Kemenangan yang Tak Terlihat
“Tidak semua kemenangan butuh panggung. Ada yang lahir di dapur sempit, di cermin kusam, di detak jantung yang pelan—namun tetap memilih maju.”
.
Kabut Pagi dan Pertarungan Pertama
Langit pagi itu masih kelabu. Jakarta belum sepenuhnya bangkit dari sisa hujan malam sebelumnya. Di sebuah apartemen mungil di Tebet, Jayeng Wisarah membuka mata dengan lambat. Pandangannya menembus langit-langit putih yang membisu. Ia menarik napas panjang—napas yang terasa berat, seolah paru-parunya menawar, “Nanti saja.”
Jam digital sudah menunjuk pukul 06.45. Alarm tidak berbunyi. Memang sengaja tidak ia setel. Tiga bulan terakhir, bangun pagi bukan lagi rutinitas, melainkan perjuangan. Ritme hidup kehilangan tempo, semangat berganti bisu. Hanya satu suara yang kadang datang seperti genggam tangan dari kejauhan:
Bangun, Jayeng… satu kali lagi saja.
Ia duduk, diam, lima menit penuh hanya untuk menegakkan punggung dan menstabilkan napas. Jantungnya berdetak terlalu cepat untuk pagi yang begitu sunyi. Tapi ia berdiri juga. Melangkah pelan ke dapur.
Di dapur sempit itu, ia merebus air untuk teh jahe. Tangannya sempat bergetar saat menuang air panas ke cangkir putih beraksen merah bata. Uapnya naik, mengaburkan kaca cermin kecil di dekat rak bumbu. Wajahnya tampak kusut: mata sembap, rambut berantakan. Ia paksa bibirnya mengerjap senyum. Bukan untuk siapa pun—untuk dirinya sendiri.
Aku masih hidup. Aku masih di sini. Dan itu cukup.
.
Sosok Publik dan Luka yang Disembunyikan
Di luar sana, orang mengenal Jayeng Wisarah sebagai sosok cerdas dan tenang. Manager Konten Digital di NusantaraTech, perusahaan yang sedang naik daun. Ia sering diundang berbicara; tulisannya menjadi rujukan; akun media sosialnya dipenuhi kutipan pendek yang menguatkan orang. Wajahnya berulang kali mampir di artikel motivasi dan podcast startup.
Tidak ada yang tahu bahwa ia sedang runyam dari dalam. Setelah campaign besar gagal di menit terakhir dan hubungan panjangnya dengan Kencana pecah tanpa penjelasan yang memadai, Jayeng seperti diseret arus ke tempat tanpa nama. Depresi datang seperti gerimis yang tak henti—tidak menenggelamkan, tetapi membuat dingin merayap sampai ke tulang.
Ia berhenti posting. Berhenti menulis. Berhenti percaya pada kalimat-kalimat inspiratif yang dulu lahir dari jemarinya sendiri.
“Piala paling mahal dalam hidupku tak pernah diukir namaku. Ia berupa malam-malam yang kubiarkan lewat tanpa menyerah.”
.
Blazer, Senyum, dan Air Mata yang Tak Terlihat
Hari itu ia tetap masuk kantor. Blazer abu-abu, kemeja batik halus, celana hitam. Rambut disisir rapi. Dari luar semuanya seperti biasa. Di dalam, dadanya serasa diikat.
“Mas Jayeng makin segar aja, ya,” sapa Maya dari HR—nama panggilan yang melekat pada Umarmaya, rekan kerja yang lihai membaca suasana.
Jayeng mengangguk, bibirnya mengangkat sudut senyum. Padahal setengah jam yang lalu ia hampir menekan tombol kirim untuk email izin sakit. Tapi suara itu—Jangan biarkan hari ini kosong—menariknya ke pintu.
Presentasi campaign berlangsung mulus. Tunjung, direktur pemasaran—nama panggilan dari Tunjungseta—mengangguk puas. Tepuk tangan. Catatan. Janji tindak lanjut. Di bawah meja, tangan Jayeng menggenggam erat, menahan gemetar kecil yang tak mau pergi. Begitu rapat selesai, ia meluncur ke kamar mandi. Membasuh wajah. Menatap mata sendiri yang lelah.
“Bertahan juga kamu, ya,” gumamnya pada bayangan sendiri.
.
Jurnal, Jalan Sunyi yang Menyelamatkan
Malamnya, alih-alih tidur, Jayeng membuka jurnal cokelat. Di halaman pertama tiga bulan lalu ada jejak tinta patah-patah, kalimat-kalimat yang seolah memintal dirinya tetap utuh. Malam ini ia menulis lagi:
“Hari ini aku bangun. Aku menyiapkan teh. Aku datang ke kantor. Aku tidak menambah kerusakan. Aku menutup pintu tanpa membanting. Aku bernapas. Itu cukup.”
Menulis adalah cara ia menghargai hal kecil. Setiap kalimat seperti mengikat perahu kecil di dermaga, agar arus pikiran tidak menyeretnya ke tengah badai. Ia menulis lagi:
“Setiap kali aku menangis tapi memilih berdiri, ada kekuatan yang tak perlu disaksikan siapa pun.”
Di pinggir halaman, ia menggambar segitiga kecil: bangun – bergerak – bernapas. Tiga kata yang sederhana, namun di hari-hari tertentu terasa seperti mendaki bukit dengan ransel batu.
.
Kedai Kopi Larasati: Ruang Tenang untuk Jiwa Letih
Beberapa minggu kemudian, Jayeng kembali ke Larasati Brew, kedai kopi di pojok Tebet yang dulu menjadi tempatnya melahirkan ide. Ia duduk di dekat jendela. Laptop menunggu, jurnal terbuka. Di luar, jalanan basah oleh gerimis; MRT melintas di kejauhan, memantulkan lampu sore.
“Americano, Mas?” tanya barista yang dipanggil Madi—pendek dari Umar Madi.
“Seperti biasa, Mad.”
Kedai ramai oleh rapat kecil, kuliah daring, dan tawa yang terkurung earphone. Di tengah keramaian itu, Jayeng merasakan tenang yang rapuh. Tidak menggebu seperti dahulu, tetapi hangat seperti udara dari cangkir. Ia menulis:
“Kemenangan sejati tidak perlu panggung. Ia cukup diketahui dada sendiri dan Tuhan. Kadang dirayakan dengan secangkir kopi.”
Maya tiba-tiba muncul, melambaikan tangan. “Aku duduk sebentar, ya?”
“Duduk.”
“Boleh jujur?” Maya menarik nafas. “Aku senang lihat kamu duduk di sini lagi.”
Jayeng mengangkat alis. “Lho, kok kamu tahu aku… ‘tidak di sini’?”
“Orang yang hilang biasanya meninggalkan ruang kosong. Ruang itu terasa. Kamu punya ruang di tim ini, Jayeng.”
Ia tersenyum singkat. “Aku sedang belajar pulang.”
Maya mengangsurkan business card kecil. “Aku juga mau kasih ini. Kontak psikolog yang baik—namanya Kelas, panggilan untuk Kelaswara. Kalau kamu merasa perlu. Tidak sekarang pun tak apa.”
Kertas itu Jayeng lipat, diselipkan ke jurnal. Gerimis di luar menipis. Di dada, sesuatu terasa melonggar, seperti tali yang selama ini terlalu kencang.
.
Terapi yang Tidak Menghakimi
Seminggu kemudian, Jayeng menatap dinding krem ruang praktik Kelas. Aroma kayu. Kursi yang empuk. Tidak ada asesoris motivasional, tidak ada poster “You can do it.” Hanya jam kecil yang berdetak pelan.
“Apa yang paling berat dari pagi-pagi Anda?” tanya Kelas.
“Menemukan alasan yang cukup logis untuk membuka mata.”
“Kalau bukan logis?” Kelas mencondongkan badan sedikit.
“Kalau bukan logis…” Jayeng menghela napas, “mungkin karena aku tidak mau membuat kekacauan baru.”
“Menarik. Jadi Anda bangun bukan untuk membuktikan apa-apa, bukan untuk dunia. Anda bangun untuk tidak menambah kerusakan.”
Jayeng menoleh. “Kedengarannya kecil sekali.”
“Kecil dan penting.” Kelas tersenyum halus. “Di hidup yang berguncang, hal-hal kecil adalah jangkar.”
Sesi-sesi berikutnya mereka membicarakan ritme: jam tidur, cahaya matahari, makan yang wajar, sepuluh menit jalan kaki di Tebet Eco Park, membatasi doomscrolling. Tidak ada mukjizat, hanya kebiasaan yang ditambal-pasang. Di jurnal, Jayeng membuat kotak-kotak kecil: minum air, stretching, menulis tiga kalimat. Kotak-kotak itu perlahan tercentang—tidak selalu penuh, tapi cenderung menuju baik.
“Kadang kita tidak butuh loncatan besar,” tulisnya. “Kita butuh anak tangga yang cukup dekat.”
.
Dapur, Ibu, dan Sate Madura
Suatu malam, telepon dari ibu di Bangkalan masuk. “Kamu makan apa hari ini, Le?”
“Telur ceplok, Bu.”
“Masakanku kalah, ya.”
Mereka tertawa—tawa yang jarang, tetapi mengendurkan tepi-tepi tegang. Ibunya bercerita tentang pedagang sate di ujung gang yang masih ingat selera Jayeng kecil: bumbu agak pedas, lontong dua, jeruk nipis diperas di atas daging. Tiba-tiba wangi kayu bakar seolah menembus jarak.
“Kalau kamu sempat, pulanglah. Tidak untuk menjawab apa pun—sekadar tidur tanpa takut alarm.”
Jayeng menutup telepon dengan dada penuh. Ia menulis:
“Rumah adalah tempat di mana aku boleh diam tanpa diminta tampil.”
Akhir pekan itu, ia pulang sebentar. Menyantap sate Madura dengan bumbu kacang yang pekat dan manis yang pas. Di teras, ibu bercerita tentang hujan yang menimpa atap seng, tentang tetangga yang memanen cabai. Di kepalanya, Kencana hadir sebagai kenangan yang kini tak lagi tajam. Pahitnya masih ada, namun tidak lagi menjadi ukuran dunia.
“Yang hilang mengajarkan kita mengukur ulang yang tinggal.”
.
Kantor: Panggung yang Dikecilkan
Di NusantaraTech, ritme kerja kembali padat. Tim merancang kampanye baru: kolaborasi UMKM digital untuk memperluas pasar lewat live commerce. Jayeng lebih banyak memilih berada di belakang layar. Ia menulis script, menyusun riset, menyiapkan brief. Tunjung sempat bertanya, “Kamu yakin tidak tampil di webinar?”
“Untuk saat ini, aku memilih menata ruang suara dari belakang, Jun.”
“Baik. Pilihan yang matang.”
Pilihan untuk menciutkan panggung bukan tanda mundur bagi Jayeng. Di jurnal, ia menulis:
“Meski lampu sorot tidak menghadapku, aku tetap bekerja. Bukan semua kemenangan harus ditonton.”
Ia juga mulai membimbing seorang intern bernama Retna—nama yang ia ambil dari Retna Kencana, karakter yang ia sukai sejak kecil dari cerita Menak. Retna salah ketik, salah unggah, menangis diam-diam di pantry.
“Ret, salah itu wajar. Kita tidak sedang membangun patung, kita sedang membangun sistem. Sistem selalu punya tombol revert.”
Retna mengusap mata. “Kak Jayeng kok sabar?”
Karena seseorang pernah—dan masih—bersabar padaku, jawab Jayeng dalam hati.
.
Komunitas Sabtu: Mengajar Bukan Karena Bisa, Melainkan Karena Pernah Patah
Maya mengajak Jayeng ke komunitas kecil di Setiabudi. Mereka mengajari pekerja lepas mengatur portofolio dan pitch deck sederhana. Jayeng awalnya ragu—apakah ia cukup sehat untuk menolong orang lain?
Di kelas pertama, ia tidak bicara soal “percaya diri” atau “growth mindset.” Ia mengajak peserta menulis tiga proyek terakhir—yang gagal juga ditulis. Lalu satu pelajaran dari masing-masing. Lalu satu orang yang pantas diberi ucapan terima kasih.
“Kenapa terima kasih, Mas?” tanya seorang peserta.
“Karena ucapan terima kasih adalah cara paling sederhana untuk menyadari kita tidak sendirian.”
Di akhir sesi, ia menutup dengan kalimat pendek: “Kalau hari ini kalian datang dan duduk, itu sudah kemenangan.”
Maya menatap dari belakang, mengacungkan jempol. Kamu pulang ke panggung yang tepat—panggung kecil, panggung yang tidak melelahkanmu.
.
Hujan Besar, Malam Panjang
Jakarta suatu malam diguyur hujan besar. Jalanan tergenang. MRT penuh. Notifikasi darurat berdenting. Di Larasati Brew, lampu meredup karena genset. Orang-orang menunggu hujan reda. Jayeng menatap kaca yang penuh garis air, pikirannya merambat pada malam-malam ketika ia ingin lenyap.
Ia menulis sebuah pesan singkat di media sosial:
“Kalau kamu sedang berjuang dan tidak ada yang tahu, aku melihatmu. Kamu luar biasa.”
Balasan membanjir, DM masuk dari orang-orang yang tak ia kenal. Jayeng membaca pelan, satu per satu, tidak tergesa menjawab. Ia tidak merasa sebagai penyelamat—ia hanya ingin menjadi saksi. Terkadang saksi yang tenang lebih menolong dibanding hakim yang fasih.
Kopi mendingin. Hujan melembut. Dalam kepala, kalimat-kalimatnya kini datang tidak memaksa. Ia menulis lagi:
“Setiap pagi yang berhasil kulewati adalah bendera kecil yang kutancapkan di peta hidupku.”
.
Kencana dan Pintu yang Dibiarkan Terbuka
Suatu sore, Kencana mengirim pesan setelah berbulan-bulan tanpa kabar. “Maaf.” Hanya satu kata. Tidak ada penjelasan. Jayeng menatap layar lama—dahulu kata itu bisa melubangi dadanya. Kini, rasa itu mendatangi seperti gelombang kecil yang menyentuh pasir lalu surut.
Ia membalas: “Terima kasih.” Lalu menutup ponsel. Tidak ada pidato, tidak ada daftar kesalahan, tidak ada janji. Sebab beberapa pintu tidak seharusnya dibanting; cukup dibiarkan terbuka agar angin lewat tanpa gaduh.
Di jurnal, ia menulis: “Maaf adalah release, bukan rewind.”
.
Hari Ketika Tidak Ada yang Dramatis Terjadi
Ada hari-hari ketika tidak ada yang dramatis terjadi. Jayeng bangun pukul tujuh, menyeduh teh, mengontak vendor, memeriksa naskah, berjalan sepuluh menit di Tebet Eco Park, call sebentar dengan ibu, tertawa dengan Retna, mengetik pesan untuk komunitas Sabtu, mematikan lampu sebelum tengah malam.
Tidak ada piala. Tidak ada sorak-sorai. Tidak ada unggahan yang viral. Namun di badan, satu ketenangan baru seperti menetas. Ia menulis:
“Barangkali ini yang kusebut hidup pulih. Bukan hidup yang hebat, hanya hidup yang kembali punya ritme.”
.
Upacara Kecil di Dalam Dada
Suatu pagi, Jayeng berhenti di jembatan penyeberangan dekat Stasiun Tebet. Matahari muncul malu-malu dari balik gedung. Orang-orang melintas dengan langkah yang memadatkan jam kota. Ia mengeluarkan jurnal, menulis kalimat pembuka yang dulu memulai semuanya:
“Kemenangan paling berharga adalah yang tak pernah diumumkan. Yang kau perjuangkan dalam sepi, yang hanya kau dan Tuhan yang tahu.”
Ia merapikan ransel, menyeberang, dan tersenyum pada dirinya sendiri—senyum yang tidak butuh saksi. Hanya ada upacara kecil di dalam dada: terima kasih karena tidak menyerah kemarin; mari coba lagi hari ini.
Dan pada akhirnya, ia sampai pada kalimat yang tak lagi membuatnya gemetar:
“Terkadang, keberanian terbesar adalah sekadar bangun di pagi hari, tersenyum, dan mencoba lagi—tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang tepuk tangan. Dan itu sudah cukup.”
.
.
.
Jember, 3 Juli 2025
.
.
#KemenanganYangTakTerlihat #MentalHealthAwareness #KisahUrban #Jakarta #Resilience #SelfHealing #KompasMingguVibes #MenakMadura
.
Kutipan pull-quote
-
“Yang paling sering menyelamatkanku bukan motivasi, melainkan kebiasaan kecil yang kutepati dalam diam.”
-
“Maaf adalah release, bukan rewind—agar langkah hari ini tak diseret kemarin.”
-
“Tidak semua luka harus dimenangkan di medan perang; sebagian cukup di meja makan, di cangkir teh yang kau habiskan sampai dingin.”
-
“Panggung terbesar ternyata di dalam dada; penonton terbaik adalah nurani yang jujur.”