Luka yang Menjadi Jalan Pulang
“Ada waktunya kita berhenti berbicara, bukan karena kalah, melainkan karena sadar: sebagian telinga memang ditakdirkan tak mau mendengar.”
“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”
“Menunggu bukan kalah; menunggu adalah cara lain dari menguasai.”
.
Kota yang Riuh
Malam Jakarta selalu riuh, seolah langitnya terbuat dari logam yang memantulkan segala bunyi. Dari jendela apartemen lantai dua belas di Tebet, Abdul Jalil menatap jalur layang KRL yang memanjang seperti garis takdir di kejauhan. Lampu-lampu kereta melintas, berkedip sebentar, lalu hilang di balik gelung beton. Dari bawah, TransJakarta melata sabar; klakson tak marah-marah, hanya menua bersama hujan yang baru saja reda. Bau aspal basah naik perlahan, bercampur wangi kopi sachet pedagang gerobak di mulut gang.
Di simpang, polisi tidur yang retak menyimpan kisah: ban yang melambat, obrolan yang terputus, dan kekasih-kekasih yang memilih diam. Jalil menempelkan telapak ke kaca. Dingin. Dan di balik dingin itu, ia mendengar riuh kecil yang tumbuh dari dalam dadanya sendiri—riuh kata-kata yang ingin diselamatkan.
Ia baru kembali dari Madura. Pertemuan keluarga yang lama dihindarinya justru menghadirkan pukulan telak: Umar—sepupu yang didewakan keluarga—mengatakan Jalil tak lebih dari penonton di panggung orang lain. Kalimat itu, di Jakarta yang tak pernah tidur, bergema lebih nyaring daripada sirene ambulans.
.
Meja Panjang di Rumah Timur
Rumah besar keluarga di Pamekasan berdiri menghadap timur. Halaman depan ditaburi kerikil gersang; di sudutnya tonggak kayu tua—bekas perahu yang karam—ditegakkan sebagai kenangan. Di meja panjang ruang tengah, sate kambing mengepul, soto madura mengirim wangi serai, dan nasi jagung tersusun seperti bukit kecil. Gelas-gelas teh panas berembun, menandai percakapan yang mulanya ramah.
Umar datang terlambat, wangi parfumnya mengalahkan rempah di meja. Jam tangan berkilat, sepatu mengilap, tatapan mengukur ruang. Ia memulai obrolan dengan cerita tender dan lahan, menutupnya dengan tawa, menancapkan paku-paku kecil pada udara yang sejak tadi rapuh. Ketika Jalil bercerita tentang riset narasi untuk sebuah lembaga sosial dan rencana bukunya, Umar tertawa ringan, seperti menyibak nyamuk.
“Kau tetap begitu-begitu saja, Lil,” katanya, memutar garpu. “Seperti penonton di hidup orang lain. Tidak pernah jadi aktor utama.”
Pisau sunyi itu, dilempar tenang, menancap dalam. Ratna—perempuan yang dulu menunggu Jalil di ujung dermaga Kalianget—kini duduk di sisi Umar. Ia menunduk, mengatupkan bibir, seperti menahan sesuatu yang ingin menangis. Angin dari halaman tipis saja—cukup untuk menggoyang tirai, tidak cukup untuk memindahkan hati.
.
Suramadu di Malam Hari
Dalam perjalanan kembali, Jalil meminta sopir berhenti di rest area Suramadu. Malam menumpahkan kilau di permukaan air; jembatan itu seolah biola raksasa yang dawainya ditarik angin. Di kejauhan, lampu-lampu perahu mengambang, seperti kalimat-kalimat yang belum mencari titik.
“Apakah selalu begini?” gumamnya. “Bahagia ditawar dengan angka, duka disembunyikan di balik gengsi?”
Ia melanjutkan perjalanan. Suramadu tertinggal, tapi getarannya masuk ke tulang. Di kota besar nanti, ia tahu, kebisingan hanya akan mengubah bentuk—dari pedagang ikan di Pelabuhan Kalianget menjadi bunyi notifikasi telepon genggam.
.
Jakarta Pagi: Asam Kopi, Asam Napas
Kembali ke Tebet, pagi menemuinya dengan suara sapu ibu kos yang menggesek gang, bapak-bapak menghidupkan motor untuk ojek online, dan loper koran yang masih setia menjinjing gulungan berita, meski banyak jendela kini lebih percaya pada layar. Jalil turun ke warung pojok yang dindingnya penuh stiker rokok. Ia memesan kopi hitam, gorengan, dan seporsi tahu goreng yang masih meneteskan minyak. Di meja sebelah, dua pegawai—dasi longgar, kemeja tak disetrika—berdebat tentang target; kata “closing” dan “pitching” beterbangan seperti lalat di atas meja.
Di layar ponselnya, surel dari klien menunggu. Ia bekerja sebagai konsultan komunikasi: merancang pesan yang memanusiakan; menggeser kata dari pedih menjadi pendar. Namun pekerjaan seperti itu tak cukup keras untuk memukul meja keluarga. Narasi, bagi banyak orang, hanyalah gorden: mengubah tampilan, bukan menahan badai. Padahal Jalil tahu, di balik banyak keputusan penting—bahkan yang merobohkan atau membangun hidup—ada narasi yang menuntun diam-diam.
Ia menyalakan laptop. Di dokumen kosong, kursor berkedip: palang pintu yang menunggu diketuk.
.
Raden Wijaya dari Kota Pahlawan
Sore itu, panggilan video dari Raden Wijaya masuk. Wijaya hangat—suaranya seperti lampu kuning di terowongan yang panjang. Di belakangnya, Surabaya senja menghampar: langit jingga menempel di atap-atap, dan garis gedung menghitam sebagai siluet. Di meja, terlihat sketsa rancangan rumah tepi kali—Wijaya arsitek yang mencintai kota seperti mencintai makhluk hidup: diberi sirkulasi, diberi jendela untuk bernapas, diberi halaman untuk mengingat.
Jalil menceritakan semuanya. Tentang meja panjang, tawa Umar, diam Ratna, dan dadanya yang menjadi gudang balok-balok tak bernama.
“Kau ingat peribahasa orang kita?” kata Wijaya. “Angin kencang tak bisa dijerat, tapi bisa ditunggu reda. Kau jangan mengejar reda dengan berlari, Lil. Kau menunggu—sambil menulis.”
“Menunggu sering kali seperti kalah,” ujar Jalil.
“Tidak. Menunggu adalah cara lain dari menguasai. Kota mengajariku itu. Di Surabaya, banjir tidak kita bentak agar pergi; kita buat aliran, kita sisakan ruang. Di hidupmu, aliran itu tulisanmu.”
Koneksi sempat patah, wajah Wijaya membeku di layar. Ketika tersambung lagi, kalimatnya menyempurnakan jeda: “Dan jangan lupa: tak semua telinga diciptakan untuk mendengar. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti bicara dengan baik.”
.
Ratna di Tebet, Meja di Pojok
Ratna mengabari lewat pesan yang terlalu sopan untuk menampung luka. Mereka bertemu di kafe kecil dekat stasiun. Kafe itu menyimpan aroma kayu basah dan biji kopi yang dipanggang terlalu lama. Dari jendela, kereta melintas tiap beberapa menit, seperti detak-jantung kota yang berdebar cepat.
“Aku ke sini karena ingin meminta maaf,” ucap Ratna, menatap ke gelasnya sendiri. “Aku membiarkan banyak hal terucap tanpa kubantah.”
“Maaf kepada siapa?” tanya Jalil.
“Kepadamu, kepada diriku, mungkin juga pada kota yang seharusnya jadi tempat kita pulang dengan bahagia.”
Hening. Kereta berlalu. Di lorong ingatan keduanya, ada suara debur pantai Gili Labak, tawa kawan-kawan lama, dan janji yang pernah lembut seperti ombak kecil. Jalil tak memegang tangan Ratna. Ia menahan sikapnya seperti menahan napas sebelum menyelam.
“Ratna,” katanya, “bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”
Ratna menutup mulut dengan punggung tangan. Air matanya turun pelan, seperti lampu-lampu peron yang padam satu-satu.
.
Kota sebagai Panggung Kecil
Jalil menulis lebih banyak. Pagi di halte busway, siang di perpustakaan daerah dengan AC yang terlalu dingin, malam di bangku taman Menteng tempat anak-anak bersepeda roda kecil. Tulisan-tulisan itu ia unggah ke blog; kadang ke media sosial dengan potongan kalimat yang gampang disimpan orang.
Ia menulis tentang pekerja yang kehilangan suara di rapat, perawat yang menahan kantuk di shift ketiga, dan sopir truk yang menukar punggungnya dengan kilometer. Ia menulis tentang perempuan yang tinggal di rumah kaca dan lelaki yang memaafkan diri sendiri tanpa mengumumkannya. Pada setiap tulisan, Jakarta, Surabaya, dan Madura hadir seperti tiga warna dasar yang dicampur di palet: kadang membentuk hijau tenang, kadang cokelat pekat yang muram, sesekali ungu yang tak terduga.
Komentar datang, pelan lalu deras. “Tulisanmu seperti menepuk punggung saya,” kata seorang pembaca yang profilnya hanya menampilkan foto kucing. “Saya seperti bercermin,” tulis yang lain. Ada juga yang tak menulis apa pun, hanya mengirim tanda hati. Di sana, Jalil belajar: tak semua apresiasi punya kata-kata; sebagian cukup berupa hadir.
.
Surabaya: Pabean, Ampel, dan Malam yang Panjang
Undangan diskusi buku dari sebuah komunitas di Surabaya datang lebih cepat dari yang ia duga. Di kota pahlawan itu, Jalil berjalan bersama Wijaya menyusuri Pabean. Bau ikan asin naik, bercampur wangi cengkih dari gudang tua. Di gang Ampel, lampu-lampu kuning menggantung rendah; doa-doa yang berjalan dengan sandal jepit, menawar bakso dengan suara pelan.
“Di kota ini,” ujar Wijaya, “orang keras kepala bukan untuk menyakiti, tapi untuk bertahan. Kita keras kepala memegang kebaikan, memegang harapan.”
Di depan publik, Jalil membaca potongan tulisannya. Suaranya bergetar, tapi stabil—seperti jembatan yang merasakan angin tapi tak rontok. Ada seorang ibu berdiri di belakang, menggendong anak yang tertidur; ada lelaki muda bersandar di tiang, menyembunyikan air mata di bawah topi. Ketika sesi tanya jawab dibuka, mereka tak bertanya soal gaya bahasa atau teknik; mereka bertanya bagaimana cara menanggung hari.
Malamnya, di tepi Kalimas, Wijaya bercerita tentang banjir, tentang sungai yang minta maaf dan kota yang belajar menerima. “Kita bukan Tuhan, Lil. Tugas kita cuma mengatur aliran. Dan aliran itu kadang membawa kita kembali ke luka yang sama, sampai kita mengerti fungsinya.”
.
Konfrontasi di Hotel Pusat Bisnis
Takdir sering punya selera humor yang aneh: Jalil dan Umar dipertemukan di acara seminar properti di sebuah hotel mewah di jantung Sudirman. Langit-langit ballroom rendah membuat suara tepuk tangan memantul seperti gerimis ragu. Umar di podium—suit abu-abu, kalimat-kalimat tajam, grafik yang naik seperti anak tangga menuju langit.
Usai acara, di koridor yang dilapisi karpet tebal, Umar menepuk pundak Jalil. Senyumnya kilat yang tak menghangatkan.
“Aku dengar bukumu laku?” katanya. “Hebat juga. Cerita luka ternyata bisa dijual.”
“Luka tak dijual,” jawab Jalil, tenang. “Luka dibagikan supaya tak menumpuk di satu dada.”
Umar terkekeh, lalu menatap lebih lama dari yang perlu. Ada sesuatu yang bergetar di sudut matanya—kekhawatiran kecil yang belum menjadi kata.
“Jangan terlalu puitis, Lil. Dunia nyata tidak dibaiki metafora.”
“Betul,” kata Jalil. “Tapi dunia nyata sering disakiti oleh kalimat-kalimat yang kita lempar sembarangan.”
Mereka berpisah. Jalil tidak menang. Umar tidak kalah. Namun untuk pertama kalinya, koridor hotel itu menyesuaikan langkah Jalil, bukan sebaliknya.
.
Ratna Memilih Pintu
Ratna tak pulang pada malam yang seharusnya. Ia mengetuk pintu apartemen seorang sahabat lama, membawa koper kecil dan sebuah buku doa yang ujungnya sudah lusuh. Besoknya ia mengirim pesan pada Jalil, pendek seperti jembatan yang hanya menyeberangkan satu orang demi satu orang.
“Terima kasih. Kata-katamu kemarin menolongku melihat pintu. Aku memilih pintu itu. Bukan untukmu, bukan untuk siapa-siapa. Untuk diriku.”
Jalil membaca pesan itu di halte. Hujan turun. Orang-orang mendekap tas, menutup kepala dengan map plastik, dan bus datang telat dua menit yang terasa dua tahun. Di dadanya, sesuatu merapat: semacam lega yang lahir dari kehilangan yang sehat.
Ia membalas: “Jaga diri. Yang tertib di dunia ini mungkin hanya detak jantung dan langkah kecil, satu-satu.”
.
Buku yang Menemukan Tangan
Bulan-bulan berikutnya, “Cerita Kita untuk yang Terluka” memasuki rak-rak depan toko buku. Sampulnya sederhana: selimut warna senja, judul tipis, nama penulis yang tidak memaksa mata. Di akun toko, foto-foto pembaca bertebaran: ada yang memegang buku di dalam kereta, di teras kos, di ruang perawatan RS. Jalil diundang ke radio yang masih menyiarkan lagu-lagu lawas; penyiar berbisik pelan seolah takut melukai udara.
Di setiap pertemuan, Jalil mengucapkan kalimat yang sama, seperti mantra yang tidak ingin berubah: “Kalau tulisan ini terasa menolong, ketahuilah, ia lahir dari orang-orang yang pernah menolong saya—bahkan ketika mereka tak sengaja melukai.”
Ratna sesekali hadir di belakang ruangan, tak mendekat. Umar tak pernah muncul. Tapi kabar beredar—bukan kabar buruk, bukan kabar baik—bahwa Umar mulai berbicara lebih pelan di meja makan.
.
Madura: Pagi yang Mengampuni
Jalil pulang lagi. Fajar di Pamekasan setenang kain putih di jemuran. Di lahan garam, petak-petak memantulkan langit muda—cermin yang tidak membohongi siapa pun. Anak-anak berlari, menyelip di antara keranjang rumput laut. Seorang kakek meniup rokoknya sampai padam, lalu berkata pada Jalil yang tak ia kenal: “Kalau angin keras, kita merunduk. Bukan kalah, tapi sedang mencari arah.”
Di dermaga Kalianget, perahu berangkat dengan doa yang tidak bersuara. Jalil duduk di ujung, menatap garis air yang dibelah lunas. Ia mengeluarkan buku kecil, menulis: Kadang kehidupan mempertemukan kita dengan cermin yang meretakkan wajah. Jangan marah pada cermin; rapikan napas, benahi rambut, dan tersenyum secukupnya. Retak tidak menghilangkan fungsi, ia hanya mengingatkan agar kita memegangnya lebih hati-hati.
Ia menutup buku dan tersenyum. Di kepalanya, suara Wijaya muncul, seperti radio yang hidup sendiri: “Kau tak perlu jadi aktor utama di panggung semua orang. Cukup jadi lampu kecil yang tidak padam.”
.
Jakarta Malam: Atap, Angin, dan Garis Cahaya
Kembali ke Tebet, Jalil naik ke atap. Malam itu cerah, angin menyingkap rambutnya seperti tangan ibu. Dari kejauhan, gedung-gedung Sudirman berdiri seperti kalimat-kalimat yang selesai; tak perlu diperdebatkan. Di dekatnya, jembatan penyeberangan orang bergaris putih, memantulkan lampu motor seperti sungai kecil yang mengalir di udara. Jalan layang Mampang menulis huruf S besar, mengajak siapa pun patuh pada belokannya.
Ia duduk, membuka ponsel. Pesan dari Wijaya: foto rancangan taman tepi sungai dengan kursi-kursi kayu, jalur sepeda, dan pepohonan yang berjanji rindang.
“Kalau jadi, kau harus baca buku di sini,” tulis Wijaya.
“Janji,” balas Jalil.
Ia memeluk kakinya. Di bawah sana, kota bergerak tanpa mengucap selamat malam. Di atas, bintang tak semuanya tampak—tapi ia tahu, banyak yang hadir tanpa perlu terlihat. Seperti keberanian yang tumbuh pelan di dada—tidak meledak, tidak pamer, hanya memastikan esok akan ada langkah lagi.
.
Luka sebagai Jalan Pulang
Hidup di kota besar tak pernah benar-benar damai. Akan selalu ada Umar-umar yang menguji bahu, Ratna-ratna yang belajar membuka pintu, dan Jalil-jalil yang memelihara api kecil agar tidak padam. Kota tidak bertugas menyembuhkan; ia hanya menyediakan lorong-lorong. Kita yang memilih berhenti berdebat dengan dinding, dan mulai berjalan.
Jalil menutup jendela, mematikan lampu ruang tamu, menyisakan cahaya kecil di meja—lampu yang tetap menyala seperti hati yang menolak padam. Ia berbisik pada dirinya sendiri, bukan sebagai doa, melainkan sebagai kesediaan: “Aku akan menulis lagi. Bukan untuk menang, bukan untuk dipuji. Untuk hadir di hidup orang-orang yang terluka—agar mereka tahu, ada jeda yang bisa dihuni.”
Dan malam Jakarta, yang tadinya riuh menghardik, berubah menjadi ibu yang menepuk punggung: pelan, teratur, sampai anaknya tertidur.
.
.
.
Jember, 19 September 2025
.
.
#CeritaKitaUntukYangTerluka #CerpenSastra #CeritaUrban #JakartaSurabayaMadura #RefleksiHidup #NamakuBrandku