Jejak yang Tertinggal — Sasmitaning Laku

“Kehadiran adalah bisikan lembut yang sering kita abaikan, hingga keheningan mengajarkan betapa riuhnya arti kehilangan.”

“Kehadiran sejati tak diukur dari seberapa lama, melainkan seberapa dalam ia meninggalkan arti.”

.

Kota yang Tak Pernah Tidur

“Keramaian kota sering kali hanya topeng, yang menutupi kesunyian paling dalam di hati manusia.”

Jakarta adalah panggung raksasa yang tidak pernah menutup tirainya. Jalanan macet bagai puisi yang terus diulang, tanpa jeda, tanpa koma. Klakson bersahutan menjadi orkestra liar, deru motor menyeruak di antara gedung kaca yang berdiri sombong. Langit metropolitan tak pernah benar-benar gelap, lampu kota menyingkirkan bintang, menyingkirkan malam.

Namun di balik segala keriuhan itu, ada ribuan hati yang justru senyap. Lampu kota menyoroti wajah-wajah yang tampak sibuk, tetapi menyembunyikan kehampaan. Jakarta berisik, tetapi batin penghuninya sering kali justru sunyi.

Menak Kertapati, seorang arsitek muda yang namanya sering muncul di majalah properti, berdiri di balkon apartemen tinggi. Dari atas sana, mobil-mobil tampak seperti semut merayap tanpa tujuan, terjebak dalam ritme lampu merah dan hijau. Semua bergerak, semua sibuk, tetapi di dadanya hanya ada ruang kosong.

Ia mulai bertanya: untuk siapa semua ini? Untuk siapa ia merancang gedung-gedung tinggi yang menjulang? Apakah untuk membuktikan eksistensi, atau sekadar menutupi kehampaan?

Kota adalah cermin ambisi manusia. Riuh di luar sering kali hanyalah topeng bagi sepi di dalam.

.

Pertemuan: Suara dari Jalanan

“Kadang kebijaksanaan terbesar lahir bukan dari buku, tapi dari bibir yang basah kuyup di bawah hujan.”

Sore itu, hujan mengguyur Menteng dengan deras. Air menetes dari pepohonan, jalan berubah menjadi cermin yang memantulkan lampu jalan. Kertapati menepi, menunggu reda.

Di seberang, seorang bapak tua penjual koran berdiri kuyup. Payung kecilnya bocor, bajunya basah, tetapi ia tetap menawarkan dagangan pada pejalan kaki yang bergegas.

“Pak, sebaiknya berteduh dulu,” kata Kertapati sambil merogoh dompet.

Bapak itu tersenyum. Senyum sederhana, bukan tanda bahagia, melainkan tanda lapang hati menerima hidup sebagaimana adanya.
“Nak, hidup ini bukan soal berteduh dari hujan. Hidup ini soal bagaimana tetap berdiri meski kuyup.”

Kalimat itu menamparnya. Ia, yang sering mengeluh karena rencana ditunda atau klien tak kunjung setuju, kini berhadapan dengan seorang renta yang masih bisa tersenyum di bawah deras hujan.

Kebijaksanaan sering datang dari mereka yang hidup sederhana. Sementara kita, yang merasa mapan, justru sering miskin pemahaman.

.

Bahagia yang Ringkih

“Bahagia yang ditopang ambisi ibarat kaca tipis; sekali terguncang, ia retak tak bersisa.”

Sejak pertemuan itu, Kertapati mulai memandang ulang hidupnya. Ia sadar betapa rapuhnya kebahagiaan yang ia kejar.

Ibunya di kampung sering menelepon, tapi panggilan itu lebih sering ia abaikan dengan alasan sibuk. Padahal suara ibu adalah doa yang menembus langit.

Sahabatnya, Kumitir, sering berkata:
“Justru karena hidup rumit, kita butuh sesuatu yang membuatnya sederhana.”

Namun kesibukan dan gengsi membuat telinganya tuli. Ia mengira bahagia ada di gedung tinggi dan kontrak miliaran. Padahal, kebahagiaan itu mudah retak.

Satu rapat gagal bisa meruntuhkan minggu. Satu klien pergi bisa menghancurkan rasa percaya diri. Seperti gedung tanpa fondasi, pencapaian yang ia bangun rapuh.

Ia teringat pitutur Jawa: “Urip iku urup.” Hidup adalah menyala. Namun nyala itu bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk menerangi sekitar. Selama ini, apinya hanya ia jaga untuk dirinya sendiri.

Bahagia bukan hasil, melainkan relasi. Bahagia rapuh bila bertumpu pada ambisi, tapi kokoh bila bertumpu pada cinta dan kepedulian.

.

Sahabat: Cermin Kejujuran

“Seorang sahabat sejati adalah cermin: memantulkan wajahmu, meski kadang yang tampak adalah retakanmu sendiri.”

Suatu malam, Kumitir menegurnya dengan nada getir.
“Pat, apa gunanya kau merancang kota indah kalau rumah hatimu sendiri hancur?”

Kertapati tercekat. Kata-kata itu seperti pisau yang membuka lapisan dalam dirinya.

“Kau bisa bangun gedung setinggi-tingginya, tapi kalau lupa membangun kehangatan, semua itu kosong. Apa kau mau dikenang sebagai arsitek besar, tapi manusia kecil?”

Belum sempat ia menjawab, kabar datang: mentornya wafat mendadak. Sosok yang dulu memberinya kesempatan pertama, yang mengajarkannya bahwa arsitektur bukan hanya soal bentuk, melainkan soal jiwa.

Ia bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih terakhir.

Kehilangan orang terkasih mengajarkan bahwa menunda kehadiran adalah bentuk kesombongan. Hidup tidak menunggu.

.

Kepergian

“Kehilangan bukan hanya ketika orang pergi, tapi juga ketika kita membiarkan waktu berlalu tanpa pernah hadir.”

Kehilangan bukan hanya ketika seseorang meninggal. Kehilangan juga berarti kesempatan yang berlalu: makan malam bersama keluarga, mendengar cerita kecil tetangga, atau sekadar menyapa satpam apartemen yang selalu ramah.

Suatu pagi, usai rapat semalam suntuk, Kertapati pulang. Apartemennya sunyi. Rak buku penuh laporan terasa dingin. Ia sadar: bukan hanya orang lain yang meninggalkannya, tapi ia sendiri yang sudah lama meninggalkan banyak hal.

Kesempatan, kehangatan, percakapan kecil—semuanya sudah hilang. Hilang tanpa bisa diulang.

Kehilangan sejati bukan ketika orang pergi, melainkan ketika kita sendiri lalai hadir.

.

Jejak di Kantor

“Bangunan bisa runtuh, tapi jejak sikap akan tetap tegak di ingatan.”

Sore itu, Anggreni, rekan juniornya, bertanya dengan polos namun menusuk:
“Mas, apa yang paling Mas takutkan? Proyek gagal atau hidup gagal?”

Kertapati tersenyum getir. “Apa bedanya?”

“Beda, Mas. Kalau proyek gagal, bisa diulang. Kalau hidup gagal… jejaknya tetap ada, sulit diperbaiki.”

Kalimat itu membuatnya terhenyak. Gedung bisa runtuh, portofolio bisa usang. Tapi jejak sikap, jejak kebaikan, akan tinggal lebih lama.

Jejak hidup lebih abadi daripada jejak karier.

.

Kota yang Menjadi Saksi

“Kota bukan hanya deru mesin dan gedung kaca; ia juga merekam langkah-langkah tulus yang jarang terlihat.”

Jakarta tetap ramai. Mall sesak, bandara hiruk, kafe penuh. Namun Kertapati mulai berjalan lebih pelan. Ia memperhatikan hal-hal kecil: pedagang kaki lima yang tetap ramah meski ditawar murah, anak-anak berlari di trotoar meski hujan, azan magrib menggema di sela gedung kaca.

Semua itu seperti kuliah kehidupan gratis. Kota mengajarkan: kehadiran sejati bukan berlari paling cepat, melainkan melangkah paling tulus.

Kehadiran adalah seni memperlambat langkah di tengah hiruk-pikuk.

.

Pameran Foto

“Potret wajah sederhana sering lebih fasih menceritakan hidup dibandingkan baliho yang megah.”

Beberapa bulan kemudian, ia menghadiri pameran foto sederhana. Potret yang dipajang bukan selebritas, melainkan wajah-wajah biasa: tukang becak, pemulung, buruh pasar.

Namun mata mereka berbicara lebih lantang daripada pidato. Senyum mereka lebih jujur daripada baliho.

Di depan salah satu foto, Kertapati berbisik lirih:
“Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.”

Air matanya jatuh. Bukan karena kehilangan cinta, melainkan karena ia hampir kehilangan hidup itu sendiri.

Dunia tidak hanya tersusun dari atom, melainkan dari cerita. Cerita orang-orang kecil adalah cermin besar bagi kemanusiaan.

.

Titik Balik

“Perubahan besar lahir dari langkah kecil yang konsisten, bukan dari revolusi yang gegabah.”

Sejak malam itu, Kertapati menulis catatan kecil setiap hari. Bukan target proyek, tapi daftar siapa yang ia temui dan bagaimana ia hadir untuk mereka.

Ia belajar menyapa satpam apartemen dengan tulus. Ia mendengarkan ibunya tanpa memotong. Ia menemani Kumitir minum kopi tanpa melirik ponsel.

Perlahan, ia menemukan kembali dirinya. Ia mengerti pepatah Jawa: “Alon-alon waton kelakon.” Perlahan asal berjalan, hadir asal tulus, itu lebih berharga daripada tergesa mengejar.

Perubahan hidup tidak dimulai dari revolusi besar, melainkan konsistensi langkah kecil.

.

Jejak yang Tertinggal

“Jejak sejati bukanlah bangunan yang menjulang, tapi kehangatan yang kita tinggalkan di hati orang lain.”

Malam hujan, trotoar basah. Kertapati berjalan pulang. Bayangannya rapuh di bawah lampu jalan. Namun kini, kesunyian tak lagi menakutkan.

Ia tahu, setiap manusia meninggalkan jejak. Ada yang meninggalkan gedung, ada yang meninggalkan nama, ada yang meninggalkan cerita.

Namun yang paling abadi adalah jejak kemanusiaan: bagaimana kita hadir bagi orang lain.

Jakarta tetap riuh, dunia tetap berlari. Tetapi di dalam dirinya kini ada keheningan baru yang berbisik:

“Kadang orang harus pergi, kesempatan harus hilang, atau waktu harus terlewat, agar kita belajar bahwa menghargai tidak bisa ditunda.”

.

.

.

Jember, 11 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #JejakYangTertinggal #RefleksiHidup #SastraIndonesia #CerpenKehidupan #Kehadiran #Kehilangan #UrbanStories #FilosofiHidup #InspirasiHidup

Leave a Reply