Langkah Terakhir di Tangga Takdir
“Kadang, meninggalkan yang terlihat pasti adalah satu-satunya cara merawat kewarasan.”
.
Rintik pertama turun seperti jarum. Jakarta basah, kaca-kaca gedung berkabut tipis, dan lampu-lampu jalan pecah jadi serpih cahaya di permukaan aspal. Dari lantai 23, Danang Wiratma berdiri menatap kota yang seolah tak pernah lelah membesarkan ambisi dan menyusutkan nurani. Kemejanya masih putih, tetapi hatinya sudah keabu-abuan—seperti sisa kopi hitam tanpa gula yang ia seruput untuk membunuh kantuk dan, entah kenapa, malah membangunkan rasa takut.
Di layar ponselnya, pesan terakhir dari sekretaris legal menyala dingin: “Mohon bersiap untuk klarifikasi di kantor polisi. Rabu, pukul 10.00.” Ini panggilan ketiga. Tuduhan: penggelapan, manipulasi data. Tidak satu pun ia lakukan, tetapi posisinya terlalu dekat dengan pusat badai. Namanya di kop surat, tanda tangannya di bawah rapat terbatas, fotonya terpampang di billboard ketika konsorsium investasi dan hospitality tempatnya bekerja—perusahaan yang dulu dipuja sebagai calon unicorn Asia Tenggara—masih percaya transparansi bisa disubstitusi oleh branding.
Di ruang yang sunyi, AC berdesis seperti jarak yang tak pernah habis. Danang bertanya pada bayangannya di kaca: Apakah bertahan adalah nama lain dari mengkhianati diri?
.
Tangga yang Berderit
Di awal ia masuk, pitch deck perusahaan terdengar seperti mazmur pertumbuhan: “dana segar”, “skala regional”, “efisiensi operasional”. Namun di lantai manajemen, Danang menemukan lantai-lantai yang berderit—anggaran disulap, dividen dibayar dengan utang, termin pembayaran suplier dimanipulasi, dan due diligence dianggap formalitas. Etika menjadi lilin: lentur, dibentuk sesuai suhu rapat dan sorot mata pemegang saham.
Di puncak bagan, ada Wiraraja—yang semua orang panggil dengan nama keluarga itu saja. Wajahnya dingin, senyumnya tegas, kalimatnya selalu berakhir dengan angka. Di belakangnya, Jokotole—investor flamboyan yang dulu mengajarkan Danang cara memikat panggung, bukan menata pondasi. Di ruang audit, Siti Ambunten, kepala kepatuhan yang membaca pasal-pasal seperti mantra, tetapi sering diminta “melihat konteks”. Di tim strategi, Palakaran—ahli presentasi yang cemerlang, cekatan menggoreng data menjadi kisah.
Suatu malam, Danang berdiri sendiri di boardroom. Ia diminta mempresentasikan proyeksi yang tak ia percaya. Cashflow dipoles, risiko disembunyikan di catatan kaki. Usai rapat, palpitasi jantungnya sebal dengan pertanyaan yang tak kunjung padam: Sejak kapan kenyataan harus minta izin pada narasi?
Ia pulang naik taksi, memandangi wajahnya di kaca jendela, dan merasa malu. Bukan pada orang lain. Pada diri sendiri.
.
Dialog dalam Hening
Di sebuah kafe kecil di bilangan Blok M, hujan menjelma menjadi aroma tanah basah yang menenteramkan. Arimbi duduk di hadapannya, satu-satunya kolega yang ia percaya. Ada sesuatu yang waras dari cara Arimbi memandang dunia: tidak naif, tidak sinis. Ia menyimpan ketakutan dan harapan dalam kantong yang sama, lalu tetap berjalan.
“Mau sampai kapan, Nang?” tanyanya sambil mengaduk teh tarik.
“Entah,” jawab Danang. “Aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut uang kontrakan habis. Takut tak bisa mengirim untuk Ibu di kampung. Takut tinggal hidup dari sisa harga diri.”
Arimbi menatapnya lama. “Kalau kau takut kehilangan semuanya, mengapa kau bertahan di pekerjaan yang membuatmu kehilangan dirimu sendiri?”
Pertanyaan itu menancap. Di luar, rintik menebal. Di dalam, hening menjadi bunyi yang paling lantang.
.
Surat yang Tak Dibacakan
Mei 2025. Map cokelat di tangan Danang terasa lebih berat daripada koper ketika merantau. Di dalamnya ada surat pengunduran diri tanpa kalimat-kalimat dendam. Ia menyerahkan kepada Wiraraja. Ruangan itu dingin, pandangan orang-orang lain adalah kalkulator yang berjalan.
“Kau mau pergi begitu saja?” Wiraraja mendesis. “Setelah kita bangun ini dari nol?”
Danang menunduk, bukan kalah—hanya memilih tak membesarkan suara. “Aku tidak pergi. Aku memulangkan diri.”
“Kau belum punya pegangan. Jangan bodoh,” potong Wiraraja.
Namun Danang sudah muak menjadi pintar yang mengabaikan hati nurani. Keluarnya bukan heroik. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada karangan bunga. Hanya sudut mata yang basah dan punggung yang tegak.
Di lift, ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Arimbi: “Kita tak bisa menyelamatkan semua orang. Selamatkan dirimu dulu.”
.
Hari-Hari Tanpa Gaji
Pagi pertama tanpa email blast adalah ketidaknyamanan yang aneh. Tak ada rapat, tak ada deck yang harus disusun, tak ada KPI yang menjerat. Ia duduk di kontrakan sederhana, membuka laptop, dan menatap kursor yang berkedip seperti detak jam—mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski status LinkedIn tak lagi bergengsi.
Ia memulai dari hal-hal kecil. Menyusun kurikulum pelatihan untuk hotel kecil di daerah, merancang modul public speaking untuk frontliner, menulis artikel tentang ethical hospitality. Ia menata ulang skill tree—memetik yang pernah tumbuh, menyiram yang lama dibiarkan kering. Dia memetakan potensi geowisata, merancang workshop “kepemimpinan yang merawat nurani”, dan pelan-pelan, memukau sekelompok orang yang sama-sama lelah pada harapan yang dijual dengan cat mengilat.
Malam-malamnya diisi call Zoom dengan properti bintang tiga yang ingin naik kelas tanpa menjual jiwa. Paginya dihabiskan di coworking space di Cikini, di mana setiap meja menyimpan mimpi yang beratnya setara dengan uang sewa.
Ia menulis di blog kecilnya—bukan menasihati, hanya bercerita. Tentang bagaimana pelayanan adalah ibadah yang tak perlu mimbar, tentang transparency by design dalam pengelolaan back-of-house, tentang pentingnya memegang janji pada para staf: gaji tepat waktu adalah martabat, bukan fasilitas.
Postingannya tak viral, namun merayap ke grup-grup WhatsApp para general manager, para owner boutique hotel, para sales leader yang pernah merasakan “rapat akuntabilitas” hanya menjadi ajang mencari kambing hitam.
.
Sinar dari Celah Retak
Tiga bulan kemudian, sebuah email masuk: “Kami mengundang Danang Wiratma menjadi narasumber utama Konferensi Transformasi Jasa Layanan Digital.” Ia membaca dua kali. Tak ada jebakan. Yang menandatangani: Adi Poday—panitia yang punya reputasi menolak amplop dan memilih kualitas.
Di panggung, lampu menyorot wajahnya. Ia memulai dengan sesuatu yang tak pernah ia kuasai dulu: kejujuran yang sederhana.
“Bapak-Ibu,” katanya, “pertumbuhan itu indah. Tapi keindahannya lenyap ketika kita memakai kebenaran orang lain untuk menutupi kebohongan sendiri.”
Ia tidak menyebut nama. Ia tak perlu. Yang mengangguk bukan hanya audiens di kursi empuk, juga orang yang dulu ia temui di ruang-ruang yang memeras nyali. Usai sesi, seseorang menghampiri: Siti Ambunten. Wajahnya berbeda: lelah, seperti baru selesai menjemur penyesalan.
“Maaf,” kata Siti pelan. “Dulu aku bilang ‘lihat konteks’. Ternyata konteks adalah aku sendiri.”
Danang tidak memeluk, tidak menepuk pundak. Ia hanya mengangguk. Orang bisa berubah—kadang karena kalah, kadang karena menang, lebih sering karena nyeri yang tidak diindahkan.
.
Cahaya dari Ujung Kertas
Di papan tulis coworking, ia menulis dengan spidol: RUMAH RINDU – Elderly Home untuk Sahabat Senja. Ia menggambar denah: kamar-kamar tanpa ambang tinggi, koridor luas, nurse station dengan sirkulasi bersahabat, ruang musik untuk nostalgia therapy, ruang tamu yang meminta percakapan bukan perpisahan. Ia menuliskan angka-angka realistis: biaya operasional, skema pay-it-forward, mekanisme endowment.
Ia menelepon Arimbi. “Mimpi itu belum mati.”
“Tidak pernah,” jawab Arimbi. “Ia hanya pindah alamat.”
Mereka menulis proposal, memaparkan kepada serangkaian orang yang pernah memuja laba dan kini memahami arti legacy: seorang pemilik boutique hotel di Seminyak yang ingin mengubah sebagian keuntungan menjadi kebaikan tahan lama; seorang pebisnis kopi di Surabaya yang percaya aroma masa tua harus harum dan ringan; seorang dokter geriatri di Depok yang menolak merayakan loneliness epidemic dengan seminar tanpa aksi.
Setiap penolakan mereka catat sebagai data. Setiap persetujuan mereka rawat sebagai amanah. Sambil jalan, Danang membuka program kecil: pelatihan hospitality with dignity untuk perawat dan staf panti jompo. Materinya lahir dari luka: “Hormati pelan, karena tergesa itu kekerasan yang sering dimaafkan.”
.
Surat yang (Akhirnya) Dibacakan
Panggilan polisi tak serta-merta berhenti. Danang datang, menjawab pertanyaan apa adanya. Ia membawa bukti, timeline, dan—paling penting—ketenangan yang diperoleh dari tidak lagi bersekutu dengan kepanikan. Di ruang itu, ia bertemu Palakaran. Mata Palakaran berputar-putar seperti mencari narasi yang bisa menyelamatkan semua pihak, terutama dirinya.
“Aku minta maaf, Nang,” ucapnya pelan.
“Maafkan dirimu dulu,” jawab Danang, “baru minta maaf padaku.”
Ketika klarifikasi usai, penyidik mengangguk. “Anda bukan orang yang kami cari.” Ia keluar dengan napas yang lebih utuh. Nama baik tidak kembali hanya karena stempel. Tetapi setidaknya ia berhenti menyeret namanya sendiri.
.
Kawan dan Kekosongan
Malam itu, Arimbi mengirim pesan: “Kau bisa jadi banyak hal. Tetapi yang paling penting, kau masih jadi dirimu sendiri.” Danang tersenyum. Pintu masa lalu tertutup, jendela masa depan belum terbuka seluruhnya. Tapi siapa bilang kita harus melihat seluruh jalan untuk mulai melangkah?
Ia ingat Ibu di kampung yang suka menata kue kering dalam kaleng bekas biskuit, lalu membaginya ke tetangga ketika Lebaran tiba. Ketekunan yang tidak dramatis, waras dan membumi. Ia menulis catatan kecil: “Warisan bukan hanya tanah. Warisan bisa berupa cara menata hari agar pantas dikenang.”
.
Kota, Hujan, dan Janji
Jakarta tetap bising. Flyover baru diresmikan, debat tol dalam kota di timeline terus saling silang. Tetapi ada juga hal-hal yang pelan: barista yang menghafal pesananmu tanpa bertanya, tukang parkir yang menepuk kap mobil pelan sebagai tanda terima kasih, satpam gedung yang menyodorkan payung ketika hujan datang. Di sela jalan besar yang riuh, kebaikan-kebaikan kecil menambal jaring kewarasan.
Danang berjalan di trotoar yang sempit, menyisir butir hujan dari rambutnya, menatap ke atas melihat kaca-kaca yang memantulkan wajah orang-orang yang—seperti dirinya—sedang mencari alasan yang tidak memalukan untuk bangun pagi.
Di bangku taman, seorang lelaki tua membaca buku tipis. Danang duduk dua bangku dari sana, menunggu napasnya kembali rata.
“Anak muda,” sapa lelaki itu tanpa menoleh, “hidup ini bukan tentang bisa atau tidak bisa. Lebih sering tentang mau atau tidak mau.”
“Bapak baca apa?” tanya Danang.
“Surat-surat dari masa yang tidak ingin dilupakan,” jawabnya. “Kau?”
“Aku sedang menulis yang ingin kuingat.”
Lelaki itu tertawa singkat. “Kalau begitu, tulislah dengan hati yang baru bersih.” Ia bangkit, menutup bukunya. “Karena hati yang bersih lebih tajam daripada CV.”
.
Tiga Bekal untuk Turun Tangga
Di rumah kontrakan, Danang menuliskan tiga bekal yang membuatnya tidak terguling ketika turun dari tangga jabatan:
-
Integritas yang bisa diaudit – Bukan slogan. Simpan bukti, catat keputusan, tandai titik tolak.
-
Kompetensi yang bisa diajar – Agar bisa tetap makan sekaligus bermanfaat.
-
Jaringan yang bisa dirawat – Bertemanlah dengan orang yang mencintai cara kerja, bukan hanya hasil.
Ia menempelkan kertas itu di cermin. Setiap pagi, ia melihatnya sebelum menghadapi hari. Bukan untuk merasa lebih suci, melainkan untuk menjaga diri dari lupa.
.
Saat Pintu Membuka, Jangan Tergesa
Undangan-undangan datang: in-house training, keynote pendek, advisory untuk properti yang ingin berbenah. Di setiap sesi, ia membuka dengan kalimat yang kini menjadi kredo: “Kecepatan tanpa kejujuran hanyalah cara mempercepat kebangkrutan.” Para peserta mencatat, beberapa menghela napas, beberapa tersenyum getir. Kebenaran memang tidak manis, tetapi ia menyehatkan.
Di satu sesi, hadir pula Jokotole—tanpa rombongan, tanpa jas berkilap. Ia duduk di belakang, mendengarkan tanpa interupsi. Seusai acara, ia menghampiri Danang.
“Kau keras pada kami,” kata Jokotole, “tetapi lebih keras pada dirimu sendiri. Itu yang membuatmu dipercaya.”
“Aku hanya muak melihat orang yang pintar pura-pura tidak melihat.” Danang menatapnya, napasnya datar. “Termasuk diriku yang dulu.”
Jokotole mengangguk. “Kalau Rumah Rindu jadi berjalan, beri kabar. Aku ingin menyumbang tanpa menaruh nama di gerbang.”
“Kau yakin?”
“Aku ingin menyumbang pada keberlanjutan yang tidak butuh panggung.”
Di malam hari, Danang menatap langit. Bintang jarang terlihat di Jakarta. Tetapi ada cahaya kota yang tenang, memantul di kaca-kaca apartemen—mengingatkan bahwa tak semua terang itu pamer; ada terang yang sekadar bekerja.
.
Rintik, Refleksi, dan Rasa yang Dihimpit
Pada suatu subuh, hujan jatuh lagi, lebih rapat. Danang bangun lebih awal. Di meja, ada amplop dari kantor polisi: Perkara dihentikan. Tidak cukup bukti. Ia memegang kertas itu lama, bukan karena gembira berlebihan, melainkan karena sadar: keadilan dalam hidup urban sering datang bukan sebagai trompet kemenangan, tetapi sebagai bunyi klik yang hampir tidak terdengar saat gembok dilepas.
Ia menyiapkan sarapan sederhana, mengirim uang ke Ibu, lalu membuka spreadsheet proyek. Rumah Rindu masih jauh, tetapi jalannya kini jelas: pilot project tiga kamar perawatan, bermitra dengan puskesmas, training staf berbasis hospitality with dignity, skema subsidi silang dari kerja pelatihan dan konsultasi. Hari-hari ini bukan hidup glamor, tetapi ia beristirahat lebih nyenyak.
Sebelum berangkat, ia menulis satu baris di buku yang kusut:
“Jangan takut mengundurkan diri dari yang salah. Mungkin dari situ hidup akhirnya datang menjemput.”
.
Langkah Terakhir di Tangga Takdir
Sore itu, ia menjemput Arimbi di halte sudut Sudirman. Hujan mereda, cahaya oranye tergelar di sela awan. Mereka berjalan kaki menuju coworking—melewati trotoar yang kini lebih lebar, memotong parkiran yang masih memonopoli ruang publik.
“Lucu ya,” kata Arimbi, “kau meninggalkan yang pasti, tetapi justru terlihat lebih tenang.”
“Tenang bukan karena sudah sampai,” jawab Danang. “Karena akhirnya berangkat.”
Di depan pintu, Danang berhenti. Ia menatap tangga yang naik ke lantai dua, lalu menatap ke bawah—anak-anak tangga yang pernah ia turuni dengan gugup. Kali ini ia mengambil satu langkah ke atas, pelan, tetapi pasti.
Langkah terakhir di tangga takdir ternyata bukan lompatan. Ia cuma satu anak tangga yang kau pilih untuk diinjak, sementara dua kaki lain mengingatkan: “Kalau jatuh, duduklah sebentar. Lalu naik lagi.”
Dan kota tetaplah kota. Gedung-gedung tetap tumbuh seperti kesombongan yang tak pernah tahu malu. Tetapi di sela jendelanya, orang-orang kecil yang berani mengambil keputusan tetap menyalakan lampu yang cukup untuk pulang.
Danang tidak tahu apakah bulan depan ia bisa membayar semua. Ia tidak tahu apakah workshop akan selalu penuh. Ia tidak tahu kapan Rumah Rindu akan berdiri. Tetapi malam itu, ia tak lagi takut. Dan kadang, itu cukup.
“Terkadang, perjalanan terbaik adalah yang tidak kita rencanakan. Tapi tetap kita jalani—dengan kepala tegak dan hati lapang.”
.
Catatan Kecil (Edukasi & Solusi)
-
Exit yang beretika: dokumentasikan keputusan, simpan email, susun timeline—agar kebenaran punya kaki.
-
Bangun ulang kompetensi: ubah pengalaman menjadi modul. Kompetensi yang bisa diajar adalah tabungan yang cair.
-
Jejaring yang sehat: temui orang-orang yang menghargai proses, bukan hanya hasil. Bugar mental lebih berharga daripada salary yang gemuk.
-
Proyek dengan jiwa: beri ruang pada legacy—sebuah alasan untuk tetap waras ketika angka mengecilkan nurani.
Danang menutup buku catatannya. Di halaman terakhir ia menulis kalimat yang akan ia bawa ke mana pun: “Aku pulang, bukan karena lelah, tetapi karena ingin berangkat lagi dari tempat yang benar.”
.
.
.
Jember, 3 Agustus 2025
.
.
#Cerpen #UrbanJakarta #ResignBeretika #Hospitality #Leadership #Integritas #RumahRindu #KesehatanMental #InspirasiKarier #KompasMingguStyle