Luka yang Menunggu Bicara
“Bukan waktu yang menyembuhkan. Tapi keberanian untuk menatap luka itu dengan jujur dan memilih untuk melanjutkan hidup.”
.
Jakarta, awal Februari.
Langit kelabu menggantung seperti tirai yang enggan dibuka. Angin menggendong bau aspal basah—hujan menjelang. Di Blok M, di antara deret ruko yang menyimpan memori diskon akhir musim dan poster konser yang tanggalnya sudah lewat, sebuah kedai kopi kecil bernama Rengganis menahan denyut kota agar pelan sedikit. Di sudutnya, Adira duduk seperti seseorang yang menunggu kereta yang tak pasti datangnya: tidak gelisah, tidak pula tenang. Hanya bertahan.
Cappuccino di tangannya telah lewat hangat. Uapnya tak lagi menulis rahasia di kaca jendela. Tiga tahun berlalu sejak Arga menghilang—bukan pergi dengan pintu dibanting atau kalimat yang dikeraskan, melainkan lenyap seperti notifikasi yang tiba-tiba berhenti. Ghosting, kata generasi yang tumbuh bersama layar 6,5 inci.
Adira tidak menamai peristiwa itu “patah hati.” Ia menyebutnya pertanyaan yang kehilangan tanda tanya—kalimat yang dibiarkan menggantung tanpa jeda, tanpa titik, tanpa siapa pun yang berani menuliskan akhir.
.
Pesan Pendek
Ponsel bergetar pelan, seperti cicak yang jatuh di plafon ingatan. Nama itu muncul. Arga.
Kamu masih suka kopi di tempat biasa? Aku di Jakarta seminggu. Mau bicara.
Jantung Adira berdetak satu ketukan di luar ritme. Ia menatap layar lama-lama, seperti memeriksa apakah huruf-huruf itu bisa berubah makna jika diberikan waktu. Tidak. Huruf tetap huruf. Luka tetap luka.
Ia tidak membalas. Malam itu ia hanya menyalakan lampu kamar, merapikan kain sprei, mematikan musik yang tadi mengalun, lalu duduk. Di dalam dirinya, pintu-pintu lama berderit dibuka angin.
“Kadang yang paling bising bukan kota, melainkan pikiran kita sendiri.”
.
Pertemuan
Besoknya, hujan datang seperti janji yang ditepati langit. Adira melangkah ke Rengganis dengan ragu sederhana milik orang yang tak tahu apakah yang akan ditemuinya adalah penjelasan atau alasan. Di meja dekat jendela, Arga sudah duduk. Jaket hitam lusuh itu masih jadi ciri. Mata yang dulu menyimpan banyak jalan pulang kini terlihat seperti gang buntu yang diberi lampu baru.
“Terima kasih sudah datang,” katanya.
Adira duduk. Ia tidak langsung bicara—mengetes bukan kejujuran Arga, melainkan kejujuran dirinya sendiri. Di hadapannya, Arga menautkan jari, menatap meja, lalu memulai.
“Aku pergi waktu itu karena takut,” ucapnya, pelan, seperti orang yang berdoa setelah bertahun-tahun lupa cara menangkupkan tangan. “Takut nggak bisa jadi orang yang kamu butuhkan.”
Adira mengangguk. Tidak terkejut—ia sudah menebak.
“Kamu tahu, Ga. Aku nggak butuh yang sempurna. Aku cuma butuh orang yang mau hadir. Tapi kamu bahkan nggak mau bicara waktu pergi.”
“Aku pikir diam lebih baik dari penjelasan yang akan menyakitimu.”
“Padahal justru diam yang paling menyakitkan.”
Hujan di luar melepaskan ritme lebih rapat, seperti tepuk tangan yang tak ingin terdengar. Panji—barista muda—meletakkan dua gelas air. Namanya mengingatkan Adira pada cerita lama tentang tokoh yang selalu menyamar untuk pulang. Ironis, pikirnya. Kita semua mungkin Panji; hanya kostumnya yang berbeda.
“Bicaralah meski suaramu gemetar. Luka lebih takut pada kejujuran daripada pada waktu.”
.
Hari-hari Berikutnya
Mereka tidak jadi pasangan di menit berikutnya. Tidak ada pelukan. Tidak ada “ayo mulai dari nol.” Yang ada adalah pertemuan pendek yang tidak diburu jam—setiap sore, di tempat yang jaraknya sengaja dekat: halte CSW saat langit oranye, trotoar Senayan saat pedagang cilok memanggil pelan, jembatan penyeberangan di atas Sudirman saat lampu-lampu kantor menyala seperti bintang yang menolak pindah langit.
Mereka bicara tentang hal-hal yang dulu disimpan. Soal masa kecil Arga di Pamekasan—ayahnya yang jarang pulang, ibunya yang selalu memastikan pintu terkunci tetapi lupa memastikan hatinya sendiri tidak. Soal Adira yang tumbuh dengan cara apa-apa harus rapi, nilai harus tinggi, air mata harus sembunyi. Mereka menelusuri luka bukan untuk menyalahkan, namun untuk memberi peta baru.
“Aku datang bukan minta kesempatan kedua,” kata Arga suatu sore di trotoar Melawai, ketika suara musisi jalanan menyanyikan Kepada Senja. “Aku datang karena capek kabur dari hal penting. Dan kamu—kita—dulu terlalu penting buat diakhiri dengan diam.”
Adira memandang arus kendaraan melintasi bundaran—laju dan jeda, laju dan jeda. Jalan raya seperti jantung kota: ia akan selalu berdetak, bahkan saat tak ada yang mau mendengar.
.
Orang-Orang yang Menyamar sebagai Cermin
Hidup tetap bekerja seperti mesin yang tidak libur. Adira, perancang konten di sebuah agensi Kuningan, dikejar tenggat kampanye Ramadhan. Kantor mereka seperti akuarium besar: tiap orang menatap layar sambil berharap ikan-ikan ide datang berenang.
Di ruang rapat, Adira bertemu Sekar, rekan kerja yang tawanya mematahkan tegang ruangan. “Kamu akhir-akhir ini lebih tenang,” kata Sekar. “Ada apa?”
“Aku lagi belajar membedakan antara yang ingin kupegang dan yang memang harus kulepaskan.”
Sekar mengangguk. “Di kota ini, yang paling mahal bukan apartemen. Yang paling mahal itu keberanian untuk bilang ‘cukup’ atau ‘lanjut’. Sisanya bisa dicicil.”
Di Rengganis, Panji juga berubah menjadi cermin. “Mbak, cappuccino-nya masih seperti biasa?” Adira mengangguk.
“Kadang yang kita sebut ‘seperti biasa’ itu, kalau jujur, sebenarnya kita harap berubah,” kata Panji.
Adira tertawa. “Kamu barista atau penulis?”
“Dua-duanya kalah susah dibanding jadi manusia,” balasnya.
“Kota menyediakan cermin; kita yang menentukan mau melihat atau melewatinya.”
.
Percakapan yang Tertunda
Malam itu, Adira mengirim pesan pada Arga:
Aku siap mendengar asal kamu siap menjawab. Bukan membela.
Arga membalas cepat:
Aku siap jujur kalau kamu siap marah. Besok?
Mereka bertemu di Taman Ayodya. Hujan baru selesai. Rumput menampilkan warna yang selama ini disembunyikan debu. Anak-anak berkejaran; lampu taman memantulkan wajah-wajah yang memilih pulang lebih lambat.
“Kenapa kamu hilang begitu saja?” tanya Adira. “Aku berhak mendengar dari mulutmu.”
“Aku kewalahan,” kata Arga, menatap permukaan air yang memantulkan lampu. “Kamu mencintaiku dengan penuh. Aku pikir aku harus menandingi. Aku malah tenggelam. Aku malu bilang ‘tolong’. Aku takut kalau kamu dengar ‘tolong’, kamu akan menilai aku kurang.”
“Jadi kamu memilih membuatku merasa kurang berharga?”
“Tidak sengaja,” bisiknya. “Tapi iya, akibatnya begitu.”
“Ga,” suara Adira halus namun tegas, “aku tidak butuh pahlawan. Aku butuh teman jalan. Yang tak selalu kuat, tapi mau cerita kalau lelah.”
Hening sebentar. Di kejauhan, pedagang balon tertawa kecil. Ada sesuatu tentang tawa orang yang menjual kegembiraan: seperti menyimpan tabungan matahari di kantong.
“Aku minta maaf,” ujar Arga. “Bukan demi diampuni. Tapi agar aku tak lagi berdiri di masa lalu dengan tangan di saku.”
“Aku dengar,” kata Adira.
Mereka mengakhiri malam tanpa kesepakatan, tapi dengan keputusan: melanjutkan bicara besok, dan besoknya lagi, sampai kata-kata tak lagi beban, melainkan jembatan.
.
Jakarta sebagai Latar yang Ikut Mendengar
Kota ini punya cara sendiri menjadi latar: ia mendengar sambil lalu, tapi mencatat dalam-dalam. Di sarapan bubur ayam Mayestik, Arga bercerita tentang kerja barunya di Surabaya; ia memimpin tim kecil bernama Wirasena. Ia bangga, tapi kerap menahan cerita karena takut tampak sombong.
“Aku selalu bingung bedain rendah hati dan rendah diri,” katanya.
“Kamu tak harus memilih rendah diri untuk tampak rendah hati,” jawab Adira. “Sebagian dari mencintai diri adalah mengakui yang sudah benar kamu lakukan.”
Sore di pelataran Masjid Cut Meutia, adzan Magrib mengalun. Orang-orang bersiap. “Rapi itu menenangkan,” ucap Arga menatap saf.
“Rapi menenangkan kalau hati rapi. Kalau hati berantakan, rapi terasa seperti kerapuhan,” kata Adira.
Arga tersenyum. “Kamu sekarang pandai memasang lampu-lampu kecil di malam.”
“Aku cuma menyalakan lampu yang sudah ada.”
“Keberanian bukan melawan orang lain; ia melawan kebiasaan lama yang membungkam kita.”
.
Hujan, Panik, dan Jawaban
Sabtu sore, Jakarta memutuskan hujan turun tanpa jeda. Rengganis menurunkan setengah tirai. Bau kopi bercampur bau tanah. Suara tetes air jadi metronom.
“Aku tak bisa janji apa-apa,” kata Adira. “Aku bukan orang yang sama. Sekarang aku tahu, mencintai bukan soal seberapa banyak aku bisa memberi, tapi seberapa sehat hubungan itu untukku.”
“Aku juga berubah,” balas Arga. “Aku tak minta dipercaya sekarang. Tapi aku akan hadir. Kalau kamu mau, kita belajar jalan berdua.”
Di saat yang tenang itu, tiba-tiba Arga menarik napas pendek-pendek. Tangannya gemetar. “Sebentar,” katanya lirih. Panik datang seperti maling yang tahu celah pintu.
Adira refleks memindahkan kursi, mengarahkan Arga menatap lantai, menghitung napas bersamanya. “Ikuti aku: empat hitungan tarik, enam hitungan buang,” ujarnya. Panji melihat, cepat-cepat membawa gelas air dan menurunkan volume musik.
Serangan itu berlalu. Arga menutup wajah. “Ini salah satu alasanku dulu pergi,” katanya serak. “Aku malu punya serangan panik. Kupikir kuat itu artinya tak terlihat goyah.”
Adira menatapnya lama. “Kuat itu artinya berani terlihat manusia.”
Mereka tertawa kecil, kelelahan yang manis. Di luar, seorang pengemudi ojek menepikan jas hujan hijau yang berat oleh air. Ia menunduk sebentar, lalu kembali melaju—seperti doa yang tak diucapkan keras-keras tapi dikerjakan.
.
Luka-luka yang Punya Nama
Seminggu berlalu. Percakapan mereka memperkenalkan kamus baru: kata-kata yang dulu menakutkan kini dilafalkan pelan. Takut. Perlu. Cemburu. Letih. Batas. Mereka memberi nama pada yang sebelumnya samar.
Suatu malam di jembatan Karet, lampu kendaraan mengalir seperti sungai cahaya.
“Aku dulu memberi terlalu banyak agar tak ditinggalkan,” kata Adira. “Baru kusadar, memberi tanpa diminta kadang bukan karena cinta, tapi karena takut ditinggal.”
“Aku menjauh agar tak mengecewakan orang,” sahut Arga. “Baru kusadar, menjauh justru mengecewakan.”
“Kita ini lucu,” kata Adira. “Melindungi diri dengan cara yang melukai diri.”
“Kita belajar,” jawab Arga.
“Kita belajar,” ulang Adira—seperti mantra.
“Ketika luka kita beri nama, ia berhenti berteriak dan mulai berdialog.”
.
Orang Tua yang Diam-diam Berdoa
Adira pulang ke rumah ibunya di Setiabudi. Rumah kecil dengan halaman sempit dan pohon melati yang entah mengapa selalu berbunga saat hujan. Ibunya menatap anak perempuannya mengaduk teh.
“Kamu kelihatan lebih berani,” kata ibu.
“Berani bagaimana?”
“Berani untuk bahagia dan berani untuk tidak. Dua-duanya perlu.”
“Bu, kalau seseorang kembali setelah bertahun-tahun, apa aku harus percaya?”
“Kepercayaan bukan hadiah,” kata ibu. “Ia perabot rumah tangga yang butuh dirawat. Kalau dia datang lagi, suruh dia bawa kain lap dan minyak kayu putih.”
Adira tertawa. “Ibu bisa saja.”
“Serius,” ibu menatap. “Hati itu rumah. Orang yang tinggal di dalamnya harus mau membantu bersih-bersih.”
Di Pamekasan, Arga menelepon ibunya yang tinggal sendiri. Suara ibunya serak menyejukkan.
“Mak, aku banyak salah.”
“Kalau kamu sudah tahu salah, berarti sudah setengah benar,” balas ibunya. “Sisa separuhnya kamu jalanin pelan-pelan. Diam itu emas kalau kamu marah. Tapi kalau kamu salah, diam itu besi tua.”
Arga tertawa. Ibunya selalu punya peribahasa yang tak ada di buku.
.
Saat Kota Mengubah Kecepatan
MRT membawa mereka dari Blok M ke Bundaran HI pada sore yang tiba-tiba cerah. Di kaca gerbong, wajah-wajah memantul: pekerja dengan kartu akses, pasangan muda mendorong stroller, pelajar dengan gitar di punggung. Kota bergerak serempak ke tempat berbeda.
“Kalau nanti kita mencoba lagi,” kata Arga, “aku ingin rumah yang jendelanya besar. Biar cahaya masuk banyak. Biar kita ingat, yang terang itu ada.”
“Dan ruang tamu tanpa televisi,” tambah Adira. “Biar percakapan tidak kalah.”
“Kamu sadar nggak, percakapan ini dulu tidak pernah kita miliki?”
“Kita takut kalau bicara, yang kita lihat cuma kelemahan. Sekarang kita tahu, bicara justru memperlihatkan keberanian.”
Mereka turun di Dukuh Atas. Seorang pemain saksofon memanjangkan senja. Mereka berhenti, lalu menyeberang. Di kepala Adira, kalimat-kalimat datang seperti lampu yang menyala bergiliran: Kita tidak diciptakan untuk tebak-tebakan. Kita diciptakan untuk saling menyebutkan.
.
Kejutan Kecil yang Dikerjakan Hari-hari
Tak ada momen besar yang mengubah semuanya; tak ada dua ratus mawar, tak ada makan malam bintang. Yang ada: kabar “sudah makan?” pada jam yang wajar, tautan artikel kesehatan mental yang tidak menggurui, pesan suara tiga puluh detik dari Arga, “Hari ini aku ingin kabur, tapi aku memilih kirim ini.”
Adira membalas dengan foto langit yang membuka celah di antara awan: Hari ini aku ingin menangis, tapi aku memilih menulis ini.
Mereka jadi dua orang yang tak lagi menunggu momen, melainkan mencicilnya.
“Cinta yang sehat bukan berlari kencang di awal, melainkan berjalan jauh dengan napas yang diatur bersama.”
.
Tanah Abang, Jayeng, dan Umarmaya
Suatu siang, Adira mendapat tugas liputan singkat di Tanah Abang—mencari cerita manusia di tengah lautan kain. Ia ditemani Jayeng, fotografer baru yang lincah, dan Maya, reporter magang yang cekatan—dua nama yang seolah keluar dari lembar wayang yang berdebu dan berpindah ke macetnya kota.
“Masuk gang sebelah situ,” kata Jayeng. “Ada tukang reparasi resleting paling jujur sedunia.”
Lelaki tua di kios sempit itu memperbaiki resleting tas Adira. “Bayarnya seikhlasnya,” katanya. “Kunci tas itu seperti kata-kata: kalau macet, jangan dipaksa. Dikasih pelumas dulu.”
Adira tersenyum. Kota selalu punya guru dengan materi kuliah yang tak ada di kurikulum.
Dalam perjalanan pulang, hujan menyambar. Mereka berteduh di bawah kanopi toko kain. Maya menunjuk pasangan muda bertengkar pelan—mimik yang mirip siapa saja ketika lelah. “Kak, semua orang seperti punya percakapan yang tertunda ya?”
Adira menatap trotoar berlumpur. “Iya. Bedanya, ada yang berani membukanya, ada yang memilih menyimpannya seperti baju musim lalu.”
.
Retak yang Jujur
Malam Jumat, Arga mengajak bertemu di Kota Tua. Lampu kuning menimang bangunan tua. Di bangku panjang, mereka berbagi diam yang tak canggung.
“Ada hal yang harus kukatakan,” ujar Arga. “Dulu, sebulan sebelum aku hilang, aku sempat konsultasi ke psikolog. Dia bilang aku perlu terapi dan mungkin obat. Aku ketakutan sendiri. Kupikir kalau kamu tahu, kamu akan pergi. Jadi aku mendahului—aku yang pergi.”
Adira menahan napas. Ada rasa hangat sekaligus perih menyusup dada—hangat karena kejujuran, perih karena andai dulu.
“Kalau saat itu kamu bilang,” kata Adira pelan, “aku mungkin akan takut juga. Tapi kita bisa takut bersama.”
“Aku tahu,” ucap Arga. “Makanya aku kembali. Bukan untuk menebus masa lalu, tapi untuk menghentikan kebiasaan melarikan diri.”
Mereka berjalan menyusuri batu-batu alam yang licin. Seorang bocah menembakkan gelembung sabun ke udara. Gelembung-gelembung itu pecah pelan di bahu malam.
“Kejujuran adalah retak yang jujur; dari situlah cahaya menemukan jalan.”
.
Uji Kecil dari Langit
Pertengahan minggu, hujan besar menenggelamkan beberapa ruas. TransJakarta padat, KRL terlambat. Arga, yang sedang dalam perjalanan, terjebak di Palmerah. Ia mengirim pesan: Aku panik lagi. Stasiun padat. Bising.
Adira berada di meeting. Ia melihat layar, mengangkat tangan. “Maaf, aku perlu keluar sebentar.” Di koridor sunyi, ia menelepon. “Dengarkan suaraku,” katanya. “Kita hitung bersama. Tarik empat, tahan dua, buang enam.” Di ujung sana, suara Arga gemetar menurun. “Ada bangku kosong di ujung peron,” kata Adira. “Duduk. Kita tidak mengejar kereta. Kita mengejar napas.”
Kereta datang. Orang ramai berdesakan. Arga tidak memaksakan diri. Ia bertahan dua keberangkatan. Lalu naik yang ketiga. Malam itu, singkat dan sederhana, mereka lulus ujian kecil dari langit.
.
Tentang Waktu yang Tak Hilang
Minggu itu, Adira belajar satu hal penting: tidak semua yang tertunda artinya terlambat. Kadang, hidup memberi jeda agar kita pulih dan mengerti. Kadang, perpisahan tak terjadi karena benci, melainkan karena kita belum siap mencintai dengan cara sehat. Dan ketika dua orang memutuskan duduk, menyebut nama luka, lalu membicarakannya, luka bisa menjadi pintu kecil menuju ruang baru di rumah yang sama.
Di Rengganis, Panji menulis di papan menu: “Kopi terbaik adalah kopi yang diseruput pelan sambil berani bercerita.” Orang-orang memotret. Ada yang tersenyum, ada yang mendengus. Begitulah kata-kata: sebagian jadi kunci, sebagian kembali jadi gembok untuk orang yang belum siap.
Suatu malam bening setelah banyak hujan, Arga berjalan bersama Adira di trotoar Thamrin. Pohon-pohon menunduk sedikit—seperti memberi restu. Air mancur Bundaran HI menari tanpa lelah.
“Dir,” kata Arga.
“Ya?”
“Kalau suatu hari kita gagal lagi, kita berjanji gagal sambil bicara.”
Adira tertawa kecil. “Kamu lucu.”
“Aku serius.”
“Aku tahu.” Adira menggenggam ujung lengan jaket Arga—gerakan kecil yang melampaui kalimat. “Aku setuju.”
Angin melintas. Ada rasa ringan yang tak mengarah ke mana-mana, tapi cukup membuat langkah mereka tak berat.
“Kita mungkin tak selalu menang atas hidup, tapi kita bisa menang atas diam.”
.
Epilog yang Tidak Menutup Pintu
Di apartemen kecilnya, Adira menulis pada buku catatan bersampul peta jalur MRT:
Aku tidak lagi menunggu waktu menyembuhkan. Aku mengajak waktu duduk di sampingku. Aku menatap lukaku dan menamainya. Lalu kubilang: aku mengerti kau pernah melindungiku. Tapi kini tugasku mengantarmu pulang.
Ia menutup buku. Jakarta menurunkan volumenya. Adira mematikan lampu, membiarkan sisa cahaya dari jendela menggambar siluet di dinding. Ia tersenyum—bukan senyum kemenangan, melainkan senyum orang yang merasakan tubuhnya kembali dimiliki.
Ponsel bergetar. Pesan dari Arga:
Terima kasih sudah mau bicara. Aku tahu aku tak punya hak meminta banyak. Tapi bolehkah aku menjemputmu besok? Kita sarapan bubur. Kita mulai hari dengan yang hangat.
Adira mengetik pelan:
Boleh. Tapi kali ini, kalau buburnya terlalu encer atau terlalu kental, kita ngomong.
Balasan datang: emotikon tertawa, lalu satu kata: Setuju.
Malam itu, Jakarta tidak tiba-tiba romantis—ia tetap bising, macet, menunda. Tapi bagi dua orang yang belajar duduk dan bicara, kota berubah menjadi ruang latihan: tempat luka lama diberi kesempatan terakhir untuk belajar bahasa baru.
.
.
.
Jember, 3 Juni 2025
#Cerpen #Jakarta #Percakapan #LukaLama #BeraniBicara #Komunikasi #Healing #UrbanStory #Ghosting #MenamaiRasa
.
Quotes yang Relate dengan Cerita
-
“Keberanian bukan melawan orang lain; ia melawan kebiasaan lama yang membungkam kita.”
-
“Bicaralah meski suaramu gemetar—diam yang panjang selalu lebih tajam dari kata yang jujur.”
-
“Ketika luka kita beri nama, ia berhenti berteriak dan mulai berdialog.”
-
“Cinta yang sehat bukan berlari kencang di awal, melainkan berjalan jauh dengan napas yang diatur bersama.”
-
“Kita tak selalu menang atas hidup, tapi kita bisa menang atas diam.”