Ketika Sunyi Bicara

“Kadang diam lebih nyaring dari teriakan; ia menyimpan kebenaran yang takut dilukai oleh kata.”

.

Hujan menggigil di Jakarta seperti seseorang yang baru menyadari ia hidup di kota yang tak memberinya tempat untuk menaruh selimut. Dari jendela TransJakarta, Siti melihat garis lampu memanjang, merah-kuning-hijau menjadi lukisan yang bergetar di permukaan jalan. Pukul tujuh lewat tiga puluh. Ponselnya bergetar, satu pesan dari Farid: “Kedai Cikini, yang pojok. Aku sudah duluan.”

Tiga jam sebelumnya, ia keluar dari ruang rapat lantai dua belas, membawa satu kalimat yang menempel seperti tagihan listrik: “Dunia tidak bisa berjalan dengan idealisme saja.” Adipati mengucapkannya tanpa jeda, seolah-olah dunia memang sekadar neraca rugi laba. Siti menutup map, menatap jendela gedung tinggi yang memantulkan hujan. Di bawah kaca itu, yang disebut “proyek penataan kawasan” sebenarnya bernama lain: penggusuran.

Di kedai pojok Cikini, Farid sudah duduk, dua cangkir kopi hitam, satu kue klepon yang gula merahnya bocor seperti berita buruk. “Kamu tadi kenapa diam?” tanya Farid pelan.

Siti menatap uap kopi. “Karena semua orang sedang senang mendengarkan suaranya sendiri. Kalau aku ikut ribut, siapa yang mendengar mereka yang tak ada di ruangan? Anak-anak kampung yang akan kehilangan halaman bermain. Orang tua yang tak sempat menua di teras yang mereka cat sendiri.”

Farid mengangkat cangkirnya. “Kamu bertanya dengan cara aneh seperti biasa.”

“Aneh itu kadang jembatan,” jawab Siti. “Bukan pagar.”

.

Kantor konsultan tempat Siti dan Farid bekerja menang proyek “revitalisasi” di tepi kali, kawasan tua yang sering ditemani banjir. Menurut presentasi tim teknis, rumah-rumah semi permanen itu menghalangi pelebaran jalur hijau, menutup aliran air, melanggar garis sempadan. Data menyusun argumen seindah grafis infografik. Namun data, Siti tahu, tak berhenti di layar; ia berlabuh di dada manusia.

Ia turun ke lokasi bersama tim survei. Hujan tipis, sungai berbau lumpur manis, anak-anak berlari di gang, menendang bola plastik melewati jemuran. Di depan warung yang menjual mi instan dan pulsa, seorang perempuan menjemur kasur tipis. “Namamu siapa, Nak?” tanya Siti pada bocah yang memegang bola.

“Juma,” jawabnya, mata melirik kamera tim. “Besok rumah Juma pindah katanya. Jauh.”

“Jauh itu di mana?”

“Katanya di rumah susun. Juma nggak tahu, Bu. Katanya kamar kecil. Di sana nanti ada teman main?”

Siti tak menjawab. Pertanyaan sederhana yang paling sukar. Ketika orang dewasa lupa bahwa pindah rumah bukan sekadar koordinat, anak-anak mengingat hal-hal kecil yang diabaikan: jarak ke lapangan, aroma nasi goreng langganan, suara bakul roti pukul lima pagi. Hal-hal yang tak masuk tabel.

Di ujung gang, Siti bertemu seorang lelaki tua, tubuhnya ramping, bibirnya merah oleh sirih. “Namamu?” tanya Siti sopan.

“Pangeran,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Dulu, orang tua suka memberi anak nama besar biar selamat. Sekarang, anak-anak punya nama besar di ponselnya, tapi lupa pulang.”

Pangeran mengajak Siti melihat rumahnya: dinding papan, rak buku bekas, pot kecil berisi daun seledri. Ia menunjuk kalender bergambar pemandangan Sumenep. “Istriku lahir di sana. Kami merantau. Di sini kami menemukan air. Air mati dan hidup. Banjir tiap tahun, tapi tetangga ramai. Kalau pindah ke rusun, siapa yang akan menyapu halaman ini?”

Siti menatap halaman yang dimaksud: dua langkah tanah dengan bayam yang baru tumbuh, selembar tikar bekas, sebuah kursi rotan patah di satu kaki—ditopang batu bata. Halaman sebesar itu seperti satu bait puisi; tak besar, tapi mampu menyembuhkan hari.

Tim teknis memotret, mencatat gambar dinding retak, plafon bocor, tangga yang tak sesuai building code. Mereka sopan, efisien, dan nyaris tak tampak. Kata-kata seperti mitigasi dan relokasi berloncatan dari mulut mereka seperti kunang-kunang digital.

“Kalau rumah saya dipindah, saya ikut,” kata Pangeran tenang. “Tapi jangan pindahkan tetangga saya ke blok lain. Aku sudah tua. Aku perlu suara mereka untuk tidur.”

Siti menahan napas. Suara orang lain adalah obat tidur. Itu tidak ada di kajian dampak lingkungan. Itu hanya ada di ilmu menua dengan bermartabat.

.

Di kantor, Adipati menyusun rapat lanjutan. Pria itu dikenal tajam. Ia tak pernah berteriak. Ia memotong argumen seperti koki memotong bawang: presisi, cepat, dan kadang membuat orang menangis karena uapnya.

“Saya minta analisis cost-benefit final malam ini,” katanya pada semua orang. “Pertimbangkan dampak sosial, tapi bukan perasaan. Angka yang bisa diverifikasi.”

Siti mengangguk. Ia menghabiskan waktu sampai lewat tengah malam. Ia menyusun dua model: satu sesuai keinginan klien—rumah susun bertingkat, satu pintu satu keluarga, akses bus kota diperbanyak—dan satu lagi model komunitas—cluster kecil rumah tumbuh, ruang bersama, pasar mikro, dan sekolah yang jaraknya bisa ditempuh tanpa menyeberang jalan besar. Biaya model komunitas lebih mahal di awal, lebih murah dalam sepuluh tahun. Ia menulis catatan: manusia cenderung bertahan di tempat yang punya ingatan kolektif. Ia menambahkan foto-foto: Juma menendang bola, Pangeran mengunyah sirih, seorang ibu menjemur kasur, seorang anak perempuan berdiri di pintu sambil memeluk kucing loreng.

Pagi berikutnya, Siti mempresentasikan. Ruang rapat itu dingin. AC seperti terus diingatkan untuk membuktikan dirinya berguna. Slide berganti, angka-angka muncul, Siti bicara pelan, memberi jeda; ia bicara dengan tempo sendiri. Di slide terakhir, ia menaruh satu kalimat: “Kota yang baik bukan yang paling rapi, melainkan yang paling ringan untuk ditinggali oleh yang paling rapuh.”

Sunyi jatuh. Farid menatap Siti, bangga sekaligus cemas. Adipati mengetuk meja sekali. “Bagus. Tetapi kita bekerja dengan deliverable. Klien ingin rusun, bukan eksperimen sosial.”

“Ini bukan eksperimen,” ujar Siti. “Ini usaha agar manusia tidak runtuh dalam diam.”

Adipati tersenyum tipis. “Saya mengerti kamu punya idealisme. Dunia tidak bisa berjalan dengan idealisme saja.”

Siti menarik napas. “Dan dunia juga bisa hancur kalau hanya diisi orang-orang yang takut kehilangan posisinya.” Kata-kata itu meluncur seperti batu kecil ke kaca tenang. Ada retakan halus di udara.

Rapat bubar. Di koridor, Siti merasa lututnya ringan, seperti baru turun dari bus yang ngerem mendadak. Farid menyusul. “Kamu gila,” katanya, tapi matanya bersinar. “Kamu tak takut salah ya?”

“Takut. Tapi lebih takut jika benar tapi membiarkan yang lain runtuh.”

.

Beberapa hari kemudian, unggahan beredar di media sosial: video warga protes, tagar yang memanas, opini yang bertabrakan seperti motor berebut lajur. Nama Siti tak muncul di mana-mana. Ia memang tak pernah mencari validasi di ruang itu. Ia hanya terus ke lapangan, mewawancarai, mencatat. Hobi aneh lain muncul: Siti mengumpulkan kertas-kertas kecil—nota warung, tiket bus, paragraf dari buku saku bocah—ia tempel di jurnal. “Supaya nanti, saat semuanya menjadi angka, kita masih ingat wujudnya,” katanya pada dirinya sendiri.

Suatu sore, Siti kembali ke kampung. Di tikungan gang, ia bertemu Syarifah—perempuan yang menjemur kasur tempo hari—sedang menyapu halaman sempitnya. Hujan baru selesai, aroma sabun cuci piring berbaur dengan wangi tanah. “Mbak Siti ya? Saya dengar Mbak dari kantor,” sapa Syarifah. “Di rusun nanti, saya takut susah mengeringkan kasur. Di sini kalau matahari rajin, jam dua juga kering. Di sana, katanya, angin nggak masuk. Apa betul?”

Siti menatap ke langit, kemudian ke dinding yang basah. “Saya belum tahu, Mbak. Rusun bisa rapih dan aman. Tapi ada yang tak bisa dipindahkan lewat lift: kebiasaan kecil.”

“Hal-hal kecil yang bikin hari terasa rumah,” kata Syarifah menghela napas. “Seperti suara bakul soto,” ia menunjuk ujung gang, “atau jalan becek yang kami keluhkan, tapi kalau kering kami rindu.”

Siti tersenyum getir. “Saya akan tulis semuanya.”

“Jangan cuma tulis,” kata Syarifah, menatap lurus. “Bicarakan seperti suara orang, bukan angka.”

Kata-kata itu masuk ke dada Siti seperti jarum jam yang mengingatkan waktu. Bicarakan seperti suara orang, bukan angka. Di malam sehabis kunjungan itu, Siti menuliskan satu kalimat baru di kertas kecilnya, menempelkannya di dinding kamar: “Mereka yang paling benar bukan yang paling keras; yang paling dekat pada benar ialah yang paling mau mendengar.”

.

Keputusan klien turun dua minggu kemudian: rusun akan dibangun, namun dengan tambahan ruang komunal di tiap lantai, lapangan serbaguna di sisi timur, dan prioritas penempatan blok berdasarkan kedekatan RT—agar jaringan sosial tidak tercerai-berai. Siti tahu itu bukan kemenangan penuh. Tapi ia juga tahu, keberanian kecil bisa memiringkan jarum kompas.

Namun badai belum berakhir. Di media, seorang pengamat menulis artikel sinis: “Proyek pemerintah tersandera sejuta perasaan. Pembangunan melambat.” Di kantor, ada yang berbisik, Siti terlalu idealis, tak efisien. Ada pula yang menyanjung dalam diam, karena diam bisa juga tanda hormat.

Satu sore, Adipati memanggil Siti. “Aku baca catatanmu,” katanya, tanpa basa-basi. “Kamu detail. Kamu juga tidak sombong dengan pengetahuanmu. Itu bagus. Tapi pahami, aku memikul target.”

Siti duduk tenang. “Aku paham. Aku juga memikul wajah-wajah. Mungkin akulah yang aneh karena mengingat hal-hal kecil yang diabaikan.”

Adipati menatap lama. “Aku lahir di Pamekasan,” ujarnya tiba-tiba, suara merendah. “Bapak dulu menambatkan perahu di muara yang lama-lama menghilang karena reklamasi kecil-kecilan. Kami pindah ke Surabaya, lalu ke Jakarta. Di sini, aku belajar bahwa kecewa harus dinetralkan dengan angka.” Ia menghela napas. “Aku tidak dingin, Siti. Aku belajar terlihat dingin agar tak patah.”

Sunyi menyeberangi ruangan. Siti mengangguk. “Kadang, orang jadi keras karena terlalu sering ditolak oleh keadaan.”

Adipati berdiri, merapikan jas. “Esok, ikut aku ke pertemuan dengan warga. Kita dengar sendiri.” Suaranya terdengar seperti seseorang yang pertama kali mengajak orang lain melihat laut.

.

Balai RW itu penuh. Karpet digelar. Kursi plastik berderet. Wajah-wajah cemas duduk di bawah spanduk: “Sosialisasi Penataan Kawasan Kali.” Ada kotak sound system tua di sudut; bunyinya pecah, tapi semangatnya utuh. Juma berlari-lari kecil di belakang. Pangeran duduk di depan, sirihnya dititipkan pada kaleng bekas biskuit.

Adipati bicara datar, menjelaskan rencana, kelebihan rusun—akses air bersih, listrik stabil, pintu yang bisa dikunci, jendela yang menatap langit. Beberapa orang mengangguk. Yang lain gelisah. Siti memperhatikan dari samping, mencatat pertanyaan yang keluar seperti biji-biji jagung dari wajan: cepat, panas.

Syarifah mengangkat tangan. “Pak, kami takut. Bukan karena tak percaya. Kami takut karena kami tak kenal. Di sini, saat banjir, kami tahu siapa menolong siapa. Di sana, siapa kenal siapa?”

Adipati menatap Syarifah. Matanya tak sekaku biasanya. “Kami akan usulkan penempatan berdasarkan RT, Bu. Tetangga tetap tetangga. Kami sediakan ruang berkumpul. Kami minta pendamping sosial beberapa bulan pertama.”

Seorang pemuda—Raden—berdiri. “Saya tukang reparasi barang elektronika. Pelanggan saya di gang ini. Kalau pindah, saya kehilangan pelanggan. Apakah ada kios di rusun?”

Siti maju setapak. “Di rancangan terbaru, ada kios bersama di lantai dasar. Kita bisa buat daftar pelaku usaha mikro dari sini. Tempatnya terbatas, tapi prioritas untuk warga lama.”

“Kalau listrik naik, siapa yang bantu?” tanya suara lain. Tawa kecil menyapu ruangan, lalu reda.

“Rapat kita tak akan menjawab semua,” kata Siti. “Tapi setidaknya, kita bertemu dengan suara, bukan hanya angka.” Ia memandang Adipati. Lelaki itu mengangguk pelan, seakan baru mengucap ya kepada sesuatu dalam dirinya sendiri.

Pertemuan ditutup. Orang-orang berdiam sebentar, lalu bergerak seperti sungai yang mencari rute baru. Juma mendekati Siti. “Bu, di rusun nanti ada tempat main bola nggak?”

Siti berjongkok. “Kita usahakan, Juma. Kalau tak ada, kita buat.”

“Kalau tak boleh?” tanya Juma.

Siti tersenyum. “Kalau tak boleh, kita cari cara. Bola selalu menemukan kaki.”

.

Proyek berjalan. Di bulan-bulan berikut, wajah kota berganti baju. Truk datang, alat berat berdengung, rumah-rumah dipetakan, barang-barang dikarduskan. Ada air mata, tentu. Ada pula tawa yang terasa seperti seseorang menyalakan lampu di ruangan yang lama gelap. Farid mendokumentasikan, Siti memediasi, Adipati bernegosiasi. Mereka bekerja seperti tiga jenis waktu: yang lalu, yang sekarang, yang ingin menjadi masa depan.

Di sela-sela itu, Siti merawat kebiasaan anehnya: setiap malam, satu kalimat menempel di dinding. Dinding kamarnya menjadi padang daun yang dipenuhi mantra. Ada yang ia tulis dari pengalaman hari itu:

  • “Yang paling pintar di ruangan adalah pertanyaan yang berani tak punya jawaban cepat.”

  • “Jangan takut salah; takutlah pada benar yang membuatmu buta.”

  • “Bicaralah dengan tempo sendiri agar kata-kata punya kaki.”

  • “Pengetahuan tanpa rendah hati hanyalah topeng—dan topeng selalu gatal.”

  • “Kebiasaan aneh yang menawan: mengingat nama orang, bukan hanya jabatannya.”

Suatu malam, listrik di kos Siti padam. Ia menyalakan lilin. Cahaya kecil itu memantulkan bayang-bayang kertasnya ke langit-langit, seperti ikan-ikan yang berenang di permukaan gelap. Ia teringat ayahnya di Bangkalan, seorang sopir antarkota yang jarang pulang namun selalu mengirim pulang dua hal: uang dan kalimat. “Jangan jadi orang yang merasa paling pintar di ruangan,” tulis ayahnya dulu di secarik kertas – “karena ruangan sesak oleh orang seperti itu. Jadilah orang yang membuat ruangan terasa lega.”

Siti menutup mata. Kota ini mendidiknya untuk cepat, untuk responsif, untuk siap ditelepon kapan saja. Tapi kota ini juga mengajarinya pelajaran yang lebih lambat: merawat nurani seperti menanam seledri di kaleng cat bekas—yang penting disirami.

.

Di tengah ritme proyek, badai kecil datang dari arah tak diduga. Seorang rekan, Jaya, merasa idenya diambil tim lain. Grup kantor panas. Saling sindir di rapat, saling bisik di pantry. Siti menengahi. Ia mengajak Jaya duduk di bawah pohon ketapang dekat gedung. “Aku tahu kamu marah,” kata Siti. “Marah itu wajar. Tapi jangan biarkan kemarahanmu mengambil alih suara hati. Kalau apa-apa harus dipamerkan di timeline, yang hilang bukan hanya konsentrasi, tapi juga martabat.”

“Kenapa kamu nggak pernah unggah apa-apa?” Jaya mendengus. “Orang harus tahu kamu berjuang.”

“Aku lebih butuh orang yang terlibat benar-benar tahu, daripada banyak orang yang hanya menatap layar tahu,” jawab Siti. “Kalau yang harus tahu sudah tahu, untuk apa aku ngotot dilihat orang yang tak peduli?”

Jaya terdiam lama. Lalu mengangguk. “Kamu memang aneh.”

“Aneh itu bukan hinaan,” senyum Siti. “Itu cara alam memberi kita warna.”

.

Peresmian rusun akhirnya tiba. Gedung itu berdiri seperti buku putih yang baru akan ditulis. Di lantai dasar, kios-kios kecil disiapkan. Nama-nama warga terpasang. Syarifah mendapat kios kecil untuk menjual kebutuhan rumah tangga. Raden membuka meja reparasi elektronika. Juma berputar-putar di lapangan mini di sisi timur; bukan stadion, tapi cukup untuk mengejar bola sampai kelelahan gembira.

Di antara kerumunan, Siti melihat Adipati berdiri sendiri, menatap para penghuni baru naik lift pertama mereka. “Kamu terlihat seperti orang yang baru melihat laut,” kata Siti, menghampiri.

“Aku baru belajar bahasa lain,” jawab Adipati. “Bahasa yang tidak diajarkan di kelas manajemen proyek.”

“Bahasa itu apa?”

“Bahasa sunyi. Bahasa yang kamu pakai sejak awal.”

Siti tertawa kecil. “Bahasa sunyi itu bukan milikku. Itu milik mereka yang suaranya kalah keras.”

Adipati memandang langit. Jakarta petang itu tak hujan. “Aku dulu bermimpi keluar dari kampung karena kampung terlalu sempit untuk mimpiku. Ternyata yang sempit bukan kampung, tapi cara memandangku. Terima kasih sudah membantuku melihat.”

Siti mengangguk. “Terima kasih sudah mau mendengar.”

Pangeran mendekat, membawa kaleng biskuitnya. “Aku titip ini,” katanya kepada Siti. Di dalamnya, ada kumpulan daun sirih kering dan selembar foto Polaroid: halaman dua langkah dengan bayam tumbuh di pinggir batu bata dan kursi patah. “Rumput di halaman baru tak mau tumbuh,” ujarnya. “Tapi aku bawa suara tetangga. Di gedung tinggi, suara tetangga seperti azan yang mengingatkan arah.”

Siti menerima kaleng itu dengan mata memanas. “Kita akan buat kebun bersama di atap, Pangeran. Tak besar, tapi cukup untuk seledri dan doa.”

“Doa butuh matahari?” canda Pangeran.

“Butuh manusia,” jawab Siti.

.

Malam itu, setelah peresmian, Siti kembali ke kamar kosnya. Ia menempel kalimat baru: “Kemenangan kecil adalah ketika orang yang tak kau sukai pun bisa hidup sedikit lebih mudah karena keputusanmu.” Ia menatap dinding penuh kertas. Dinding itu bukan trofi. Dinding itu peta perjalanan batin.

Farid menelepon. “Kedai Cikini? Aku traktir. Kita rayakan.”

“Rayakan apa?”

“Rayakan kenyataan bahwa hidup tetap sulit, tapi kita tidak menyerah menjadi manusia.”

Siti tertawa. “Baik. Lima belas menit.”

Di kedai, uap kopi kembali menepi di bibir cangkir. Farid mengangkat alis. “Aku masih penasaran satu hal. Kamu tak pernah merasa paling pintar di ruangan, tapi kenapa ruangan selalu tenang kalau kamu bicara?”

Siti menatap ke kaca jendela, memantulkan jalan raya. “Mungkin karena aku sering salah, dan karena sering salah, aku belajar menata kalimat agar tak menusuk.” Ia menatap Farid. “Kita ini pekerja kota. Kita dibayar untuk menyusun masa depan. Tapi sebelum itu, kita harus belajar menata masa kini orang lain.”

Farid mengangguk. “Kamu itu menawan, Sit. Aneh, tapi menawan.”

“Menawan itu kata yang berat.” Siti meneguk kopi. “Aku hanya mencoba tak menyombongkan apa yang aku tahu. Karena pengetahuan tanpa rendah hati itu seperti lampu neon tanpa kap: menyilaukan, tapi membuat orang pegal.”

Di luar, hujan kembali merintik. Siti memandang jalan: ojek berbaris, pejalan kaki mengangkat ujung celana, seorang bapak menggendong anaknya dengan plastik bekas menutupi kepala sang bocah. Jakarta, dengan segala kekurangannya, tetaplah panggung tempat manusia belajar setia.

Sebelum pulang, Siti mengirim pesan pada Adipati: “Terima kasih untuk rapat warga kemarin. Jika ada protes baru, jangan padamkan. Protes adalah tanda jantung kota berdetak.” Balasan datang singkat: “Aku masih belajar. Terus ingatkan.”

.

Bulan-bulan berjalan. Banjir pertama setelah perpindahan datang juga—air meluap dari hulu setelah hujan di Bogor menebalkan sungai. Di rusun, air berhenti di pelataran, tak naik ke kamar. Orang-orang turun, membawa ember dan tawa yang sudah akrab dengan musibah. Juma memindahkan bola ke tempat tinggi. Syarifah membagikan teh panas di gelas plastik. Raden memeriksa panel listrik. Pangeran duduk di bangku panjang, mengunyah sirih, menatap air dengan sabar. Siti berdiri di sana, bersama Farid, tak memegang mikrofon, tak memotret. Mereka hanya menjadi bagian dari barisan.

Di tengah keramaian, Siti berbisik pada dirinya sendiri, mengulang kutipan yang dulu ia tempel di kamar:

“Orang yang diam di tengah kebisingan bukan berarti tak punya kata;
kadang ia sedang menakar makna agar tak melukai.”

Kota menatap balik. Dan untuk sesaat, hujan terdengar seperti musik yang dimainkan oleh tangan-tangan yang sama—tangan yang memindah barang ke kardus, yang menandatangani persetujuan, yang mengelap air di lantai; tangan yang salah, benar, ragu, namun terus belajar.

Malam tiba. Lampu-lampu rusun menyala satu per satu. Dari kejauhan, gedung itu seperti kaligrafi cahaya. Siti berdiri di atap, memandang halaman kecil yang ia janjikan: petak tanah dangkal berisi seledri, cabai, dan sepotong bayam yang bandel bertahan. Pangeran mendekat. “Kita belum punya doa,” katanya.

“Kita punya,” jawab Siti. “Doa yang lebih tua dari kata-kata: niat baik.”

Dan di sisi atap, tempat angin menulis namanya sendiri pada wajah-wajah yang lelah, Siti menutup mata, membiarkan sunyi berbicara. Sunyi yang menolong kota menjadi lebih manusiawi; sunyi yang dicurigai sebagai kelemahan, padahal justru rumah bagi keberanian.

.

.

.

Jember, 21 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenSastra #KehidupanKota #JeffreyWibisonoV #Empati #KompasMinggu #CeritaIndonesia #UrbanHumanity

Leave a Reply