Jakarta yang Tak Pernah Padam
“Hidup bukan tentang apa yang kamu capai, tapi tentang apa yang kamu nyalakan di hati orang lain.”
“Urip iku urup—bila nyalamu hanya untuk dirimu, gelap tetap menguasai kampung.”
“Sapa nandur bakal ngundhuh; yang kautanam di hati orang, itulah yang kelak mengantarmu pulang.”
.
Lampu-Lampu Kota dan Nyala Diri
Namanya Zainal Umar. Orang kantor memanggilnya Zuma. Di layar, nama itu tampak ringkas; di kartu nama metaliknya, huruf-hurufnya memantulkan garis lampu kota. Ia tinggal di apartemen 28 lantai di Setiabudi, sebuah kotak kaca yang menangkap Jakarta seperti akuarium raksasa. Jalan layang melilit di bawahnya, kereta bandara mengiris senja, lampu-lampu menyalakan janji yang sama setiap malam: kota ini tak akan pernah padam.
Zuma co-founder sebuah startup pengembangan pariwisata dan hospitality berbasis teknologi. ROSO—begitu ia menamai platformnya—masuk belasan daftar “Top 10 Promising Travel-Tech”. Investor memujinya, moderator mengundangnya, media menulis angka-angka tentangnya. Besok ia akan naik panggung Hospitality 5.0 di Jakarta Convention Center. Deck presentasinya rapi, metriknya naik, retensi stabil, peta ekspansinya mengkilap.
Tetapi di balkon, angin tinggi memukul kausnya, dan justru di sana ia mendengar suara paling jujur di hidupnya: kosong.
“Kenapa hidup yang dulu kuimpikan sekarang terasa hambar?” gumamnya, menatap gerimis yang turun sebagai debu halus.
Di laci koper lamanya—yang tak pernah lagi dibuka sejak pindah ke Jakarta—ada sebuah amplop kain lusuh. Ia menariknya pelan, meraba benang yang sudah berbulu. Di dalamnya, selembar surat dengan tinta hitam yang mulai pudar. Surat dari Wali, kakek yang membesarkannya di kampung di kaki Lawu—kampung yang sinyalnya lemah, jalanan tanahnya menelan sandal hujan, tapi selalu punya aroma seruput teh yang menenangkan.
“Zuma, urip iku urup. Nek awakmu mung ngoyak sorotan, awakmu bakal ilang cahya saka njero.”
— Wali
Zuma merebahkan tubuh di kursi rotan, membaca pelan. Di luar jendela, Jakarta melaju tanpa menoleh. Di dalam dadanya, kalimat Wali menyala seperti tusuk api kecil yang menyentuh sumbu.
Selama ini, betapa ia sibuk memoles citra, mengejar algoritma, memburu validasi. Ia hafal angka kunjungan dan cost of acquisition, ia bisa menjelaskan machine learning untuk prediksi okupansi. Tetapi sesuatu hilang: manusia.
Hospitality—dalam bahasa yang ia pakai di pitch—telah menyusut menjadi hospitality metrics. Padahal dulu, sebelum aplikasi, ia mengenal keramahan dari ibunya yang menyambut tamu lebaran dengan tangan gemetar, dari tetangga yang meminjamkan panci tanpa nota, dari Wali yang berdiri di teras setiap sore hanya untuk bertanya, “Piye awakmu dina iki?”
Hatinya ditarik ke arah yang tak bisa diukur. Ke arah nyala yang Wali sebut—nyala dari dalam, yang tidak butuh panggung, tapi sanggup menyalakan yang lain.
.
Nama-Nama yang Ditanggalkan di Pintu
Keesokan harinya, ia turun ke lobi untuk meeting terakhir dengan tim. Di lift, ia bertukar pandang dengan perempuan berkacamata—Retna namanya, lead product yang pernah menjadi teman kuliahnya. Retna mengingatkan checklist: traffic projection, video teaser, tagline yang sudah dites A/B. Semuanya siap.
Di ruang meeting, dua orang investor hadir—Kelana yang ekspansif dan Jayeng yang hemat kata. Keduanya berasal dari keluarga yang paham Jakarta—alamat lama, sekolah mahal, harapan tak pernah padam. Di sisi lain meja, ada dua sahabat lama Zuma dari masa magang: Umara dan Madi. Mereka berdua—yang sering dijuluki “Umar-madi” oleh anak-anak kantor—adalah listrik cadangan yang selalu membuat ruangan tetap hangat.
“Besok, stage jam sebelas. Narasi kita harus bicara masa depan,” kata Kelana.
“Boleh bicara masa lalu?” tanya Zuma.
“Tidak ada investor yang memberi valuasi berdasarkan nostalgia,” jawab Jayeng datar.
Zuma tersenyum. Di ponselnya, foto-foto lama terpasang sebagai widget yang tak pernah ia hapus: Wali dengan kopiah cokelat, halaman rumah bambu, gelas teh yang selalu kurang manis.
“Baik,” katanya. “Kita bicara masa depan yang ingat asalnya.”
.
Panggung, Grafik, dan Kata yang Memperlambat Waktu
Di panggung Hospitality 5.0, semua layar siap menayangkan pertumbuhan. Musik pembuka melambung, lampu-lampu panggung seperti garis-garis arteri di jantung kota. Zuma berdiri di tengah, jasnya rapi, sepatunya mengilap. Sorot lampu memantul di pipinya, memunculkan kilau yang sama yang selama ini ia kejar.
“Selamat pagi,” katanya, tapi suaranya seperti mengirimkan salam ke ruang yang lebih dekat. “Saya ingin memulai dengan kalimat dari rumah.”
Ia menahan napas, lalu memungut kalimat Wali dengan hati-hati.
“Urip iku urup. Saya ingin membicarakan kearifan lokal yang dulu saya tinggalkan, dan hari ini ingin saya hidupkan kembali. Teknologi seharusnya menghidupkan manusia, bukan menggantinya.”
Ruang melambat. Beberapa orang menoleh dari gawai. Retna, di bawah panggung, menatapnya dengan cemas. Kelana mengangkat alis. Jayeng mencatat sesuatu dengan cepat.
Slide pertama muncul: ROSO—rebranded tipis, tapi substansinya berubah. Bukan lagi sekadar marketplace destinasi, melainkan jembatan perjumpaan. Fitur-fitur gemerlap dipangkas; yang tersisa justru yang paling sederhana: profil keluarga lokal, jadwal makan bersama, cerita kampung, ruang belajar bersama, akses untuk partisipasi sosial. Ia menyebutnya Soulful Travel.
“Banyak platform mengemas tempat,” kata Zuma, “kami ingin mengundang Anda masuk ke rumah. Bukan resepsionis yang Anda temui dahulu, tetapi ibu-ibu yang mengisi dapur, bapak-bapak yang bercerita tentang tanah, anak-anak yang tertawa di serambi.”
Ia memutar video terakhir: seorang lelaki tua menyeduh teh dengan gerakan teratur, suara sendok beradu dengan gelas. Kamera tidak menutup pori-pori hidup; suara ayam di kejauhan, tikar yang berkeresek. Lelaki tua itu menatap kamera dan berkata pelan:
“Wisata sejati itu ketika kita diterima, bukan ketika kita dilayani.”
Itu Wali.
Ruang sunyi. Tepuk tangan tidak datang sebagai letupan; ia datang sebagai gelombang yang pelan, menguat, lalu menepi. Dan di tepian itu, Zuma berdiri—bukan sebagai pendiri startup yang metriknya naik, namun sebagai cucu yang membawa api kecil dari rumahnya untuk diletakkan di panggung yang tak pernah padam.
.
Reuni di Terminal Lama
Dua minggu setelah presentasi itu viral, Zuma pulang. Bukan untuk sesi dokumenter, bukan untuk unggahan feed. Hanya ransel, kaus, dan niat yang selama ini ia tunda. Terminal lama menyambutnya seperti seorang sahabat yang tidak pandai menyembunyikan usia: catnya memudar, papan jadwal miring, bau solar bercampur gorengan.
Ia menumpang colt bak terbuka, duduk di pinggir dengan kaki menggantung. Jalanan yang dulu terasa jauh kini seperti halaman depan rumah. Di tikungan terakhir, ia melihat rumah bambu yang khatam semua bentuk pulang: teras kecil, genteng lama, sumur yang menua bersama cerita.
Wali duduk di bangku kayu, kakinya bergoyang pelan. Ketika Zuma melangkah ke halaman, Wali tidak berdiri; ia hanya menatap dengan mata yang jernih dan tersenyum, seakan cucunya baru pulang dari warung, bukan dari kota yang tak pernah tidur.
“Piye Jakarta-mu?” tanya Wali.
“Gemerlap,” jawab Zuma, mencium tangan Wali, “tapi ademnya tetap di sini.”
Malam itu, lampu petromax menggantung di serambi; cahayanya lembut, menyapu wajah Wali yang dipenuhi garis-garis lembah. Mereka bicara tentang dunia yang terlalu cepat, tentang anak-anak muda yang tumbuh dengan padang luas di layar tapi ruang sempit di dada, tentang arti menjadi manusia: hadir, menyapa, tidak bergegas.
“Anakku,” kata Wali, “nek nyalamu mung kanggo awakku dhewe, kowe mung dadi geni cilik sing cepet entek. Bareng-bareng, lilin bisa dadi dalan.”
.
Kota yang Mengajarkan Cara Mengucap “Maaf”
Kembali ke Jakarta, Zuma tidak mengumumkan transformasi ROSO sebagai kampanye besar. Ia memulainya dengan hal kecil: menghapus leaderboard, menghilangkan rating bintang, mengganti review dengan surat terima kasih yang ditulis tangan dan diunggah sebagai foto. Di tim, ia memulai rapat dengan giliran menceritakan satu kebaikan kecil yang mereka terima minggu itu—bukan dari klien, tetapi dari sesama manusia: kursi yang disodorkan, tanya kabar yang tulus, senyum yang tidak dipaksa.
Perusahaan tidak menjadi lebih cepat. Tidak ada grafik yang menanjak mendadak. Kelana mengirim pesan: “Runway kita tidak bertambah hanya karena kita bertambah pelan.” Jayeng mengingatkan: “Kepercayaan investor diukur dari kejelasan jalan.” Retna gelisah: “Apakah pengguna tidak akan lari jika kita tidak memberi mereka gimifikasi?”
Zuma mengangguk pada semuanya, lalu mengajak tim turun ke lapangan: ke gang-gang sempit di Tebet, ke rusun di Tanah Abang, ke warung di ujung Bintaro. Mereka belajar memesan tanpa menyombongkan gaji, belajar menunggu tanpa menatap jam, belajar mengucap “maaf” pada pedagang yang kehabisan plastik.
Di sebuah siang yang lembap, mereka bertemu Rara—perempuan Madura yang merantau, membuka dapur bersama di rusun sederhana. Rara tidak memerlukan kamera; ia memerlukan telinga. Ia bercerita tentang ayahnya yang dulu nelayan di Sumenep, tentang aroma asap perahu dan suara angin sore. Ia berkata, “Orang kota suka tanya resep. Padahal yang paling penting bukan bumbunya, tapi untuk siapa masaknya.”
Zuma menatap panci mendidih dan mengerti: banyak hal yang selama ini ia tolak masuk hanya karena tidak punya tempat di dashboard.
.
Sapa Nandur Bakal Ngundhuh
Perlahan, ROSO berubah—bukan di UI, melainkan di DNA. Mereka membuka program “Rumah Singgah Cerita”: keluarga-keluarga di kampung kota mendaftarkan ruang tamu mereka sebagai tempat sarapan bersama tamu. Tidak ada paket mewah, tidak ada linen premium. Yang ada: cerita tentang pagi, telur dadar yang terlalu asin, cucu yang malu-malu.
Sekolah-sekolah perhotelan melirik: mungkinkah “keramahan” diajarkan bukan sebagai protokol, melainkan kebiasaan? Zuma diundang sebagai mentor tamu. Ia tidak membawa slide; ia membawa kain lap dari rumah Wali.
“Keramahan bukan tentang standar layanan,” katanya pada mahasiswa yang duduk berbaris rapi. “Keramahan adalah menyiapkan dirimu sebelum menyiapkan meja. Kalau kamu menabur keramahan, kamu menuai kepercayaan. Dan kepercayaan, suatu hari, akan membawamu pulang ketika kamu tersesat.”
Seorang mahasiswa bertanya, “Tapi, Pak, apakah itu bisa bersaing dengan hotel bintang lima?”
“Hotel bintang lima menjual kemewahan,” jawab Zuma, “kita menawarkan keakraban. Manusia boleh terpukau oleh gemerlap, tapi ia pulang pada yang tulus.”
Kata-katanya menimbulkan sesuatu yang tidak bisa dilihat, hanya bisa dirasakan: sebuah nyala yang berpindah dari mata ke mata.
.
Alon-Alon Asal Kelakon
Tidak semua investor senang. Sebagian menyebutnya terlalu idealis. Sebagian menuduhnya menjual romantisme sebagai bisnis. Retention sempat goyah; tim customer success bekerja lembur. Di malam yang lain, Retna duduk bersandar pada dinding kantor, menatap plafon yang bercat putih terlalu terang.
“Aku takut ini tidak berhasil, Zuma,” suaranya pecah.
Zuma duduk di sampingnya, menatap polesan cat yang mulai retak di sudut. “Aku juga takut,” katanya jujur. “Tapi aku lebih takut menjadi perusahaan yang berhasil, tanpa alasan kenapa ia harus ada.”
Retna menghela napas. “Kalimat kamu sering merepotkan,” katanya sambil tersenyum kecil.
“Kalimat Wali lebih merepotkan,” jawab Zuma.
Mereka tertawa pelan. Di jendela, Jakarta masih berkedip. Di dalam, mereka membiarkan pelan berjalan pada waktunya. Alon-alon asal kelakon—bukan mantera untuk malas, melainkan keberanian untuk membangun akar sebelum menumbuhkan mahkota.
.
Menjadi Lilin dalam Gelap
Tepat pada ulang tahun ke-87 Wali, Zuma meminta izin pulang sehari. Ia membawa koper kecil, dan satu kardus lilin batangan. Malam turun di kampung; angin mengayun daun pisang. Anak-anak berlarian, menyentuh lantai tanah dengan kaki yang tak pernah diukur. Zuma, bersama Umara dan Madi yang menyusul dari Jakarta—mengatur ratusan lilin di sepanjang jalan kampung: dari pos ronda sampai serambi rumah Wali.
Ketika api dinyalakan satu per satu, jalanan yang biasa ditelan gelap bercahaya. Orang-orang berjalan mengikuti garis nyala, seperti menelusuri kaligrafi yang ditulis malam. Wali keluar dengan kopiah miring, wajahnya tersapu oranye, mata berbinar seperti anak.
“Zuma, awakmu ngerti makna urip iku urup saiki?” suaranya gemetar.
Zuma mengangguk, memeluk Wali lama. “Urip sing nyala kanggo wong liya, Wali.”
Di halaman, anak-anak menari dengan bayang-bayangnya. Umara mengeluarkan gitar, Madi menyanyi pelan. Retna yang diam-diam ikut—beralasan ingin “cek kualitas cerita”—berjongkok memotret api yang menetes. Tidak ada brand yang ditempelkan di lilin, tidak ada sponsor yang dicatat. Hanya nama-nama yang dibiarkan tanpa gelar: Jayeng membawa termos teh, Kelana menenteng kue basah, Rara mengirim rantang sayur. Malam itu, kota bertemu kampung tanpa protokol; yang sibuk merendahkan suara, yang sumringah meninggikan telinga.
.
Jakarta, Hari-Hari Tanpa Hashtag
Kembali ke kota, ROSO berjalan di rel barunya. Beberapa klien besar pergi; beberapa yang lebih pelan datang. Seorang GM hotel butik di Menteng—Retna Kencana, nama lengkap Retna yang jarang ia pakai—menelepon Zuma: “Kami ingin mengadopsi konsep Soulful Travel Integration. Bukan untuk marketing, tapi untuk karyawan kami.” Mereka menata ulang SOP: salam diganti sapa; script diganti tanya sungguhan; upselling diimbangi upsoul-ing—mengangkat batin, bukan sekadar transaksi.
Bukan tanpa protes. Ada karyawan yang merasa ribet. Ada tamu yang rindu formalitas. Ada momen ketika antrian mengular karena staf menghabiskan beberapa detik ekstra menatap mata tamu ketika berkata, “Ada yang bisa kami bantu?” dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar bunyi.
Tetapi sesuatu berubah: waktu. Waktu di lobi melambat, tapi makna di kamar-kamar bertambah. Di buku tamu, orang-orang menulis bukan hanya “nyaman” atau “enak”, melainkan “saya merasa diterima”, “saya seperti pulang”.
Zuma menyalin beberapa tulisan tangan itu, mengirimkannya ke Wali. Wali tidak membalas panjang, hanya satu kalimat yang cukup untuk sebuah kota:
“Nek wong-wong wis rumangsa mulih, ora usah mbuktekke meneh.”
(Jika orang-orang sudah merasa pulang, tak perlu dibuktikan lagi.)
.
Retna, Rara, dan Jalan Pulang yang Berbelok
Di antara semua orang yang berubah, Retna adalah yang paling mencolok. Ia, yang dulu memegang roadmap dengan tangan gemetar karena rapi, kini mengizinkan ketidaksempurnaan masuk. Ia memutuskan mengajar seminggu sekali di sekolah vokasi di Ciputat, mengantar mahasiswi ke rumah Rara untuk belajar mengolah rasa sebelum mengolah resep.
“Aku pikir versi terbaikku adalah ketika semua berjalan sesuai rencana,” katanya suatu malam pada Zuma, di warung soto yang mereka suka. “Ternyata, versi terbaikku justru muncul ketika rencanaku memberi ruang pada rencana orang lain.”
Zuma tersenyum. “Kamu selalu versi terbaik, bahkan saat kamu tidak sadar.”
“Kalimat kamu—lagi-lagi—merepotkan,” kata Retna, tapi kali ini ia tidak menahan senyum.
Rara menelpon, mengabarkan kabar dari Sumenep: ayahnya sakit. Tim ROSO mengatur bahan—bukan sebagai proyek CSR, melainkan sebagai keluarga yang kebetulan punya akses. Zuma mengantar Rara pulang; sepanjang jalan, jendela mobil menyimpan refleksi lampu-lampu pom bensin, kafe, dan tiang iklan, sementara Rara bercerita tentang pantai yang menelan pelabuhan kecil, tentang lelaki yang empu di laut seperti di rumah.
“Jakarta cepat,” kata Rara, “tapi hati manusia tidak bisa dipaksa cepat.”
Zuma mengangguk, memikirkan semua presentasi yang pernah ia lakukan. Berapa banyak yang benar-benar ia dengar selain suaranya sendiri?
.
Iklan tentang Sunyi
Suatu hari, agensi besar mengajak kolaborasi: iklan film untuk televisi nasional. Brief-nya glamor—tokoh influencer, destinasi mewah, musik yang menonjolkan jingle. Zuma mendengarkan lalu berkata pelan:
“Bagaimana kalau iklan tentang sunyi?”
Mereka bingung.
“Kita buka dengan gambar kursi kosong di serambi rumah, suara sendok beradu di dapur. Lalu kaki anak kecil berlari, napasnya terdengar. Kamera tidak bergerak. Teks: ‘Keramahan bukan tontonan. Ia terdengar ketika kita berhenti bersuara.’”
Agensi keberatan: “Tidak viral.” Stasiun TV ragu: “Tidak menarik.” Departemen pemasaran mengerutkan kening: “Tidak sesuai tren.”
Zuma mengangguk. Di malamnya, ia memutar ulang video Wali menyeduh teh. Tidak semua pintu harus dibuka dengan suara keras; beberapa pintu hanya mau dibuka oleh orang yang mengetuk pelan dan menunggu.
Iklan gagal, tetapi ide itu menjadi pandu untuk tim content. Mereka membuat seri video “Suara yang Tidak Dikejar”: ibu-ibu menggiling bumbu, bapak-bapak menambal jaring, anak-anak menghafal pantun. Tanpa musik latar, tanpa transisi dramatis. Penontonnya tidak meledak, namun komentar yang datang terasa seperti surat: panjang, pelan, jujur.
.
Saat Lampu Kota Padam
Pada Januari yang basah, Jakarta kebanjiran. Listrik di beberapa blok padam. Di kantor ROSO, generator ngadat. Server aman di cloud, tetapi layar-layar mati. Semua orang gelisah. Retna menatap Zuma: “Kita tidak bisa bekerja.”
Zuma memandang jendela yang memantulkan gelap. “Kita bisa menjadi lilin.”
Malam itu, mereka memutuskan membuka kantor sebagai posko. Bukan karena strategis, tetapi karena dekat. Mereka menyalakan lilin (lilin-lilin sisa ulang tahun Wali), merebus air, menaruh termos di lobi. Karyawan bergantian menyeduh kopi untuk warga, mengantar makanan dengan perahu karet pinjaman. Kelana datang dengan mobil tinggi, membawa roti. Jayeng—yang selama ini datar—memanggul karung beras tanpa bicara. Rara menempeli pintu dengan kertas bertuliskan: “Yang butuh mandi, daftar di resepsionis.”
Di luar, kota yang tak pernah padam akhirnya padam. Di dalam, ROSO justru paling terang. Bukan karena lampu, melainkan karena nyala yang tak bisa dicolong banjir.
Ketika listrik menyala kembali, notifikasi meledak. Video warga yang mandi di kamar mandi kantor menyebar—bukan sebagai bahan olok-olok, melainkan sebagai bukti bahwa startup juga bisa menjadi rumah ketika rumah orang lain kebanjiran. Investor yang sempat ragu mengirim pesan: “Kita lanjut.” Seorang pemilik jaringan hotel mengundang: “Ayo bicarakan Soulful Integration untuk semua properti kami.”
Zuma menutup ponsel, memandang lilin-lilin yang tinggal separuh. Ia teringat Wali: urip iku urup. Barangkali seluruh hidupnya adalah belajar membedakan terang dari silau.
.
Tradisi yang Menyala di Tengah Kota
Pada hari ulang tahun ROSO yang ketiga, mereka tidak menyewa venue. Mereka menutup separuh jalan kecil di belakang kantor—dengan izin warga—dan menggelar tikar. Tim dapur hotel Retna memasak di tenda, Rara mengatur piring enamel, Umara dan Madi menata panggung kecil dari palet bekas. Undangannya sederhana: “Kalau sempat, mampirlah. Kalau tidak, kirim doa.”
Orang datang. Tetangga dekat, kurir yang setiap hari mengantar paket, pengemudi ojol yang hafal nomor kantor, mahasiswa magang, investor yang akhirnya menyimpan ponselnya. Tidak ada banner, hanya ranting-ranting yang disusun menjadi huruf: R O S O.
Di tengah acara, seorang bocah perempuan bernama Kencana, anak tetangga, berdiri malu-malu. “Om Zuma,” katanya, “aku mau baca puisi.”
Ia membuka kertas yang kusut, suaranya kecil tapi jelas.
“Jakarta yang tak pernah padam,
ajari kami membedakan kilau dan terang.
Ajari kami menyalakan hati,
bukan hanya menyalakan layar.”
Hening yang turun setelahnya bukan kosong; itu hening yang penuh—hening yang hanya terjadi ketika orang-orang menang terhadap keinginannya untuk bersuara, dan memilih mendengar.
Zuma menatap langit. Lampu kota tetap berkedip, tapi ia tidak lagi merasa rendah atau ditelan. Ia bukan lagi anak yang kabur dari kampungnya karena sinyal buruk, bukan eksekutif muda yang mengukur dirinya dari jumlah slide. Ia seorang cucu yang menjaga api, seorang pendiri yang menjaga alasan.
.
Peta yang Tak Ada di Ponsel
Bertahun-tahun kemudian, ROSO tumbuh. Angka-angka tetap penting; gaji harus dibayar, pajak harus diselesaikan, KPI harus ditinjau. Tetapi di balik rapat, selalu ada ruang untuk hal-hal yang “tidak efisien”: menulis surat terima kasih, mengantar sayur ke dapur warga, menyalakan lilin saat kota mendadak gelap. Mereka belajar bahwa efisiensi tanpa empati hanyalah mesin; empati tanpa eksekusi hanyalah puisi. Mereka memilih menjadi manusia yang mengeksekusi puisi.
Di sebuah sore, Zuma menerima pesan singkat dari Wali—kini jarang menulis panjang, tapi selalu tepat.
“Le, nek kowe wis ora ngerti dalan, goleki swarane wong sing tak tresnani. Iku peta sing ora ana ing ponsel.”
(Nak, jika kau sudah tak mengerti jalan, carilah suara orang yang kau cintai. Itulah peta yang tak ada di ponsel.)
Zuma memejam. Di telinganya, ia mendengar sendok beradu gelas, napas anak-anak di serambi, tawa Retna yang mulai mudah, gitar Umara, hum Madi. Jakarta di luar tetap tidak padam. Tetapi kini ia tahu, nyala paling berarti adalah nyala yang mengantar orang lain menemukan jalannya.
Dan di sinilah kisah ini ditutup: bukan pada puncak gedung, bukan pada layar panggung, melainkan pada pintu yang selalu sedikit terbuka. Pada sapa yang mendahului salam, pada sorot mata yang menunda kata. Pada lilin-lilin kecil yang, bila dikumpulkan, sanggup menjadi jalur pulang di kota yang tak pernah padam.
.
.
.
Jember, 7 Agustus 2025
.
.
#JakartaTakPernahPadam #UripIkuUrup #SoulfulTravel #Hospitality #CerpenKompas #KearifanLokal #StartupIndonesia #HumanCentered #Roso #CeritaUrban
.
Kutipan Kunci untuk artikel
-
“Hidup bukan tentang apa yang kamu capai, tapi tentang apa yang kamu nyalakan di hati orang lain.”
-
“Urip iku urup—nyala diri menemukan maknanya saat menerangi langkah orang lain.”
-
“Sapa nandur bakal ngundhuh; keramahan yang ditabur hari ini pulang sebagai kepercayaan esok hari.”
-
“Efisiensi tanpa empati hanyalah mesin; empati tanpa eksekusi hanyalah puisi.”