Jalan Pulang ke Dalam Diri: Cerita tentang Jeda
“Kadang yang kita cari bukanlah jawaban, melainkan keberanian untuk menekan tombol jeda—agar detak kita terdengar lagi oleh diri sendiri.”
“Terkadang, kita tidak sedang lelah dengan dunia. Kita hanya lupa bagaimana caranya duduk diam dan mendengarkan hati sendiri.”
.
Aku mulai dari pagi yang tidak punya janji selain bunyi roda besi menggisik rel, bau logam yang bercampur dengan parfum murah dari tubuh-tubuh yang berdempetan, dan langit Jakarta yang, seperti biasa, memilih kelabu agar tak usah berdebat dengan siapa pun. Senin, pukul 06.28, Commuter Line jurusan Bogor–Tanah Abang—yang akan menurunkanku di Sudirman—menggulung hari seperti pita kaset lama: bergeser pelan, berderit, tapi terus berjalan.
Namaku Keira, 31, manajer pemasaran di sebuah startup teknologi edukasi yang baru saja menutup pendanaan seri A. Di atas kertas, hidupku rapi: apartemen kecil di Tebet, dapur mungil berisi biji kopi single origin, lemari dengan palet krem–sage–navy yang memudahkan pagi, jadwal jogging Sabtu di Tebet Eco Park, menonton film dokumenter tiap Minggu malam. Di rak buku: strategi brand, komunikasi pemasaran, antropologi konsumen, dan tumpukan buku pengembangan diri yang selalu mengajarkan cara menjadi versi terbaik, tercerdas, tercepat. Rapi, tepat, terukur. Sampai suatu hari, semua itu terdengar seperti pengulangan tanpa emosi.
Di pangkuanku, tas laptop. Di tangan, ponsel yang berkedip-kedip seperti mercusuar kecil: Slack—5 mention, email—13 unread, WhatsApp—“Zoom dimajukan, tolong hadir ya,” Trello—“due tomorrow,” dan notifikasi media sosial yang memantul-mantul seperti batu kecil di permukaan danau yang tenang. Yang tenang—atau sebenarnya hanya tampak tenang?
Aku menatap diriku di pantulan kaca jendela gerbong: rambut dikuncir rapi, wajah polos tanpa rias, setelan blazer krem yang mirip hari kemarin, dan kemarin lusa. Di balik semua itu, ada rongga. Kosong yang bukan sedih, bukan marah—hanya semacam ruang yang lupa kucapai.
Di stasiun, aku bertemu di gerbang dengan Joko—orang-orang memanggilnya Jokotole, kurir yang sesekali membantu tim kami mengantar paket materi promosi. “Pagi, Kak,” sapanya sambil mengangkat helm. “Jakarta kayaknya lagi nahan napas, ya.”
Aku tersenyum tipis. “Mungkin kita semua.”
“Kalau napas disimpen sendiri, bisa-bisa meletus, Kak,” katanya sambil tertawa, lalu melesat di antara motor-motor yang menunggu lampu hijau. Entah kenapa, kata-katanya tertinggal di telingaku lebih lama daripada klakson.
Di kantor, Adipati—atasanku—sudah menunggu di ruang rapat dengan kemeja biru yang tidak pernah kusut. “Keira,” katanya datar, “kampanye kuartal depan butuh lompatan. Investor minta sinyal kuat: skala. Lebih besar, lebih cepat.”
Aku membuka slide yang semalam kurapikan. “Aku pikir,” kataku, “kita butuh berhenti sebentar untuk mendengar murid-murid kita. Apa yang sebenarnya mereka takutkan? Apa yang membuat mereka bangga?”
“Keira,” potongnya, “pasar tidak menunggu. Kita perlu ‘wow’. Bikin orang berlari.”
“Apa gunanya berlari,” gumamku tak sengaja, “kalau semua orang lupa tujuan?”
Adipati memijit batang hidungnya. “Fokus pada deliverable. Kita bahas lagi sore.”
Sore yang dimaksud mengalir tanpa rasa. Aku menatap papan timeline, sticky notes warna-warni, kosakata yang mengilap: referral, retention, virality, conversion. Semua benar, semua penting. Namun entah kenapa, rasanya seperti menonton diriku sendiri dari balik akuarium.
Saat makan siang, aku mengendap ke balkon kecil. Kupandangi peta digital di ponsel: garis-garis jalan saling menyeberang seperti urat-urat kota yang terlalu letih membawa beban, ikon-ikon restoran, titik-titik hijau taman yang tampak kecil seperti koin. Jemariku menggeser layar tanpa niat sampai berhenti di satu nama: Wonosobo. Bukan kota yang sedang “naik daun” di Instagram. Tidak sedang trending. Tidak punya musim festival yang dirayakan media.
Aku menatapnya lama, seperti menatap wajah lama yang hampir lupa namanya. Lalu—aneh dan tiba-tiba—aku memesan tiket kereta. Perjalanan tiga hari. Penginapan kayu sederhana di lereng Dieng dengan foto beranda menghadap kabut. Tanpa itinerary. Tanpa alasan selain kalimat yang berbisik di tubuhku: jeda.
.
Di email, aku mengajukan cuti singkat. “Butuh observasi lapangan untuk kampanye berbasis budaya lokal,” tulisku. Separuh benar, separuh pura-pura berani. Adipati membalas singkat: “Oke, asal presentasi awal tetap jalan. Minggu depan.”
Joko mengirim pesan: “Kak Keira ke mana? Perlu dibantu antar sesuatu?” Aku membalas emotikon daun dan kopi. Dia tertawa via chat: “Jeda juga butuh logistik.”
Kereta meluncur meninggalkan Jakarta. Aku menatap jendela: gudang-gudang tua, kampung yang menempel di rel seperti menempel pada ritme yang lebih besar, pasar kaget, gundukan sampah yang entah milik siapa, iklan kursus jarak jauh yang menjanjikan pekerjaan tetap dan kebahagiaan. Lalu sawah anehnya muncul—seperti layar diregangkan: hijau, sempit, lalu hilang lagi ditelan beton.
Wonosobo menyambut dengan sejuk yang tak menggurui. Jalanannya bukan sempurna, tapi ramah. Angkot-angkot tua berwarna cerah melewati kios-kios bunga, kios kaset lawas, warung dengan kursi panjang kayu yang mengundang duduk. Aku turun di depan penginapan: dindingnya anyaman bambu, pintunya kayu pinus dengan cat yang sudah pudar. Di beranda, meja sederhana dengan bekas gelas yang meninggalkan lingkar. Aku meletakkan tas, duduk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sulit kusebutkan, tidak melakukan apa-apa.
Malam datang seperti orang tua yang paham cara mengetuk pelan. Bintang-bintang muncul, bukan spektakuler, tapi cukuplah untuk mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari notifikasi. Di warung dekat penginapan, seorang perempuan tua menyeduhkan kopi. Namanya Siti, katanya, sambil menuang air panas ke gelas kaca.
“Kamu dari Jakarta?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Jakarta itu seperti anak yang berlari terlalu cepat,” katanya, “kadang lupa memeluk ibunya.”
Aku tertawa pendek. “Ibu siapa?”
Siti menunjuk dadaku. “Yang di sini.”
Ia merogoh rak kayu dan mengeluarkan buku tipis berbahasa Jawa. Huruf-hurufnya seperti berdesir, cantik, tapi tidak seluruhnya kupahami. Siti membacakan satu kalimat: “Urip kuwi ora mung kudu metu omah, ning kudu mlebu omah atimu dhewe.” Hidup bukan hanya keluar rumah, tapi masuk ke rumah hatimu sendiri.
Kalimat itu tinggal di telingaku lama sekali. Lebih lama dari lagu-lagu yang sengaja kita putar untuk pura-pura lupa.
Keesokan paginya aku berjalan ke kebun kentang. Udara menggigit halus, tangan-tangan petani bekerja tanpa tergesa, suara cangkul menyentuh tanah seperti metronom. Ada seorang anak laki-laki—Ranggalawe, katanya—yang berlari membawa bekal untuk ayahnya. “Mbak dari kota?” tanyanya.
“Ya.”
“Kota capek ga?” Ia mengucapkannya seperti bertanya apakah langit bisa makan nasi.
“Kota capek,” jawabku, “kita juga.”
“Kalau capek, duduk,” katanya sambil menunjuk batu datar di dekat pematang. “Bapak bilang, capek itu tanda butuh duduk, bukan tanda kalah.”
Aku duduk. Kami makan pisang rebus dan minum teh gula batu dari botol kaca yang sudah baret. Angin membawa bau tanah dan sedikit suara ayam dari kejauhan. Aku membuka laptop, menulis kata-kata yang tak pernah sempat kutulis di kantor: kampanye yang menempatkan murid-murid sebagai pusat, bukan sekadar angka. Kita ajak sekolah-sekolah kecil di kota-kota kecil membuat kelas kolaboratif. Kita rekam cerita orang tua yang gelisah dengan dunia digital tapi ingin belajar bersama anaknya. Kita biayai pelatihan tutor lokal. Kita pilih bahasa yang pelan, bukan bombastis. Ini bukan kampanye yang membuat orang berlari; ini kampanye yang mengajak orang duduk bersama, lalu berjalan.
Email masuk: “Brief dari klien dimajukan. Zoom besok pagi. Mohon hadir. Urgent.”
Aku menatap layar lama. Bukan karena takut; lebih karena aku tahu, keputusan yang kuambil adalah semacam garis yang tak bisa diloncati seenaknya. Aku menulis balasan: “Saya sedang di perjalanan pribadi untuk reset. Saya akan kirim outline ide dan draf presentasi malam ini. Namun saya tidak akan hadir di Zoom. Saya percaya tim bisa membawanya dengan baik.”
Kukirim. Lalu kumatikan notifikasi satu per satu. Ruang jadi sunyi, dan sunyi itu ternyata tidak menakutkan. Bahkan, seperti menyodorkan tangan untuk berkenalan: Halo, aku dirimu yang dulu suka menulis puisi pendek di belakang buku matematika.
Malam itu, di beranda, Siti duduk di sebelahku. Kami tidak banyak bicara. Ia menatap bintang, aku menatap gelap. “Kadang,” katanya pelan, “kita takut kehilangan posisi. Padahal posisi paling aman itu duduk di dalam diri sendiri.”
Aku mengangguk. “Aku sedang belajar.”
“Belajar itu bukan lomba,” katanya, senyumnya menua sekaligus abadi. “Belajar itu pulang.”
.
Tiga hari yang tidak kurencanakan terasa seperti tiga musim. Pagi-pagi aku bangun tanpa alarm. Siang aku membaca buku yang bukan soal marketing. Sore aku menuliskan hal-hal yang dulu kutertawakan sebagai ‘terlalu puitis’: catatan tentang bau tanah basah, tentang cara kabut menyentuh bahu bukit, tentang mata anak yang tertawa tanpa pamer. Malam aku menyalakan lampu kuning kecil, memikirkan bagaimana caranya meminjam ritme desa ke dalam kampanye kota.
Sebelum tidur malam terakhir, aku mengirim draf presentasi ke Adipati dan tim: “Program Jeda: Kelas-kelas kecil di gang dan gang kecil di kelas.” Ada strategi, ada anggaran, ada timeline. Tapi yang kuberikan lebih banyak adalah alasan—mengapa kita perlu memasukkan “jeda” sebagai nilai jual yang sebenarnya bukan jualan.
Keesokan paginya aku kembali ke Jakarta. Kota menyambutku dengan kilau yang lebih terang dari biasanya—mungkin karena mataku tidak lagi memantulkan cemas yang sama. Jalan layang memutar seperti kalimat yang lupa titik, klakson bersahut seperti paduan suara yang belum sempat latihan. Di apartemen, aku menaruh koper, menyeduh kopi, membuka email.
“Aku suka ini,” begitu baris pertama dari Adipati. “Klien juga. Mereka minta kita presentasi model pilot di tiga kota: Jakarta, Semarang, Makassar. Kamu lead?”
Tanganku gemetar kecil. Bukan karena beban. Karena rasa syukur yang tak punya kata-kata mewah.
Aku mengirim pesan ke Joko: “Mas, siap bantu logistik Program Jeda?”
Balasannya cepat: “Siap. Jeda, tapi logistik tetap jalan. Hehehe.”
Sore itu, aku menyalakan lampu balkon dan memandangi lampu-lampu kota seperti gugusan piksel yang menyusun wajah seseorang yang kucintai lama tapi sering kulupakan: diriku sendiri. Aku menulis di blog: “Pulih dan Pulang.” Ada dua foto: gelas kopi di warung Siti, dan sepasang sandal jepit berlumpur di tepi pematang. Caption: “Pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat lama. Kadang, itu berarti menemukan kembali bagian dirimu yang selama ini kamu tinggalkan.”
.
Pekerjaan membesar, tapi anehnya bebanku mengecil. Kami merancang “mini-retreat” untuk tim: bukan outing di resor mahal, melainkan kunjungan ke sekolah-sekolah kecil di pinggiran kota. Kami duduk di kelas yang catnya mengelupas, mendengar anak-anak bercerita tentang cita-cita yang tak kenal istilah “downturn”. Kami mengajak para tutor lokal berdialog tentang kurikulum yang dekat dengan hidup: matematika memakai harga cabai, literasi memakai cerita pasar, sains memakai sungai yang mengalir di belakang gang.
Di salah satu sesi, kami mengundang Siti via video call. Ia duduk di teras dengan lampu bohlam kuning. “Anak-anakku,” katanya, “kalau kalian capek, jangan buru-buru bilang dunia jahat. Coba tutup mata, dengar napas, lalu tanya: apakah aku masih di rumah? Kalau belum, pulanglah sebentar. Rumah itu di sini.” Ia menepuk dada.
Seorang rekan—Rara, yang biasanya paling cepat berbicara dan paling teliti dengan angka—tiba-tiba diam lama, lalu berbisik, “Terima kasih.” Di layar, kulihat matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang bergerak pelan di ruangan itu, sesuatu yang tak bisa diukur KPI namun terasa seperti pondasi.
Adipati, yang selama ini kukenal sebagai negosiator dingin, datang menghampiriku seusai sesi. “Keira,” katanya, “kamu benar waktu bilang: ‘Apa gunanya berlari kalau semua orang lupa tujuan?’” Ia terbatuk, lalu tersenyum canggung. “Mungkin kita perlu belajar lambat. Bukan lamban—lambat yang berniat.”
Aku tertawa. “Lambat yang berniat,” ulangku, “itu judul bagus.”
.
Namun tidak semua hari pulang dengan pelukan.
Beberapa minggu kemudian, kampanye “Jeda” mulai bergulir: video pendek tentang anak yang mengajari ayahnya mengetik, kelas-kelas kecil di gang yang diberi cat baru oleh warga, mural di dinding-dinding kota bertulisan “Duduk dulu, dengar dulu,” sesi belajar yang tidak menakut-nakuti.
Di satu malam, komentar di media sosial menyala: “Ini cuma gimmick,” “Startup pura-pura peduli,” “Mana datanya?” Sebagian pertanyaan sah, sebagian cemooh kosong. Aku menatap layar—jantungku berdebar tidak karena takut, tetapi karena aku tahu kami harus menjawab tanpa kehilangan napas.
Aku menulis tanggapan panjang: data baseline, metrik partisipasi, tetapi juga cerita—nama-nama orang yang bertemu di tepi gang dan menemukan ulang huruf vokal. Keesokan harinya, seorang jurnalis menghubungi untuk liputan. Ia datang ke salah satu kelas di Tanah Abang. Di sana, Ranggalawe—kebetulan sedang di Jakarta mengunjungi bibinya—membaca keras-keras di depan kelas: “Capek bukan berarti kalah.” Anak-anak tertawa. Kamera merekam. Malamnya, liputan ditayangkan. Kolom komentar jadi lebih sunyi; atau mungkin, kami sedang belajar untuk tidak memeriahkan semua panggung.
Di tengah arus itu, Siti mengirim pesan lewat angka yang disimpan Joko: foto langit Dieng yang biru. “Jeda adalah ilmu,” tulisnya. “Bukan libur.”
Aku membalas dengan foto balkon apartemenku: lampu-lampu Jakarta seperti kunang-kunang digital. “Aku sedang belajar,” tulisku. “Pelajarannya panjang.”
.
Suatu sore, jalanan macet berat. Di lampu merah, seorang pengamen menyanyikan lagu lama dengan gitar yang tinggal tiga senar. Suaranya sumbang, tapi sungguh-sungguh. Joko, yang kebetulan memboncengkan kardus materi promosi di belakang motornya, berhenti di sebelahku. Ia membuka visor helm. “Kak Keira,” serunya, “kalau hujan turun pas lampu merah, orang-orang jadi ingat, kan, buat berhenti?”
“Apa hubungannya?” tanyaku sambil tertawa.
“Hujan itu alarm jeda paling jujur buat Jakarta,” katanya, lalu melaju pelan ketika lampu hijau menyala.
Malam itu, aku berdiri di balkon, mendengar hujan mengetuk atap seng tetangga. Aku menulis lagi. Tentang perempuan muda yang memilih tidak hadir di Zoom, mengirim draf dengan kepercayaan bahwa timnya bisa. Tentang kurir yang menasehati lewat canda. Tentang atasan yang belajar berniat untuk lambat. Tentang ibu warung yang mengajari rumah yang sebenarnya. Tentang kota yang tetap macet, tetap riuh, tetapi menyediakan sudut-sudut kecil untuk duduk.
Di akhir tulisan, kutambahkan kalimat yang dulu kubaca dari bibir Siti dan kini kubuhul untuk diriku sendiri: “Pulang tidak selalu berarti kembali ke tempat lama. Kadang, itu berarti menemukan kembali bagian dirimu yang selama ini kamu tinggalkan.”
Kukirim tulisan itu ke blog perusahaanku—bukan sebagai kampanye, tapi sebagai catatan. Sejam kemudian, tim HR menghubungi. “Keira,” katanya, “bolehkah kita jadikan tulisanmu modul pembuka sesi well-being karyawan? Kita ingin memulai rapat mingguan dengan dua menit hening. Tidak wajib—sukarela. Kita coba, ya?”
Aku menutup mata. Hening dua menit di kota yang bangga pada cepat. “Kita coba,” kataku. “Dua menit bisa menyelamatkan dua puluh jam.”
.
Beberapa bulan sejak perjalanan itu, kami menyusun peta baru: peta jeda. Bukan di peta digital, tapi di kepala-kepala kami. Titik-titiknya bukan hanya kota, tapi ritme: subuh tanpa layar, siang dengan makan tanpa tergesa, sore dengan jalan kaki tiga blok, malam dengan membaca yang tidak produktif dalam definisi investor. Aku, yang dulu merawat feed seperti bayi, mulai merawat tanah di pot kecil balkon. Di sebuah rapat, saat diskusi memanas, Adipati mengangkat tangan, meminta semua menutup laptop 60 detik. “Dengar napas,” katanya. “Lanjut setelah itu.”
Seorang rekan mencibir pelan, tapi tak ada yang protes keras. Satu menit berlalu seperti sungai pendek. Lalu rapat berjalan lebih jernih. Itu bukan sihir. Itu sains sederhana—dan seni yang sudah lama dilupakan.
Dalam salah satu sesi kelas gang, Rara mengajak anak-anak menulis “surat untuk diriku yang akan datang.” Seorang anak menulis: “Hai aku, jangan lupa makan pelan.” Anak lain menulis: “Jangan takut salah.” Seorang ibu menulis: “Jangan tinggalkan aku saat aku sedang belajar.” Aku menatap tulisan mereka seperti menatap spion kecil yang memantulkan wajah kota yang lebih hangat.
Di ujung sesi, Siti muncul lagi di layar video. “Anak-anakku,” katanya, suaranya retak sedikit tapi jernih, “kalian hebat bukan karena kalian lari paling cepat, tetapi karena kalian tahu kapan harus duduk. Ingat ya: jangan cari jeda di luar, cari dia di dalam.”
.
Malam terakhir sebelum tutup kuartal, aku kembali menatap lampu-lampu kota. Jakarta tetap menjadi Jakarta: kepalanya penuh, langkahnya panjang. Namun di telingaku, ada bisik yang berbeda: bukan dering notifikasi, melainkan detak kecil yang konsisten. Aku mengingat lagi kalimat pembuka yang kutulis di blogku: “Terkadang, kita tidak sedang lelah dengan dunia. Kita hanya lupa bagaimana caranya duduk diam dan mendengarkan hati sendiri.” Aku tersenyum—bukan karena semuanya beres, tapi karena aku tak lagi takut saat tidak beres.
Kuketik pesan untuk tim: “Besok, sebelum presentasi besar, kita duduk sunyi dua menit. Lalu kita mulai dengan cerita.” Tak lama kemudian, Joko mengirim stiker motor dengan helm menyala. “Siap, komandan jeda,” tulisnya. Adipati membalas dengan emoji tangan menempel. Rara mengirim foto secangkir teh.
Di bagian terakhir catatanku, kuberi judul kecil—buatku sendiri, untuk berjaga-jaga saat kelak tergoda kembali untuk menukar napas dengan angka-angka: Jalan Pulang ke Dalam Diri. Pulang yang tidak diukur kilometer, tapi kejujuran. Pulang yang tidak butuh koper, tetapi keberanian. Pulang yang mengajarkan bahwa jeda bukan kemewahan—melainkan hak. Hak yang kita berikan pada diri sendiri.
Dan ketika lampu-lampu kota padam satu per satu, aku tahu: besok akan tetap ramai, tetap cepat, tetap menuntut. Namun di dalam aku, ada ruang yang kini tak lagi kosong. Ada bangku kayu, ada secangkir kopi, ada suara perempuan tua yang mengajarkan masuk rumah hati. Ada anak kecil yang mengatakan capek bukan tanda kalah. Ada kurir yang bercanda soal hujan. Ada atasan yang belajar pelan-pelan. Ada aku, duduk, mendengar, dan berjalan lagi—pelan, tapi berniat.
.
.
.
Jember, 3 Juni 2025
#JalanPulang #Jeda #MindfulUrban #CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #Refleksi #Empati #BudayaLokal #Wellbeing #Storytelling