Harga Diri yang Terlambat Disadari

“Terkenal itu sementara; terhormat itu selamanya.
Jangan tukar tepuk tangan lima menit dengan tenang tidur seumur hidup.”

.

Lampu-lampu gantung di kafe itu berpendar seperti kunang-kunang yang tersesat di langit-langit. Jakarta Selatan, Sabtu malam, antrean mengular di depan kasir. Musik akustik memainkan lagu yang semua orang pura-pura tidak hafal, padahal bibir mereka ikut membentuk lirik pelan-pelan. Di meja pojok, lelaki berusia dua puluh sembilan tahun, berkemeja linen kusut yang harganya bisa membayar cicilan motor orang lain, menatap layar ponsel yang gelap.

Namanya Rongga—teman-temannya memanggil Lawe, plesetan dari Ranggalawe yang dulu sering ia jadikan nama samaran akun gim. Di bio Instagram-nya, pernah tertulis: content creator, mind coach, plant-based life. Ratusan ribu pengikut. Ratusan kontrak kerja. Ratusan kali panggung digital menyerukan “cintai dirimu” sambil menyesap latte oat milk. Suatu masa, ia seperti bintang yang menguasai fyp: setiap video menembus jutaan tayangan, setiap canda disambut banjir emoji api, setiap petuah ringan dianggap sabda.

Malam itu, jari-jarinya tidak lagi lincah. Kopi di gelas kertas mendingin, buih-buihnya menua. Notifikasi masuk cuma dua: satu tag dari akun jualan bulu mata, satu DM dari akunnya sendiri yang baru ia aktifkan kembali setelah menghilang berbulan-bulan. Di sekelilingnya, kamera-kamera mengarahkan lensa, ring light memancarkan keputihan steril, bibir orang-orang memekar di depan kaca ponsel.

“Ketika dunia memujamu, jangan lupa siapa yang menegurmu.
Kadang yang benar-benar mencintaimu, datang tanpa sorotan.”

.

Dua tahun sebelumnya, Lawe bukan siapa-siapa. Anak kontrakan di Tebet yang bekerja di startup logistik; alamat surel korporat, jam pulang tidak jelas, gaji yang selalu terasa kurang. Ia hidup seperti hamster di roda: berlari setempat, berkeringat, dan tetap di kandang yang sama. Ia tahu nama-nama jalan pintas kampanye digital, tahu jam emas ngepost, tahu rasa takut atasan ketika investor minta grafik naik.

Suatu sore, ia mengundurkan diri. “Gua mau hidup sesuai passion,” katanya pada Jaya—kawan kuliah yang kini bekerja di BUMN, hidup datar yang rutin. Jaya, yang namanya diplesetkan teman-teman menjadi Jayeng karena kebiasaan menang lomba esai, menatap Lawe lama-lama. “Gua ikut dukung, asal lu ingat satu: orang menonton karena merasa dekat, tapi mereka akan pergi ketika merasa diperalat.” Kalimat itu menggelitik seperti kelilipan, tapi Lawe menepuk pundak Jaya dan tertawa.

Ia memulai dengan sederhana: video curhat di dapur kontrakan sempit. Ia bicara pelan, tulus, tentang panik pada umur dua puluh tujuh, tentang standar hidup, tentang enggan menua dalam rutinitas yang tidak dipilih. Ia beli mic murah, ring light bekas, tripod yang kakinya satu cacat. Pelan-pelan, angkanya naik. Orang menyukai caranya merangkai kalimat: jernih, menenangkan, seolah-olah semua masalah bisa diringkas dalam caption. Komentar bertaburan: “Bang, lu nyelametin gue malam ini.” “Coach, jadi semangat kerja lagi.”

Namanya mulai disebut di panggung-panggung komunitas. Ada tawaran webinar berbayar. Ada undangan tampil di podcast. Ada hamper dikirim ke alamat kontrakan: granola, teh detoks, buku catatan dengan ukiran nama. Ia melambung—tidak dengan roket, tapi dengan balon yang diikat orang-orang.

“Tepuk tangan itu candu halus.
Ia tidak minta dibayar sekarang—ia menagih harga dirimu nanti.”

.

Sampai suatu brand minuman diet menghubungi manajernya—Retna, perempuan cekatan yang dulu satu angkatan, yang logat Maduranya menawan dan kepalanya penuh spreadsheet. Fee-nya besar; cukup untuk memindahkan Lawe dari kontrakan ke apartemen satu kamar dengan city view, cukup untuk membeli kamera mirrorless yang ia incar sejak lama. Ada rumor di forum—izin BPOM produk itu kabur, komposisinya miring. Retna mengirimkan berkas klarifikasi dari pihak brand: semuanya “on process”, “sesuai standar”, “legalitas menyusul minggu depan.”

“Coba pikir matang,” pesan Jaya malam itu lewat WhatsApp. “Lu diajak jadi jembatan kepercayaan. Pastikan yang menyeberang tidak jatuh ke jurang.”

Dalam rapat daring, orang-orang dari brand berbicara dengan bahasa yang dihiperbola dan di-glossy-kan: market fit, conversion, aspiration. Lawe menimbang di kertas kecilnya, membuat tabel untung rugi. Di kolom kerugian, ia menulis “risiko reputasi”. Lalu—dengan pensil yang sama—ia menulis di kolom keuntungan: “hidup membaik; investasi masa depan; membantu orang kurus dengan cepat (bila benar)”.

Ia menandatangani kontrak.

Video itu rilis pada Senin jam delapan. Diambil dengan pencahayaan sempurna, caption-nya ringkas, call-to-action-nya manis: link in bio. Dua minggu kemudian, berita itu pecah: seorang perempuan di Bekasi masuk rumah sakit setelah mengonsumsi produk tersebut. Dalam video yang direkam adiknya, perempuan itu gemetar, bibirnya pucat, perutnya kram hebat. Tagar boikot mendadak naik. Komentar membanjiri akun Lawe, seperti air pasang yang menenggelamkan pantai. “Influencer sampah.” “Lu jual racun.” “Laporkan.”

Brand memutus kontrak sepihak. Retna tidak menjawab telepon seharian; mungkin sibuk di tengah krisis yang menggilas. Pengikut Lawe rontok—angka ratusan ribu itu tiba-tiba jadi angka tanpa tuan. Pada malam Lawe berusaha menjelaskan diri dengan story putih—“kami juga korban informasi”—kata-katanya justru menyerupai alasan murahan.

“Yang paling mengiris bukan hujatan orang asing,
melainkan ketika kau mengucapkan kalimat pembelaan dan mendengar dirimu sendiri terdengar kecil.”

.

Lawe pulang. Ia mematikan akunnya, memesan tiket, dan naik kereta menuju Salatiga—kota kecil yang menua dengan anggun di punggung bukit. Rumah orangtuanya berhalaman luas, ditumbuhi pohon mangga yang setiap musimnya memberikan buah lebih banyak dari jumlah piring di meja. Ayahnya, Wirar—dipanggil begitu sejak kecil karena hobinya menebas ilalang di kebun seperti ksatria tua—menyambutnya tanpa tanya. Ibunya, Dewi, memasakkan rawon kehitaman pekat yang baunya merangkul dari pintu.

“Makan dulu,” kata Dewi, “baru cerita.”

Hari-hari di Salatiga seperti memasuki film dengan tempo lambat: udara menuruni lereng dengan sabar; suara jangkrik membungkus malam; lampu-lampu rumah tetangga menyala, lalu padam, seperti mata yang berkedip. Lawe membantu Wirar membersihkan kebun; tangannya yang biasa mengusap layar ponsel belajar memegang cangkul, punggungnya belajar tunduk pada tanah. Ia mengantar Dewi ke pasar sebelum fajar; memegang tas belanja kain; melihat ibu-ibu menawar cabe rawit dengan matematika batin.

Malam-malam ia duduk di serambi, menatap gelap dan menulis di buku kecil: nama-nama yang ingin ia minta maaf; kebiasaan-kebiasaan yang ingin ia hentikan; daftar hal yang pernah ia jual selain waktu—yakni kepercayaan. Kadang-kadang, rasa malu meledak sebagai sesenggukan. Ia menutup wajah dengan siku, dan menunggu napasnya kembali.

“Waktu memang bisa menyembuhkan luka,
tetapi hanya pengakuan yang membersihkan nanahnya.”

.

Di warung kopi pinggir sawah—yang menyeduh robusta di ketel aluminium—ia bertemu Jaya. Kota kecil memang selalu punya cara untuk mempertemukan orang tanpa janjian. Jaya mengenakan jaket parasut, menaruh ponsel telentang di meja, seolah-olah percakapan ini tidak perlu diselingkuhi.

“Lu ke mana aja, Lawe?” Jaya bertanya.

“Ngilang, Jay. Gua capek.”

“Capek diserang orang, atau capek pura-pura kuat?”

Pertanyaan itu mendarat dengan bunyi yang tidak terdengar tapi terasa. Lawe menatap sawah yang belum ditanam, tanahnya digaris-garis seakan halaman buku petani. “Gua malu. Rasanya kayak… bahkan kata-kata gua sendiri jijik denger gua.”

Jaya mengangguk. “Gua nggak iri dulu waktu lu melesat. Tapi gua sedih waktu lu berubah. Kayak gua lagi ngobrol sama orang yang ngopi pakai cangkir lu, tapi bukan lu yang duduk di seberangnya.”

“Gua salah, Jay.” Lawe berkata datar. “Gua jual pintu kepercayaan orang. Terus gua biarin mereka jatuh di tangga.”

“Orang bisa salah,” kata Jaya, “tapi nggak semua orang mau bertahan di ruang salah yang sama. Pertanyaan lu bukan: ‘bagaimana orang memaafkan?’ tapi: ‘bagaimana lu memperbaiki kebiasaan lu ketika nggak ada yang nonton?’”

Angin datang memutar, membawa bau hujan. Seorang anak berlari menyeberangi pematang, jatuh, bangun lagi, tertawa. Lawe memandang punggung kecil itu, teringat punggungnya sendiri yang pernah tegap waktu memulai semuanya.

“Berhentilah mencari sorak-sorai.
Mulailah mencari saksi-saksi kecil yang melihatmu menepati janji.”

.

Lawe mengaktifkan lagi akunnya pada suatu pagi di mana matahari baru keluar dari balik gunung, menyapu kabut dengan tangan lebar. Ia menulis satu kalimat, di atas foto halaman buku catatannya yang kusut: Gue minta maaf. Ini salah gue. Ini rencana gue memperbaiki. Ia menautkan video tujuh menit—tanpa latar musik, tanpa potongan cepat—yang isinya adalah kronologi yang telanjang: keputusan ceroboh, abai cek legalitas, alasan yang tidak layak, dampak pada orang lain. Ia menyebut nama perempuan dari Bekasi itu; ia menghubungi keluarganya sebelumnya, dan meminta izin untuk menyampaikan niat membantu biaya pengobatan. Ia memotong kartu kredit yang dulu dipakai untuk belanja perangkat unboxing—di kamera; bukan untuk drama, tapi untuk mengingatkan dirinya sendiri kelak ketika hasrat belanja menyeret.

Ketika komentar masuk—setengah marah, setengah haru—ia tidak membalas banyak. Ia menuliskan alamat surat elektronik tim kecilnya; meminta siapa pun yang terdampak mengirimkan kronologi untuk dibantu advokasi. Ia membuka dokumen publik: jadwal live untuk menjawab pertanyaan keras; spreadsheet untuk transparansi donasi yang masuk dan keluar; daftar brand yang ia putuskan tidak akan pernah bekerja sama lagi. Retna, yang empat bulan tidak terdengar, mengirim pesan suara panjang: suaranya pecah, meminta maaf karena panik dan menghilang. Lawe membalas satu kalimat: “Ayo bareng-bareng jadi orang yang bisa ditunggu kabarnya.”

“Kejujuran bukan selalu memulihkan citra;
kadang ia memilih memulihkan rasa hormatmu pada dirimu sendiri.”

.

Kontennya berubah. Ia tidak lagi menebar motivasi instan seperti bumbu sachet. Ia merawat cerita pelan-pelan: tentang jam empat pagi mengantar ibu ke pasar; tentang mengembalikan uang muka kontrak yang masih tersisa; tentang menolak sebuah brand walau fee-nya bisa membeli mobil bekas; tentang menegur dirinya sendiri kalau screen time lebih lama dari waktu membaca. Ia mengundang Umar—kawan lama yang dulu sering ia ledek karena low profile—untuk berbagi tentang pajak bagi freelancer. Ia memberi panggung pada orang-orang yang ia tahu jernih, bukan populer: perawat, guru seni, pedagang sayur, teknisi AC. Ia menamai serinya: “Kisah-kisah yang Nggak Viral”.

Di bio Instagram-nya, kini hanya ada satu kalimat dalam bahasa Jawa:
“Urip mung mampir ngombe, nanging aja nganti ninggalke pait ing gelas wong liya.”

Satu hari, ia menerima DM dari seorang perempuan: “Bang, gue nggak minta lu balik jadi coach. Gue cuma mau bilang, terima kasih udah nunjukin cara minta maaf tanpa jadi drama. Gue belajar.”

Lawe membaca pesan itu sambil duduk di teras, di antara bunyi tik-tik hujan kecil menyentuh daun mangga. Ia menutup ponselnya dan menatap halaman. Angin membawa bau tanah, bau yang selalu menenangkan karena jujur.

“Jangan tunggu tua untuk sadar:
integritas lebih berharga daripada popularitas.”

.

Jakarta memanggil lagi; demikianlah kota—ia selalu punya magnet di balik beton. Ada undangan dari sebuah komunitas kreator: bukan untuk berbagi trik viral, melainkan tentang etika endorsement. Lawe datang dengan kemeja yang sama, sekarang disetrika lebih rapi. Di ruang rapat putih, dengan projector yang kadang ngadat, ia bicara tanpa slide.

“Gue pernah percaya bahwa dunia butuh gue. Ternyata, yang gue butuh itu sederhana: tau kapan bilang ‘nggak’, tau kapan berhenti, tau kapan minta maaf. Kalian bisa ketawa kalo gue ngomong begini setahun lalu. Gue juga pasti ketawa. Cuma, gini: jangan sampai kamera lebih tajam dari nurani.”

Seorang peserta mengangkat tangan, bertanya: “Bang, gimana cara kita tahu kalau kita sedang mabuk tepuk tangan?”

Lawe tersenyum, menatap ke sudut ruangan di mana ring light disandarkan pada tripod. “Ketika lu memotong kalimat orang yang marah hanya supaya nada konten lu tetap optimis. Ketika lu memelintir fakta supaya cocok dengan brand message. Ketika lu cuma berani jujur di catatan pribadi.”

Ia menutup sesi itu dengan enam kalimat yang ia tempel besar-besar di kertas, ditempel di dinding belakang mejanya sendiri:

  1. Periksa legalitas sebelum brief.

  2. Pisahkan uang pribadi, operasional, dan donasi.

  3. Utamakan dampak sosial di atas angka engagement.

  4. Tulis kontrak dengan klausul integritas (hak menolak jika ada temuan).

  5. Buka kanal pengaduan yang benar-benar dibaca, bukan simbolis.

  6. Kenali waktumu: kapan bekerja, kapan diam, kapan belajar lagi.

“Solusi tidak selalu muluk;
kadang ia cuma daftar kecil yang kamu patuhi saat tidak ada penonton.”

.

Di akhir tahun, Retna datang ke Salatiga. Mereka duduk di bawah pohon mangga, mengingat hari-hari tak logis ketika merasa kebal dan kebalikan dari kebal. Retna berkata ia ingin memulai lagi sebagai manajer—bukan manajer kontrak, melainkan manajer nurani yang pekerjaannya mengingatkan, bukan menggoda. Mereka menyusun SOP baru; Jaya datang memberi masukan; Wirar mencatat jam-jam Lawe di kebun agar anaknya tidak lupa membungkuk.

Malam itu, setelah semua pulang, Lawe berdiri di serambi. Ia memegang ponselnya, merekam pesan suara untuk dirinya setahun ke depan. “Halo, Lawe. Kalo lu denger ini dan lu lagi tergoda menerima sesuatu yang bikin lu gampang kaya tapi bikin orang lain susah, matikan ponsel lu, ambil cangkul ke kebun, kerja sejam. Kalau setelah sejam lu masih mau, telepon Jaya.”

Ia tertawa kecil. Di halaman, seekor kucing kampung melintas dengan langkah sombong, seolah-olah ia pemilik rumah sebenarnya. Hujan berhenti, menyisakan bau yang disukai penyair dan petani. Lawe menutup matanya sejenak.

“Kejenuhan itu sebentar; penyesalan bisa sepanjang usia.
Hargai hidupmu pelan-pelan—kalau bisa, tanpa kamera.”

.

Beberapa bulan kemudian, sebuah acara kecil melintas di timeline: pertemuan komunitas UMKM Salatiga yang mengundang Lawe untuk mengisi kelas. Tidak ada panggung tinggi, tidak ada lampu keras, tidak ada backdrop dengan logo sponsor. Ia duduk di kursi plastik, selevel dengan puluhan ibu-ibu yang membawa produk: peyek udang, tas rajut, sabun kopi.

Lawe memulai dengan pertanyaan, bukan petuah. “Ibu-ibu, siapa yang pernah menolak tawaran yang kelihatannya ‘menguntungkan’ cuma karena merasa kurang sreg di hati?” Banyak tangan terangkat; cerita mengalir: tentang distributor yang minta ongkos titip, tentang foto produk yang dimanipulasi, tentang janji-janji tipis.

“Pilihan kita membentuk kita,” kata Lawe. “Bukan sebaliknya.”

Seusai kelas, seorang gadis remaja menghampirinya. Namanya Kencana. Ia bilang suka menulis, suka merekam suara orang, ingin jadi podcaster tapi takut ditertawakan. “Bang, kalo orang bilang suara saya biasa aja?”

Lawe menatapnya seperti orang menatap nasib yang datang sebagai anak kecil. “Suara biasa itu justru enak didengar lama-lama. Dan yang disebut ‘biasa’ itu sering cuma istilah malas untuk sesuatu yang jujur.”

Kencana tersenyum dan mengangguk. Ia memeluk buku catatan erat-erat, seakan di halaman kosong ada masa depan yang menunggu ditulisi.

“Tidak semua orang harus jadi legenda.
Cukup jadi saksi kebaikan kecil yang terus hidup.”

.

Di suatu fajar yang dinginnya menggigit, Dewi menyapu serambi. Ia menemukan selembar kertas jatuh dari saku celana anaknya. Di kertas itu tertulis, dengan tulisan yang menua karena sering dilipat:

  • Kalau sudah lelah, berhenti. Bukan menyerah.

  • Kalau salah, akui. Bukan putarbalik.

  • Kalau bingung, tanya orang yang mencintaimu, bukan yang mengidolakanmu.

Dewi tersenyum. Ia menyelipkan kertas itu kembali ke saku, seperti Ibu yang mengembalikan jimat kecil pada pemiliknya.

Di langit, cahaya merayap, menghampar. Di layar ponsel yang tergelak di meja, ada notifikasi: sebuah DM dari perempuan Bekasi. “Bang Lawe, maaf baru balas. Kondisi kakak saya membaik. Terima kasih sudah bantu. Saya bukan mau balas budi—saya cuma mau bilang: semoga abang tetap jadi orang yang jujur.”

Lawe membaca pelan-pelan. Ia tidak membalas dengan kalimat panjang. Hanya sebuah “terima kasih” dan emoji daun—tanda halus yang berarti: sesuatu tumbuh, meski kecil, meski pelan.

“Yang kita kejar bukan puncak, melainkan arah.
Biar pelan, asal benar; biar kecil, asal menumbuhkan.”

Dan malam-malam di kafe Jakarta yang benderang itu, ring light masih menyala, sorot mata orang-orang masih mengejar kepastian. Tapi di satu pojok yang tidak lagi mencolok, ada seseorang yang duduk dengan kopi yang tidak mudah dingin—sebab ia tidak sibuk menyiapkan pembelaan. Ia hanya menulis, menimbang, membalas perlahan. Ia sudah tidak mencari panggung; ia merawat sunyi yang jujur.

Karena, pada akhirnya, harga diri memang sering datang terlambat—tetapi lebih baik ia datang sebagai tamu yang disambut, daripada ia tidak pernah menemukan alamat pulang.

.

.

.

Jember, 2 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#HargaDiri #Integritas #EtikaDigital #Influencer #KelasMenengah #JakartaSelatan #Salatiga #Storytelling #Reflektif #KompasMingguVibes

.

Quotes dari naskah

  • “Tepuk tangan itu candu halus; ia menagih harga dirimu nanti.”

  • “Yang paling mengiris bukan hujatan orang asing, melainkan saat kau mendengar pembelaanmu sendiri terdengar kecil.”

  • “Solusi tidak selalu muluk; kadang ia cuma daftar kecil yang kamu patuhi saat tidak ada penonton.”

  • “Jangan tunggu tua untuk sadar: integritas lebih berharga daripada popularitas.”

 

2 Comments

  1. “Harga Diri yang Terlambat Disadari” adalah karya yang tajam, empatik, dan relevan dengan zaman digital.
    Ia berhasil menjahit drama personal dengan refleksi sosial, menampilkan perjalanan seorang manusia dari kebanggaan semu menuju kesadaran sejati.

    Bahasanya matang, sinematografis, dan kaya nilai hidup tanpa harus berkhotbah.

Leave a Reply