Menari Dengan Angin: Menjadi GM Reliever Tanpa Otoritas

“You may not choose the battlefield. But you can choose how you fight, and what kind of warrior you become.” NamakuBrandku

Dalam hidup profesional, tidak semua panggilan datang dengan nama besar atau sambutan megah. Kadang kita diminta hadir di tengah badai—tanpa pangkat, tanpa kekuasaan, tanpa jaminan berhasil—namun justru di sanalah jati diri diuji, dan pengalaman personal berubah menjadi kekuatan profesional sejati.

Saya pernah menjabat sebagai reliever tanpa otoritas di sebuah boutique hotel di Bali, tepat saat peralihan manajemen dan rebranding berlangsung. Brand lama yang sudah kuat, dipreteli. Nama baru dimunculkan. Reputasi tidak boleh turun. Target revenue dan okupansi tak bisa ditawar. Pemilik hotel memantau ketat, penuh intervensi, mengatur dari balik meja, bahkan hingga hal-hal mikro.

Saya masuk ke medan yang tidak saya pilih, tapi saya memilih cara saya bertarung: dengan keteguhan, empati, dan prinsip. Dan dari sanalah, lahir pelajaran hidup yang tidak saya dapat dari bangku kuliah mana pun. Saya tidak hanya menyelesaikan kontrak kerja, saya menutupnya dengan catatan: Revenue dan GOP 58%. Lebih tinggi dari target. Lebih dari ekspektasi.

Bagaimana mungkin posisi “sementara” bisa menghasilkan dampak sebesar itu?

Jawabannya: karena saya memperlakukan setiap pengalaman personal sebagai batu loncatan menuju profesionalisme yang matang.

 

“Urip mung mampir ngombe, nanging saben tetes kudu ana maknane.” (Hidup hanya singgah untuk minum, tapi setiap tetes harus bermakna.)

1. Panggung Reliever: Tempat Tersembunyi Para Pemimpin Sejati Dilatih

Filsafat Pop:
“True leadership begins where formal authority ends.”

Pitutur Jawa:
“Sopo nandur, bakal ngundhuh.” Siapa yang menanam, akan menuai.

Sebagai reliever tanpa otoritas, saya tidak punya hak memutuskan banyak hal. Tapi saya punya pilihan: menjadi hadir sepenuhnya. Saya memilih untuk menjadi jangkar di tengah kapal yang oleng, menstabilkan emosi tim, menjadi penghubung antara tekanan dari atas dan keresahan dari bawah.

Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa otoritas sejati tidak diberikan. Ia dibentuk melalui karakter dan keteladanan. Saya tidak butuh jabatan untuk menjadi pemimpin. Saya hanya butuh komitmen untuk menjadi versi terbaik diri saya, setiap hari.

Solusi Praktis:

  • Jangan menunggu diberi kewenangan untuk mulai memberi dampak.
  • Jadikan setiap interaksi—dengan staf, tamu, atau atasan—sebagai ruang untuk menunjukkan integritas dan empati.
  • Latih kehadiran emosional: dengar lebih banyak, reaksi lebih tenang, dan hadir lebih penuh.

2. Rebranding: Merangkul Warisan, Menyulam Masa Depan

Transisi brand adalah krisis identitas. Tamu yang loyal kehilangan simbol lama, staf merasa goyah, sementara pemilik ingin hasil cepat. Tapi di sinilah kekuatan personal saya diuji: membangun narasi baru yang berakar pada kekuatan lama.

Saya tidak menghapus jejak masa lalu. Saya merangkulnya. Saya ajak tim mengenang momen terbaik bersama brand sebelumnya, lalu menyambungkannya dengan visi baru: “Kita bukan mengganti nama, kita sedang mewariskan semangat.”

Pitutur Jawa:
“Ajining diri saka lathi.” Harga diri seseorang dari ucapannya. Maka kami mulai dari cara menyapa: tidak hanya sopan, tapi tulus dan mengena.

Tips Inspiratif:

  • Gunakan storytelling untuk menjembatani masa lalu dan masa depan.
  • Libatkan semua tim dalam membangun makna baru, bukan sekadar SOP baru.
  • Lakukan rebranding secara emosional, bukan hanya visual.

3. Di Tengah Mikro-Manajemen: Menari dengan Angin, Bukan Melawannya

Pemilik hotel memilih gaya mikro. Banyak yang frustrasi, tapi saya tidak. Saya memilih untuk memahami alih-alih melawan. Saya belajar bahasa mereka—bahasa laporan, kontrol, ketakutan, dan ekspektasi.

Saya tidak mencari ruang untuk bebas, saya mencari cara untuk membuat mereka merasa aman dalam kendali mereka, tanpa kehilangan arah saya. Ini seni menari: fleksibel, tapi tetap elegan.

Filsafat Pop:
“You can’t stop the waves, but you can learn to surf.”
— Jon Kabat-Zinn

Solusi Empatik:

  • Siapkan laporan sebelum diminta.
  • Gunakan komunikasi proaktif, bukan reaktif.
  • Bangun kredibilitas melalui konsistensi, bukan debat.

4. Pengalaman Adalah Universitas Jiwa: Setiap Masalah Adalah Mentor

Setiap hari saya belajar dari keheningan. Dari frustrasi tim, dari tamu yang kecewa, dari rapat yang penuh tekanan. Tapi saya memilih untuk tidak hanya bertahan—saya belajar.

Saya mulai mencatat: strategi apa yang bekerja, siapa staf yang bersinar, jam berapa FO paling rentan error, dan pola-pola kecil yang mengarah ke hasil besar. Itulah metode profesional dari pengalaman personal.

Pitutur Jawa:
“Alon-alon waton kelakon.” Perlahan tapi pasti.

Tips Transformasional:

  • Jadikan pengalaman sehari-hari sebagai bahan refleksi, bukan sekadar rutinitas.
  • Evaluasi bukan untuk menyalahkan, tapi untuk menyempurnakan.
  • Dokumentasikan semua pelajaran, karena di situlah benih sistem lahir.

5. Mencetak Hasil Nyata: Ketika Rasa Syukur Menjadi Energi Tindakan

Ketika Revenue dan GOP menembus 58%, saya tidak merayakannya dengan gegap gempita. Saya merayakannya dengan syukur dalam diam. Saya tahu angka itu bukan hanya kerja keras saya—tapi buah dari sikap batin yang tidak menyerah meski peran saya serba terbatas.

Filsafat Pop:
“Results are the echo of your daily rituals and unseen choices.”

Solusi Sederhana tapi Dahsyat:

  • Bangun budaya kerja positif dengan ritual kecil setiap pagi: briefing yang inspiratif, bukan hanya administratif.
  • Gunakan invisible leadership: dorong staf untuk bersinar, bukan Anda yang paling bersinar.
  • Hargai pencapaian bukan hanya dengan bonus, tapi dengan pengakuan yang tulus.

6. Dari Pengalaman Menjadi Modul Pelatihan

Semua yang saya alami itu kini menjadi sumber kekuatan. Bukan luka, tapi ilmu. Bukan kelelahan, tapi inspirasi. Dari sanalah lahir struktur pelatihan dan workshop yang relevan untuk dunia nyata:

Materi Workshop dan Modul Pelatihan:

  • Leading Without Title: Kepemimpinan Diam-Diam yang Menentukan
  • Conflict Navigation in Hospitality: Seni Menghadapi, Bukan Melawan
  • Rebranding with Soul: Memimpin Perubahan Tanpa Merusak Kenangan
  • Mikromanagement Survival Kit: Seni Bertahan dan Berkembang
  • Pengalaman Pribadi sebagai Sumber Sistem Bisnis

Anda adalah Cerita yang Sedang Ditulis

Hari ini, mungkin Anda sedang berada di fase “reliever”—dianggap pelengkap, tanpa otoritas, atau bahkan sedang dalam transisi yang melelahkan. Tapi jangan salah, di tempat itulah pengalaman personal Anda sedang menempa Anda menjadi profesional sejati.

Pitutur terakhir untuk kita semua: “Urip mung mampir ngombe, nanging saben tetes kudu ana maknane.”
(Hidup hanya singgah untuk minum, tapi setiap tetes harus bermakna.)

Dan pengalaman Anda hari ini—betapa pun kecil, sepi, atau beratnya—bisa menjadi buku panduan, materi pelatihan, atau bahkan warisan untuk generasi profesional berikutnya.

Karena dari pengalamanlah lahir kekuatan. Dari keberanian mengolahnya, lahir perubahan.

 

Jember, 10 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Hospitality Industry dan Konsultan


One Comment

Leave a Reply