Perjalanan yang Tidak Pernah Direncanakan

“Kadang perjalanan yang paling kita hindari justru membawa kita ke tujuan yang paling kita inginkan. Percayalah pada alur hidup.”

.

Awal yang Biasa Saja

Nama lengkapku Jayengrana Rahmadinata.
Usiaku tiga puluh dua.
Seorang lelaki biasa. Lulusan administrasi bisnis. Pekerja kantoran. Hidup lurus. Tanpa guncangan. Tanpa kejutan. Bahkan tanpa cinta.

Aku bekerja sebagai staf di Kantor Proyek Konstruksi milik Tumenggung Sura Dipa, atasan yang disiplin, reputasinya menakutkan, tetapi diam-diam memperhatikan. Setiap hari aku berkutat dengan laporan tender, tabel anggaran, dan dokumen kontrak. Gaji cukup, asuransi kesehatan kelas satu, cicilan apartemen di pinggir kota, dan langganan kopi—semua rapi seperti baris pada spreadsheet.

Hidupku ibarat jam—berputar, konsisten, bisa ditebak. Aku suka begitu. Tidak ingin rumit. Tidak suka hal tak terduga. Di kota besar yang gemerlap dan berisik, keteraturan adalah selimut yang menenangkan.

Tapi seperti lakon menak, adakalanya sang dalang mengubah naskah tanpa memberi aba-aba pada para tokoh.

.

Awal Perjalanan

Hari itu hujan mengguyur pelataran kantor. Jalan Basuki makin padat, kaca jendela berembun. Tumenggung Sura Dipa memanggilku.

“Kamu ditunjuk ikut pelatihan kepemimpinan di Yogya. Tiga bulan,” katanya, tanpa basa-basi.

Aku menoleh. “Saya, Tumenggung?”

“Ya. Sudah waktunya kamu keluar dari zona nyamanmu.”

Aku terdiam. Ingin menolak. Lidahku kelu. Kepala mengangguk pelan. “Baik, saya siap.”

Tetapi sungguh, aku tidak siap.

.

Keberangkatan

Kereta malam itu dingin. Aku duduk di gerbong ekonomi, membawa satu koper kecil dan segepok kecemasan. Yogya bukan kota asing, tapi bagiku itu kota yang tak ramah: terlalu budaya, terlalu banyak kenangan kuliah yang kukubur bersama seseorang yang tak sempat kuucapkan selamat tinggal.

Di jendela, lampu-lampu kota melesat seperti garis cahaya. Suara roda besi, derit rem, obrolan samar penumpang lain menjadi latar pikiranku yang berkecamuk.

“Kenapa harus aku? Kenapa sekarang?”

Di bangku seberang, seorang perempuan muda bersyal merah sedang mengetik cepat di laptop. Label tasnya bertuliskan Kelaswara Coffee. Aku berpikir tentang kedai kopi yang sering kubaca ulasannya, milik seorang wirausaha perempuan terkenal di kota. Entah kenapa nama itu memantul-mantul di kepalaku sepanjang perjalanan.

.

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Hari pertama pelatihan, aku duduk di belakang. Tak ingin dilihat. Tak ingin ditanya.

Seorang lelaki tua bersurai perak dengan lurik sederhana dan sandal kulit duduk di sebelahku. Ia tersenyum kecil, seperti sudah lama mengenalku.

Jayengrana, ya?” suaranya bening.

Aku kaget, lalu mengangguk. “Bapak kenal saya?”

Ia terkekeh pelan. “Belum. Tapi nanti kita akan kenal.”

Namanya Umar Maya. Bukan instruktur, katanya, hanya “pendamping proses.” Sejak hari itu, entah bagaimana, aku selalu duduk dekat dengannya. Saat rehat, alih-alih bicara tentang modul, ia bertanya tentang hal-hal yang selama ini kuhindari.

“Mas Jay,” katanya suatu siang, “Kamu bahagia?”

Aku tercekat. Bibirku membuka, menutup, lalu dia hanya tersenyum. “Tenang saja. Tidak menjawab pun sudah jawaban.”

.

Perjalanan dalam Diri

Pelatihan ini bukan seminar motivasi dengan yel-yel. Kami dibedah dari dalam. Mengingat masa kecil, trauma yang disapu kolong memori, mimpi yang patah diam-diam.

Ada sesi menuliskan “peta hidup”—garis waktu yang kami isi dengan kegagalan, keberhasilan, kehilangan, dan doa yang pernah ditolak. Satu per satu peserta bercerita. Ruangan hening. Tidak ada tepuk tangan, hanya jeda dan air mata yang jatuh tanpa gengsi. Di kota besar, kami terbiasa menyembunyikan getir di balik jas, blazer, dan kartu nama. Di ruangan itu, lapisan-lapisan identitas mengelupas.

Hari-hari berjalan. Aku merasa semakin telanjang—bukan tubuhku, melainkan jiwaku.
Umar Maya menjadi cermin. Ia tidak menggurui. Ia memantulkan.

Suatu malam, di serambi masjid kecil dekat penginapan, setelah tarhim isya’ merambat pelan, ia berkata, “Kamu hidup terlalu hati-hati, Jay. Sampai lupa rasanya hidup.”

Perkataannya menembus dada. Malam itu, aku berdoa. Lama. Kaku, karena sudah lama tidak mengadu.

.

Ujian Sejati: Kehilangan

Minggu ketiga. Telepon berdering saat sesi praktik negosiasi proyek. Rangga, adikku satu-satunya, kecelakaan motor. Kritis.

Dunia menyempit jadi nada “tuuut” di telinga. Aku ingin pulang. Panitia menimbang, jam keberangkatan mepet, perjalanan tidak aman. “Tunggu update dokter,” katanya.

Aku duduk di lantai musala. Gemetar. Membaca doa pendek yang samar-samar kuingat dari ibu. Di pinggirku, Adaninggar—peserta dari Surabaya yang kutahu manajer pemasaran sebuah properti—menyerahkan sebotol air. “Minum dulu,” katanya. Aku mengangguk tanpa suara.

Umar Maya datang. Tidak banyak bicara. Hanya menaruh tangannya di bahuku. “Percayalah,” katanya perlahan, “Terkadang Tuhan menggetarkan hidup agar kamu sadar: kamu masih punya hati.”

Pagi berikutnya, aku nekat pulang dengan kereta pertama. Di UGD, adikku terbaring. Luka di pelipis, tangan digips, tetapi sadar. Kami saling menggenggam. Di ruang tunggu, bau antiseptik, suara sandal perawat, dan hujan yang menetes di dak beton—semuanya terasa seperti kalimat baru yang Tuhan tulis untukku.

Aku kembali ke Yogya dua hari kemudian, dengan tubuh letih tetapi dada yang lebih lapang. Ada yang berubah, walau aku belum tahu apa.

.

Surat untuk Diri Sendiri

Di akhir program, kami diminta menulis surat untuk diri sendiri. Surat itu akan dikirim enam bulan kemudian.

Aku menulis di lembar bergaris:

“Jayengrana yang kelak akan membaca ini,
Jika kamu kembali takut, ingat bahwa kamu pernah melewati Yogya. Kamu pernah hampir kehilangan, tetapi tidak menyerah. Kamu pernah tidak percaya pada dirimu—namun tetap berjalan. Itu cukup. Teruskan.”

Aku melipatnya rapi, memasukkannya ke amplop cokelat. Saat menyerahkannya ke panitia, aku merasakan sesuatu berpindah tempat di dalam dadaku—sebuah beban yang longgar, tali yang terurai, atau mungkin kunci yang akhirnya menemukan gemboknya.

.

Kembali, Tapi Tidak Sama

Surabaya menyambutku dengan panas yang tajam. Kantor tetap sama: absensi sidik jari, meja berderet, aroma kopi di pantry, rapat yang molor. Tetapi aku, Jayengrana, tidak lagi sama.

Aku mulai duduk lebih tegak di rapat. Mengusulkan gagasan yang selama ini kusimpan. Mengajak tim muda berdiskusi tanpa menggurui. Mengakui saat salah, dan tertawa untuk meredakan tegang.

Proyek yang kutangani—revitalisasi pasar tradisional jadi sentra UMKM—sering macet di tahap perizinan. Aku mengusulkan forum bersama warga, pedagang, arsitek, dan pemerintah kecamatan. “Jangan cuma paparan,” kataku pada Sura Dipa. “Kita dengar keberatan mereka, kita bagi peta risiko, kita hitung ulang akses pejalan kaki.” Tumenggung mengangguk sekali—izin yang jarang.

Pertemuan perdana kacau. Suara meninggi, tuduhan bermunculan. Aku hampir mundur. Tapi aku ingat ruangan pelatihan, ingat jeda sebelum menanggapi. Aku menarik napas, lalu berkata, “Bapak, Ibu, saya minta waktu tiga menit. Mari kita tulis apa yang paling ditakutkan, bukan apa yang paling diinginkan. Habis itu, kita urutkan bersama.”

Papan tulis penuh: “Sewa naik”, “Pindah lapak”, “Pelanggan hilang”. Lalu kami menandai dengan bintang, memilah mana risiko yang bisa diminimalkan, mana yang harus diterima dengan kompensasi. Suara tetap keras, tapi arahnya lebih jelas. Pulang malam itu, aku tidak bangga—aku lega.

.

Kelaswara

Suatu Sabtu sore, aku mampir ke Kelaswara Coffee—kedai yang ramai di linimasa. Bukan karena rasa kopinya saja, orang bilang, tetapi karena pemiliknya sering membuka ruang diskusi bagi para pekerja muda. Di etalase ada poster: “Sesi Menulis Jurnal: Membaca Diri di Kota yang Ramai.”

Aku duduk di pojok. Pengajarnya seorang perempuan bertubuh ramping dengan senyum yang tidak menyentuh bibir, hanya matanya: Kelaswara. Nama yang tadi malam kulihat di poster akhirnya menjelma manusia di hadapanku.

“Kita menulis bukan untuk jadi sastrawan,” katanya, “tapi agar hati punya tempat pulang.”

Kami diminta menulis selama tujuh menit tanpa jeda. Aku menuliskan hal yang paling tidak ingin kuingat: suara ibu yang memintaku pulang saat wisuda, “Bapakmu menunggumu.” Aku tidak pulang. Dua bulan kemudian, bapak meninggal. Tidak ada kata maaf, tidak ada pelukan terakhir. Aku menulis sampai tanganku pegal, sampai aku mendengar nafasku sendiri.

Sesi usai, Kelaswara berjalan mendekat. “Teks kamu tajam,” katanya, “bukan karena kata-katanya, tapi karena berani.”

Aku nyaris menertawakan diri sendiri. “Saya tidak berani, Mbak. Saya hanya… ketinggalan.”

Ia tidak menjawab. Menuliskan satu kalimat di sobekan kertas dan menyelipkannya di gelas plastikku:
“Yang kita tulis hari ini bukan masa lalu. Itu tiket pulang.”

.

Umar Maya di Kota

Suatu pagi, pesan masuk: Umar Maya mengabarkan akan ke Surabaya—membantu sebuah komunitas pekerja mengelola konflik kantor. Kami bertemu di taman kota yang rindang. Ia membawa buku catatan kecil, pen biru, dan roti sobek.

“Kamu terlihat lebih ringan,” katanya.

“Entah. Mungkin karena mulai menulis.”

Ia tertawa pelan. “Menulis adalah cara paling murah untuk bertemu diri sendiri.”

“Kadang menakutkan,” sahutku.

“Semua pertemuan penting memang menakutkan.” Ia menatapku. “Termasuk pertemuan dengan dirimu yang lebih jujur.”

Kami bicara tentang proyek, tentang adikku yang sudah bisa bersepeda pelan, tentang ibuku yang mulai rajin mengirim pesan dini hari hanya untuk menanyakan sarapan. Umar Maya mengajarkanku satu hal lagi: memaafkan bukan berarti melupakan, melainkan memberi izin pada diri untuk tidak dihukum oleh ingatan yang sama berkali-kali.

Sebelum berpisah, ia menepuk pundakku. “Kalau nanti kamu merasa tersesat, cari orang yang mau duduk lama mendengar, bukan yang cepat memberi nasihat.”

Nama Kelaswara melintas seperti bayangan di air.

.

Adaninggar

Di kantor, proyek berjalan seperti layang-layang yang kadang turun. Adaninggar, rekan satu batch pelatihan, beberapa kali kukontak untuk urusan kampanye komunikasi pasar UMKM. Ia cerdas, bicaranya cepat, jaringannya luas. Ia seperti peta kota—tahu gang kecil dan jalan tikus yang tak banyak orang tahu.

Pada suatu malam lembur, kami berjalan pulang menyusuri trotoar yang baru direnovasi. Lampu jalan kuning, pedagang kaki lima menutup dagangan.

“Kamu baik-baik saja setelah Yogya?” Adaninggar bertanya.

“Sejauh ini,” jawabku.

“Kadang aku iri pada orang seperti kamu,” katanya tiba-tiba. “Kamu terlihat damai.”

Aku tertawa kecil. “Damai dari luar biasanya hasil negosiasi berdarah di dalam.”

Adaninggar terdiam, lalu mengangguk. “Kita semua begitu.”

Ada jeda. Kami berhenti di zebra cross. Lampu jalan berubah hijau. Mobil melintas lebih pelan. Adaninggar menoleh. “Jangan terlalu lama menegosiasikan hatimu, Jay. Nanti keburu habis durasinya.”

Kata-kata itu menempel seperti stiker di kaca.

.

Retakan yang Menjadi Jendela

Surat itu datang pada awal musim hujan: amplop cokelat, tulisan tanganku sendiri. Aku membacanya di kamar apartemen yang dingin. “Jika kamu kembali takut…” kalimatnya belum tuntas, tetapi air mataku sudah jatuh.

Malam itu aku menulis beberapa “perjanjian kecil” dengan diri sendiri:

  1. Berpihak pada proses. Tidak perlu selalu cepat.

  2. Mengucapkan maaf sebelum dikejar rasa bersalah.

  3. Menelpon Ibu tanpa menunggu momen penting.

  4. Mendengar lebih dulu, menjawab lebih belakangan.

  5. Berani hadir saat hati ingin kabur.

Keesokan harinya, aku mengusulkan pada Tumenggung Sura Dipa program “Ruang Rapat Warga”—forum bulanan di pasar untuk mendengar keluhan sebelum jadi konflik. Ia menatapku lama, lalu berkata, “Jalankan. Kalau gagal, gagal kita semua.”

Program itu tidak menuntaskan semua masalah, tapi membuat orang bertemu sebelum salah paham beranak pinak. Ada pedagang yang marah-marah, ada yang menangis, ada yang diam dan akhirnya bicara. Setiap pertemuan, aku pulang dengan badan lelah namun hati seperti baru mandi.

.

Jalan Kembali ke Yogya

Satu hari libur panjang, aku memutuskan ke Yogya, tanpa agenda. Hanya ingin menapak jejak. Kereta meluncur, dudukku dekat jendela, kota berganti seperti potongan film.

Di Malioboro, aku bertemu lagi dengan Umar Maya—kebetulan yang terasa seperti janji lama. Kami duduk di bangku trotoar, menatap lalu lintas manusia.

“Masih takut?” tanyanya.

“Selalu,” jawabku. “Tapi kini aku punya teman untuk menakutinya.”

Ia mengangguk, matanya memeriksa wajahku seperti dokter memeriksa nadi. “Kamu akan baik-baik saja.”

Sebelum kembali ke hotel, aku masuk ke toko alat tulis langganan waktu kuliah. Kubeli buku jurnal baru, pena hitam, dan pita kain kecil dengan motif kawung. Malamnya, di kamar, aku menuliskan kalimat pembuka: “Aku pulang ke aku.”

.

Kelaswara (lagi)

Beberapa minggu kemudian, Kelaswara mengajakku mengisi sesi berbagi di kedainya: “Bekerja Tanpa Menjadi Mesin.” Aku menolak halus, tetapi ia menatapku lama—tatapan yang mengajari cara percaya.

“Aku bukan pembicara,” kataku.

“Bagus,” ia tersenyum. “Berarti kamu tak akan menggurui. Orang butuh teman bicara, bukan panggung baru.”

Aku menerima. Sore itu, dua puluh orang duduk melingkar, membawa cerita tentang target, atasan, pasangan, anak, cicilan, rasa khawatir yang anehnya mirip satu sama lain. Aku bercerita tentang takutku, tentang Yogya, tentang surat untuk diri sendiri. Mereka tidak bertepuk tangan; mereka diam. Tetapi diamnya penuh.

Usai sesi, Kelaswara berdiri di pintu, menepuk punggungku ringan. “Kamu baru saja mengizinkan orang lain untuk jujur,” katanya.

Di jalan pulang, hujan turun rintik. Lampu kendaraan memantulkan air. Hatiku hangat seperti kopi yang sengaja dibiarkan tidak terlalu panas agar bisa diminum hingga tetes terakhir.

.

Sura Dipa

Ada hari ketika Sura Dipa memanggilku tanpa ekspresi. “Presentasi ke komisaris minggu depan. Kamu yang bawa.”

Aku menelan ludah. “Baik.”

Malam-malam berikutnya penuh angka, peta lalu lintas, gambar teknis, skema pendanaan. Aku menuliskan bagian risiko dengan jujur—bukan untuk menakut-nakuti, melainkan agar tidak ada yang merasa ditipu oleh optimisme. Saat presentasi, komisaris yang beruban bertanya, “Kalau warga menolak di akhir, kamu siap menanggung penundaan?”

Aku menatapnya. “Siap, Pak. Karena waktu yang kita keluarkan untuk mendengar di awal akan lebih murah daripada biaya masalah di akhir.”

Rapat berakhir. Di lift, Sura Dipa menoleh, “Aku tidak selalu setuju dengan caramu, tetapi aku percaya kamu.” Kalimat yang tidak kusangka akan kudengar dari mulutnya.

.

Rumah

Suatu pagi, ibu menelpon: “Kapan pulang, Nak? Masakanku kebanyakan.”

Aku tertawa. “Minggu depan, Bu.”

Di meja makan rumah, wangi rawon memenuhi udara. Rangga menceritakan rencananya membuka bengkel kecil. Ibu mengangguk sambil menambah sambal di piringku. Sederhana. Bahagia. Aku seperti menonton film yang pernah kutinggalkan di tengah jalan, kini akhirnya kutonton sampai selesai.

Sebelum pamit, aku memeluk ibu lebih lama dari biasanya. Ia menepuk punggungku pelan, seperti dulu saat aku kecil. “Kamu terlihat hadir,” katanya.

Aku menahan napas. Kata itu—hadir—menggema di dalam kepalaku hingga perjalanan pulang.

.

Hadir

Kadang, perjalanan yang tidak pernah kita rencanakan justru mengantar kita pulang: bukan pulang ke alamat, melainkan pulang ke diri. Yogya bukan hanya titik di peta; ia titik balik. Umar Maya bukan hanya mentor; ia penunjuk arah saat simpang gelap. Adaninggar mengingatkanku bahwa durasi hati ada batasnya. Kelaswara menunjukkan bahwa menulis adalah jembatan yang bisa kita bangun sendiri.

Aku, Jayengrana Rahmadinata, bukan lagi lelaki yang bersembunyi di balik laporan. Aku belajar hadir—dengan luka yang tidak lagi kuhitung, dengan harap yang tidak lagi kutawar, dengan langkah yang tidak lagi kutunda.

Dan kini aku percaya:
Semesta tidak selalu memberi apa yang kita minta, tetapi sering memberi apa yang sebenarnya kita butuhkan.
Kita hanya perlu berani membuka pintu ketika pintunya tidak kita pesan.

.

.

.

Jember, 5 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #KompasMingguStyle #MenakMadura #SelfHealing #Leadership #JurnalReflektif #KotaBesar #KisahIndonesia #Hadir #PerjalananBatin

.

Quote untuk pembaca

  • “Yang kita tulis hari ini bukan masa lalu—itu tiket pulang.”

  • “Berpihak pada proses kadang terasa lambat, tetapi di sanalah hati ikut serta.”

  • “Jangan terlalu lama menegosiasikan hatimu, nanti keburu habis durasinya.”

Leave a Reply