Perempuan yang Tak Lagi Risau
“Jangan terlalu risau dengan apa yang orang bicarakan di belakangmu. Seringkali, mereka hanya sedang sibuk mencari kesalahanmu, karena belum sanggup memperbaiki kesalahan dalam hidup mereka sendiri.”
.
Pagi yang Sibuk di Kotaraja
Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 07.15. Matahari baru menyalakan rona keemasan di genting-genting merah yang berbaris rapi di Kotaraja. Jalan-jalan lebarnya bergemuruh oleh deru kendaraan dan langkah manusia berdasi; para barista menutup toples croissant, petugas kebersihan menyapu trotoar yang ditumbuhi tabebuya, dan di kejauhan lonceng gedung balai kota berdentang tiga kali—pertanda dimulainya satu hari baru yang tak menjanjikan belas kasihan bagi mereka yang ragu-ragu.
Di kursi belakang mobil listrik pribadinya, Bela Srikandi menatap bayangan dirinya di kaca. Ia baru saja ditunjuk sebagai pimpinan proyek renovasi istana tua peninggalan Menakjinggo—kompleks sejarah yang letaknya di jantung Kota, diapit pusat perbelanjaan mewah, museum kontemporer, dan taman kota yang sering dipakai piknik para keluarga kelas menengah atas. Tugas itu bukan ring-tinggi yang bisa dipamerkan—ia tahu—melainkan arus deras yang siap menyeret siapa pun yang jemarinya lemah memegang kemudi.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari sahabat lamanya, Ratri Kelaswara, muncul:
“Apapun yang mereka bicarakan, tetaplah jadi dirimu sendiri, Bel. Fokus ke langkah berikutnya.”
Bela tersenyum tipis. Pesan sederhana itu seperti tirai bening yang menurunkan teriknya pikiran.
Ia menutup mata sebentar, menata napas: empat hitungan masuk, empat hitungan bertahan, enam hitungan keluar—ritual kecil yang ia pelajari dari Ratri. Jalan di depannya macet; klakson-klakson membentuk paduan suara yang tak seirama. Namun di kepalanya, garis-garis denah, sumbu bangunan, dan ritme bayangan tengah hari berpadu seperti komposisi orkestra. Ia siap.
.
Bela Srikandi
Bela, atau lengkapnya Bela Srikandi, perempuan keturunan garis Menak yang namanya kerap dikait-kaitkan dengan Prabu Menakjinggo, tidak tumbuh dalam kemewahan seperti dugaan orang. Ibunya—perajin songket yang telaten—meninggal ketika Bela baru berusia sepuluh. Ayahnya bekerja sebagai staf teknis di dinas bangunan kerajaan; gajinya cukup untuk membayar kontrakan kecil di Gang Kenanga dan sesekali mengajak Bela makan soto di warung pinggir kali.
Sejak remaja, Bela suka membongkar mainan untuk mengetahui cara ia dirakit, dan lebih suka duduk di bawah jembatan memandangi aliran sungai ketimbang bermain di mal. Di Sekolah Arsitektur Mandalika, ia tak hanya mengejar nilai, tetapi juga meniti pemahaman: bagaimana tiang-tiang bertahan, bagaimana tanah berbicara lewat retak, bagaimana ruang memulihkan luka. Ia magang di Lembaga Desain Mandapala, di mana ia belajar bahwa “indah” tanpa “berbelas” hanya akan jadi poster tanpa jiwa.
Kenaikannya menjadi kepala proyek bukan karena jalur singkat, melainkan jejak panjang: kontes desain rumah susun murah yang ia menangkan, riset kecil bersama dosen tentang atap sirap ramah lingkungan, kerja-kerja sepi yang ia lakukan pada malam-malam ketika teman-temannya berpesta. Konsistensi, bukan koneksi—meski namanya, mau tak mau, selalu dikaitkan ke keraton. Dan tak semua orang mau melihat fakta.
.
Di Balik Punggung
Setelah pengumuman resmi proyek istana, kabar burung beterbangan lebih cepat daripada merpati pos. Di ruang minum teh, di aula kerajaan, di lorong-lorong kantor konsultan, bahkan di ruang ibadah yang mestinya menjadi penawar hati.
“Ah, dia kan darah keraton, makanya gampang naik.”
“Itu proyek bukan dia yang kerja. Banyak ‘bayangan’ di belakang.”
“Pencitraan. Di lapangan beda cerita.”
Bela tahu. Ia bukan tuli. Tetapi ia memilih menunda reaksi. Ia menggulung lengan kemeja, memeriksa kembali rencana pemugaran atap pendapa, menghubungi ahli kayu ulin di Menak Sagara, memverifikasi ulang suplai batu bata dari Pamekasan—konon yang paling padat seratnya. Ia percaya: kerja yang jujur adalah jawaban yang tak perlu tanda seru.
Namun, pada suatu siang yang letih, ia duduk sendiri di bangku kayu di taman istana yang rindang. Angin membawa dengus omongan; ia merasakannya seperti debu yang menempel di bulu mata. Rasa lelahnya bukan soal gambar yang harus ia perbaiki, bukan soal lelang yang harus ia awasi, melainkan soal “menghadapi manusia”—yang kadang lebih rumit daripada struktur kubah.
.
Pertemuan dengan Ratri
Sore itu, ia menemui Ratri Kelaswara di sebuah rumah praktik yang dindingnya ditumbuhi sirih gading. Ratri—sahabat kuliah yang kini menjadi psikolog dan penyembuh dengan ramuan bunga—menyambutnya dengan teh rosela dan piring kecil berisi kue kacang.
“Aku capek, Ri,” ucap Bela lirih.
“Karena proyek?” tanya Ratri sambil mengangkat alis.
“Bukan. Karena omongan orang.”
Ratri menatap lama, kemudian tertawa kecil—bukan mengejek, melainkan memecah kebekuan. “Bel, kau tahu siapa yang paling rajin mencari kesalahan orang lain? Mereka yang belum berdamai dengan kesalahannya sendiri. Kau tak bisa mengendalikan mulut mereka. Tapi kau bisa mengatur jarak antara mulut mereka dan hatimu.”
Bela mengerjap. Ratri melanjutkan, “Kau perlu dua hal: batas dan pusat. Batas untuk melindungi. Pusat untuk menenangkan. Tanpa batas, kau habis dimakan. Tanpa pusat, kau habis oleh dirimu sendiri.”
“Bagaimana caranya?” Bela menatap telapak tangannya yang sedikit kapalan karena kebiasaan menyentuh bahan.
“Mulai dari hal kecil. Kurangi hadir di ruang yang tak memulihkanmu. Atur jam membaca pesan. Bedakan kritik yang membangun dengan sinisme yang menciutkan. Dan setiap pagi, tulis tiga hal: niatmu, satu langkah konkrit hari itu, dan satu hal yang kau syukuri.”
Bela mengangguk, menyimpan kalimat-kalimat itu seperti menaruh paku pada saku kerja.
.
Batas yang Sehat
Sejak hari itu, Bela menetapkan jam hening: setelah pukul sembilan malam, ia tidak menjawab pesan terkait pekerjaan, kecuali darurat. Ia berhenti menghadiri jamuan yang sekadar formalitas. Ia memfilter grup percakapan: yang memantik kontribusi ia pertahankan; yang hanya rajin menyulut rumor ia tinggalkan dengan pamit sopan.
Ia juga membangun lingkar inti—bukan yang gemerlap, melainkan yang jujur. Ada Menak Gandarusa, tukang kayu tua yang jempolnya hitam oleh jelaga, yang mengajarinya cara mendengar “bahasa serat.” Ada Purbaya, arsitek senior yang terkenal getir namun lurus, yang tak ragu mencoret kasar gambar kerja jika menemukan satu garis yang menyimpang. Ada juga Ratri, yang menjadi pengingat bahwa sebuah jembatan dibangun dari dua tepi: teknis dan batin.
Pada lingkar inti itu, Bela belajar satu lagi: mengakui lelah tanpa merasa kalah. “Kuat bukan berarti tak pernah lelah,” kata Ratri suatu malam. “Kuat berarti tahu kapan berhenti dan bagaimana kembali.”
.
Ujian Terbuka di Aula Agung
Beberapa pekan berselang, Dewan Kerajaan mengundangnya menjadi narasumber Forum Desain Istana se-Nusantara. Undangan itu menimbulkan riak. Ada yang memuji, ada yang mengernyit. “Apa dia pantas bicara? Masih ada Purbaya yang lebih senior,” ujar seseorang di koridor.
Bela menjawab pelan, tanpa defensif, ketika rumor itu sampai pada telinganya, “Saya tak pernah meminta panggung. Kalau apa yang saya tahu berguna, saya bersedia berbagi. Kalau tidak, saya bisa tetap bekerja di balik layar.”
Aula Agung hari itu penuh. Lampu-lampu gantung berkaca memantulkan kilau mata tamu. Bela tampil dengan kemeja putih sederhana dan kain motif garis. Presentasinya tidak berhutang pada jargon—ia bicara tentang proses: tentang mendokumentasikan kerusakan bata yang tak tampak, tentang mencocokkan ulang peletakan batu dengan siklus matahari, tentang menimbang keseimbangan antara heritage dan keselamatan. Ia tunjukkan bagaimana tiang jati tua bisa disangga sementara tanpa kehilangan wibawa, bagaimana ventilasi silang tak hanya menyejukkan ruang tetapi juga pikiran.
“Kita membangun bukan hanya yang indah dilihat,” katanya, “tetapi juga yang tak menyakiti bumi—dan tak menyakiti manusia yang menghuninya.”
Pada sesi tanya jawab, seorang peserta muda berdiri. Suaranya bergetar. “Bagaimana Kakak menghadapi kritik dan fitnah saat bekerja?”
Bela tersenyum. “Pertama, saya bedakan kritik dari kebisingan. Kritik punya data, konteks, dan niat memperbaiki. Kebisingan punya volume, emosi, dan niat menguasai. Kedua, saya kembalikan fokus ke lingkar pengaruh: apa yang bisa saya kerjakan hari ini dengan sumber daya yang ada. Ketiga, saya ingat satu kalimat ibu saya: ‘Di jalan yang benar, tetaplah melangkah—meski sendirian.’”
Hening menyapu ruangan. Bahkan Purbaya yang terkenal getir itu mengangguk pelan.
.
Kilas Balik
Malamnya, di kamar yang jendelanya menghadap taman istana, Bela membuka buku catatan. Lampu meja memantulkan warna madu di halaman-halaman. Ia menulis: “Aku tidak hidup untuk membenarkan semua kata tentangku. Aku hidup untuk melanjutkan tanggung jawab, menebar manfaat, dan merawat warisan.”
Ingatannya melayang pada suatu sore jauh, ketika hujan meniti genting rumah kontrakan. Ibunya—dengan tangan yang beraroma benang dan kayu cendana—mengajari Bela menjahit garis lurus pada kain perca. “Lihat, Nak,” katanya, “garis lurus itu bukan soal penggaris. Ia soal sikap. Kalau hatimu ingin belok untuk menyenangkan orang, hasilnya akan berkerut.” Bela kecil mengangguk, belum mengerti seluruhnya, namun mengikat kalimat itu di dalamnya.
.
Reruntuh, Retak, dan Rencana
Renovasi berjalan. Pada dinding sisi timur, retak rambut bertambah panjang. Bela memutuskan membongkar sebagian plester untuk memeriksa susunan bata. Keputusan itu menambah biaya dan memperpanjang jadwal—mendatangkan lagi komentar-komentar sinis dari mereka yang hanya membaca baris anggaran. “Terlalu perfeksionis,” kata seorang pengusaha yang kebetulan juga anggota dewan. “Bertele-tele,” sambung yang lain.
Bela menggelar konferensi kecil dengan tim: struktural, konservasi, logistik, bahkan humas. “Jika kita biarkan,” jelasnya, menunjukkan foto-foto makro di layar, “retakan ini akan menjadi jalan air. Dan air selalu menang. Kita tidak sedang mempercantik, kita sedang menyelamatkan.”
Ia menulis memo internal yang menjelaskan pilihan teknis dalam bahasa awam: analoginya, perbandingannya, konsekuensinya. Ia minta humas menyederhanakannya menjadi infografis di papan proyek agar publik yang lewat mengerti kenapa pagar seng berdiri lebih lama dari rencana. Di sisi lain, ia menghubungi pemasok bata Pamekasan, memastikan kepadatan dan konsistensi bakar. Ia minta Menak Gandarusa mengajari tukang muda cara mendengar tuk-tuk bunyi bata yang sehat. “Bunyi adalah bahasa,” kata Gandarusa, memukul pelan, “yang sehat nyaring renyah, yang sakit sember dan berat.”
Perlahan, suara sinis itu surut—entah karena lelah atau karena pengetahuan kecil yang dibagikan dengan sabar.
.
Ratri, Doa, dan Data
“Jangan hanya mengandalkan doa,” kata Purbaya pada suatu rapat, “tapi jangan juga mengandalkan data tanpa doa.”
Bela tertawa kecil waktu itu—terkejut mendapati Purbaya mengamininya. Ia tak pernah mengiklankan sisi batinnya. Namun Ratri tahu: Bela selalu menyalakan lilin kecil di ruang kerja saat semua pulang, duduk diam beberapa menit, dan menuliskan tiga hal: niat hari ini, langkah kecil yang telah ia ambil, dan satu syukur—sekecil apa pun. “Syukur adalah rem,” kata Ratri, “yang mencegah ambisi melaju tanpa arah.”
Pada saat-saat sulit—ketika vendor terlambat, rantai pasok terputus, atau hujan besar menggenangi halaman—Bela mengulangi mantranya: “Fokus pada lingkar pengaruh.” Ia menyusun ulang jadwal, memindah kerja ke ruang yang aman, menyapa tim satu per satu, memastikan semua orang merasa terlihat. Ia tahu: bangunan berdiri karena batu-batu saling percaya.
.
Hari Panggung yang Sungguh Panggung
Beberapa bulan kemudian, ketika pendapa kembali tegak, ketika susunan bata menyatu seperti stakato yang rapi, ketika lampu-lampu sorot menyapu pelataran, Forum Desain memilih istana itu sebagai teladan pemugaran. Kamera-kamera televisi lokal datang. Mikrofon disorongkan. Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan: “Rahasia keberhasilan?” “Bagaimana mengatasi tekanan?” “Apakah merasa dibenci?”
Bela menatap langit malam yang jernih. Ia menarik napas. “Saya tidak mengejar ‘berhasil’,” jawabnya. “Saya mengejar ‘benar’. Benar kepada sejarah bangunan, benar kepada keselamatan, benar kepada tim, dan benar kepada hati saya sendiri. Tekanan akan selalu ada, kebencian kadang ikut antre. Tapi di antara semua itu, ada ruang kecil yang bisa kita pilih—ruang untuk tetap jujur.”
Tepuk tangan pecah. Namun yang paling menggetarkan bagi Bela bukan gemuruhnya, melainkan seorang tukang muda yang menemuinya setelah acara. Matanya berbinar. “Mbak,” katanya, “saya jadi percaya kalau telaten itu bukan lambat, tapi cara lain untuk cepat.”
Bela menepuk bahu si tukang. “Kamu yang membuat kalimat itu jadi benar,” katanya. “Terus jaga detail.”
.
Surat yang Tak Dikirim
Malam itu, selepas keramaian, Bela pulang. Kota kembali pada keheningannya; lampu-lampu apartemen memantul di sungai. Di meja kerja, ia mengambil kertas dan menulis sebuah surat yang tak pernah ia kirim:
“Untuk kalian yang tak lelah membicarakan aku di belakang, terima kasih. Kalian mengajarkanku seni menutup telinga tanpa menutup hati; membedakan kritik dari caci; merawat batas tanpa kehilangan pusat. Saat kalian menari dengan bayang-bayang, aku menari dengan cahaya lampu kerja. Mungkin tarian kita berbeda musiknya. Semoga suatu hari kita bisa duduk minum teh pada meja yang sama, membicarakan sesuatu yang lebih besar dari diriku atau dirimu: tentang bagaimana kota ini bisa pulih tanpa harus melukai masa lalunya.”
Ia melipat kertas itu, memasukkannya ke dalam buku catatan, lalu mematikan lampu.
.
Tidak Lagi Risau
Waktu berjalan. Bela tidak berubah menjadi karang yang keras; ia justru menjadi sungai yang lebih tenang, tahu kapan harus menepi, tahu kapan harus menentang jeram. Ia bertemu Ratri di taman istana yang kini ramai lagi oleh keluarga, oleh pasangan yang memotret prewedding, oleh anak-anak yang tertawa mengejar merpati.
“Bagaimana hatimu sekarang?” tanya Ratri.
“Tenang,” jawab Bela. “Bukan karena dunia jadi lembut, tapi karena aku belajar menata jarak. Aku belajar berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang menguras, dan ‘ya’ pada hal-hal yang menumbuhkan.”
Ratri tersenyum. “Berarti batasmu sudah tumbuh akar.”
Bela tertawa. “Dan pusatku sudah punya kursi.”
Mereka duduk lama tanpa perlu banyak kata. Angin menggerakkan daun-daun asam kranji, bayangan menari di lantai batu. Seorang ibu muda lewat sambil mendorong stroller; seorang ayah menuntun anaknya memegang es krim yang hampir jatuh. Di atas pendapa, sekelompok seniman latihan tari. Kotaraja, yang sering dinilai keras dan sinis, hari itu tampak seperti seorang tua yang akhirnya belajar tersenyum.
Bela menatap istana yang menyatu kembali: bata-bata yang direkatkan sabar, kayu-kayu yang mengkilap oleh minyak kelapa, atap yang kembali menaungi cerita. Dalam dirinya, sesuatu juga menyatu. Tidak lagi risau. Bukan karena omongan telah berhenti, melainkan karena ia memilih tak lagi memeliharanya.
Ia teringat satu kalimat yang kini ia simpan sebagai penanda:
“Orang yang sibuk memperbaiki dirinya sendiri, tidak punya waktu untuk mencela orang lain.”
Dan pagi berikutnya, ketika kota kembali sibuk, Bela kembali ke meja kerja. Ada gambar detail engsel jendela yang perlu ditinjau, ada rapat koordinasi dengan tim drainase, ada kunjungan siswa arsitektur yang ingin belajar. Hidup bukan panggung yang mencari sorak; hidup adalah bengkel yang mencari telaten.
Di layar ponselnya, sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk: “Maaf jika dulu saya ikut menyebar kabar yang tak sedap. Melihat istana ini, saya paham, keputusanmu waktu itu benar.”
Bela menatap pesan itu lama, lalu menjawab singkat: “Terima kasih. Semoga kita sama-sama tumbuh.”
Kemudian ia mematikan ponsel, menatap keluar jendela. Matahari menyusup lewat kisi-kisi, membentuk garis-garis cahaya di meja gambar. Ia merapikan rambut, mengenakan helm proyek, dan melangkah. Ada pekerjaan menunggu. Ada kota yang mesti dirawat. Ada hati yang mesti dijaga agar tetap luas.
Dan ia tahu, pada akhirnya, kebahagiaan bukan soal di mana ia berdiri—melainkan pada siapa yang ia izinkan berjalan bersamanya: nilai-nilai, orang-orang jujur, dan dirinya sendiri yang tak lagi risau.
.
.
.
Jember 7 Juli 2025
.
.
#Cerpen #SastraIndonesia #KompasMingguStyle #UrbanMiddleClass #MenakMadura #ArsitekturHeritage #BatasSehat #KeteguhanHati #KepemimpinanPerempuan #StorytellingFilmis
.
Kutipan untuk pembaca
-
“Kuat bukan berarti tak pernah lelah. Kuat berarti tahu kapan berhenti dan bagaimana kembali.”
-
“Bangunan berdiri karena batu-batu saling percaya.”
-
“Telaten bukan lambat—telaten adalah cara lain untuk cepat.”