Kupikir Aku Sudah Sembuh Sampai Lagu Itu Mematahkanku Lagi
“Seorang manusia bukan diukur dari seberapa cepat ia melupakan luka, melainkan dari keberanian menatapnya—tanpa lari, tanpa pura-pura kuat, sambil tetap berjalan.”
.
Kota yang Menyalakan dan Memadamkan
Di kota yang tak pernah benar-benar tidur—dengan suara sirene yang entah melintas ke mana, lampu-lampu apartemen yang seperti bintang ditempelkan di kaca, dan trotoar tempat orang memeluk lelahnya—aku, Wiramenggala, belajar satu hal sederhana: luka punya jamnya sendiri. Ia bisa diam selama berbulan-bulan, lalu pada suatu sore yang biasa saja, denting lagu di ruang yang salah tiba-tiba menyalakan ulang seluruh badai.
Aku menyangka telah selesai. Tiga tahun adalah waktu yang panjang untuk menutup halaman mana pun. Aku naik jabatan, pindah ke apartemen yang menghadap ke teluk, menghadiri rapat-rapat dewan dagang yang menggilas waktu seperti mesin jahit; hidupku tampak rapi dari luar. Sampai lagu itu mematahkan aku lagi.
.
Luka Lama yang Mengendap
Kau bisa saja berdiri tegak di atas podium prestasi. Berbicara lantang dalam rapat tertutup para bangsawan. Tersenyum sopan saat semua mata memujimu. Tapi tetap saja… satu lagu lama bisa merobohkanmu seketika.
Begitulah yang terjadi padaku—Wiramenggala, bangsawan muda dari pesisir timur. Bukan bangsawan dalam arti gelar, melainkan dalam tuntutan: keluarga pengusaha pelabuhan, sekolah di luar negeri, pulang dengan amanat memperbesar jaringan ekspor. Di kartu namaku, jabatan tampak mengilap. Di cermin kamar mandi, ada sepasang mata yang kerap menghindar dari tatapannya sendiri.
Pada suatu sore berawan, selepas menutup negosiasi di Graha Niaga, aku singgah ke kedai teh kecil di tepi sungai. Namanya “Rengganis.” Interiornya bersahaja: lampu gantung keemasan, dinding bata yang dibiarkan telanjang, meja-meja kayu yang disikat halus. Hujan mengetuk pelan atap seng, suara air seperti percakapan yang menenangkan.
Aku duduk di pojok, memesan teh kayu manis panas dan kudapan manis. Lalu lagu itu menyelinap melalui speaker: melodi yang dulu diputar Kumaladewi di ruang musik belakang, kala matahari sore meneteskan madu ke jendela apartemen lama kami. Lagu yang ia nyanyikan lirih sambil merawat anggrek bulan, menggunting akar yang busuk dengan telaten.
Tanganku membeku. Tenggorokanku tertahan. Napas menjadi pendek seperti langkah anak kecil. Aku menunduk, seakan meja bisa menjadi perisai. Tiga tahun runtuh seperti dinding bata yang ternyata dibangun di atas pasir.
.
Pertemuan Tak Terduga
“Tisu?” Sebuah sapu tangan katun diletakkan di dekatku. Suara itu tenang, tidak menuntut jawaban.
Aku menoleh. Perempuan dengan rambut disanggul sederhana, kulitnya tenang—ya, tenang, seperti permukaan danau saat pagi: Adaninggar. Namanya mengingatkanku pada kisah-kisah lama yang sering dibacakan nenek saat listrik padam. Di kisah itu, Adaninggar teguh tanpa gaduh; tegas, namun penuh peluk yang tidak ia pamerkan.
“Boleh saya duduk?” tanyanya.
Aku mengangguk. Tidak ada kata yang keluar, hanya gerakan kecil yang mempersilakan.
“Kadang, lagu tidak sekadar lagu,” katanya, menautkan jari di cangkirnya. “Ia pintu menuju ruang yang belum kita kunci benar.”
Aku menghela napas panjang, seperti orang yang kembali ingat cara bernapas. “Kupikir aku sudah baik-baik saja.”
“Healing itu bukan garis lurus,” jawabnya pelan. “Ia seperti peta kota: ada jalan satu arah, jalan buntu, dan jalan tikus yang selamatkanmu pada saat tak disangka.”
Kami diam cukup lama untuk mendengar detak hujan berubah ritmenya. Diam yang tidak mengusir, diam yang justru memanggil pulang.
.
Tiga Tahun yang Kupikir Menyembuhkan
Saat Kumaladewi, perempuan yang kusebut rumah bahkan ketika kami berdiri di tengah bandara, pergi… ia tidak berpamitan. Hanya selembar kertas, ditindih pot anggrek yang baru mekar: Jangan cari aku. Aku tidak cukup baik untukmu, Ggala.
Aku bukan orang yang mudah putus asa. Kupikir, jika kucintai dengan lebih rapi—dengan jadwal terencana, perjalanan akhir pekan ke pantai, kontrak pernikahan yang menenangkan kedua keluarga—ia akan kembali percaya. Nyatanya, cinta bukan sistem. Ia organisme yang menuntut cuaca dan tanah yang tepat. Dan tanah kami, rupanya, retak di bagian yang tak terlihat.
Aku menenggelamkan diri di kerja. Ke pelabuhan subuh-subuh, rapat lintas kota, konferensi tentang logistik hijau, debat indikator kinerja. Aku belajar menyampaikan kabar baik dengan senyum yang tepat, menyimpan kabar buruk di folder terpisah. Orang menyebutku taktis. Aku menyebut diriku terlatih kabur.
Tiga tahun begitu. Dan luka? Ternyata tidak sembuh; ia hanya menunggu giliran.
.
Malam yang Membuka Jurnal Lama
Sepulang dari Rengganis, aku membuka laci tertua di meja kerja. Ada jurnal kulit cokelat, hadiah ulang tahun dari Kumaladewi dua minggu sebelum ia menghilang. Jurnal itu nyaris kosong. Mungkin karena menulis mengharuskanku jujur, dan kejujuran adalah beban yang kutunda.
Malam itu, halaman pertama menerima kalimat yang bergetar:
Hari ini aku menangis di kedai teh, di hadapan orang asing. Tapi air mata itu tidak malu-malu. Ia jujur. Mungkin inilah kali pertama aku benar-benar sedang pulih, bukan sedang pura-pura baik.
Keesokan harinya, Adaninggar mengirim pesan singkat melalui kurir—ya, dengan cara lama yang anehnya terasa hangat.
“Hari ini tak perlu sembuh. Cukup berdamai.”
Lusa, pesan lain tiba:
“Air mata adalah bahasa tubuh yang tak bisa dimanipulasi.”
Aku menulis lagi. Tentang amarah pada diriku sendiri, tentang rindu yang seperti jam pasir—tak bisa dicecar agar jatuhnya lebih cepat. Tentang kebiasaan menunda sedih demi terlihat kokoh. Halaman-halaman itu penuh koreksi, coretan yang tak rapi. Tapi justru di sana aku mulai melihat pola: aku menulis paling banyak ketika sedang berusaha diam.
.
Jalan Pulang yang Tidak Lurus
Di kota, kita punya banyak alasan untuk tidak pulang ke diri sendiri: rapat, email, klien, target, to-do list yang bertunas setiap jam. Aku mencoba membuat jalan pulang yang tidak lurus, tapi nyata.
Pertama, rutinitas kecil yang bisa kutepati. Menyiram tanaman pukul enam pagi. Menyiapkan sarapan sendiri minimal tiga kali seminggu. Berjalan kaki sepuluh ribu langkah tanpa mengejar angka, hanya menghargai trotoar.
Kedua, meminta tolong. Aku menelepon Umar Maya—teman lama, yang di lingkungan kami terkenal sebagai orang yang mendengar lebih banyak daripada bicara. “Aku butuh menemui profesional,” kataku. Ia tidak menggurui, hanya mengaturkan jadwal konselor di klinik yang tidak jauh dari kantor. Di sesi pertama, aku duduk terlalu tegap seperti mau sidang. Di sesi ketiga, aku belajar menyandarkan punggung.
Ketiga, mengembalikan musik ke tempatnya. Aku tak bisa mengendalikan lagu yang diputar dunia, tapi aku bisa membangun playlist baru: lagu-lagu yang tidak memaksa lupa, melainkan mengizinkan ingat tanpa tenggelam. Aku menamai playlist itu “Pulang Pelan-Pelan.”
Saat kuberitahu Adaninggar, ia tersenyum kecil. “Orang sering mengira damai itu senyap. Padahal, damai punya suaranya sendiri.”
.
Kota, Keluarga, dan Sunyi yang Pantang Diumumkan
Keluarga besar kami seperti kapal besar dengan kapten-kaptennya sendiri. Makan siang Minggu menjadi arena negosiasi halus: siapa duduk di mana, topik apa yang aman, kapan menyinggung pernikahan tanpa terdengar terlalu meneror. Aku bukan anak yang suka membantah, dan “Kapan menyusul?” selalu kuterima dengan senyum diplomatis.
Suatu kali, bibiku—yang suka menantang kue tanpa resep—bertanya, “Kamu tak sepi, Ggala?”
“Ada sepi,” jawabku, “tapi kuajak ia berjalan-jalan di taman.”
Ia tertawa kecil. Tak ada nasihat. Kadang, keluarga mencintai dengan caranya sendiri: tidak selalu tepat, tapi sering kali cukup.
Di kantor, sunyi adalah hal yang pantang diumumkan. Kita digaji untuk menyelesaikan masalah, bukan mengeluarkan isi dada. Namun, setelah esai “Jika Hari Ini Kamu Menangis Lagi, Itu Tidak Apa-Apa” kuterbitkan di buletin internal dewan, email masuk mengejutkan. Seorang supervisor menulis, “Terima kasih. Saya kira saya satu-satunya yang bersembunyi di tangga darurat.” Seorang staf baru menyebut ibunya yang sakit dan biaya yang ia putuskan untuk tidak ia ceritakan pada pacarnya. Diam-diam, esai itu menjadi jembatan gantung di atas jurang yang selama ini kami kira tak terlewati.
.
Kumaladewi di Ujung Senja
Suatu sore, di pengujung kuartal dengan angka-angka yang cukup menggembirakan, aku berjalan di koridor pusat kebudayaan tempat pameran foto maritim diselenggarakan. Dari jarak sepuluh langkah, aku mengenali siluet yang pernah kuhafal: cara menegakkan kepala, jemari yang menyentuh bingkai, bahu yang selalu tampak bersiap menanggung sebuah berita.
“Kumaladewi,” panggilku, tidak keras, tapi cukup untuk membuatnya menoleh.
Ia tersenyum, dan itu—sialnya—masih senyum yang dulu pernah kusebut “rumah.” Kami berdiri berdampingan di depan foto perahu nelayan yang pulang terlalu malam.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku.
“Belajar memaafkan diri,” jawabnya, menatap garis horizon di foto.
Aku menunggu kalimat lain, mungkin penjelasan seperti yang kurencanakan tiga tahun lalu: daftar alasan, kronologi, permohonan maaf. Yang datang justru kejujuran tanpa dekorasi.
“Aku takut waktu itu,” katanya. “Takut tak sanggup menjadi istri dalam kerangka keluarga sebesarmu, takut kehilangan diriku, takut cemas seperti ibuku… Aku memilih lari. Dan aku tahu, itu menyakitimu.”
Kami duduk di bangku panjang, membiarkan pengunjung lain mengalir seperti sungai di belakang kami. Ia bercerita tentang terapi yang akhirnya ia ikuti, tentang pekerjaan barunya menyunting buku-buku kecil yang mencoba mengajarkan cara bertahan kepada anak-anak. Aku bercerita tentang playlist “Pulang Pelan-Pelan.”
“Apa kamu masih mencintaiku?” tanyanya, tanpa drama.
Aku menatap foto lain: laut lebih gelap, tapi ada satu lampu kecil dari kapal yang tampak tidak menyerah. “Dulu aku mencintaimu seperti ingin menyelesaikan proyek besar—penuh rencana, target, milestone. Sekarang… mungkin aku belajar mencintai dengan izin.”
“Izin untuk?” ia menoleh.
“Izin untuk tidak memaksakan bentuk. Izin untuk menghormati takutmu. Izin untuk tidak memaksaku menjadi penyelamatmu.” Aku menghela napas. “Dan izin untuk menerima bahwa kita mungkin tidak berjalan bersama.”
Kami saling menatap, bukan untuk menang atau kalah, melainkan untuk menutup halaman tanpa merobeknya. Di pintu keluar, kami bersalaman. “Terima kasih karena dulu pernah jadi rumah,” kataku. “Dan terima kasih karena sekarang jadi alamat yang kubaca tanpa perlu kukunjungi.”
Ia tertawa pendek. “Kamu akhirnya belajar metafora yang tidak sok puitis.”
“Terapi mahal,” jawabku. Kami tertawa. Tawa yang akhirnya tidak menyayat.
.
Menamai yang Tak Terucap
Malam itu, di jurnal, aku menulis daftar hal kecil yang dulu kusapu ke bawah karpet:
-
Aku takut dianggap lemah jika meminta tolong.
-
Aku sering menunda sedih dengan menyibukkan diri.
-
Aku marah pada diriku karena tidak bisa “move on” setepat kalender.
-
Aku merindukan ritus sederhana: menyiapkan teh, memeriksa daun anggrek, memutar lagu yang sama.
Lalu di bawahnya, aku menulis balasan untuk setiap poin, seolah menulis kepada adik yang keras kepala:
-
Meminta tolong bukan lemah; itu teknik bernapas.
-
Menunda sedih memperpanjang utang. Bayarlah cicilan kecilnya setiap hari.
-
Tidak ada tenggat untuk pulih. Kalender tidak berhak membentakmu.
-
Ritus tidak salah; ia cara tubuh mengingat bahwa hidup bisa lembut.
Menamai ketakutan, ternyata, adalah cara paling cepat membuatnya kehilangan gigi.
.
Solusi yang Tidak Menjual Mimpi
Aku bukan pengkhotbah motivasi. Solusiku membosankan jika dilihat di feed media sosial, tapi nyata di lantai apartemenku:
-
Hening terjadwal. Lima belas menit pagi hari tanpa gawai. Duduk, bernapas, memeriksa tubuh: kepala, bahu, dada, perut, paha, betis.
-
Jurnal dua kalimat. Jika malas menulis panjang, cukup: “Hari ini yang berat adalah… Hari ini yang bersyukur adalah…”
-
Satu orang jujur. Umar Maya menjadi posko daruratku; jika aku tergelincir, ia menelepon, bukan mengirim tautan artikel.
-
Gerak yang sederhana. Jalan di jembatan panjang menjelang magrib, menatap kapal menyalakan lampu.
-
Musik tanpa menghardik. Lagu-lagu yang kubiarkan lewat seperti hujan—didengar, tidak ditahan.
Di luar itu, kota juga berubah jika kita mengubah cara memegangnya. Aku mulai menolak rapat yang bisa jadi email, menggeser pertemuan sarapan ke taman kota, mengubah kebiasaan merayakan pencapaian dengan belanja menjadi makan malam bersama orang-orang yang tak perlu kujelaskan apa pun.
.
Tumbuh Tanpa Tepuk Tangan
Tiga bulan setelah esai itu terbit, kami membuka sesi kecil di kantor: “Ruang Bernapas.” Tanpa format berat, hanya tikar gulung dan teh hangat. Siapa pun boleh datang, bercerita, atau hanya duduk. Ada Umar Madi dari tim operasional yang akhirnya mengakui panik jika deadline bersisian dengan tagihan rumah sakit ibunya. Ada Siti Zulaikha dari keuangan yang memutuskan berhenti jadi mata-mata bagi kecemasan orang lain. Ada aku, yang belajar bilang “tidak” tanpa merasa harus memberi kompensasi dua kali lipat.
Tidak ada tepuk tangan. Yang ada, orang pulang dengan langkah sedikit lebih ringan. Itu cukup.
Kumaladewi? Kami sesekali saling mengirim kabar ringkas. Tidak manis, tidak pahit. Seperti air putih. Aku mendoakannya mendapatkan langit yang tidak menakutkannya lagi.
Adaninggar? Ia menjadi sahabat yang ajaib: hadir tanpa merasa perlu menyalakan lampu sorot. Kadang kami duduk di kedai yang sama, menertawakan kebodohan masing-masing, membahas tanaman yang tiba-tiba mati padahal disiram dengan doa. Jika ada benih yang tumbuh di antara kami, biarkan ia tumbuh tanpa kebijakan percepatan.
.
Kota, Lagu, dan Aku yang Baru
Suatu malam, lagu itu terdengar lagi—di kafe yang berbeda, suasana yang sama teduhnya. Aku menunggu dada memadat, namun yang datang justru senyum yang kecil, tulus, seperti lampu kapal di kejauhan.
Aku membayar, berjalan keluar, dan menyeberangi jalan yang basah. Lampu-lampu kota merefleksikan dirinya sendiri di permukaan aspal, seolah dunia menyukai versi gandanya. Di trotoar, angin membawa aroma kayu manis dari dapur belakang. Di dada, ada ruang yang tak lagi menuntut segera sembuh. Ia cukup.
Aku, Wiramenggala, bukan lagi lelaki yang memaksa dirinya sembuh. Aku lelaki yang bersedia berdamai—dengan lagu, dengan kota, dengan diriku sendiri. Dan di dalam damai itu, aku bertumbuh tanpa perlu ada yang membuktikannya.
Kalau kau membaca ini di kamar yang lampunya terlalu terang, atau di halte yang anginnya terlalu jujur, dan kau merasa sedang mundur padahal kau kira sudah maju—percayalah, kau tidak sendirian. Kita tidak gagal. Kita sedang belajar berjalan dengan cara yang baru.
“Berjalanlah meski tertatih. Menangislah jika perlu. Bangkitlah pelan-pelan. Karena setiap proses pulih itu unik. Tidak ada yang bisa mendikte waktunya. Yang penting kamu tetap melangkah, sekecil apa pun.”
.
.
.
Jember, 5 Juli 2025
.
.
#KupikirAkuSudahSembuh #CerpenUrban #ProsesPulih #KesehatanMental #MenakMadura #Reflektif #Emosional #KompasMingguVibes #NamakuBrandku