hormat dengan batasmu. Orang yang tidak, jangan dibiarkan masuk.”
Samid memandang gelap, mendengar bunyi jangkrik seperti ketukan jam. Ia ingat dirinya yang dulu, rela memaksa diri masuk agar diakui, mengosongkan dirinya sendiri agar dianggap penuh.

.

Suatu hari, Aria tiba-tiba muncul di Sabrang. Ia datang dengan kemeja kusut rapi, wajahnya menyisakan lelah yang dipoles.
“Aku berlibur ke Sumenep. Sekalian main,” katanya.
Samid menyajikan kopi tubruk. Mereka duduk, cerita ngalor-ngidul. Aria akhirnya mengaku: tender kalah bertubi-tubi, direktur diganti, beberapa orang hengkang.
“Kurasa, kita terlalu sibuk jadi berita, lupa jadi cerita,” katanya.
Samid tersenyum. “Berita itu judul. Cerita itu jalan.”
Aria menatap mata Samid lama-lama. “Maaf, Mid. Dulu aku banyak memakainmu.”
“Sudah,” jawab Samid. “Aku juga salah karena membiarkan.”
“Kamu mau balik? Kita dirikan agensi kecil, klienku masih percaya.”
Samid memandang mural perahu kertas. Di ruangan ini, anak-anak sedang menempel foto produk di papan, Nursiyam menyiapkan tripod, Mak Syarifah menertawakan cara cucunya salah mengeja “lorjuk”.
“Tidak,” katanya pelan. “Aku sudah menemukan tempat yang menyebut namaku dengan benar.”

Aria terdiam. Lalu ia berdiri, menjabat tangan Samid. “Kalau begitu, izinkan aku belajar,” katanya. “Aku ingin ikut kelas malam ini, duduk di kursi paling belakang.”
Samid mengangguk. Pintu yang dulu tertutup di Jakarta kini berdiri juga di Pamekasan, tetapi dari kayu yang ia pilih sendiri—pintu yang tak memenjarakan, melainkan menjaga.

Malam itu, Samid mengajar materi “Batas Digital”: bagaimana menolak endorsement yang merendahkan produk, bagaimana menyiasati pesan mesum di DM, bagaimana menulis caption yang tegas tetapi ramah.
Ia berkata di akhir kelas, “Menghargai diri bukan berbalas dendam, tetapi mengenali diri. Kalau kamu tidak dihargai—menjauhlah secukupnya. Kalau tidak diundang—jangan memaksa datang. Kalau diundang terlambat—senyumlah, lalu tolak. Kalau diabaikan—berhenti mengetuk. Kalau dikhianati—maafkan, lalu lanjut. Kalau dilupakan—jangan menunggu dikenang. Kalau diinsult—jawab dengan karya. Kalau dipakai—tegakkan pagar. Kalau dilecehkan—berjalanlah dengan kepala tegak. Kalau diremehkan—biarkan hasilmu yang bicara.”

Ia menatap wajah-wajah yang menyala oleh lampu neon. Di sudut, Aria ikut bertepuk pelan. Tepuk tangan ini tak heboh, tak terekam kamera. Tetapi ia tahu, di dalam dadanya, sesuatu berdiri tegak—seperti pintu yang akhirnya memahami fungsinya: bukan untuk menolak semua, melainkan memilih siapa yang pantas masuk.

.

Beberapa tahun kemudian, Sabrang menjelma jaringan kecil di beberapa kabupaten. Program Buka Pintu melahirkan puluhan usaha kecil yang pegang kendali atas ceritanya. Samid sering diundang ke acara-acara resmi, diminta menjadi pembicara. Ia datang ke sebagian, menolak sebagian.
“Kenapa ditolak?” tanya seorang panitia penasaran.
“Karena undangannya mengingatkanku pada diriku yang dulu: datang hanya untuk memoles nama orang lain,” jawabnya, disertai senyum. “Aku sekarang memilih panggung di mana kerja tidak lebih pendek dari sesi foto.”

Aria membuka studio di Surabaya, fokus pada produksi konten untuk UKM. Ia sering berkabar, mengirim foto ruang kantornya yang kecil tetapi riuh tawa. Suatu ketika ia menulis: “Aku belajar dari kamu, Mid—bahwa hasil yang jujur lebih menolong daripada slogan yang hebat.”
Samid membaca pesan itu di bangku terminal, menunggu bus menuju kecamatan tetangga. Ia menoleh ke sekeliling: bau solar, teriakan kernet, ibu-ibu menawar cilok. Semua ini bukan panggung gemerlap, tetapi di sinilah hidup memeriksa ketulusan.

Ia menyalakan ponsel, menulis satu kalimat untuk dirinya sendiri: “Teruslah memilih undangan yang benar: panggilan dari kerja yang bermakna, dari orang-orang yang saling menegakkan, dari hati yang tidak ingin menang sendiri.”

Hujan turun lagi, tidak sekencang dulu. Di bawah payung kecil, Samid melangkah. Di dada, ada pintu yang ia jaga: tidak sombong, tidak pasrah. Hanya tahu kapan harus menutup, kapan harus membuka, dan kepada siapa ia layak memberikan hangat ruang.

.

Catatan yang Tertinggal

Malam-malam tenang di Pamekasan sering menghadirkan wajah Ibu di benaknya—dengan selendang hijau yang menua bersama doa.
“Lek panjenengan meleh dadi oreng penting, pentingna sakcede ben oreng liane ja’ cede,” kata Ibu suatu senja. Kalau pun kau memilih jadi orang penting, pentinglah sebentar agar orang lain tak menjadi kecil karenamu.
Samid memegang kalimat itu seperti batu kecil di saku—berat cukup untuk menahan kertasnya agar tak terbang, ringan cukup untuk tidak melukai.

Dan jika sesekali Jakarta memanggil, ia datang sebagai tamu yang memutuskan jam pulang sendiri. Ia menyapa teman lama, menikmati lampu-lampu yang tetap gagah, memotret hujan yang masih setia. Tetapi ia tak lagi menunggu dipanggil naik panggung. Ia membayar kopi, melipat payung, lalu berjalan—sebab rumahnya bukan di suara sorak, melainkan di hati yang memasang pagar dan jendela pada tempatnya.

Sebab pada akhirnya, hidup bukan tentang berapa banyak pintu yang dapat kita dobrak, melainkan tentang pintu mana yang kita rawat agar tetap menutup pada yang merendahkan, dan membuka pada yang menegakkan.
Dan pada pintu yang menjaga dada itu—Samid mengetuk pelan setiap hari, mengucap salam pada dirinya sendiri, sebelum melangkah ke luar menulis cerita orang lain.

Ia tahu, selama ia ingat menghargai diri, dunia tidak wajib ramah, tapi juga tak mampu meruntuhkannya.

.

“Jangan menawar dirimu pada pasar yang senang menekan harga. Kamu bukan dagangan; kamu pelaut yang memilih pelabuhan.”

.

.

.

Jember, 1 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenSastra #MenghargaiDiri #BatasSehat #CeritaUMKM #NamakuBrandku #KompasMingguVibes #Empati #Martabat #HidupYangUtuh

Leave a Reply