Jalan Pulang yang Tertunda

“Kota tidak pernah benar-benar tidur, hanya berganti wajah.
Di balik lampu-lampu dan hujan yang jatuh, ada hati-hati yang diam-diam belajar:
bahwa kebahagiaan bukan soal dimiliki, melainkan dipahami.”

.

Hujan di Atas Kota

Kamera imajiner menyapu langit Surabaya selepas magrib: ungu tua, disayat neon papan reklame. Hujan turun seperti garis-garis miring pada kaca gedung, memantulkan wajah kota: tua, berisik, dan tetap ingin tampak muda. Di bawahnya, jalanan basah mengilap, memantulkan lampu merah yang bersabar menahan langkah terburu. Angkot yang catnya pudar melaju, wangi gorengan dari gerobak menyeberangi trotoar, dan dari jauh terdengar sirene ambulans yang tidak pernah benar-benar berhenti.

Di halte dekat Jalan Tunjungan, seorang lelaki menyalakan kretek. Jemarinya kurus, kukunya bersih, tatapannya licin seperti permukaan hujan. Namanya Jokotole, orang kantor biasa di perusahaan ekspedisi: jagain berkas, memastikan resi tak terselip, menambal kesalahan sistem dengan kecekatan yang tak pernah tercatat di rapat bulanan. Usianya melewati tiga puluh lima; jam biologisnya lebih tua dari jam dinding ruang administrasi yang selalu terlambat lima menit.

Sarkasme adalah jaket hujan yang ia pakai tiap hari. Bukan untuk melukai, melainkan biar dirinya tetap kering. “Kalau kerja keras membuat kaya,” gumamnya, “tukang parkir di mall pasti jadi pemilik mall.” Ia tertawa pelan atas candaan yang hanya ia dengar sendiri.

Seorang perempuan duduk tanpa suara di sampingnya. Rambutnya basah, matanya menyimpan kelelahan yang rapi, seperti meja kerja yang dirapikan untuk menutupi badai. Namanya Rengganis—supervisor kreatif di sebuah agensi iklan yang sedang naik daun dan gemar menanamkan kata “viral” di setiap brief.

“Punya korek?” suaranya datar.

Jokotole menyerahkan korek. Ia tak menoleh, tapi ia tahu perempuan itu menatap garis hujan yang patah di kaca halte. “Lucu,” kata Rengganis setelah menghela. “Kota ini menyuruh orang berlari, tapi tidak memberi peta.”

“Saya biasa pakai kompas dari warung kopi,” sahut Jokotole, separuh sarkas, separuh jujur. Senyum Rengganis muncul di sudut bibirnya, tipis, seperti garis cat putih pada aspal.

Rokok pertama malam itu menjadi percakapan pertama. Mereka bicara tentang kantor. Tentang target yang menambah umur kalender tapi mengurangi umur jiwa. Tentang rapat yang menjanjikan kolaborasi tapi berakhir lomba menyelamatkan diri. Di sela percakapan, hujan mereda, dan lampu kota terasa lebih dekat.

“Orang sering menyusun skenario buruk di kepalanya seperti film seri,” ujar Rengganis, mengembus perlahan. “Padahal sembilan dari sepuluh tidak terjadi.”

Jokotole mengangkat alis. Itu kalimat yang biasa ia tulis di bagian belakang buku catatannya. “Satu dari sepuluh cukup untuk bikin kita tidak tidur,” balasnya.

Malam menutup. Bus kota datang, mengangkut sisa basa-basi yang sebenarnya tidak ingin selesai. Mereka berpisah tanpa minta nomor kontak, seperti dua payung yang bertemu di persimpangan dan saling salip.

.

Hari-hari yang Menelan

Besoknya, kota kembali menelan mereka. Di kantor ekspedisi, Wiraraja—manajer operasional yang rapi berparfum tajam—mengumumkan evaluasi triwulan. Ia menyebut tim administrasi telat input enam puluh tujuh resi, membuat barang terlambat sampai. Semua kepala menunduk. Di layar proyektor, angka-angka menyala seperti aparat yang siap menilang.

“Kita butuh mental pemilik,” kata Wiraraja. “Bukan mental karyawan.”

Jokotole ingin menjawab, “Gaji kami mental karyawan, Pak,” tapi menahan. Poday, teman satu meja yang baru punya anak dan sedang cicil motor, menyikutnya pelan. Mata Poday meminta: jangan.

Di kantor agensi, Rengganis membuka presentasi dengan suara tenang. Ia menawarkan konsep kampanye untuk produk rokok elektrik: gaya hidup futuristik yang cieng-cieng, lampu gelap, remaja yang terlihat lebih dewasa dari umurnya. Direktur agensi tersenyum. Klien bertepuk. Rengganis menutup presentasi dan merasa sesak. Dalam toilet perempuan, ia menatap wajahnya di cermin—parfum mahal, eyeliner rapi, dan rasa bersalah yang perlahan naik dari dada ke tenggorokan.

Di malam hari, mereka kembali bertemu—kali ini di warung kopi dekat terminal Joyoboyo, di mana kursi plastik miring dan wangi kopi tubruk seperti doa yang bersahaja. Tak ada yang mengatur janji. Seolah kota sendiri yang menautkan selasar mereka.

“Kalau kamu bisa ulang hidupmu, bagian mana yang ingin kamu hapus?” tanya Rengganis.

“Bagian ketika aku diam,” jawab Jokotole.

“Aku ingin menghapus bagian ketika aku terlalu berani menantang sesuatu yang seharusnya kutolak.”

Mereka tertawa kecil, bukan karena lucu, melainkan karena terdengar bodoh mengakui hal memberi luka.

.

Asal-usul Senyap

Jokotole lahir di Pamekasan. Ibunya membuka warung di teras rumah, ayahnya meninggal ketika Jokotole baru masuk SMA. Ia pindah ke Surabaya karena jembatan Suramadu terasa seperti pintu harapan—betapapun harapan sering lebih ringan di kepala daripada di dompet.

Ia pernah mencintai seseorang: Samba—teman SMP yang menulis puisi di belakang buku pelajaran. Mereka saling kirim salam lewat gubuk telepon umum, tertawa karena koinnya selalu kurang sepuluh detik. Lalu Samba pergi kuliah ke Malang, menikah dengan laki-laki yang menyayanginya, dan sekarang punya dua anak yang gemar mengenakan seragam pramuka di hari Rabu. Jokotole tak pernah mengatakannya cinta. Sejak itu ia belajar menaruh perasaan di laci meja, di antara map-map arsip yang diberi label rapi.

Rengganis dibesarkan di Sumenep. Ia punya seorang putra, Adi, kini kelas tiga SD. Ayah Adi pergi karena hutang judinya lebih setia daripada janji pernikahan. Adi kini tinggal bersama neneknya di kampung. Rengganis bekerja di kota, mengirim uang saban awal bulan, menelpon lewat video call jika sinyal kampung murah hati.

“Kalau rindu terlalu lama, dia belajar menjadi patuh,” kata Rengganis suatu malam. “Patuh mengalah, patuh bekerja, patuh melupakan.”

Jokotole menatap lengkungan bibirnya. Ia ingin bilang: “Kamu tidak sendiri.” Tapi lidahnya memilih diam, seperti biasa.

.

Panggung Blame Game

Kerusakan pada sistem input resi membuat pengiriman tertahan. Di ruang rapat, Wiraraja berkeliling seperti komandan perang. Ia memegang daftar nama, menunjuk siapa harus menanggung apa. “Kamu tanggung empat resi,” katanya ke Poday. “Kamu dua. Kamu lima.” Ketika gilirannya, Jokotole memilih menanggung lebih. “Biar saya sepuluh, Pak.”

Poday memandang kaget. Wiraraja mengangguk puas, seperti hakim menemukan terdakwa ideal. Dalam hati, Jokotole sadar: kadang menyelamatkan orang lain adalah cara menyelamatkan diri sendiri dari muara penyesalan yang lebih besar. Ia tahu Poday sedang pusing menebus tagihan rumah sakit anaknya. Ia tahu pula bahwa kesalahan di kantor lebih suka menempel pada orang yang paling tidak punya kesempatan membela.

“Manusia sering menyalahkan orang lain atas kegagalan, tapi cepat mengklaim keberhasilan sebagai miliknya,” tulisnya malam itu di buku catatan.

Di sisi lain kota, Rengganis menerima brief revisi untuk rokok elektrik. “Targetkan anak kuliahan. Tunjukkan mereka ‘berani beda’,” ujar klien. Rengganis menatap layar kosong selama sepuluh menit, lalu mematikan komputer. Di tangga darurat, ia duduk dan menangis pertama kali dalam setahun.

“Kenapa menangis?” tanya Lasem, rekan kerjanya, yang diam-diam menyukai Rengganis.
“Karena aku tahu ini salah, tapi aku juga tahu kalau menolak berarti aku kehilangan pekerjaan.”
“Semua orang melakukan itu.”
“Justru itu masalahnya.”

.

Kota Habis Listrik

Suatu malam, kota padam. Listrik mati hampir di seluruh Surabaya akibat gardu meledak di sisi barat. Gelap tak biasa merangkul gedung tinggi, membuat lampu darurat terasa seperti kunang-kunang tersesat. Di gang sempit, anak-anak tertawa mengejar cahaya ponsel orang dewasa. Di apartemen mewah, orang-orang memotret gelap dan memberi caption puitis.

Jokotole berjalan dari kosnya ke tepi Kali Mas. Tanpa lampu, suara air lebih jelas; bau lumpur bagai masa kecil. Di ujung jembatan kayu, ia menemukan Rengganis. Mereka duduk membagi biskuit dari minimarket yang menerima pembayaran tunai.

“Kalau dunia gelap,” kata Rengganis, “orang baru ingat untuk menengadah.”

Gemuruh di perut langit seperti suara yang dilupakan. Mereka bercerita tentang masa kecil: Rengganis mengingat bau daun jambu di halaman sekolah; Jokotole mengingat suara azan yang memantul di jalan sempit. Mereka tertawa ketika Rengganis berkata, “Aku dulu pernah jadi juara lomba baca puisi. Lucu, ya. Sekarang aku dibayar untuk menulis kalimat yang membuat orang ingin merokok.”

Dalam gelap, mereka tampak jujur. Di antara suara air, Jokotole mengakui: “Aku jarang memotret kebahagiaanku. Kupikir kalau terlalu sering dipamerkan, kebahagiaan merasa diperalat.”

Rengganis mengangguk. “Aku suka kalimat itu.”

.

Pada Suatu Brief

Pagi di agensi bagai ujian nasional. Klien besar datang. Semua orang menyiapkan presentasi setengah berlari. Rengganis tampil tenang, tapi tangannya dingin. Ia membuka slide dengan gambar seorang anak duduk di bangku kuliah, tertawa di bawah lampu neon. Teks besar: Berani Beda, Berani Jadi Diri Sendiri.

Matanya menatap huruf-huruf itu lama. Lalu sesuatu dalam dirinya memutus. Ia menutup laptop.

“Maaf,” katanya, suaranya lirih tapi jelas. “Saya tidak bisa menjual ini.” Ruangan menjadi dingin yang bukan dari pendingin. “Saya minta maaf. Saya mundur dari proyek ini.”

Direktur agensi mengatup bibir. Klien menatap seperti melihat pelayan menumpahkan sup di gaun pesta. Rengganis berjalan keluar. Di lobi, Lasem menyusul.

“Kamu gila,” katanya, setengah kagum, setengah ngeri.
“Mungkin.”
“Terus, kamu mau makan apa bulan depan?”
“Entah. Tapi aku tidak ingin anakku mencontoh keberanianku yang salah.”

Rengganis menulis surat pengunduran diri malam itu. Ia mengirimkannya lewat email, menyalin ke flashdisk, dan menempel di pintu lemari dengan magnet kulkas—seolah dunia perlu bukti tiga lapis bahwa keberanian pernah diambil dengan sadar.

.

Pesan Singkat dari Timur

Dua hari setelahnya, Ibu menelpon dari Sumenep. Suaranya pelan, seperti kain yang sudah dicuci berkali-kali. “Rengganis, Adi demam. Dia minta ibunya.”

Di halte yang dulu jadi pertemuan, Rengganis mengirim pesan ke Jokotole: Aku harus pulang. Kalau semesta mengizinkan, kita bertemu lagi.

Jokotole membaca pesan itu berkali-kali. Ia mengetik, menghapus, mengetik lagi. Akhirnya, ia hanya menjawab: Jalan pelan. Hujan di Surabaya tidak selalu ramah.

Rengganis menyeberang jembatan Suramadu dengan bus malam. Lampu kota tertinggal di belakang seperti barisan kunang-kunang yang putus asa. Di kursi sempit, ia memeluk tas ransel, membayangkan Adi yang demam memanggil namanya. Ada rasa bersalah—atas absen malam-malam, atas kotak bekal yang sering dikirim lewat travel, atas cerita sekolah yang hanya ia dengar lewat telepon.

Maaf, Nak, bisiknya dalam hati. Ibuk belajar menjadi berani dengan cara yang tidak selalu benar, tapi aku sedang mencoba.

.

Gudang, Api, dan Nama yang Tidak Ditulis

Di kantor ekspedisi, sistem kembali bermasalah. Gudang barat overload. Di sore yang pengap, api menyala dari sudut kabel listrik yang lelah. Asap mulai menebal, orang-orang berteriak, petugas gudang panik mencari pemadam. Poday terjebak di ujung lorong—di belakangnya, tumpukan kardus seperti tembok rapuh.

Jokotole berlari masuk tanpa helm, tanpa rencana. Ia merobohkan tumpukan kardus, menarik Poday yang batuk-batuk, menendang pintu darurat yang macet. Dari luar, orang merekam dengan ponsel: dua siluet lelaki melawan dinding asap. Sirene datang terlambat; api padam; berita singkat beredar di grup RT dan akun gosip lokal. “Pria misterius selamatkan rekan kerja dari kebakaran gudang,” tulis judul-judul yang cepat bosan.

Wiraraja tampil di televisi lokal sebagai juru bicara. “Ini kerja tim yang solid,” ucapnya. Nama Jokotole tidak disebut; nama Poday hanya muncul di catatan medis.

Di kos, Jokotole menempelkan kompres air hangat di lengan yang melepuh ringan. Ia menatap ponsel yang sibuk bergetar. Ada video dirinya beredar, wajahnya tidak terlalu jelas. Teman-teman kantor mengirim emoji jempol. Ia mematikan ponsel. “Saat kamu benar-benar bahagia, kamu tidak merasa perlu menunjukkannya di media sosial,” tulisnya di buku catatan, garisnya miring karena tangan bergetar.

Keesokan hari, Poday datang membawa sekotak nasi bebek dan matanya yang merah. “Aku utang nyawa,” katanya.
“Kita utang nasi bebek saja,” sahut Jokotole. “Nyawa urusan Tuhan.”

.

Madura: Rumah yang Mengajari Sunyi

Di Sumenep, Rengganis tiba sebelum subuh. Udara asin dari laut menyelinap ke halaman rumah. Adi terlelap di dipan bambu, keningnya hangat tapi napasnya teratur. Ibu duduk di ujung dipan, tasbihnya bergerak pelan.

“Demamnya turun,” kata Ibu. “Dia mimpi ketemu kamu.”

Rengganis mencium rambut anaknya. Di pagi yang sedang lahir itu, ia mengambil keputusan yang tidak ada di daftar rencana: tinggal lebih lama. Ia membantu Ibu di dapur, mengantar Adi ke sekolah, dan di sore hari menulis—bukan iklan, melainkan cerita-cerita kecil tentang kampung, tentang perahu nelayan yang tampak seperti garis pensil di bibir horison, tentang bau lamun yang menempel di tapak kaki anak-anak.

Ia menulis di buku tulis murah, menyalinnya ke laptop pinjaman sepupu, mengirimkannya ke alamat email redaksi yang ia temukan lewat pencarian malam-malam. Beberapa minggu kemudian, satu cerpen dimuat di media lokal. Honornya tidak besar. Tapi ia merasa sedang pulang ke dirinya sendiri—pelan, seperti langkah orang yang habis sakit.

Ia tidak mengirim kabar ke Jokotole. Bukan karena lupa. Bukan karena tak ingin. Hanya karena ia belum punya sesuatu untuk dikatakan yang tidak akan menambah beban. Di kota, ia pernah belajar: kadang diam bukan mengakhiri, melainkan memberi waktu tumbuh.

.

Surat yang Tak Pernah Dikirim

Jokotole menulis surat setiap akhir pekan. Surat-surat itu tidak dikirim. Ia menulis tentang gudang yang sudah dicat ulang, tentang Wiraraja yang tiba-tiba jadi ramah, tentang Poday yang kini semangat ikut pelatihan keselamatan kerja. Ia menulis tentang kebiasaan barunya: berjalan tanpa tujuan selepas jam kantor, menyapa tukang parkir, menghafal wajah pedagang kopi yang selalu memercik tawa pada gelas plastik.

“Rengganis,” tulisnya dalam satu surat, “kota ini tetap berisik. Tapi aku mulai mendengar musiknya. Mungkin kebahagiaan semacam ini tidak punya bentuk untuk difoto. Ia lebih seperti angin yang lewat ketika kita membuka jendela.”

Ia kembali ke halte yang dulu mempertemukan, kadang menunggu tanpa alasan. Hujan beberapa kali datang, tapi Rengganis tidak. Ia belajar membiarkan ruang kosong tetap kosong, dan merawat harap seperti merawat tanaman yang tak disiram terlalu sering.

.

Yang Gagal Menjadi Bintang

Beberapa bulan berlalu. Video penyelamatan di gudang masih sesekali muncul sebagai “kenangan setahun lalu” di ponsel orang lain. Perusahaan menyelenggarakan acara penghargaan internal. Wiraraja berdiri di panggung, menyebut “ketangguhan tim”, memperlihatkan potongan video yang buram. Semua tepuk tangan. Jokotole duduk paling belakang, memegang gelas air mineral, tertawa kecil pada dirinya sendiri. Ia tahu: bintang panggung kadang adalah orang yang paling mahir memasang cermin.

“Orang yang sering menggunakan sarkasme biasanya punya pola pikir yang tajam dan otak yang sehat,” catatnya lalu, menertawakan sisi dirinya yang masih suka bersembunyi.

Di luar gedung acara, malam Surabaya kembali tenang. Angin membawa suara jauh dari jembatan Suramadu—deru yang mengingatkan bahwa ada pulau lain, rumah lain, kemungkinan lain.

.

Pertemuan yang Tidak Dramatis

Suatu sore, di warung soto dekat Pasar Genteng, Jokotole melihat seorang perempuan membeli kerupuk udang tambahan. Rambutnya diikat, wajahnya lebih lega, matanya tetap tajam. Rengganis. Ia datang tanpa musik latar, tanpa pelukan, tanpa adegan pelan. Hanya “hei” yang hangat, dan mangkuk soto yang segera mereka bagi.

“Aku tinggal beberapa bulan di Sumenep,” katanya. “Aku menulis.”
“Selamat. Itu lebih dari apa yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri,” jawab Jokotole.
“Kamu juga menulis,” sahut Rengganis, melirik buku catatan di saku kemeja Jokotole.
“Beda. Aku menulis untuk tidak meledak.”

Mereka tertawa. Lalu hening yang tidak canggung. Ada topik tentang Adi yang kini suka menggambar perahu. Ada cerita tentang Ibu yang ingin membuka warung kopi kecil di halaman rumah. Ada kabar tentang Lasem yang mendapat promosi dan mengirim pesan lucu: “Dunia ini memang aneh. Yang paling galau yang naik jabatan.”

“Aku mungkin akan bolak-balik Surabaya–Sumenep,” kata Rengganis. “Ada peluang kolom mingguan di media lokal. Tapi aku perlu kerja sambilan di kota, mungkin jadi penulis lepas.”
“Di gudang kami butuh orang yang bisa menulis SOP,” sahut Jokotole, separuh bercanda.
“Menulis SOP mungkin lebih jujur daripada menulis iklan rokok,” jawab Rengganis.

Mereka menyelesaikan soto. Matahari jatuh pelan di balik gedung bank. Tak ada janji besar. Hanya rencana kecil: bertemu lagi minggu depan di tempat yang sama, kalau tidak ada hujan badai kehidupan.

.

Apa yang Tinggal Setelah Semua Pergi

Langkah paling sulit dalam hidup bukanlah berlari, melainkan tinggal. Tinggal di masa kini tanpa dihantui penyesalan dan kemungkinan. Jokotole memutuskan tinggal—di kota yang sama, di pekerjaan yang sama, tapi dengan cara yang tidak lagi sama. Ia menulis prosedur keselamatan kerja yang lebih manusiawi, mengusulkan jadwal lembur dibatasi, memperkenalkan kebiasaan “teh sore” agar orang tidak lupa tertawa.

“Bukan aku yang hebat,” katanya kepada Poday. “Aku hanya takut kalau suatu kali ada api lagi, kita tidak punya cerita baik untuk diceritakan.”

Rengganis juga tinggal—tinggal dalam ritme yang ia pilih: menyeberang ketika perlu, menepi ketika perlu. Ia mengirim naskah ke beberapa media, beberapa ditolak, beberapa dimuat. Ia mengajar kelas menulis di perpustakaan kecil dekat Kembang Jepun, mengajak anak-anak menulis cerita tentang kucing yang tidak bisa mengeong atau perahu yang ingin punya sayap.

Suatu malam, mereka berjalan di tepi Kalimas. Angin laut menampar lembut; lampu jembatan berkilau seperti kalung yang dipinjamkan kota untuk pesta sederhana. Rengganis berkata, “Aku masih takut, Jokotole. Takut miskin, takut gagal, takut anakku tak bangga.”
“Takut itu bensin,” jawab Jokotole. “Tapi jangan kamu minum. Cukup kamu taruh di tangki.”

Mereka tertawa, tertahan. Rengganis menoleh, wajahnya tenang. “Kamu membacaku baik, tapi kamu jarang mengekspresikan dirimu.”
“Itu penyakit lama,” sahut Jokotole. “Barangkali itu sebabnya aku bertahan.”

.

Yang Diberi dan Yang Tidak Diminta

Pada hari ulang tahun Adi, mereka video call dari tepi sungai. Adi meniup lilin di dapur, Ibu tertawa sambil membetulkan kamera. “Kapan kamu pulang, Nduk?” tanya Ibu.
“Sebentar lagi,” jawab Rengganis.
“Bawa temanmu,” kata Ibu, menggoda. Rengganis melirik Jokotole. Mereka berdua terpeleset dalam senyum yang sama-sama malu.

Malam itu, Rengganis menulis sebuah kalimat untuk dirinya sendiri: “Bahagia itu ketika kamu bisa menari dengan takutmu tanpa menyuruh orang lain melihat.” Ia menutup laptop tanpa berniat mengunggahnya. Dalam diam, ia memberi ruang untuk rasa yang tidak perlu diberi nama.

.

Jalan Pulang yang Tertunda

Musim hujan datang lagi. Kota seperti mengulang adegan lama: aspal mengilap, jas hujan warna-warni, nelangsa yang wajar. Di halte yang dulu mempertemukan, Jokotole dan Rengganis duduk memerhatikan kaca yang digores garis air. Mereka tidak lagi mencari kata-kata besar. Mereka belajar menyukai jeda.

“Aku kira dulu kebahagiaan itu tangan yang selalu menggenggam,” kata Rengganis. “Ternyata ia juga bisa berupa bahu yang siap longgar.”

Jokotole mengangguk. “Aku kira dulu pulang itu rumah dengan pagar. Ternyata pulang adalah orang yang mau duduk bersamamu melihat hujan sampai reda.”

“Jangan takut terlihat biasa,” kata Rengganis pelan. “Yang penting kita tidak berhenti menjadi manusia.”

Malam itu, mereka berpisah setelah hujan berubah gerimis. Tidak ada janji menikah atau rencana besar. Ada sesuatu yang lebih dewasa dari itu: kesediaan untuk menemani, untuk saling menjaga agar tidak tergelincir menjadi versi buruk diri sendiri.

Kamera imajiner menutup dengan gambar kota: lampu jembatan menyerupai doa, trotoar yang mengering, dan dua bayangan berjalan ke arah berbeda tapi dengan arah pulang yang sama—ke diri masing-masing.

.

Catatan-catatan Sunyi (Dari Buku Jokotole)

  1. “Keberanian tidak selalu lantang. Kadang ia datang sebagai bisik: ‘Besok coba lagi.’”

  2. “Kita tidak harus menang di panggung. Menanglah di ruang ganti: pada jam tidur, pada cara kita memaafkan.”

  3. “Jika kau ingin menjadi cahaya, jangan takut menjadi kecil. Kecil itu dekat.”

  4. “Bahagia lebih ringan ketika tak dipamerkan. Seperti angin, ia ada karena terasa.”

Catatan-catatan Angin (Dari Buku Rengganis)

  1. “Jangan setia pada pekerjaan yang mengkhianati kemanusiaanmu.”

  2. “Anak-anak meniru lebih cepat dari membaca; jadilah kalimat yang patut ditiru.”

  3. “Sebuah kota besar bukan tempat hilang; ia tempat kita diuji. Yang pulang tidak selalu yang paling gagah, tapi yang paling jujur.”

.

.

.

Jember, 5 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #GayaKompasMinggu #SurabayaStories #Jokotole #Rengganis #KehidupanUrban #CeritaMengharubiru #RefleksiHidup #MenakMaduraAdaptation

Leave a Reply