Luka yang Disembuhkan Sendiri

“Manusia yang pernah hancur, lalu bangkit sendiri, adalah manusia yang tak lagi takut kehilangan apa pun.”

.

Jakarta, pukul 21.14 WIB. Dari balik jendela apartemen lantai 10 yang menghadap pusat kota, Umarmaya berdiri mematung. Gemerlap lampu, sirene mobil patroli, dan riuh klakson terasa jauh—seolah-olah tidak pernah menyentuh pikirannya malam itu.

Teh panas yang tadi diseduhnya sudah dingin. Ia hanya memegangnya seperti benda mati. Pandangannya kosong. Pikirannya melayang ke tiga tahun lalu, saat dunia seperti sengaja bersekongkol untuk menghancurkannya.

Di luar, seorang pengantar makanan menurunkan helm dan bercermin pada kaca lobby; di jalan layang, bus listrik meluncur dengan lampu interior kebiruan. Kota mengembuskan napas panjang yang tak pernah habis, sementara di dadanya, satu tarikan napas terasa seperti mendaki tebing.

.

Runtuhnya Harga Diri

Sebelum semua rubuh, nama Umarmaya disegani di lingkar profesional. Manager proyek senior di perusahaan teknologi komunikasi—integritasnya dicatat banyak orang: rapat tanpa basa-basi, presentasi yang jernih, dan kebiasaan mengembalikan honor pembicara jika merasa tidak pantas menerimanya.

Justru karena itulah ia dianggap berbahaya oleh segelintir orang yang hidup dari kabut: Adirengga, yang memimpin unit bisnis dengan senyum seperti marmer, dan Prabangkara, pengatur laporan yang mahir menata angka-angka sehingga tampak memukau dari jauh.

Kabar buruk jarang mengetuk pintu—biasanya menerobos. Pagi itu, sekretaris menyuruhnya “mampir sebentar” ke ruang direksi. Di meja, berkas-berkas tebal menunggu seperti batu nisan kertas. Ada bukti transaksi, ada tabel pengalihan vendor, ada kuitansi yang memalsukan namanya.

“Ini berat, Mar,” kata Adirengga, suaranya lunak seperti tisu basah. “Tapi perusahaan harus bersih.”

Umarmaya menunjuk satu baris: tanggal dan jam yang bertabrakan dengan rapat daring yang direkam. Ia menunjukkan notulen, rekaman layar, bukti kehadiran di gedung yang berbeda. Tapi narasi telah ditulis, kameranya tinggal menyorot.

Pemecatan tidak hormat. Segera. Tanpa ruang untuk klarifikasi. Seakan agar-agar dibiarkan dingin: ketika sudah beku, pisau tinggal mengiris bersih.

Di media sosial, isu menyebar: “korup”, “tidak amanah”, “pintar bermuka dua”. Teman-teman kantor tidak menaruh emoji marah; mereka memilih diam—atau sekadar membagikan tautan tanpa komentar. Diam yang panjang sering lebih melukai daripada cacian pendek.

Ibunya di Magelang sakit setelah menonton siaran infotainment daring yang mencomot kabar tanpa verifikasi. “Kalau kamu salah, Ibu tetap sayang. Kalau kamu benar, Ibu tetap sayang,” katanya lewat telepon, napasnya pendek-pendek. Cinta kadang adalah pagar yang rapuh, tapi tetap pagar; cukup untuk menunda angin.

.

Menghilang dari Dunia

Ia pindah ke indekos sempit di Mampang. Menghapus notifikasi. Menghapus kontak. Menghapus cermin—atau setidaknya menutupinya dengan poster lama pertunjukan jazz di TIM. Di ponselnya, jam digital terasa seperti pacar yang sudah putus tetapi tetap mengetuk setiap menit.

Siang hari ia tidur. Malam ia terjaga, duduk bersila di lantai dingin. Makan nasi dengan telur, kadang mi instan tanpa bumbu. Rambut ia potong sendiri; potongan tidak rata membuatnya tak ingin keluar lebih lama.

Pada bulan keempat, ia berdiri terlalu lama di balkon, memandangi tepian langit yang brudul oleh gedung. Pertanyaan datang seperti burung yang menabrak kaca: “Kalau aku mati, apakah semua ini selesai? Atau justru mereka akan menang sepenuhnya?”

Ia mundur tiga langkah. Ia menutup pintu balkon. Dan untuk pertama kali setelah berbulan-bulan, ia menangis tanpa bersembunyi.

.

Titik Balik dalam Diam

Hujan turun malam itu, deras seperti kelapa tumpah. Umarmaya menyalakan laptop tua yang layarnya berkedip, mengetik: bagaimana cara bangkit ketika semua orang meninggalkan kita. Mesin pencari memberi ribuan jawaban. Sebuah kalimat menempel pada retina:

“Tak ada yang lebih berbahaya daripada seseorang yang menyembuhkan dirinya sendiri tanpa bantuan siapa pun.”

Ia menulis pada secarik kertas robek dari belakang buku:
“Kamu belum mati, Mar. Kamu cuma jatuh.”

Lalu ia membuat daftar pendek, bukan daftar besar:

  1. Jalan kaki 10 menit setiap pagi.

  2. Makan benar dua kali sehari.

  3. Pelajari satu keterampilan yang bisa dikerjakan dari kamar.

  4. Menulis jurnal tanpa sensor.

  5. Contohkan kebaikan sekecil apa pun per hari.

Di bawah daftar, ia menggambar garis tipis seperti garis hidup di telapak tangan.

.

Merangkai Ulang Diri

Esoknya, ia benar-benar keluar. Hujan sudah berhenti; aspal masih mengilap. Di gerobak kopi, ia memesan Americano: pahit yang jujur, air panas yang sabar. Ia berjalan menyusuri gang, memerhatikan sepatu-sepatu yang menunggu di depan pintu sempit.

Desain grafis terlintas bukan karena cinta, melainkan karena murah untuk dipelajari. Dari YouTube dan kursus gratis, ia mengenal vektor, grid, tipografi. Gagal. Ulang. Salah. Ulang. Kadang jari-jarinya kebas, tapi ada nyala kecil di dada yang tidak mau padam.

Ia mendaftar di platform freelance. Pekerjaan pertama: desain kemasan teh herbal untuk rumah produksi kecil di Banyumas. Bayarannya Rp50.000. Ketika notifikasi transfer masuk, ia menatap angka itu lama sekali. Bukan besar, tapi bersih. Untuk pertama kalinya ia dibayar bukan karena struktur, bukan karena seragam, melainkan karena dirinya sendiri.

Malam-malam ia menulis jurnal: kalimat yang buruk dibiarkan tetap buruk, sebab itulah wajah luka. Setiap hari ia menandai satu kalimat dengan stabilo: “Hari ini aku tidak menjadi korban.”

.

“Jangan Jadi Korban Selamanya”

Beberapa bulan kemudian, algoritma—dewa kecil yang stabil tetapi mudah berubah—menggiringnya ke klien luar negeri. Ia merapikan bahasa Inggrisnya, menonton film tanpa teks, melatih telinga seperti menajamkan pisau. Ia belajar UI/UX dari forum gratis, mengirim rancangan bukan sebagai “portofolio”, melainkan sebagai jawaban atas masalah yang nyata.

Ketika satu klien kembali memesan tiga kali, ia menuliskan di jurnal: “Bukan keajaiban. Ini akibat dari kecil-kecil yang tidak menyerah.”

Luka sosial masih menganga. Ia melihat unggahan-unggahan lama: Anisatul Mawaddah tersenyum di rapat, Kiai Polang—julukan untuk kolega senior yang selalu berpakaian batik hitam—mengacungkan jempol di depan kamera. Mereka diam saat ia jatuh. Diam seperti kain yang menyerap darah tanpa meninggalkan bercak.

Ia tak ingin menyentuh mereka. Bukan karena benci; karena tangannya sibuk bekerja.

.

Kembali ke Kota

Sewa indekos habis. Ia pindah ke apartemen studio di Kuningan, dekat stasiun MRT. Malam-malam ia duduk di jendela, memerhatikan jalan layang yang dibersihkan petugas memakai lampu sorot kecil. Di sebelahnya, ketel elektrik menjerit pelan.

Suatu Minggu malam, ia menerima telepon dari Wiradamaya—adik yang sejak kecil pandai menawar harga di pasar dan pandai menawar takdir.

“Mas… Ibu minta kamu pulang. Sebentar saja. Kita rujak kolak bareng. Ibu lagi ingat masa-masa kita susah,” katanya.

Ia pulang naik kereta. Di Magelang, pohon sawo di halaman masih condong ke barat, seakan menyimak dengung mushala. Ibunya menyentuh pipinya dengan telapak dingin: “Kamu kurusan. Tapi matamu lebih terang.” Mereka makan kolak nangka. Gula merah larut perlahan, sebagaimana maaf larut tanpa diumumkan.

Pada malam ketika suara jangkrik berlipat-lipat, ibunya berkata, “Jalanmu sendiri itu suci kalau niatmu bersih. Jangan takut sendirian.”

Kalimat itu menancap seperti patok tenda.

.

TitikTerang.id

Sekembalinya ke Jakarta, ia menamai studi kecilnya: TitikTerang.id. Bukan karena yakin dirinya adalah lampu, melainkan karena ingin menyediakan suluh bagi yang masih menunggu mata terbiasa di gelap.

Ia merekrut delapan orang: Rengganis, Wirasuta, Jamalullail, Nuraini, Laras, Sagara, Wulang, dan Miyarsa. Mereka penyintas: pernah dipermalukan di kantor karena aksen, pernah dipaksa menandatangani pengunduran diri tanpa tanggal, pernah dituduh mencuri waktu hanya karena shalat di musala lantai dua.

Setiap Senin pagi, ia menulis di grup:
“Dulu aku disembuhkan oleh diriku sendiri. Hari ini tugasku jadi penawar luka orang lain.”

Mereka bekerja paruh-resmi: jam kerja fleksibel, rapat berdiri lima belas menit, satu hari dalam seminggu bebas tanpa alasan. Upah tidak sempurna, tapi adil: transparan, dengan catatan keuangan sederhana yang bisa dilihat semua anggota.

Ia melatih satu budaya kecil: “tiga lapis benar.” Setiap desain harus benar fungsi, benar rasa, benar arah—seperti bus kota yang bukan hanya berjalan, melainkan juga sampai.

.

Bertemu Masa Lalu

Seminar desain digital di BSD, tiga tahun setelah hari pemecatan, mempertemukan Anisatul Mawaddah dengan Umarmaya. Di panggung, lampu LED menaburkan warna ungu. Di bawahnya, stan kopi artisan menawarkan latte art berbentuk daun telinga.

Anisa menatapnya lama. “Mar… ya Allah… kamu ada di sini?”

“Sejak tadi,” jawabnya, tersenyum.

“Aku baca beberapa karyamu. Keren sekali. Aku… aku minta maaf. Waktu itu aku diam.”

Umarmaya menatap ke gelas kertas di tangan. “Diammu bagian dari perjalananku,” katanya. Bukan dramatis—sekadar benar.

Anisa menangis tanpa suara. “Adirengga sudah pindah ke luar negeri. Prabangkara membuka konsultan sendiri. Kamu… apa rencanamu?”

Melanjutkan yang sempat berhenti. Dan mengajari adik-adik ini membuat desain yang tidak berbohong.”

Mereka tertawa pendek. Tawa orang yang tidak lagi mengukur dunia dengan penggaris yang sama.

.

Kota, Malam, dan Langkah-Langkah Kecil

Malam-malam berikutnya, kota menjadi kawan. Umarmaya berlatih berlari lima kilometer di GBK, memulai perlahan, menepi ketika napasnya membatu. Ia mengganti kopi jam sembilan dengan air putih jam delapan. Ia mematikan gawai satu jam sebelum tidur, membaca kumpulan cerpen lama yang pernah ia abaikan—ia menemukan bahwa manusia yang sakit, jika diberi waktu, akan menemukan obatnya sendiri di lembar-lembar usang.

Ia juga membuat pertemuan bulanan di ruang komunitas apartemen: “Kelas Rabu Senja.” Siapa saja boleh datang, gratis. Mereka membicarakan kebiasaan kecil: cara menyusun agenda, cara menyapa orang yang menyakiti tanpa memberi panggung, cara menulis email yang jernih, cara memilih untuk tidak balas dendam.

Di kelas itu, Kiai Polang—yang dulu pernah menyaksikan kejatuhannya—diam-diam hadir. Rambutnya lebih putih, matanya lebih teduh.

“Saya minta maaf,” katanya di akhir kelas, suaranya nyaris bisik. “Saya… takut.”

“Kalau begitu, kita sama,” jawab Umarmaya. “Saya juga pernah takut. Bedanya, sekarang kita tahu jalannya.”

Kiai Polang menunduk. Maaf adalah jam pasir: tak ada suara, tetapi waktu mengalir melalui leher yang sempit.

.

Luka yang Tak Terlihat

Di sebuah sore Sabtu, Rengganis gagal mengunggah kampanye tepat waktu. Klien memaki di grup. Rengganis menangis; ia membawa bagasi masa lalu: dulu ia dipecat karena dianggap “terlalu lambat memproses emosi.”

Umarmaya menulis di papan: “Sistem yang lemah membuat orang baik terlihat buruk.” Lalu ia mengajarkan cara mengunci jadwal, menyusun buffer, mengalihkan fokus. Besoknya, mereka meminta maaf kepada klien dengan tawaran solusi dan diskon kecil. Klien bertahan.

Saat itulah Umarmaya mengerti: luka paling dalam bukanlah tuduhan dari luar, melainkan keyakinan kita bahwa kita pantas dituduh. Ia menulis di jurnal: “Aku bukan kesalahan yang kulakukan, apalagi kesalahan yang dituduhkan.”

.

Edukatif & Solutif: Lima Jurus Bertahan di Kota

Umarmaya menutup tahun ketiga dengan menulis lima jurus di forum internal—bukan sekadar motivasi, melainkan kebiasaan praktis:

  1. Ritme > Euforia. Lari lima kilometer seminggu lebih baik daripada dua puluh kilometer sebulan. Di kerja, tiga jam fokus lebih berharga daripada dua belas jam hadir.

  2. Catat > Ingat. Ingatan itu aktor yang suka improvisasi. Catatan adalah naskah. Semua keputusan—kecil maupun besar—ditulis, bukan dibiarkan menjadi kabut.

  3. Batas > Balas. Ketika disakiti, bangun batas yang jelas. Balas dendam membuat kita penonton dari panggung orang lain.

  4. Ring Kecil > Panggung Besar. Tiga orang yang jujur dan konsisten lebih kuat daripada seratus pengikut yang riuh dan lepas.

  5. Belajar Publik > Sempurna Privat. Tunjukkan proses, bukan hanya hasil. Orang tak bisa menolong jika yang mereka lihat cuma topeng sukses.

Di bawahnya, ia menulis satu kalimat, tebal:
“Bangkit itu bukan pertunjukan, melainkan pengulangan.”

.

Musim Pameran

Sebuah galeri kecil di Kemang mengundangnya mengisi pameran desain sosial: poster-poster yang mendarat di panti rehabilitasi, infografik untuk kelas literasi ibu-ibu buruh, tipografi untuk kampanye anti-bullying di sekolah menengah. Ia menamai pameran itu “Retak yang Menyala”.

Pengunjung datang dengan pakaian santai, membawa kamera saku dan rasa ingin tahu. Ada yang berfoto di depan poster “Batas bukan berarti benci.” Ada yang menanyakan font. Ada yang menanyakan bagaimana cara menyembuhkan diri.

Seorang pemuda bertopi bertanya pelan, “Bang, kalau semua orang nggak percaya sama kita, gimana caranya percaya sama diri sendiri?”

Umarmaya menatap mata pemuda itu. “Percaya itu bukan perasaan. Percaya itu keputusan yang diulang sampai menjadi kebiasaan. Mulailah dari hal yang kamu bisa kontrol: bangun pagi, mandi, menyapu kamar. Biar hati menyusul.”

Pemuda itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Kadang solusi bukan rumus rumit; ia hanya nama untuk ketekunan yang santun.

.

Pertemuan Kedua

Anisa datang ke pameran itu. Kali ini ia tidak membawa air mata. Ia membawa buku catatan.

“Aku mengajar kelas etika di kampus swasta. Boleh aku mencontohkan beberapa kebiasaan timmu?” tanyanya.

“Ambil semua. Tidak ada yang rahasia di sini,” jawab Umarmaya. “Kalau bisa, tambahkan pengalamanmu sendiri.”

“Kau tak dendam, ya?”

Dendam itu investasi rugi. Aku lebih suka menabung langkah kecil.”

Mereka berjalan di antara poster. Pada poster terakhir, ada kalimat besar:
“Luka yang disembuhkan sendiri adalah kompas. Ia tidak selalu menunjuk utara, tetapi ia menjauhkan kita dari jurang.”

Anisa tersenyum. “Aku ikut naik kelas Rabu Senjamu, ya?”

“Tentu,” kata Umarmaya. “Bawa cerita. Bawa juga diam yang pernah menyakitimu. Kita belajar memberinya nama.”

.

Malam yang Tenang

Malam kembali ke apartemen lantai 10. Kota masih bernapas, tetapi napasnya kini serasi. Ia menulis kepada tim: “Terima kasih untuk hari ini. Kita tidak perlu menjadi besar, cukup menjadi berguna.”

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor asing:
“Saya Prabangkara. Bolehkah kita bertemu?”

Umarmaya menatap layar beberapa detik. Tidak ada amarah yang naik. Tidak ada adrenalin yang meledak. Hanya ketenangan: ia sekarang tinggal di wilayah yang tidak membutuhkan pembuktian.

“Boleh,” tulisnya. “Di lobi gedung, Rabu jam 5.”

Ia menutup gawai, menyalakan air, dan menyeduh teh panas. Uapnya mengajak malam untuk lebih pelan. Di kaca jendela, pantulan dirinya tidak lagi asing.

Ia mengangkat cangkir, meniupnya perlahan, dan tersenyum—bukan kepada siapa pun, tetapi kepada dirinya: orang yang pernah hancur, bangkit sendiri, dan sekarang tak lagi takut kehilangan apa pun.

.

Lima Tahun Kemudian

Di Magelang, ibunya berpulang dengan tenang, pada Subuh yang bau kopinya lebih harum dari biasanya. Di pemakaman, langit seperti kertas yang disapu arang tipis. Umarmaya berdiri bersama Wiradamaya, memegang tangan adiknya.

Setelah tahlil, ia kembali ke Jakarta. TitikTerang.id kini bukan lagi studio kecil; ia komunitas kerja. Orang-orang datang bukan karena gaji paling besar, melainkan karena rasa paling jelas: di sini tidak ada kebohongan, di sini tidak ada diam yang menyakiti.

Suatu malam, setelah kelas Rabu Senja, ia menutup pertemuan dengan kalimat sederhana:

“Jangan remehkan seseorang yang telah menyembuhkan dirinya sendiri tanpa bantuan siapa pun. Karena mereka tidak lagi menakutkan—mereka sudah bebas.”

Kota menyalakan lampu-lampu. Di jendela, ia melihat bayangan—retak yang menyala—dan mengerti: yang selama ini ia cari bukan pembenaran dari luar, melainkan perjanjian dengan diri sendiri. Perjanjian yang tidak diucapkan keras-keras, tetapi ditunaikan pelan-pelan, tiap hari.

Dan ketika malam menjadi hening, Umarmaya tahu: luka itu tetap ada, tetapi sudah bertunas.

.

.

.

Jember, 3 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V

.

.

#LukaYangDisembuhkanSendiri #CerpenKompasMinggu #UrbanHealing #KelasMenengahAtas #JakartaMalam #SelfRecovery #Leadership #BudayaKerja #TitikTerang #JurnalHarian

.

Quotes untuk pembaca

  • “Bangkit bukan tentang siapa yang menolongmu, tetapi tentang bagaimana kamu menolong dirimu pada saat semua pintu tertutup.”

  • “Batas bukan untuk membenci; batas adalah cara menghormati diri.”

  • “Percaya diri bukan rasa; ia keputusan yang diulang sampai menjadi kebiasaan.”

  • “Dendam adalah investasi rugi; maaf adalah tabungan panjang.”

  • “Retak tidak selalu buruk; di sanalah cahaya menemukan pintu.”

Leave a Reply