Langkah Ayunda Episode 1: Rumah Tanpa Pintu
“Kadang rumah tetap berdiri, tapi pintunya kita simpan di dada. Agar keluar-masuknya hati hanya lewat keberanian.”
“Waras bukan hadiah dari keadaan; ia keputusan yang diulang setiap pagi.”“Ada luka yang tidak bisa diobati dengan pelukan. Ada kelelahan yang tidak bisa dihapus dengan janji. Dan ada perempuan yang memilih waras… bukan karena ia lemah, tapi karena ia kuat.” — Ayunda, 38 tahun
.
Subuh di Kota, Kopi yang Tak Pernah Dingin
Subuh di Jakarta seperti pintu kaca yang selalu terbuka: lampu-lampu kos yang masih menyala, warung bubur baru mengaduk kuah, suara azan melintas seperti angin. Di kontrakan bertingkat dua di gang sempit dekat Stasiun Tebet, Ayunda bangun tanpa alarm. Ia sudah menghafal pembagian detik: lima menit untuk menjerang air, tiga menit untuk menyiapkan seragam sekolah Aksa dan Aliya, empat menit untuk mengecek dompet—saldo e-wallet cukup untuk ojek online pergi-pulang mengantar les hari ini.
Di dapur, kopi sachet ia aduk tanpa gula. Ia suka pahit yang tegas. Pahit yang tidak berpura-pura manis. Di ruang tengah, televisi dibiarkan menyala tanpa suara, menampilkan iklan deterjen yang selalu menang melawan noda, seolah dunia benar-benar bisa sebersih itu.
Dari kamar, suara langkah suaminya terdengar. Reza. Sekarang namanya seperti mantra yang enggan diucapkan. Ia melewati meja makan tanpa menoleh. Handphone di tangannya menyala berganti-ganti: grup futsal, grup kerja, grup “Anak Gaul Angkatan 2000.” Ayunda memerhatikan pergelangan tangan suaminya: jam tangan baru. Modelnya mahal. Uang dari mana? Ia menahan tanya. Menahan, seperti biasa.
“Pagi,” kata Ayunda, ringan, seolah kata itu senar gitar.
“Hm.” Sebuah gumaman. Pintu kamar kembali menutup.
Dari linimasa hidupnya yang panjang, Ayunda paham: ada jenis keheningan yang tidak lagi meminta dipatahkan. Keheningan yang sudah menemukan kursi, duduk, dan menolak diajak pergi.
Ia melipat baju Aksa, 9 tahun, dan Aliya, 6 tahun. Dua anak itu adalah dua musim yang membuatnya bertahan. Aksa adalah kemarau: tangguh, hemat air mata. Aliya adalah penghujan: ia tumbuh dari awan-awan pertanyaan yang lembut. Ayunda membangunkan keduanya dengan cara yang sama setiap hari—usap kening, cium pipi, bisik, “Kita mulai hari baik, ya.”
Di cermin, Ayunda melihat wajahnya sendiri: garis-tipis di bawah mata, bibir yang jarang memaki, rambut yang selalu diikat. Ada perempuan yang tak banyak bicara di sana, tapi menyimpan banyak hujan. Perempuan yang belajar bahwa keteguhan tidak mesti berwajah keras.
“Laki-laki akan terlihat sifat aslinya setelah menikah, sedangkan perempuan akan terlihat nasibnya setelah menikah.”
— Status yang pernah lewat di beranda Facebook, disimpan Ayunda dalam hati seperti jarum kecil yang mengingatkan.
.
Kota sebagai Lorong Panjang
Jalur KRL pagi ini penuh. Ayunda menyelip di antara punggung-punggung lelah yang membawa tas kerja, kotak makan, dan kecemasan. Dari jendela yang buram, Ayunda membaca ulang catatan-catatan pendek di ponselnya. Catatan yang ia beri judul: “Waras, hari ini.”
-
Jangan membalas dengan marah; pilihlah jarak.
-
Siapkan modul les matematika untuk kelas 6.
-
Transfer SPP Aksa—deadline hari ini.
-
Tersenyumlah di depan anak-anak, bukan pura-pura; ingat alasanmu.
Kereta melaju. Di terowongan, pantulan wajah-wajah mereka menggandakan kenyataan. Seorang ibu di sampingnya memeluk anak balita yang sedang tidur, seorang kakek menenteng kantong plastik berisi daun singkong, seorang mahasiswa mengetik esai. Kota adalah lorong panjang di mana setiap orang membawa pintunya sendiri.
Sore nanti, selepas les di rumah kecil kawasan Rawamangun, Ayunda akan mengajar dua siswa baru yang direkomendasikan tetangga. Mulai bulan ini, ia tidak lagi menunggu gaji suami yang sering hilang entah ke mana. Ia membangun ruang kerja dari kamar belakang: lemari bekas jadi rak buku, papan tulis kecil menempel di dinding, kipas angin berputar pelan. Namanya: “Belajar Bareng Ayunda.” Ia membuat logo sederhana sendiri di aplikasi gratisan: huruf A berbentuk daun, sebab ia ingin anak-anak yang datang ke sana tumbuh.
.
Reza dan Dinding yang Mendingin
Malam datang. Lampu lorong kontrakan berkedip, suara sinetron dari rumah sebelah bercampur tawa anak-anak. Reza pulang hampir tengah malam. Sisa parfum di bajunya bukan milik rumah ini. Ayunda, yang baru menidurkan Aliya, berdiri di ambang kamar.
“Makan dulu,” katanya.
“Sudah,” jawab Reza, melempar kunci di meja, menatap layar ponsel, tertawa kecil untuk sesuatu yang tidak ada di sini.
Ayunda mengamati punggungnya. Punggung yang dulu dipeluknya saat naik motor menembus hujan. Dulu, setiap tetes air di helm mereka menjadi alasan untuk lebih dekat. Sekarang, setiap detik adalah jarak. Mereka jarang bertengkar seperti dulu. Bukan karena damai, melainkan karena sudah tidak ada pihak yang menaruh harap.
“Aksa tadi tanya, kenapa Papa nggak ikut makan,” ujar Ayunda, tetap tenang.
“Bilang aja Papa capek,” kata Reza, singkat.
Di ruang makan, jam dinding berdetak. Suara detaknya seperti jarum yang mengukur napas.
Ayunda melangkah ke dapur, mematikan kompor, merapikan piring. Ia menelan kalimat yang tidak perlu keluar. Di waktu lain, ia akan menulisnya di catatan, bukan untuk dibaca siapa-siapa, hanya agar dirinya tidak penuh.
“Level tertinggi dari pernikahan adalah ketika istri tidak lagi menangis saat didiamkan suaminya. Ia sudah terlalu lelah. Ia tidak lagi berharap—ia hanya bertahan agar tidak gila.”
— Catatan di Notes ponsel Ayunda.
.
Perempuan-perempuan di Balai Kota
Hari Sabtu, Ayunda menghadiri konseling gratis di balai kota. Ruangannya sederhana: kursi plastik biru, meja lipat, poster-poster tentang kesehatan mental. Di dinding, slogan: “Tak apa tidak kuat hari ini.” Di sudut, dispenser dengan gelas kertas. Ada beberapa perempuan lain: seorang dengan masker medis yang tidak pernah diturunkan, seorang yang menggenggam berkas putusan pengadilan, seorang lagi dengan mata yang bengkak oleh cerita yang terlalu sering diulang.
Nama psikolog di ruangan itu: Tania. Sederhana. Matanya bersinar lembut seperti cahaya sore. Ia mempersilakan Ayunda duduk, menyodorkan tisu tanpa mengisyaratkan apa-apa.
“Bu Ayunda,” kata Tania pelan, “kadang bertahan itu bentuk cinta. Tapi kepada siapa? Anak-anak? Diri sendiri? Atau trauma yang kita kira cinta?”
Ayunda menatap ujung jarinya. Ada kuku yang dipotong terlalu pendek semalam, saat gelisah.
“Bagaimana kalau… kepada waras?” suaranya serak. “Supaya saya tidak hilang dari anak-anak saya.”
Tania mengangguk. “Waras itu tujuan yang mulia. Tapi waras juga butuh struktur. Boleh kita susun?” Ia mengeluarkan kertas. “Ruang aman di rumah, sumber penghasilan mandiri, rencana darurat, dukungan sosial, batas komunikasi.”
Ayunda memeluk kata-kata itu seperti memeluk buku baru. Ia pulang dengan secarik kertas yang lebih berat daripada wajan: daftar kecil tentang bagaimana ia ingin bertahan tanpa menghilangkan diri.
Di malam hari, ia menempelkan kertas itu di balik lemari. Tak ada yang perlu tahu selain dirinya.
“Perempuan bisa sembuh, bukan karena dunia berubah jadi lebih baik. Tapi karena ia akhirnya mencintai dirinya sendiri lebih dulu.”
— Dari sebuah diary online yang ditemukannya tengah malam.
.
Mertakusuma di Kantin Sekolah
Di kantin sekolah Aksa, seorang bapak wali murid bernama Mertakusuma menawarkan kerja sama. Ayahnya dulu pemilik percetakan di Klender yang sekarang ia kembangkan menjadi percetakan kecil-kecilan plus kursus desain. “Kalau Mbak Ayunda butuh modul bagus buat les, saya bisa bantu layout dan cetak murah,” katanya. “Anak-anak suka kalau modulnya rapi.”
Ayunda tersenyum. Nama itu—Mertakusuma—seperti terlempar dari kisah lama. Di kepalanya, ia selalu suka mengumpulkan nama-nama: Rara, Sekar, Panji, dan kini Mertakusuma. Nama yang sejuk, seperti jalan di bawah rindang pohon.
Mereka bertukar nomor. Malamnya, Mertakusuma mengirim contoh desain modul yang bersih: grafik sederhana, soal cerita yang dekat dengan anak kota—harga cabai, rute Transjakarta, jam kerja minimarket. Ayunda menyusun pelan-pelan: modul Matematika, Bahasa, Sains. Ia mencantumkan nama “Belajar Bareng Ayunda” di pojok kanan atas, kecil saja.
“Kota sibuk bukan alasan untuk tidak belajar. Ia justru halaman kosong yang menunggu ditulisi kemampuan baru.”
— Catatan di sampul modul pertama.
.
Rara Wungu dan Grup WhatsApp Ibu-ibu
Rara Wungu, tetangga depan kontrakan, suka datang membawa roti manis. Ia ibu tunggal yang membuka usaha katering, suaranya riuh, tawanya meriah, tapi Ayunda tahu: Rara juga menyimpan badai versi sendiri.
“Nduk, kita ini seperti penari di jalanan. Orang lihatnya gampang, padahal kita menghitung setiap langkah,” ujar Rara sambil menata kotak-kotak bekal.
Ayunda tertawa kecil. Di grup WhatsApp RT, mereka sering berbagi info: jadwal posyandu, diskon minyak goreng di minimarket, peringatan copet di jembatan penyebrangan. Sesekali, ada cemooh tak penting tentang perempuan yang pulang larut—seakan malam adalah bukti dosa.
Rara menepuk punggungnya pelan, “Kalau capek, mampir. Tak patenoko roti pisang,” candanya. Di rumah Rara, rotinya selalu hangat. Di rumah Ayunda, keberanian pelan-pelan juga mulai hangat.
.
Reza yang Memilih Jendela
Minggu sore, Ayunda mengajak Aksa dan Aliya ke taman kota. Mereka naik Transjakarta. Di halte, seorang pengamen menyanyikan lagu cinta yang sumbang. Aliya menyumbang koin, Aksa mengangkat alis seperti orang dewasa kecil. Ayunda memotret mereka diam-diam. Ia mengabadikan jalan-jalan kecil, bukan untuk diunggah, tetapi untuk ingatan. “Tidak semua yang indah harus ditonton orang,” ia menulis di hati.
Di rumah, Reza duduk di balkon kontrakan, merokok, menatap ke jalan. Dari ponselnya sesekali muncul tawa pendek. Ayunda tidak lagi berusaha bertanya. Ia tahu jendelanya arah mana. Ia tahu pintu yang dulu mereka bangun kini jarang dipakai. Ada rumah yang lebih sering diakses lewat notifikasi.
Malam itu, ketika listrik tiba-tiba padam, Aksa memegang tangan ibunya. “Gelap ya, Ma.”
“Iya. Tapi kita punya senter.” Ayunda menyalakan senter ponsel, menirukan bayangan kelinci di dinding. Aliya tertawa. Aksa pura-pura kesal. Di luar, suara motor melewati genangan seperti ombak mengecup bibir pantai. Listrik menyala lagi. Senyap kembali. Reza tidak turun dari balkon.
.
Pintu yang Disimpan di Dada
Pagi-pagi, Ayunda menata meja bimbingan belajar. Ia menempel kalender kecil: target bulanan, tabungan, cicilan buku. Di sela-sela, ia menuliskan satu kalimat:
“Hidup tidak selalu meminta kita pergi; kadang ia hanya meminta kita merapikan kursi.”
Ia menyalakan kipas, membuka jendela kamar belakang. Udara mengalir. Jam sembilan, murid pertamanya datang. Namanya Sekar. Kelas 6, takut matematika seperti takut hantu. Ayunda mengajarinya mengubah persen menjadi pecahan dengan contoh diskon di supermarket. Mata Sekar berbinar ketika akhirnya paham.
“Mbak… ternyata gampang, ya,” kata Sekar.
“Yang bikin susah itu takutnya,” jawab Ayunda.
Di penghujung hari, tiga murid pulang dengan catatan rapi. Rara datang membawa roti pisang janji kemarin. “Aku titip dua anak tetangga ya, mereka butuh belajar. Nanti bayar belakangan,” katanya.
Ayunda mengangguk. “Boleh. Belajar tidak pakai utang budi, tapi pakai niat.”
.
Berita yang Tidak Menjadi Berita
Dua tahun lalu, ketika Ayunda mengetahui perselingkuhan Reza—sebuah chat yang kebetulan terbuka, foto-foto yang terlalu dekat, panggilan telepon yang diam-diam—ia tidak membuat drama. Ia tidak menampar, tidak melempar piring. Ia hanya diam, masuk kamar mandi, dan membiarkan air shower berisik menutupi suara tangisnya. Setelah itu, ia menyapu lantai, seperti biasa. Memasak nasi, seperti biasa. Mengantar anak sekolah, seperti biasa. Kadang, untuk tetap waras, seseorang harus menyelamatkan rutinitasnya terlebih dahulu.
Ia pernah mempertimbangkan pergi. Membayangkan pulang ke rumah orang tua di Jember, atau menyewa kamar kos kecil di pinggir kota. Tapi setiap kali menimbang, ia melihat mata Aksa, yang diam-diam meniru caranya menahan marah. Ia melihat Aliya, yang belajar tertawa meski suaranya goyah. Ia memutuskan bertahan. Bukan karena takut, bukan karena menunggu berubah. Tapi karena ingin membuktikan pada diri sendiri: ia bisa tetap ada tanpa menghilang.
Keluarga besar tidak tahu apa-apa. Mereka hanya menerima foto-foto Lebaran: semua tersenyum di depan lensa, warna baju seragam, kue kering di meja. Tidak ada yang bertanya lebih jauh. Mungkin mereka tahu, tapi memilih tidak mengusik. Di negeri yang ramai, kadang kesunyian paling pekat terjadi di meja makan sendiri.
“Mau dinafkahi syukur. Nggak juga, nggak perlu ngemis-ngemis. Sebab seorang ibu memilih waras, demi menjaga anak-anak ketimbang jadi gila.”
— Tulisan anonim yang ditempel Ayunda di balik pintu lemari.
.
Malam Hujan, Kota Menggumam
Hujan turun deras. Atap seng tetangga menyanyikan lagu logam. Jakarta menggumamkan drainase yang kewalahan. Grup WhatsApp komplek membicarakan banjir di ujung gang. Ayunda menjemur handuk di kursi, menanak nasi tambah. Reza menghilang sejak Magrib, chatnya centang satu. Televisi menayangkan info cuaca, angka-angka yang kedengaran seperti nasib.
Aksa duduk mengerjakan PR. Aliya menggambar rumah besar dengan banyak jendela. “Kok jendelanya gede-gede, dek?” tanya Ayunda.
“Biar anginnya banyak,” jawab Aliya.
Ayunda tersenyum. Rumah tanpa pintu—ia membatin—barangkali memang butuh jendela-jendela yang berani. Ia menyeduh teh hangat untuk anak-anak, menuliskan di catatan harian: “Malam ini, hujan mengajari sabar. Bukan sabar yang pasrah, tapi sabar yang bergerak.”
Tengah malam, Reza pulang. Bajunya wangi, matanya lelah. Ia masuk kamar tanpa banyak suara. Ayunda tidak bangun. Di dalam mimpinya, ia berjalan di koridor panjang, pintu-pintu di kiri kanan, tapi tak satu pun menariknya. Ia memeluk dua tangan kecil di kiri kanan—Aksa, Aliya. Mereka bersama-sama keluar ke halaman, menatap langit yang tidak lagi menuntut.
.
Esok yang Diatur Pelan-pelan
Pagi berikutnya, Ayunda menandai kalender: “10 murid aktif.” Ia menghitung pengeluaran, menyisihkan sedikit untuk dana darurat. Ia menghubungi Tania untuk jadwal konseling lanjutan. Ia membuat daftar: “Hal-hal yang bisa kulakukan bila suatu hari harus pergi.” Di daftar itu, tidak ada kata “benci.” Hanya “rencana.”
Mertakusuma mengirim pesan: “Modul batch dua selesai. Besok saya kirim.” Rara menawarkan proyek katering kecil untuk murid-murid les. Ayunda menerima, bukan karena roti pisang, tetapi karena rasa kesalingan yang hangat.
Di angkot, Ayunda membaca kembali kalimat yang ia pasang di atas meja kerja:
“Jangan bertahan untuk terlihat kuat. Bertahanlah untuk tetap baik.”
Ia tersenyum sendiri. Jakarta, dengan segala riuhnya, tiba-tiba terasa seperti buku yang halaman-halamannya bisa ia pilih. Ia tidak memilih bab paling bising, tidak juga bab paling sunyi. Ia memilih bab yang bisa ia tulis ulang, pelan-pelan, dengan ejaan yang memihak waras.
.
Rumah Tanpa Pintu
Rumah mereka masih berdiri. Dindingnya masih menyimpan foto pernikahan bertahun lalu—dua anak manusia dalam baju yang waktu itu terasa seperti masa depan. Pintu depan masih dibuka dan ditutup oleh jok motor, tetangga yang mampir, tukang sayur yang menagih. Tapi pintu yang paling penting kini disimpan Ayunda di dadanya sendiri. Ia yang memutuskan siapa masuk, siapa keluar. Ia yang menentukan kapan harus menutup rapat, kapan membuka selebar-lebarnya untuk cahaya.
Suatu malam, di beranda kecil yang menghadap gang, Aksa bersandar di bahunya. “Ma, kalau Mama pergi… gimana?”
Ayunda mencium rambut anaknya. “Mama nggak pergi. Mama cuma sedang belajar mendirikan rumah yang benar, meski pintunya Mama simpan di sini.” Ia mengetuk pelan dada kiri. “Supaya kamu dan Aliya tahu, rumah sejati itu bukan alamat di KTP; ia alamat di hati.”
Aliya memeluk pinggangnya. “Mama kuat banget ya?”
Ayunda tersenyum. “Mama nggak kuat. Mama cuma nggak punya pilihan selain tetap waras.”
Dan di detik itu, ia tahu: ia telah menang—bukan mengalahkan suaminya, bukan membuktikan pada tetangga, melainkan menaklukkan versi dirinya yang dulu ingin menyerah.
.
Epilog
“Rumah Tanpa Pintu” adalah kisah yang tidak masuk berita. Ia berjalan di gang-gang sempit, menyeberang di zebra cross yang lampunya sering tidak sinkron, menunggu kereta yang kadang terlambat. Ia hidup di dapur kontrakan, di ruang les kecil, di halte bus, di halaman balai kota tempat perempuan-perempuan yang tak ingin viral bertemu dan saling memulihkan. Mereka tidak minta dikasihani. Mereka hanya ingin dikenali sebagai manusia yang memilih waras—bukan menyerah; bertahan—bukan karena takut, tetapi karena cinta pada anak-anak dan pada diri sendiri.
“Tidak semua rumah harus ditinggalkan untuk bisa diselamatkan. Kadang yang perlu pergi hanyalah caramu menyakiti dirimu sendiri.”
“Cinta yang sehat tahu kapan berkata ‘cukup’—bukan untuk menutup hati, melainkan untuk menjaga jiwa.”
— Tamat Episode 1.
.
Baca Episode 2: Satu Rumah, Dua Dunia
.
.
Jember, 24 Juni 2025
.
.
#CerpenMinggu #KisahUrban #PerempuanBertahan #RumahTanpaPintu #Jakarta #BimbinganBelajar #MentalHealth #Jokotole #RaraWungu #Mertakusuma