Pergi Karena Harga Diri

“Kadang, kita harus pergi. Bukan karena menyerah, tapi karena harga diri tidak bisa ditawar.”

.

Senja tak pernah bohong. Ia tahu kapan harus datang, kapan harus pamit. Ia tidak tergesa, tidak pula mencari pengakuan. Ia datang dalam diam, pulang dengan tenang. Seperti Daru.

Sore itu, dermaga tua di ujung kota menjadi saksi dari satu keputusan yang diam-diam telah tumbuh selama berbulan-bulan di hati seorang lelaki. Daru berdiri di ujung papan kayu, mengenakan jaket tua yang selalu ia pakai saat pikirannya penuh. Angin laut menerpa wajahnya, dan ia hanya diam, mematung, menatap cakrawala yang perlahan ditelan cahaya jingga.

Air memantulkan warna tembaga, perahu-perahu nelayan bergoyang malas. Di kejauhan, jembatan megah menghubungkan kota dengan pulau seberang; lampu-lampu mulai menyala, seperti bintang yang turun terlalu cepat. Di bawah, air memukul tiang-tiang dermaga, ritmis, seperti detik jam yang menyatakan: tak ada yang perlu disiakan lagi.

.

Lelaki yang Tak Lagi Sama

Daru Prasetya, tiga puluh empat. Dari luar, hidupnya tampak biasa saja: konseptor pemasaran digital di sebuah agensi ibu kota—kantor kaca berlantai dua puluh, lift cepat, mesin kopi yang selalu haus perhatian. Ia mengurus kampanye untuk merek-merek besar, menyusun presentasi yang berkilau, memodifikasi data agar selaras tanpa berbohong. Tapi di dalam, Daru sudah lama retak. Ia datang bekerja setiap hari, menyelesaikan semua tanggung jawab, namun hatinya tak lagi berada di sana.

Ada aturan tak tertulis di kantor itu: siapa paling cepat mengklaim, dialah yang menang. Semakin tinggi kamu memuji, semakin besar peluangmu naik. Dan semakin sering kamu menutup mata pada ketidakadilan, semakin aman kursimu. Daru bukan pemuja, bukan pula penutup mata. Ia bicara saat perlu, diam saat tahu omong kosong tidak layak diladeni. Banyak yang menganggapnya lambat karena tidak menyalak. Padahal ia sedang memilih: mana yang pantas ditindaklanjuti, mana yang lebih baik dibiarkan seperti debu di kaca—diseka pelan, bukan dihempas dengan marah.

.

Kabut di Balik Jendela Kantor

Semua bermula dari presentasi yang tidak menyebut namanya. Strategi kampanye besar—yang ia kerjakan hingga larut, berteman lampu neon yang terlalu putih dan kursi ergonomis yang entah mengapa tak pernah benar-benar membuat punggung nyaman—disampaikan oleh orang lain, lengkap dengan pujian dari jajaran direksi.

Layar raksasa menampilkan slide kesembilan: “Insight: Mengganti bahasa ‘diskon’ dengan ‘apresiasi’ meningkatkan konversi 12%.” Itu kalimat Daru. Slide ke dua belas: “Peralihan CTA dari ‘Beli Sekarang’ ke ‘Coba Dulu’ menurunkan keraguan 8%.” Catatan Daru. Slide ke lima belas: “Narasi: dari sekadar menjual produk menjadi mengajak selesaikan tugas hidup kecil.” Hati Daru.

Tetapi di pojok kanan bawah, logo agensi yang sama, dan di mikrofon: Jayeng—account director dengan senyum yang selalu pas untuk semua ruangan dan semua kamera. “Tim saya kerja keras,” katanya, tangan terbuka, pandangannya menyapu ruangan seperti merangkul. “Terima kasih, rekan-rekan. Kita buktikan bahwa kita adalah keluarga.”

Keluarga. Kata yang terlalu mulia untuk menutupi jejak. Daru tidak keberatan dengan pujian yang melayang entah kemana. Ia keberatan dengan penghapusan jejak. Papan tulis di ruang rapat yang pernah menampung sketsanya kini bersih; penanda hitam sudah disapu; sisa-sisa ide terkubur di balik file yang dinamai ulang. Karis—project manager yang dulu suka meminjam stabilo—kini ikut tertawa bersama Jayeng. Madi—anak baru yang dulu Daru ajari cara menulis naskah kampanye tanpa membohongi hati—ikut bertepuk. Dunia kecil itu pandai melupakan.

.

Obrolan Terakhir di Pantry

Sore itu, mesin kopi mendengking seperti seruling yang fals. Daru berdiri menunggu tetes terakhir. Dari jendela pantry, separuh kota terlihat seperti lembaran brosur: gedung, gedung, dan gedung. Papan reklame memajang senyum yang tak memudar. Di dalam, manusia menghisap cemas mereka pelan-pelan.

Karin—satu-satunya yang tersisa dari lingkar kepercayaan Daru—datang dengan tumit yang selalu terdengar pasti di lantai kayu. “Kamu ngelamun?”

“Nggak,” Daru tersenyum tipis. “Lagi mikir… harusnya kopi ini bisa ngebangunin sesuatu dalam diri orang, bukan cuma bikin melek.”

Karin tertawa, lalu suaranya menurun. “Kamu resign, ya?”

Daru menatapnya lama. “Kita tumbuh dengan prinsip, Rin. Tapi hidup ini lihai memaksa kita lupa. Aku takut bangun suatu hari nanti, dan menyadari aku berubah jadi sesuatu yang dulu aku benci.”

“Kalau kamu pergi, siapa yang tersisa buat jaga akal sehat di sini?” Karin mencoba ringan, tapi suaranya pecah di ujung.

“Akalku sendiri dulu yang harus kucari,” jawab Daru. “Lebih baik tersesat mencari arah, daripada tinggal di tempat yang bikin kehilangan arah.”

Karin menggigit bibir. “Kamu mau ke mana? Punya rencana?”

Daru mengedik. “Dermaga. Lalu mungkin pulang, lalu entah. Rencana sesederhana bernapas tanpa rasa bersalah.”

.

Surat Tanpa Nama

Malam itu, Daru menulis surat pengunduran dirinya. Tidak ada retorika. Dua paragraf. Paragraf pertama: ia pergi bukan karena kalah, melainkan karena memilih. Poin-poin rapi seperti daftar belanja: hak intelektual, nilai diri, batas kesabaran. Paragraf kedua hanya satu kalimat: “Jangan pernah bangga berdiri di atas jerih payah orang lain.”

Ia mencetak, menandatangani, melipat dua, dan menyelipkannya di mejanya Retna, staf HR yang selalu menyiapkan kotak P3K untuk siapa pun yang tiba-tiba pusing karena deadline. Besok pagi, Retna akan menemukannya. Tidak ada lampiran, tidak ada permintaan formalitas. Di surel, ia hanya menulis subjek: “Pamit.” Tubuh pesan kosong.

Ia mematikan laptop. Mematikan lampu. Mematikan sejenis mesin di kepalanya yang bertahun-tahun tak henti berdengung.

.

Kota yang Tak Pernah Tidur Sempurna

Kota ini—sebut saja Surabaya, karena baunya kerap asin—adalah buku yang dibuka paksa setiap hari. Jalan-jalan tengah dibetulkan, trotoar diperbarui, jembatan bercahaya. Di sisi lain, kampung-kampung masih hidup dengan tikar di teras dan radio yang menyiarkan dangdut klasik dari frekuensi yang sama semenjak Daru SD.

Kota ini berisik, tapi justru itu yang meyakinkan: bahwa kita tak sendiri. Daru menapaki trotoar malam itu, melewati warung soto yang sudah hampir tutup. Di dinding, tulisan besar: “Bayar secukupnya, jujur urusannya kamu dengan Tuhan.” Ia berhenti, membaca berulang-ulang. Lalu melanjutkan perjalanan.

Di atas jembatan, ia memandang ke bawah. Air berlari tanpa bertanya akan sampai ke mana. Lalu ia membayangkan ayahnya yang dulu mengajaknya memancing di dermaga: lelaki dengan tangan kasar dan tertawa yang ringan, yang pernah berujar: “Nak, joran itu jangan dilawan keras-keras. Rasakan tarikan, tarik pelan, lepas pelan, tarik lagi. Hidup itu serupa: tidak semua harus dibalas saat itu juga.”

.

Dermaga Tempat Kita Bisa Jujur

Esoknya, ia sampai di dermaga tua. Udara asin langsung memeluk, tanpa izin. Perahu-perahu kayu berbaris miring. Seorang anak kecil berlari, menendang botol plastik kosong yang entah dari mana datangnya. Daru duduk di ujung papan, membiarkan sepoi menyapu wajah.

Ia mengambil buku catatan—benda yang selalu ia bawa kemana pun. Di halaman belakang, ia menulis: “Terkadang, kita perlu pergi, bukan untuk menghindari kenyataan, tapi agar bisa kembali sebagai diri yang tak main-main.” Ia menggambar garis panjang di bawah kalimat itu, seperti menggarisbawahi jalan yang akan dilewati.

Teleponnya bergetar. Empat panggilan tak terjawab dari nomor kantor, dua dari Jayeng, satu dari Madi. Pesan baru dari Jayeng: “Bro, ayo ngobrol. Jangan gegabah. Kita keluarga.” Daru menatap layar beberapa detik, lalu mematikannya. Angin mengibaskan pinggir buku. Di halaman yang lain, coretan-coretan ide kampanye berserakan: “Ubah janji menjadi janji yang benar.” “Jual kenyamanan yang jujur, bukan mimpi yang mahal.” “Masak yang hangat untuk orang yang lapar, bukan feed yang lapar.” Ia tertawa pelan. Ternyata yang ia cari bukan jabatan. Hanya nalar yang tidak diperkosa.

.

Riak-Riak Kecil: Retna, Karin, dan Madi

Siang hari, Retna mengirim pesan: “Mas Daru, saya mengerti. Kalau butuh apa-apa terkait administrasi, saya bantu. Dan… terima kasih pernah mengajarkan saya membalas email dengan napas panjang dulu, baru jari. Semoga langitmu luas.” Daru membalas singkat: “Terima kasih, Ret. Jaga dirimu. Jangan lupa makan.”

Karin menelepon. “Aku di bawah jembatan, kamu di mana?”

“Dermaga,” kata Daru. “Tempat ayah mengajariku sabar.”

“Boleh ikut?”

“Boleh. Tapi aku tidak bawa apa-apa.”

“Yang kubutuhkan cuma teman,” katanya.

Madi mengirim pesan panjang: ia meminta maaf. Ia mengaku di bawah tekanan. “Aku takut kalau melawan,” tulisnya. “Kamu berani. Aku iri.”

Daru mengetik lama: “Berani itu bukan bentak-bentak, Di. Berani itu memilih. Aku juga takut. Hanya saja, ada yang lebih menakutkan: bangun suatu hari dan tidak mengenali diriku sendiri.”

.

Kilas Balik: Jayeng, Umar, dan Ruang Rapat yang Membeku

Ada masa ketika Jayeng tak segigih itu. Di awal-awal, ia sering datang ke meja Daru, minta penjelasan soal funnel dan retention. Ia mencatat. Ia berterima kasih. Lalu entah kapan, ia berubah. Mungkin ketika Umar—direktur keuangan yang licin dan selalu melihat angka sebelum manusia—memberikan target yang “hanya bisa dicapai bila kita semua kompak.” Kompak, di kantor itu, artinya setuju dengan cara apa pun selama hasilnya bagus. Statistik dibersihkan, angka yang meleset dilarutkan di air hangat narasi PR. “Yang penting investor tenang,” kata Umar.

Pada rapat evaluasi kuartal lalu, Daru mengangkat tangan. “Kalau klien meminta organic push padahal semua disuntik iklan, bukankah itu menipu?”

Ruangan hening. Jayeng tersenyum miring. “Daru, kamu terlalu normatif. Dunia ini kompleks. Kita harus luwes.”

“Luwes beda dengan licin,” kata Daru. “Luwes membengkokkan tubuh, licin melepaskan hati.”

Tawa pelan terdengar dari sudut ruangan. Umar menutup mapnya. “Semua orang dewasa di sini,” katanya. “Kita paham konsekuensi.”

Minggu itu, nama Daru dicoret dari dua proyek besar. Ia dipindahkan ke unit yang “lebih sesuai dengan ritme”-nya, kata HR. Ritme yang dimaksud adalah ritme orang-orang yang dibiarkan bosan dan menangani proyek-proyek yang tidak penting, sampai mereka sendiri pergi. Strategi lama yang efektif: kalau orang baik terlalu kuat, buat ia merasa tidak berguna.

.

Pamit yang Pelan

Di dermaga, suara jangkrik dari semak-semak belakang menyatu dengan teriakan pelan nelayan. Langit memerah seperti mata yang terlalu lama menahan air. Daru menutup mata. Di balik kelopak, ia mendengar ulang suara ibunya: “Jangan tunda makanmu, Ru. Jangan tunda tidurmu. Jangan tunda hatimu.” Ia tersenyum. Hati yang ditunda, kata ibunya, bisa membatu.

Karin datang. Rok hitam, kemeja putih, sepatu sudah ia jinjing. “Aku naik ojek sampai sini,” katanya, napasnya masih cepat. “Gila, anginnya.”

Mereka duduk berdampingan. Tidak bicara lama. Ada keheningan yang justru menyingkap banyak hal. Akhirnya Karin membuka suara. “Kamu tahu, aku sering iri sama orang yang bisa marah. Marah itu terlihat seperti energi. Tapi mungkin energi paling besar justru diam yang tepat.”

“Diam yang menjaga batas,” kata Daru.

“Dan kamu memilih diam yang pergi.”

“Karena di sana, kata-kataku semakin tak berguna.”

Karin menatap air. “Kamu akan kerja di mana?”

“Belum tahu. Tapi ada satu ide: mengajar menulis untuk UMKM. Bukan menulis untuk menang lomba, tapi menulis agar warung soto tetap punya pelanggan tanpa menipu. Aku muak melihat iklan yang menjanjikan surga untuk mi instan.”

Karin tertawa pelan. “Kamu terdengar seperti pamflet revolusi.”

“Revolusi kecil-kecilan saja. Revolusi di dalam dompet orang, di dalam dapur rumah, di dalam cara kita memanggil pelanggan: ‘Masuk, kami menyiapkan yang kami bisa, bukan yang kami pura-pura bisa.’”

Karin mengangguk. “Kalau begitu, aku klien pertamamu. Tolong ajari aku menulis ulang materi untuk program CSR—yang benar-benar C, S, R.”

Mereka tertawa. Angin membawa tawa itu entah ke mana.

.

Malam-Malam Tanpa Notifikasi

Malam itu, di kamar kos kecilnya, Daru memandangi kipas angin yang berputar seperti malas. Ia menyiapkan teh panas, menaruh ponsel di meja, silent mode. Grup kantor bergeliat: “Kita harus hadapi rumor ini,” “Please statement jam 8,” “Jangan ada yang keluar dulu, tolong.” Ia menatap layar sebentar, lalu menutupnya.

Di meja, buku catatan terbuka pada halaman baru. Judul di puncak: Rencana 30 Hari. Poin pertama: bangun pukul lima, berjalan sepuluh ribu langkah. Poin kedua: survei UMKM di tiga kecamatan. Poin ketiga: buat kelas gratis dua jam tentang “Menulis untuk Rezeki yang Wajar”. Poin keempat: revisi modul “Narasi yang Tidak Menipu.” Poin kelima: telepon ibu.

Ia menelepon. Suara ibunya datang pelan seperti hujan malam. “Kamu pulang?”

“Belum. Tapi aku pulang ke diriku,” kata Daru.

Ibu terdiam, lalu tertawa kecil, lalu menangis sedikit, lalu menutup telepon karena beras hampir habis dan tukang sayur sudah lewat.

Malam itu ia tidur dengan damai, di kamar kos sederhana, tanpa AC, tanpa notifikasi dari grup kerja. Tapi dengan hati yang utuh. Di luar, motor melintas, anjing menggonggong, televisi kamar sebelah memperdengarkan sinetron. Kota tetap berisik. Tapi di dadanya, ada sunyi yang akhirnya jinak.

.

Pagi yang Memilih

Besoknya, Daru berjalan. Menyusuri gang yang terlalu sempit untuk dua mobil tapi dipaksa dua mobil. Anak-anak berangkat sekolah, seragam mereka cerah. Di sebuah warung, ia melihat kertas menu yang ditempel serampangan. “Soto Ayam Asli Sehat.” Daru masuk.

“Bu, apa yang paling bikin orang balik ke sini?” tanyanya.

Ibu warung—perempuan berkerudung warna mustard dengan tangan yang cepat dan mata yang lelah—menatap curiga, lalu tersenyum. “Kalau enak dan jujur, Mas.”

“Boleh saya bantu Bu tulis ulang menu? Gratis. Biar orang tahu enaknya di mana.”

Ibu itu tertawa. “Mas ini duta apa?”

“Duta harga diri,” jawab Daru, entah kenapa.

Mereka duduk. Daru mengubah “Asli Sehat” menjadi “Kuah Hangat dari Tulang Ayam, Tanpa Penyedap Berlebih.” Ia menulis: “Nasi secukupnya bisa tambah gratis; kami percaya kenyang itu hak, bukan promosi.” Ia menambahkan kalimat di bawah: “Kalau rasa tak sesuai janji kami, boleh bayar setengah.” Ibu itu menatapnya lama. “Mas, nanti rugi?”

“Tidak, Bu. Nanti untungnya bukan di rasa takut. Di rasa percaya.”

Kabar kecil itu menyebar. Seorang tukang ojek membaca menu, memotret, mengunggah. “Warung jujur,” tulisnya. Like bertambah. Bukan viral, bukan trending, hanya seperti riak kecil yang cukup untuk membuat lingkaran air baru.

.

Gelombang Balasan

Tiga hari kemudian, Daru menerima email dari alamat tak dikenal: “Halo, saya Umar, CFO. Mari kita bicara. Kita bisa cari jalan tengah. Saya yakin Anda orang rasional.” Daru menatap layar. Rasional adalah kata yang sering dipakai orang-orang untuk menawar nurani.

Ia membalas: “Kita sudah lama tidak bicara bahasa yang sama. Saya memilih bahasa yang mudah: jujur dan cukup.” Lalu ia mengarsipkan.

Jayeng kirim pesan lagi. Lebih panjang. Memanggil masa-masa ketika mereka dulu bareng menembus tender. Mengaku tertekan atasan, menyalahkan sistem. “Kita sama-sama korban,” tulisnya. Daru tidak membenci Jayeng. Namun ia tahu, rasa kasihan bukan alasan untuk kembali ke tempat yang salah.

Karin mengirim foto: warung soto itu kini ramai. Ia menulis caption: “Narasi yang benar bisa memberi makan.” Daru membalas dengan ikon tangan berdoa.

.

Adaptasi Nama-Nama yang Berbisik

Suatu sore, di teras kos, Daru membaca kisah-kisah lama: Jayeng, Retna, Umar, Madi—nama-nama yang anehnya seperti pernah ia dengar dalam cerita masa kecil, tentang ksatria yang berkostum kain dan selendang. Nama-nama yang dulu disematkan untuk tokoh-tokoh yang bertarung anggun; kini, ia mengenakannya pada orang-orang yang duduk di ruang rapat, berperang dengan excel dan KPI.

Ia tersenyum getir. Mungkin memang begitu hidup bekerja: nama-nama lama berjalan ke masa kini, berganti pakaian, tapi tetap menguji hal yang sama—apakah manusia akan mempertahankan martabat ketika semua orang sepakat untuk menurunkannya?

Hujan Pertama Setelah Keputusan

Hujan turun deras, memukul atap seng kamar kos seperti tangan-tangan yang terburu. Daru berdiri di jendela. Jalanan menjadi sungai pendek, daun-daun menempel di saluran. Ia teringat ayah: “Kalau hujan, lihat arus. Di mana ia mencari jalan keluar, di situ kamu tahu ada kemacetan yang sabar.” Daru mengambil payung abu-abu. Pergi ke dermaga.

Di sana, semuanya basah. Papan licin. Air lebih gelap. Seorang bapak tua berdiri dengan joran. “Nggak takut jatuh, Le?” tanyanya ketika Daru mendekat.

“Takut, Pak.”

“Kenapa tetap di sini?”

“Karena takut yang lain: takut hilang arah.”

Bapak itu tertawa. “Kalau begitu, duduk saja. Takut itu bukan alasan untuk pulang. Kadang, takut justru petunjuk bahwa kamu berada di jalan yang betul.”

Mereka duduk, berbagi diam. Setelah hujan reda, bapak itu memasukkan kail. Tak lama, jorannya bergerak. Ia tidak terburu. Tarik pelan, lepas pelan. Daru memperhatikan. Hidup tersenyum.

.

Kelas Pertama

Seminggu kemudian, kelas pertama Daru dibuka di balai RW: “Menulis untuk Warungmu.” Kursi plastik disusun, spidol murah disiapkan, kertas bekas rapat kelurahan dikumpulkan sebagai catatan. Pesertanya delapan: pemilik warung kopi, tukang bakso, pengusaha cucian helm, penjual kebab, dan tiga ibu dengan bisnis kue basah.

“Kenapa harus menulis?” tanya seorang bapak.

“Karena menulis adalah cara jujur untuk mengingat apa yang benar tentang usaha kita,” jawab Daru. “Kalimat yang tepat bisa menyelamatkan uang, menyelamatkan hubungan dengan pelanggan, bahkan menyelamatkan tidur kita.”

Ia mengajarkan cara membuat janji yang bisa ditepati: lebih sedikit kata superlatif, lebih banyak detail yang bisa diuji. Ia memberi contoh: bukan “terlezat,” tapi “dimasak pukul lima pagi, tiba di meja sebelum jam tujuh.” Bukan “paling murah,” melainkan “kalau ada yang lebih murah dengan bahan setara, kami samakan harga.” Ia menempelkan di papan: “Jujur membuat kita kalah dalam lomba kebohongan, tapi menang dalam hidup sehari-hari.”

Di akhir kelas, seorang ibu menghampirinya. “Mas, tulisanku masih kaku.”

“Yang penting benar dulu,” kata Daru. “Indah nanti.”

.

Undangan yang Ditinggalkan

Suatu pagi, Retna mengirim foto: undangan town hall kantor. Tema: “Budaya Integritas dan Kolaborasi.” Pembicaranya: Jayeng. Di bawah, ada tulisan: “Peluncuran Kode Etik Baru.” Daru menatap gambar itu lama. Ia tahu: dunia pandai belajar menyebut kebaikan. Tapi ia juga tahu: mengucapkan bukan berarti berpegang.

Karin menelepon usai acara. “Mereka menyebut namamu,” katanya.

“Dalam konteks apa?”

“Sebagai inspirasi. Katanya, ‘kita pernah kehilangan talenta karena miskomunikasi.’ Mereka bilang sedang memperbaiki. Aku ingin percaya. Tapi aku memutuskan memperbaiki diriku dulu.”

“Kamu akan pergi?”

“Entah. Namun kalau suatu hari aku pergi, aku ingin orang-orang tahu: aku pergi bukan karena benci, tapi karena aku memilih yang kucintai.”

Daru menutup mata. Angin lewat seperti salam. “Kalau begitu, kita bertemu di jalan yang sama. Jalan yang pelan, tapi pasti.”

.

Surat untuk Diri Sendiri

Malam itu, ia menulis surat untuk dirinya sendiri—surat yang tidak akan dikirim ke mana pun:

“Daru, jangan jadikan jalan ini panggung dendam. Jadikan ia taman tempat kamu menumbuhkan hal-hal kecil: kata yang benar, rasa yang cukup, tidur yang utuh. Jika suatu hari alasanmu memudar, kembali ke dermaga. Ingat angin. Ingat joran bapak. Ingat bahwa menang tidak selalu berarti tinggal.”

Ia menutup buku. Mengunci kamar. Menarik selimut seadanya. Di luar, kota bergerak terus. Di dalam, sebuah keputusan merapat ke hatinya seperti perahu yang akhirnya menemukan tambat.

.

Yang Tersisa dan Yang Dilepas

Beberapa bulan berselang, warung soto ibu itu ramai tiap pagi. Kelas “Menulis untuk Warungmu” berkembang menjadi “Menulis untuk Jasa,” lalu “Menulis untuk Diri.” Di balai RW, di teras masjid, di aula sekolah, orang datang membawa pena dan kisah. Mereka belajar menulis janji yang bisa ditepati. Di pojok ruangan, poster kecil bertuliskan: “Kadang, kita harus pergi. Bukan karena menyerah, tapi karena harga diri tidak bisa ditawar.”

Karin—akhirnya—mengirim pesan: “Aku keluar. Besok aku bantu kelasmu. Aku mau belajar ulang cara bicara kepada manusia tanpa target mengintai dari balik kata.” Daru tertawa. “Selamat pulang,” balasnya.

Jayeng? Ia berganti perusahaan. Di LinkedIn, ia menulis tentang pentingnya integritas. Daru tidak sinis. Ia berharap, sungguh-sungguh, bahwa suatu hari kata-kata itu menjadi rumah, bukan sekadar alamat. Umar? Entah. Mungkin masih menghitung. Semua orang punya cara sendiri mengingatkan hidup.

Dan Daru? Pagi itu, ia kembali ke dermaga. Menatap laut yang tak pernah benar-benar biru, tapi selalu jujur. Angin mencolek jaket tuanya. Matahari naik seperti hati yang pelan-pelan berani.

Ia tersenyum. Di dada, sebuah kalimat kembali terdengar jelas—bukan sebagai slogan, melainkan sebagai jeda napas yang menyeimbangkan langkah:

“Pergi bukan berarti kalah. Pergi adalah cara paling jujur untuk tetap menjadi diri sendiri.”

.

.

.

Jember, 4 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

 

 

#CerpenIndonesia #HargaDiri #Integritas #KisahUrban #CeritaMengharukan #Storytelling #MenulisJujur #EmotionalNarrative #KompasMingguVibes #NamakuBrandku

.

Quotes dari cerpen

  1. “Kadang, kita harus pergi. Bukan karena menyerah, tapi karena harga diri tidak bisa ditawar.”

  2. “Luwes membengkokkan tubuh, licin melepaskan hati.”

  3. “Jujur membuat kita kalah dalam lomba kebohongan, tapi menang dalam hidup sehari-hari.”

  4. “Pergi bukan berarti kalah. Pergi adalah cara paling jujur untuk tetap menjadi diri sendiri.”

Leave a Reply