Langkah Ayunda Episode 3: Di Balik Cermin Konseling

“Perempuan sering kali terlalu sibuk menyelamatkan semua orang… sampai lupa menyelamatkan dirinya sendiri.”
Catatan harian Ayunda, setelah sesi konseling keempat

“Tak semua perempuan lahir untuk menanggung badai sendirian; kadang yang kita butuhkan hanyalah ruang aman untuk menangis—dan peta kecil untuk pulang.”
catatan di belakang tiket parkir, tulisan tangan Ayunda

.

Dari Episode 2

.

Ayunda menatap pantulan wajahnya di cermin toilet ruang konseling. Lampu neon memantul di porselen, garis mata yang kemarin terlihat bengkak kini mengering, menyisakan kilap tipis—seperti aspal yang baru saja dilalui hujan. Wajah itu lelah, tapi tidak kalah. Ia menata helai rambut yang lepas dari jepit, menarik napas panjang, memegang botol minum kecil, lalu berjalan pelan kembali ke ruangan beraroma lavender.

Lavender selalu mengingatkannya pada sore-sore kemacetan di kota: lampu merah yang panjang, scooter mendesah, kurir kilat berdesakan, pedagang buah mendorong gerobak, sirene ambulans menyelinap seperti garis takdir yang memaksa orang menepi. Di atas meja, tisu disusun seperti pelampung: putih, ringan, dan siap menampung yang tumpah. Gelas teh hangat mengepulkan uap, kue kering di piring kecil menggoda seperti jeda yang legal.

Di depannya duduk seorang perempuan paruh baya dengan mata teduh—Tania. Tak ada sapaan formal sore itu. Hanya sebuah anggukan yang mengizinkan kejujuran berlalu-lalang tanpa diperiksa. “Silakan dilanjutkan, Ayunda,” suara Tania lembut, persis tangan yang menyentuh luka tanpa menyakiti. Di luar jendela, halaman parkir rumah sakit terpantul dalam hujan rintik; langit Jakarta seperti seprai yang tak sempat dirapikan, kusut namun hangat.

.

Anak Perempuan yang Selalu Kuat

“Aku anak pertama,” suara Ayunda pecah sedikit, “Sejak kecil harus ngerti. Jaga adik, bantu ibu jualan lontong sayur tiap Subuh. Aku diajarin menahan kantuk, menahan lapar, menahan air mata—tapi nggak pernah diajarin cara melepaskan.”

Kata-kata meluncur seperti air bah yang menemukan celah batu. Dalam sorot lampu temaram, bayangan masa kecil menetas: gang sempit yang bersaing dengan bau gorengan; radio tetangga memutar lagu lama; suara ibu menawar harga, suara ayah memeras keringat di bengkel. Di sakunya, Ayunda membawa kunci rumah sejak usia yang terlalu dini. “Kuat adalah satu-satunya pilihan,” gumamnya.

Ia menikah dengan Reza karena ingin merasa aman. Pernikahan itu seperti halte: tampak teduh dari jauh, tapi ternyata tak semua bus berhenti. “Ternyata… aman itu bukan dari status. Aman itu dari perlakuan yang benar.” Tania tak buru-buru menanggapi; ia menatap jam dinding sebentar, lalu kembali ke mata Ayunda, memastikan kalimat terakhir tidak jatuh ke lantai tanpa dipeluk.

“Kita sering dididik untuk bertahan, tapi jarang diajari cara pulih.”
— Ayunda, sesi ketiga

“Aku dulu kira jadi istri itu harus selalu sabar,” Ayunda menyeka sudut mata. “Harus tahan. Harus ngerti. Tapi kenapa nggak ada yang ngajarin cara menjaga diri sendiri?”

Tania menulis pelan. “Kamu sedang mengajari dirimu sendiri sekarang,” ujarnya.

.

Kota yang Berisik dan Sunyi Sekaligus

Di luar, kota seperti film yang tak pernah menurunkan volume. Klakson, sirene, teriakan penjual jas hujan dadakan, ojek yang menggerutu, derit troli supermarket. Namun di dalam, ruangan seukuran kamar kos itu seperti gelembung udara di dasar laut—sepi dan menenangkan. Ayunda belajar membunyikan suaranya pelan-pelan, seperti orang yang baru selesai flu belajar bernapas lagi.

Ia menceritakan tentang pekerjaan lepasnya sebagai penerjemah dan pengajar les privat. Tentang audio yang harus ia transkrip tengah malam, tentang kopi sachet yang jadi sekutu, tentang jeda Subuh yang ia gunakan untuk menjemput doa-doa seadanya. “Aku ngajar dua anak di apartemen Green Vista. Ibunya—Kelas—baik banget. Kelas suka ngomong, ‘Kalau capek, istirahat, ya. Nilai rapor bisa dikejar, tapi nyawa cuma satu.’”

Nama Kelas membuat Tania menoleh. “Kelas?”

Ayunda tertawa kecil. “Dia namanya Kelaswara. Anaknya dua: Adaning dan Jaya. Lucu, ya? Aku suka mainkan nama mereka di kepalaku, sesekali kutulis di bab novel yang nggak pernah selesai.” Ia menggulir ponselnya memperlihatkan draf berjudul Menak yang Menanak Nasi. “Tokoh-tokohnya aku adaptasi dari cerita-cerita Menak Madura yang Bapak sering dongengkan. Tapi kusimpan tanpa gelar, biar mereka terasa seperti tetangga sendiri. Jaya itu abang yang sok dewasa. Adaning suka bertanya hal-hal yang menampar.”

“Contohnya?” tanya Tania, senyum di sudut bibir.

“Waktu aku terlambat datang les, Adaning bertanya, ‘Kak, orang dewasa itu kenapa sering lupa minta maaf?’” Ayunda menghela napas. “Aku tergelak, tapi pulangnya aku nangis di halte.”

“Pertanyaan anak-anak kadang lebih jujur daripada khotbah orang dewasa.”
— catatan Ayunda di aplikasi Notes

Takut Meninggalkan, Takut Kehilangan Diri

“Apa yang kamu takutkan jika meninggalkan pernikahan ini?” Tania mengangkat cangkir, menahan uapnya di hidung, lalu meletakkannya kembali tanpa menyeruput.

“Bukan takut ditinggal,” Ayunda berbisik. “Takut jadi orang yang gagal.”

Kalimat itu menggantung seperti spanduk di jalan raya—dibaca banyak orang, dimengerti segelintir. “Takut anak-anak kehilangan ayah. Takut aku kehilangan harga diri. Takut dianggap nggak bisa jaga rumah tangga.” Di layar ponselnya, notifikasi grup arisan dan keluarga menumpuk; saran dan fatwa berderet seperti pot bunga di teras RT. Tetangga yang jarang menyapa tiba-tiba rajin bertanya. Seseorang bahkan mengirim tautan kajian dengan pesan, “Sabar itu hadiah.”

Tania menatapnya dalam-dalam. “Jadi kamu memilih bertahan… meski sakit?”

“Aku bertahan karena belum siap melepaskan. Tapi sekarang aku mulai menyiapkan perisai.” Ayunda menatap jarinya sendiri, mengingat malam ketika Reza pulang dengan wajah dingin, kecapekan menjadi dalih yang mengikis hari. Tidak ada lemparan piring. Tidak ada teriakan. Yang ada adalah diam panjang yang menebal; semesta di ruang tamu terasa seperti kamar penyimpanan barang tak terpakai: penuh, tapi kosong.

.

Dari Bertahan Menjadi Menyiapkan Jalan

Setelah beberapa sesi, Ayunda menyusun rutinitas kecil—bukan untuk menantang siapa pun, melainkan untuk merapikan dirinya sendiri.

  1. Afirmasi pagi: “Aku layak dicintai dengan sehat. Aku pantas bahagia.” Ia tak menulisnya di jurnal mewah; ia menuliskannya di kertas bon belanja, di balik struk ojek, di pinggir label kardus bekas popok anak.

  2. Anggaran mandiri: Ia membuat spreadsheet sederhana di ponsel, membagi pendapatan les, transkrip, dan terjemah. Ia menyisihkan 10% untuk “Dana Pelarian,” bukan karena ingin kabur, melainkan untuk menenangkan diri bahwa pilihan selalu mungkin.

  3. Podcast kecil: Ibu Waras—suara yang ia rekam di dapur saat anak-anak tidur. Episode-episodenya pendek: “Cara Menolak Tanpa Minta Maaf Panjang,” “Obrolan dengan Anak Tanpa Menjelekkan Ayah,” “Menggantikan Pertengkaran dengan Diam yang Disadari.”

  4. Me time legal: Satu jam tiap pekan untuk jalan kaki tanpa tujuan. Kadang cuma menyusuri trotoar baru di tepi sungai, menonton orang memancing, atau membeli martabak tipis yang ia makan sendiri tanpa sisa.

Ia tidak mengancam akan meninggalkan Reza. Ia juga tidak membenci ayah dari anak-anaknya. Tapi kini, Ayunda memilih untuk tidak kehilangan dirinya sendiri hanya demi mempertahankan sesuatu yang sudah lama tidak utuh.

“Ternyata tidak semua perpisahan butuh langkah pergi. Kadang cukup dengan berhenti berharap dan mulai berdiri lebih tegak.”
— dari salah satu episode Ibu Waras

Episode itu diam-diam banyak diputar. Kotak masuknya berisi pesan-pesan dari akun tanpa foto profil: “Terima kasih, aku berhenti menyalahkan diriku.” “Aku baru sadar, cintaku selama ini adalah proyek renovasi tanpa arsitek.”

.

Kebenaran Tanpa Kebencian

Suatu sore, Aliya—anak sulung Ayunda—menggambar di dekat meja kerja. Crayon menari, hujan di luar mengetuk jendela. “Ma, kenapa Pa nggak suka ngobrol kayak dulu?”

Ayunda menunduk, mencium rambut Aliya. “Karena Pa juga manusia, sayang. Kadang orang dewasa capek, tapi lupa cara cerita.”

Aliya mengangguk. “Ma sedih nggak?”

“Sedih, iya. Tapi Ma belajar… sedih itu bukan akhir. Sedih itu tanda Ma masih hidup, dan masih bisa berubah.”

Pelukan kecil itu cukup untuk malam itu. Di ruang lain, Reza menutup pintu kamar kerja. Ada rapat daring. Ada target. Ada sesuatu yang tak pernah diajarkan ayahnya: cara berbagi sunyi.

“Kita boleh kecewa pada seseorang tanpa menghapus kebaikannya.”
— catatan Ayunda untuk Aliya

.

Kota Selalu Punya Jalan Pulang

Di kota, semua pertemuan bertukar alamat dengan perpisahan. Pagi itu, Ayunda naik KRL menuju sekolah tempat ia mengajar kelas keterampilan menulis untuk orang tua murid. Di gerbong, ia bertemu Jaya—remaja yang pernah diajarnya. “Kak Ayunda,” sapa Jaya, menyampirkan gitar. “Aku bikin lagu dari puisi Kakak.”

“Judulnya?”

Menak yang Menanak Nasi,” Jaya terkekeh. “Tentang laki-laki yang belajar memasak untuk melindungi yang ia cintai.”

“Aku bangga,” Ayunda berkata tulus. Ia ingin menambah: Bilang ke teman-temanmu, kata ‘laki-laki sejati’ tak harus selalu soal otot dan amarah—bisa juga soal sabar mencincang bawang. Tapi kereta keburu berhenti, pengumuman terdengar, orang-orang mengalir seperti sungai.

Di trotoar dekat stasiun, ia bersirobok dengan Adaning yang bersepeda lipat. “Kak, gimana caranya orang dewasa nggak capek jadi baik?”

Ayunda tertawa, menangkup bahu Adaning. “Dengan menerima kalau kita juga boleh rehat. Baik itu bukan PR seumur hidup; baik itu kebiasaan yang juga boleh bolong, selama kita mengisi lagi.”

“Kebaikan tak harus maraton; ia boleh berjalan kaki, asal terus bergerak.”
Ibu Waras, Episode 7

.

Retakan yang Menjadi Peta

Sesi keempat itu, Tania meminta Ayunda menggambar cermin dan retaknya. “Tandai retakan yang paling tua,” katanya. “Dan beri warna untuk retakan yang paling baru.” Ayunda menggambar garis zigzag dari sudut kiri bawah—retakan yang lahir dari masa kecilnya, dari bunyi sendok bertemu piring di warung, dari marah yang disimpan di belakang rak bumbu. Retakan yang baru ia warnai di sisi kanan atas—malam ketika Reza lupa ulang tahun pernikahan, mengira tanggal hanyalah angka yang bisa ditukar.

“Apa yang kamu lihat?” tanya Tania.

“Peta,” jawab Ayunda tanpa pikir. “Kalau aku ikuti retakan-retakan ini, aku bisa mencari rumah.”

“Rumah yang mana?”

“Rumah di dalam kepalaku. Rumah di dalam suaraku.” Ia terdiam. “Rumah di dalam tubuhku.”

Tania tersenyum. “Bagus.” Ia menuliskan sesuatu di karton kecil dan menyerahkannya: daftar layanan bantuan hukum, nomor komunitas dukungan perempuan, info kelas pengelolaan emosi. “Bawa ini seperti kompas. Kamu tidak harus memakainya hari ini. Tapi tahu bahwa ia ada di tasmu akan membuat langkahmu lebih ringan.”

.

Malam Lampu Padam

Suatu malam, listrik padam di kompleks. Anak-anak bersorak; lilin dinyalakan; tetangga mengeluarkan senter berbentuk kelinci. Reza keluar dari kamar, duduk di ruang tamu, mengusap pelipis. “Maaf, aku keras kepala,” katanya pelan. Kalimat itu seperti kelereng—kecil, dingin, nyaris tak bersuara, tapi menimbulkan gema lucu di lantai.

Ayunda menatapnya. “Aku juga minta maaf. Aku sering menyimpan marah seperti menumpuk piring kotor.”

“Gimana caranya mulai lagi?” tanya Reza, menatap nyala lilin. Di sudut, radio kecil milik tetangga memutar lagu lama.

“Kita mulai dari kata ‘aku’,” jawab Ayunda. “Bukan ‘kamu’. Aku akan lebih jujur soal lelah. Aku akan minta tolong tanpa rasa bersalah. Aku akan berhenti berpura-pura kuat di depan cermin.”

Reza mengangguk. “Aku akan belajar bicara sebelum meledak.”

Tak ada jaminan. Tak ada lampu sorot. Hanya dua manusia yang mencoba menata ulang cara berjalan. Anak-anak tertidur di pangkuan. Di luar, gerimis merangkai suara halus di genting.

“Cinta yang dewasa tidak mencari penonton, ia mencari jalan.”
— potongan skrip Ibu Waras yang belum sempat direkam

.

Kelas Menulis untuk Orang Tua

Di ruang kelas komunitas perpustakaan kelurahan, Ayunda mengajak para ibu menulis surat untuk diri sendiri sepuluh tahun mendatang. Kelaswara datang, duduk di baris depan. “Aku menulis untuk Kelas versi 2035: ‘Terima kasih karena masih mau tertawa bahkan ketika remah-remah roti berserakan di lantai dapur.’” Mereka tertawa bersama.

Seorang ibu, Ragil, mengangkat tangan. “Kalau suami kita nggak suka kita ikut kelas begini, gimana?”

“Kita boleh belajar diam-diam,” jawab Ayunda. “Diam-diam bukan berarti curang. Kadang itu cara aman untuk bertumbuh.” Ia menatap seluruh kelas. “Yang penting, jangan berhenti belajar. Karena ketika kita belajar, rumah ikut bernapas.”

“Ibu yang belajar bukan ancaman; ia adalah lampu di teras rumah.”
— catatan papan tulis kelas menulis

.

Dialog dengan Diri Sendiri

Malam sebelum sesi konseling kelima, Ayunda menulis di catatan ponselnya: Aku bukan korban. Aku perempuan yang memilih untuk sembuh. Ia menambahkan: Jika suatu hari aku pergi, itu bukan karena aku kalah; itu karena aku memilih halaman yang lain dari buku yang sama.

Pagi itu, ia kembali ke ruangan lavender. Di cermin toilet, ia tersenyum. Retakan yang dulu menakutkan kini seperti garis-garis pada telapak tangan: bukti perjalanan. “Aku bukan korban,” ia mengucapkannya pelan, memastikan bunyinya sampai ke tulang. “Aku perempuan yang memilih untuk sembuh.”

Ketika ia keluar, Tania sudah menunggu, gelas teh hangat mengepulkan uap. “Bagaimana cerminmu hari ini?”

“Masih retak,” jawab Ayunda. “Tapi aku sudah bisa berkaca tanpa takut pecah.”

“Baik,” kata Tania. “Kita lanjutkan. Hari ini, kita belajar memulangkan rasa bersalah yang bukan milikmu.”

Ayunda duduk, merapikan rok, menegakkan punggung. Di ponselnya, notifikasi Ibu Waras menunjukkan ratusan pemutaran baru. Ia tidak tahu siapa yang mendengar, di mana, dalam keadaan seperti apa. Tapi ia tahu satu hal: suaranya tidak lagi asing bagi dirinya sendiri.

Di luar, kota masih bising. Tapi sekarang, di antara kebisingan itu, ia menemukan ritme yang bisa ia ikuti: langkah kecil di trotoar, derit sepeda tua, tawa anak-anak di halaman sekolah, dengung kulkas di dapur. Semua menjadi suara latar dari satu adegan yang akhirnya berani ia sutradarai sendiri.

.

Di Balik Cermin Konseling

Beberapa minggu kemudian, di sebuah photo walk komunitas, Ayunda memotret bayangan dirinya pada genangan air di celah trotoar. Separuh wajahnya terlihat, seperti bulan yang sedang berlatih purnama. Ia tidak mengunggahnya ke mana-mana. Ia menyimpannya di folder kecil bernama Pulang.

“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, melainkan tentang siapa yang kamu izinkan tinggal di dalam dirimu.”
— Ayunda

“Batasan adalah cara paling lembut untuk mengatakan: Aku mencintaimu, termasuk diriku.”
Ibu Waras, Episode 12

“Jika kamu tak bisa menjadi rumah bagi orang lain, jadilah rumah yang ramah bagi dirimu sendiri.”
— catatan di dinding kulkas

Dan di malam yang lain, ketika listrik padam lagi dan lilin kembali menyala, Reza mengambil panci, menanak nasi. “Ajari aku resep sayur lodeh Ibu,” katanya.

Ayunda menatapnya lama, lalu mengangguk. Ia mengambil talenan, mengupas labu, mengiris tempe, meracik santan. Di dapur kecil itu, tak ada yang berubah secara dramatis; tak ada musik orkestra, tak ada tepuk tangan. Hanya ada dua orang dewasa yang mencoba menyusun ulang peta, memastikan bahwa kali ini, jalan pulang tidak hanya punya satu nama.

Cermin masih retak. Tapi di balik retakan itu, Ayunda melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya: dirinya, utuh dalam pilihan.

.

.

Baca Episode 4: Ayunda dan Aliya, Belajar Bahagia Lagi

.

.

.

Jember, 26 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KesehatanMental #IbuWaras #BatasanSehat #CeritaUrban #Jakarta #HealingJourney #MenakMadura #LiteraryFiction #Relationship

.

Kutipan Penting dalam Cerita

  • “Kita sering dididik untuk bertahan, tapi jarang diajari cara pulih.” — Ayunda

  • “Kebaikan tak harus maraton; ia boleh berjalan kaki, asal terus bergerak.” — Ibu Waras

  • “Cinta yang dewasa tidak mencari penonton, ia mencari jalan.” — Ibu Waras

  • “Ibu yang belajar bukan ancaman; ia adalah lampu di teras rumah.” — papan tulis kelas menulis

  • “Batasan adalah cara paling lembut untuk mengatakan: Aku mencintaimu, termasuk diriku.” — Ibu Waras

Leave a Reply