Hari Ketika Aku Memilih Diriku Sendiri

“Kadang, yang kita butuhkan bukan tempat baru… tapi keberanian untuk pulang pada diri sendiri.” — Catatan Raden Rukmini

.

Senyap yang Menyentuh Ujung Hati
Yogyakarta, pukul 05.45 pagi.

Langit masih gelap. Embun menempel tipis di pagar balkon lantai dua; lampu-lampu jalan di koridor perumahan elit Kotabaru baru saja padam bergantian. Di kejauhan, sirene ambulans RS Bethesda memantul pelan di dinding-dinding rumah kolonial yang diberi warna netral, seperti menangkupkan tangan untuk doa yang belum diucapkan. Burung-burung belum ramai berkicau; hanya ada dua ekor murai di pohon ketapang yang saling memanggil seolah mengingatkan dunia agar jangan lupa menyalakan pagi.

Di situ, duduk seorang perempuan bernama Rukmini. Rambutnya diikat seadanya, kaus putih kebesaran milik almarhum ibunya membalut tubuh yang tubuhnya sendiri lupa ia peluk. Wajahnya tidak muram, tetapi juga tidak bahagia. Ia memeluk lutut, menyandarkan dagu, menatap cakrawala yang malu-malu berubah warna. Hening itu bukan sekadar hening; ia seperti selimut tipis yang akhirnya menyentuh kulit setelah malam yang terlalu panjang.

Ia tidak meneteskan air mata. Tidak juga menarik napas panjang seperti orang yang ingin lega. Ia hanya diam. Dalam diam yang tak biasa—diam yang melahirkan keputusan. Hari itu, ia tidak sedang ingin bertarung. Tapi juga tidak ingin kalah. Ia hanya ingin berhenti. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya… memilih dirinya sendiri.

.

Raden Rukmini: Wanita yang Selalu Ada

Di KTP, namanya panjang dan beraksen sejarah: Raden Rukmini Wirakusuma. Keluarganya keturunan bangsawan Madura, garis Tumenggung Wirakusuma yang dahulu berpindah ke Yogyakarta untuk alasan yang dikisahkan setengah legenda: urusan tanah ulayat, penjurian seni topeng, dan cinta yang menyeberangi Selat Madura di perahu kecil. Ibunya, Kinasih, telah lama berpulang—kanker stadium empat—meninggalkan kotak kayu jati yang dibungkus kain lurik sebagai warisan paling berharga. Ayahnya, Jayengrana, lelaki karismatik yang rapi, bersepatu mengilap, percaya pada dinding-dinding yang tegak lurus dan kalimat-kalimat yang tuntas.

Di mata orang-orang, Rukmini seperti pohon rindang di tengah padang: tempat siapa pun berhenti sebentar, meneduhkan kening sebelum berjalan lagi. Di kantor konsultan pembangunan kota tempat ia bekerja—ruang rapat kaca di lantai delapan Gedung Mangkubumi—ia dikenal sebagai perempuan yang selalu punya cadangan rencana, cadangan jawaban, cadangan senyum. Dalam keluarga, ia penyangga; adik-adiknya kuliah di Bandung dan Surabaya, dan ia yang mengurus kebutuhan yang sering tampak kecil tapi paling menentukan: uang kos, tiket pulang, pulsa, sampai bumbu sambal terasi favorit yang harus ada dalam paket kiriman.

Dalam cinta, ia pemuja yang setia. Setia bukan karena tak punya pilihan, melainkan karena ia pikir kesetiaan adalah satu-satunya cara menawan badai. Tetapi mereka tidak tahu: bahkan pohon pun bisa tumbang bukan karena badai, melainkan hujan yang tak berhenti—tetes demi tetes yang menggerus akar.

.

Renggono: Lelaki yang Tak Pernah Tuntas

Namanya Renggono—keturunan keluarga dekat keraton, tampan seperti jalan lurus yang tak membiarkan kita bertanya “belok ke mana”. Ia punya segala hal yang mudah disukai orang kota: portofolio startup teknologi, jejaring investor, kemampuan presentasi yang manis, dan janji-janji yang disusun seperti kalender editorial—rapi, tapi sering ditunda. Ia dan Rukmini sudah bersama enam tahun, terbanyak dilalui di kafe-kafe di Teras Malioboro, penginapan boutique di Prawirotaman, ruang-ruang coworking yang wangi kopi di Demangan, sampai halaman kampus UGM tempat mereka suka menebak masa depan dari gerak angin.

Tetapi hubungan itu tak pernah jelas. “Kita lihat nanti,” demikian kalimat favoritnya tiap kali Rukmini menyinggung soal arah. Nanti—kata yang berkilau sekaligus melelahkan. Ia datang saat kesepian menyergap, menghilang saat dunia kembali bersorak memanggil namanya. Ia meminta dikeraskan suaranya ketika panggung perlu sorak-sorai, lalu memelankan volume ketika panggung telah mencukupi memukau.

Minggu lalu, Renggono menghubunginya lagi: “Ruk, bisa bantu bikin deck pengajuan proyek ke investor? Besok pagi harus kelar.” Tanpa basa-basi, tanpa tanya kabar. Barangkali begitulah hal-hal modern ditunaikan: cepat, tepat, dan abaikan hati.

Seperti biasa, Rukmini membuka laptop. Jam di pojok kanan bawah menunjukkan pukul 22.37. Template presentasi yang sudah ia hafal terbuka sendirinya, jari-jarinya refleks menari mengetik heading dan subheading. Lalu ada jeda—kecil saja, tapi mengubah segalanya. Ia menatap layar kosong. Hening yang tadi menggumpal di balkon kini duduk di kursi sebelah, menatapnya balik.

Ia menutup laptop. Untuk pertama kalinya.

Ia mengetik balasan pendek dari ponsel: “Maaf, aku tidak bisa.”

Tak ada efek bunyi ledakan, tak ada huruf miring tanda drama, tak ada dentum musik latar. Yang ada hanya keheningan yang menyentuh ubun-ubun. Sunyi yang… menyembuhkan.

.

Napas yang Akhirnya Milik Sendiri

Esoknya, ia izin tidak masuk kerja. Di aplikasi chat kantor, ia menulis: “Butuh cuti satu hari, ya. Ada keperluan keluarga.” Tak ada keluarga yang sakit pagi itu; keluarga yang paling perlu ditengok justru dirinya sendiri.

Ia menyetir pelan menyusuri Jalan Parangtritis yang masih mengantuk. Ia menuju rumah masa kecil di Pajang, bagian selatan kota yang kini dipadati kontrakan mahasiswa dan toko kecil yang menjual apa saja—dari pakan kucing sampai lampu Tumblr. Rumah itu dulu dipenuhi tawa; kini sedikit berdebu, tapi tetap terasa seperti pangkuan yang kita cari ketika dunia menyalakan suara terlalu keras.

Di halaman belakang, pohon sawo tua masih berdiri. Rukmini kecil dulu sering memanjatnya; ada bekas paku tempat ayahnya dulu memasang tali ayun-ayun. Ia menatap dahan yang sekarang lebih tebal, juga bekas goresan di lutut yang entah kenapa seperti meminta diusap lagi.

Rukmini kecil adalah gadis pemberani. Ia bisa pulang sendiri naik becak dari perpustakaan, hafal jadwal jam sepi Malioboro, dan menulis puisi di balik buku matematika. Tapi waktu berjalan. Ia berubah jadi perempuan yang pandai mendahulukan orang lain. Ia belajar menyenangkan dunia—kecuali dirinya sendiri.

Di bawah pohon itu, ia menangis. Bukan karena sedih, melainkan lega. “Maaf, Rukmini kecil,” gumamnya, “aku terlalu lama meninggalkanmu.”

.

Kinasih: Ibu yang Sudah Tiada, Tapi Masih Ada

Sore itu, ia membuka kotak kayu jati peninggalan Kinasih. Di dalamnya ada selendang kuning keemasan beraroma cendana, gelang perak dengan ukiran bunga tanjung, dan puluhan surat—tulisan tangan yang rapi—yang ditulis ibu di masa-masa kemoterapi. Ia menarik salah satunya, kertas berwarna krem dengan sudut-sudut yang mulai bulat dimakan waktu.

“Nak,” demikian kalimat pembuka, “dunia tidak akan berhenti menuntut. Orang akan belajar meminjam bahumu karena bahumu tak pernah menolak. Tapi kamu boleh memilih. Kamu boleh berhenti sebentar. Kamu boleh memeluk dirimu. Pulanglah. Karena kamu selalu cukup—bahkan sebelum orang lain mengatakan kamu cukup.”

Kata-kata itu menyalakan koridor panjang yang sebelumnya gelap. Rukmini bersandar pada kusen pintu, menutup mata, membiarkan air mata bekerja seperti hujan kecil yang membersihkan kaca jendela.

Ia menyalakan kompor. Ia merebus air, menuangkan bubuk kopi hitam dalam cangkir tembikar favorit Kinasih. Di rak, ia menemukan catatan resep: sayur lodeh labu siam yang dulu sering mereka makan di akhir bulan. Ia tersenyum. “Aku pulang,” katanya pelan, “kali ini benar-benar pulang.”

.

Proses Tak Selalu Manis

Tiga bulan berlalu, dan perubahan jarang ribut-ribut; ia lebih mirip akar yang teguh di dalam tanah. Rukmini mengubah hal kecil yang entah kenapa selalu paling sulit: jam tidur, sarapan, waktu untuk diam. Ia tidak lagi mengorbankan akhir pekan untuk revisi deck investor atau proposal event orang lain. Ia kembali menulis, bukan untuk klien, melainkan untuk dirinya. Ia berjalan kaki di jalan kecil bawah Kali Code, menonton sinar lampu menari di permukaan air. Ia mendaftar kelas yoga di atas rooftop studio dekat Tugu, bukan untuk tren, melainkan untuk mengingat napas.

Suatu malam, Renggono datang. Membawa setangkai mawar yang terlalu merah dan kalimat yang terlalu sering menggunakan kata “rindu”.

“Aku rindu kamu,” katanya, menatap semua dinding kecuali mata Rukmini.

Rukmini meletakkan cangkir di atas tatakan. “Aku juga rindu,” jawabnya, “rindu diriku yang dulu. Dan aku baru bertemu lagi dengannya. Maaf, aku ingin tetap bersamanya.”

Kali ini, tidak ada adegan meyakinkan, tidak ada janji “nanti” yang diucapkan manis. Renggono pergi. Pintu menutup tanpa suara. Rukmini berdiri di baliknya, mendengar jantungnya berdegup pelan, seperti gamelan yang memutuskan kembali ke nada dasar.

.

Ayah yang Belajar Meletakkan Pedang

Jayengrana tidak langsung menerima. Baginya, perubahan selalu memanggul kata “mengkhianati garis”. Bagaimana mungkin putri sulung yang selalu tuntas kini memilih jeda? Bagaimana bisa Rukmini menolak proyek-proyek besar hanya karena ingin tidur cukup, memasak untuk diri sendiri, atau menonton langit?

Di meja makan, pada sebuah malam Kamis, ayah dan anak itu duduk dengan jarak yang bukan hanya diukur sentimeter. Sup buntut mengepul lembut; sendok dan garpu seperti menunggu aba-aba.

“Ayah hanya ingin kamu kuat,” kata Jayengrana, suara lebih pelan dari biasanya. “Kita ini… ada nama.”

“Rukmini lelah, Yah,” jawab Rukmini. “Lelah menjadi nama. Aku ingin menjadi manusia.”

Mereka diam. Lalu Rukmini mengeluarkan surat Kinasih dari kotak jati. Ia serahkan pada ayahnya. Jayengrana membaca, bibirnya bergerak tanpa suara. Ada getar di ujung kalimat kedua. Ia menatap putrinya—kali ini menatap betul-betul, bukan hanya memeriksa.

“Ayah tidak tahu… Kinasih menulis begini,” ujarnya. “Barangkali… barangkali Ayah yang harus belajar meletakkan pedang.”

Malam itu, mereka menghabiskan sup—tidak terlalu banyak bicara, tetapi diam mereka berubah jenis: dari benteng menjadi jembatan.

.

Kota yang Menjadi Cermin

Yogyakarta membantu Rukmini pulang dengan caranya yang sederhana. Ia menemukan kafe kecil di Baciro yang menyuguhkan roti bakar mentega dan bacaan koran hari itu. Ia kembali mengunjungi perpustakaan daerah, memegang kartu anggota yang dahulu ia banggakan saat SD. Ia ikut pelatihan singkat menulis narasi untuk kampanye publik: mengajak warga menanam pohon sawo di halaman rumah. Ia menyusun modul: “Merawat Diri Sebagai Tindakan Publik”—mengikatkan tali antara kesejahteraan personal dan kesehatan kota.

Ia naik bus Trans Jogja, duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan anak SMA bercanda saling menukar earphone. Di halte dekat Condongcatur, seorang ibu muda membantu anaknya mengenakan masker, lalu merapikan rambut si kecil dengan gerak yang begitu halus, membuat Rukmini ingin memotret dengan kelopak mata.

“Jogja mengajariku satu hal,” tulisnya malam itu di jurnal, “bahwa yang pelan bukan berarti tertinggal. Yang tuntas bukan berarti benar. Yang ramai bukan berarti ada.”

Ia mulai bertemu orang baru: Senja, perempuan yang membuka perpustakaan kecil di garasi rumahnya; Harja, fotografer yang membuat pameran tentang tangan-tangan pekerja UMKM; Tunjung, guru tari yang menggelar kelas di kampung pinggir kota. Mereka datang bukan untuk mengambil tetapi berbagi, bukan menilai tetapi mengajak. Di hadapan mereka, Rukmini belajar menjadi manusia versi paling sederhana—dan karenanya paling berani.

.

Mendirikan “Griya Diri”

Apa yang kita rawat dalam diam, suatu hari mencari pintu untuk keluar. Pada bulan keenam, Rukmini menyewa sebuah rumah kecil di Mantrijeron. Ia memberi nama ruang itu “Griya Diri”. Bukan klinik, bukan bimbingan konseling, bukan pula kursus cepat bahagia. “Griya Diri” adalah ruang untuk berhenti sejenak: membaca buku, berlatih napas, berbincang, memasak lodeh bersama, atau menulis surat untuk diri sendiri—surat yang tak harus dikirim.

Di dinding, ia membingkai kalimat Kinasih: “Kamu selalu cukup—bahkan sebelum orang lain mengatakan kamu cukup.” Di meja, ia menaruh kotak kayu jati terbuka: pengunjung boleh menyelipkan catatan kecil tentang hal-hal yang ingin mereka lepaskan hari itu. Tidak ada tarif tetap; ada kotak donasi, ada juga daftar kebutuhan dapur yang boleh dibawakan siapa saja.

Setiap Sabtu pagi, Rukmini memimpin sesi “Pulang Pelan-Pelan”: 90 menit kelas diam dan menulis. Ia tidak mengajar kebahagiaan instan. Ia hanya memandu para peserta menamai lelah, memegang sedih, dan merayakan tuntas yang mungkin bentuknya sangat biasa: menghabiskan sarapan, mematikan gawai satu jam, menolak permintaan yang bisa menunggu.

Ia menutup setiap sesi dengan kalimat yang pelan tapi tegas, seperti ujung benang yang diikatkan pada kancing baju: “Kita semua akan menjadi tua. Siapa yang paling lama bersama kita? Diri kita sendiri. Maka jagalah ia baik-baik.”

.

Rencana yang Baru: Membangun Tanpa Melukai

Pekerjaan kantor juga berubah, bukan pada posisinya tetapi pada caranya hadir. Rukmini mengajukan konsep arsitektur sosial untuk proyek-proyek kota: trotoar yang ramah pejalan kaki, ruang teduh untuk jeda, fasilitas umum yang mengajar dunia untuk melambat. Ia memperjuangkan kursi-kursi di halte yang tidak sekadar ada, tetapi nyaman diduduki lansia. Ia menyisipkan taman kecil di antara deretan ruko, menyarankan jalur sepeda yang tidak memaksa pesepeda melawan truk.

Di rapat, ia menolak jadwal gila yang memeras manusia. “Kota yang baik adalah kota yang tidak melukai warganya,” katanya. Beberapa rekan mengernyit; sebagian mengangguk; sebagian lagi menilai itu utopis. Tetapi direktur—perempuan berambut perak yang menyukai teh melati—menatap Rukmini seperti menemukan sesuatu yang dahulu ia tinggalkan.

“Lanjutkan,” kata sang direktur. “Kalau kita membangun sesuatu, bangunlah kehidupan.”

.

Telepon dari Masa Lalu

Renggono menelepon lagi, setelah lama diam. Suaranya lebih pelan, kalimat-kalimatnya berhenti di tengah, seperti orang yang baru belajar mengeja ulang.

“Aku… minta maaf,” ujarnya.

“Sampai di sini,” balas Rukmini, “kita berdua sama-sama sudah mendapati jalan. Kamu dengan cara kamu. Aku… dengan caraku. Terima kasih untuk semua yang pernah ada.”

Mereka menutup telepon bukan sebagai pecundang atau pemenang, tapi sebagai dua manusia yang mengakui kegagalan adalah bagian dari peta. Rukmini menatap layar ponsel yang kembali gelap; ia melihat wajahnya sendiri di pantulan: lebih tenang, lebih utuh.

.

Dialog yang Tidak Disiarkan

Suatu hari, Jayengrana datang ke “Griya Diri”. Tanpa undangan khusus, tanpa pengumuman. Ia duduk paling pinggir, mengikuti sesi “Pulang Pelan-Pelan” yang dipimpin putrinya. Ia menulis di kertas kecil: kalimat yang lama sekali ingin keluar.

“Ayah ingin meminta maaf pada Kinasih dan Rukmini,” tulisnya. “Telah lama mengira cinta harus selalu berbentuk tuntutan. Padahal, kadang cinta adalah meletakkan pedang.”

Setelah sesi selesai, mereka duduk di teras, minum wedang jahe. Angin memainkan tirai tipis; suara penjual bakso lewat seperti tanda baca di paragraf adegan.

“Terima kasih datang,” kata Rukmini. “Ayah baik?”

“Baik,” jawab Jayengrana, menegakkan punggungnya, “dan sedang belajar menjadi manusia, bukan hanya nama.”

Mereka tertawa. Ada sesuatu yang rontok dari bahu mereka, sesuatu yang tak pernah terlihat tapi selalu terasa berat.

.

Kabar Baik yang Biasa

Griya Diri tidak viral. Tidak ada video jutaan tayang, tidak ada artikel panjang di media nasional. Yang ada adalah hal-hal yang sangat biasa, dan karena itulah ia penting: seorang mahasiswi memutuskan kuliah tepat waktu demi kesehatan mentalnya, seorang ibu belajar tidur delapan jam tanpa rasa bersalah, seorang pegawai bank berani menolak lembur tanpa alasan yang dibuat-buat, seorang pemilik usaha kecil menata ulang jadwal agar karyawan bisa pulang sebelum anak mereka terlelap.

Rukmini tidak menjadi tokoh utama di dunia. Ia menjadi tokoh utama dalam hidupnya sendiri, dan itu, bagi perempuan yang terlalu lama menjadi pemeran pendukung dalam kisah orang lain, adalah kabar baik yang penuh.

Ia menempelkan satu lagi kalimat di dinding Griya Diri—dari jurnalnya sendiri: “Tenang bukan berarti tak berbuat apa-apa. Tenang adalah cara terbaik untuk memilih yang patut kita perbuat.”

.

Sebuah Pagi yang Sama Sekali Baru

Yogyakarta, pukul 05.45 pagi. Tanggal tak harus penting. Embun menempel lagi di pagar balkon. Tetapi pagi ini berbeda: Rukmini duduk bukan untuk lari dari hari, melainkan menyambutnya. Ia menanak nasi, menyiapkan lodeh labu siam, mengemas beberapa porsi untuk dibagikan di Griya Diri selepas kelas.

Di meja, surat Kinasih terbuka. Ia mengusap sudut kertas yang mulai ringkih, lalu menulis balasan imajiner di buku harian: “Ibu, aku sudah pulang. Ternyata rumah itu tak jauh. Ia menunggu di balik napas yang dulu lupa kuperhatikan.”

Teleponnya bergetar. Notifikasi dari grup kecil “Sawo Muda”—para perempuan muda yang bertemu di Griya Diri—meminta izin meminjam ruang untuk kelas membaca. Ia membalas, “Silakan. Rumah ini milik semua yang ingin pulang.” Emoji daun hijau, secukupnya.

Ia menatap cermin. Mengikat rambut. Tersenyum. Pagi ini akan menjadi hari yang panjang, tetapi yang panjang tidak lagi menakutkan. Di ujung hari nanti, ia akan kembali ke balkon, duduk, memeluk lutut, memandangi langit yang berubah warna. Dan jika ada sunyi datang mengetuk, ia bukan lagi musuh—ia sahabat yang pandai mengingatkan.

.

Kalimat yang Akhirnya Tuntas

Hidup tidak selalu tentang siapa yang memilihmu. Kadang, yang paling penting adalah kapan kamu berani memilih dirimu sendiri. Pada hari itu—yang tampak seperti hari biasa, di kota yang memilih pelan—Rukmini menutup laptop, mengetik satu kalimat, dan mengizinkan sunyi bekerja. Dari situ, sebuah rumah lahir. Bukan rumah dari bata dan semen, melainkan dari keberanian, jeda, dan nama yang akhirnya ia sebut dengan lembut: dirinya sendiri.

“Berhenti bukan berarti menyerah; kadang itu cara jiwa mengambil alih kemudi.”
— Raden Rukmini

“Kalau kamu tak memeluk dirimu, dunia akan memelintirmu jadi bentuk yang bukan milikmu.”
— Catatan di dinding Griya Diri

“Yang tuntas bukan selalu yang benar. Yang benar, sering kali, adalah yang menyelamatkan.”
— Kinasih

.

.

.

Jember, 13 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#HariKetikaAkuMemilihDirikuSendiri #RadenRukmini #GriyaDiri #Yogyakarta #MenakMadura #SelfLove #PulangPadaDiri #KesehatanMental #KotaRamahManusia #CerpenKompasMingguVibes

Leave a Reply